Konseling Islam Melalui Terapi Sabar Dalam Mengatasi Emosi Negatif Pada
Seorang Remaja di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar
Islamic Counseling Through Patient Therapy in Overcoming Negative Emotions in a Teenager in Kepanjenkidul District, Blitar
City
1)* Ahmad
Fauzi Nurrohman
1
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Indonesia
Email: [email protected]
*Correspondence: 1)* Ahmad Fauzi Nurrohman
DOI: 10.59141/comserva.v4i7.2702 |
ABSTRAK Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas konseling Islam melalui terapi sabar
dalam mengatasi emosi negatif pada remaja. Penelitian ini dilaksanakan di
Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar, dengan pendekatan kualitatif. Subjek
penelitian adalah seorang remaja akhir berusia 21 tahun yang mengalami
kesulitan dalam mengelola emosi negatif. Teknik pengumpulan data meliputi
observasi, wawancara, dan dokumentasi, sedangkan analisis data dilakukan
secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi sabar mampu
membantu subjek dalam mengurangi dan mengontrol emosi negatifnya. Proses
terapi dimulai dengan identifikasi masalah, diagnosa, pemberian terapi berupa
meditasi, istighfar, dan peningkatan ibadah, hingga evaluasi perkembangan
subjek. Dalam setiap sesi konseling, subjek diarahkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, mengembangkan kebiasaan positif, dan melatih kesabaran melalui
refleksi spiritual. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konseling Islam
dengan pendekatan terapi sabar efektif dalam membantu subjek meredakan emosi
negatif, meningkatkan kesadaran spiritual, dan membangun pola pikir positif.
Penelitian ini merekomendasikan implementasi terapi sabar dalam pendekatan
konseling Islami sebagai upaya penanganan masalah psikologis berbasis
nilai-nilai agama. Kata kunci: Konseling Islam; Terapi
Sabar; Emosi Negatif |
|
ABSTRACT This study aims to examine the effectiveness of
Islamic counseling through patient therapy in overcoming negative emotions in
adolescents. This research was carried out in Kepanjenkidul
District, Blitar City, with a qualitative approach.
The study subject was a late 21-year-old adolescent who had difficulty
managing negative emotions. Data collection techniques include observation,
interviews, and documentation, while data analysis is carried out
descriptively. The results of the study showed that patient therapy was able
to help subjects reduce and control their negative emotions. The therapy
process begins with problem identification, diagnosis, therapy in the form of
meditation, istighfar, and increasing worship, to
evaluation of the subject's development. In each counseling session, the
subject is directed to draw closer to God, develop positive habits, and
practice patience through spiritual reflection. The findings of this study
show that Islamic counseling with a patient therapy approach is effective in
helping subjects relieve negative emotions, increase spiritual awareness, and
build a positive mindset. This study recommends the implementation of patient
therapy in the Islamic counseling approach as an effort to handle
psychological problems based on religious values. Keywords: Islamic Counseling; Patient Therapy; Negative Emotions |
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang
hidup dalam kebersamaan, dan setiap orang tidak dapat menghindari interaksi
sosial dengan orang lain. Setiap interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang
menimbulkan perasaan dalam diri individu tersebut. Perasaan tersebut kemudian
akan mempengaruhi sikap dan pemikiran individu sehingga individu mampu
bertindak sesuai dengan keinginannya
Perkembangan emosi dimulai
sejak lahir, dan rangsangan adalah pemicunya. Pengalaman sehari-hari yang
dihadapi individu dapat meningkatkan kepekaan emosi dan kemampuan dalam
mengekspresikannya. Pada masa kanak-kanak, sulit untuk membedakan ekspresi
emosi. Misalnya, tangisan pada anak atau bayi bisa berarti rasa marah, lapar,
takut, dan lain sebagainya. Semakin besar atau dewasa, anak belajar untuk
mengekspresikan emosi di masyarakatnya dan membedakan rangsangan dari
lingkungannya. Emosi tampak dari luar sebagai perilaku yang sesuai dengan norma
yang dipelajari dari masyarakat. Pengalaman sangat mempengaruhi perkembangan
dan kematangan emosi. Orang yang memiliki banyak pengalaman positif tentu akan
memiliki perkembangan dan kematangan emosi yang berbeda dengan mereka yang
kurang mengalami pengalaman positif
Goleman menguraikan bahwa secara
prinsip emosi mendasar manusia mencakup rasa takut, kemarahan, kesedihan, dan
kegembiraan. Sutanto menambahkan malu, perasaan bersalah, dan kecemasan sebagai
emosi dasar manusia yang sama pentingnya. Emosi-emosi ini memiliki dampak yang
signifikan tidak hanya pada perilaku saat ini, tetapi juga perilaku di masa
depan, terutama emosi-emosi yang negatif. Kemarahan sendiri merupakan respons
terhadap hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan atau tindakan. Kemarahan
yang timbul seringkali ditandai dengan berbagai
ekspresi perilaku
Banyak orang, mulai dari
anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, mengalami kesulitan mengungkapkan
kemarahan mereka secara lisan. Meskipun mereka menyadari bahwa perilaku yang
tidak dapat diterima secara sosial terjadi setiap kali mereka mengekspresikan kemarahan,
namun mereka tidak mampu menghindarinya. Kondisi ini disebut emotionally illiterate (buta
emosi) atau kurangnya kemampuan untuk memahami perasaan serta kesulitan dalam
mengekspresikan kemarahan secara tepat dan dapat diterima secara sosial.
Hal ini juga dialami salah
satu seorang konseli yang juga memiliki permasalahan yang berhubungan dengan
emosi negatif yang dimilikinya. Ketika menghadapi sebuah permasalahan, konseli
ini susah untuk mengurangi atau mengontrol emosi negatifnya. Akibatnya ia
sering melempar dan menghancurkan barang yang ada di sekitarnya. Lama kelamaan
konseli ini merasa dirinya capek dan ingin segera bisa mengontrol emosi
negatifnya. Akhirnya ia memutuskan datang ke konselor yang kebetulan adalah
penulis sendiri. Dan disini penulis merasa bahwa
terapi sabar cocok untuk mencoba membantu mengatasi permasalahan yang dialami
oleh konseli ini. Karena menurut penulis, terapi sabar bisa membantu untuk
menenangkan konseli dan membantu konseli untuk mengingat Allah atas apa yang
akan ia lakukan ketika menghadapi masalah dengan cara beristighfar,
melakukan kewajiban-kewajiban yang berhubungan langsung dengan sang Pencipta,
dan melakukan kegiatan sunnah lainnya.
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Salsabila Sajida Nufus, dkk dengan
judul penelitian �Terapan Terapi Sabar Untuk Mengatasi Stres Akademik di
Kalangan Remaja Pada Masa Pandemi� menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa
menerapkan terapi sabar, seperti pengendalian diri, menerima kenyataan, istiqomah, tidak mudah putus asa, bersikap tenang dan tidak
tergesa-gesa, serta mengendalikan emosi, dapat dijadikan alternatif yang sangat
cocok diterapkan di kalangan remaja untuk menghadapi stres akademik selama
pandemi. Dengan terapi ini, diharapkan remaja dapat semakin meningkatkan
kemampuan mengelola stres akademik sehingga mereka tetap produktif meskipun
dalam situasi pandemi.
Menurut penelitian lain
yang dilakukan oleh Ahmad Fitra Rasyadi dan Mustahar
Ali Wardana dengan judul penelitian �Konseling Islam Melalui Terapi Berpikir
Positif untuk Mengelola Stres Ketua Himpunan dan Organisasi� menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa Konseling Islam melalui terapi berpikir positif yang
dilakukan antara konselor dan konseli dapat dikatakan berhasil karena kedua
konseli mengalami perubahan terkait pikiran negatif yang sebelumnya mereka
miliki. Konselor melaksanakan konseling dengan tahapan yang sesuai dengan
teknik komunikasi konseling. Meskipun konseli merasakan perubahan signifikan
sebelum dan sesudah konseling, masih ada beberapa masalah yang belum sepenuhnya
terselesaikan karena keterbatasan konselor.
Dari penjelasan di atas,
peneliti mengambil sebuah hipotesis bahwasanya konseling islam
melalui terapi sabar dapat mengatasi emosi negatif pada seorang remaja dan juga
penggunaan konseling islam melalui terapi sabar belum
banyak dilakukan dalam mengatasi emosi negatif pada seorang remaja. Dengan
demikian peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul,
�Konseling Islam Melalui Terapi Sabar dalam Mengatasi Emosi Negatif Pada Seorang
Remaja di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar�.
METODE
PENELITIAN
Metode penelitian merupakan
cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,
dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi
masalah dalam bidang yang diteliti
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif.�
Moleong menyebutkan bahwa pendekatan
kualitatif adalah pendekatan yang memiliki tujuan untuk memahami fenomena yang dialami
oleh subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara
holistik dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, serta dengan
menggunakan berbagai metode alamiah untuk menghasilkan konteks khusus dan alami
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil
Berikut ini merupakan proses pelaksanaan
konseling islam melalui terapi sabar dalam mengatasi
emosi negatif pada seorang remaja di Kecamatan Kepanjenkidul
Kota Blitar:
A. Identifikasi Masalah
Tahap pertama dalam pelaksanaan konseling
adalah tahap identifikasi masalah. Tahap identifikasi masalah ini bertujuan
agar konselor mampu menggali data sebanyak mungkin dari permasalahan yang
dialami oleh konseli. Berdasarkan identifikasi masalah yang dilakukan oleh
konselor, maka konselor dapat mengetahui permasalahan yang dialami oleh
konseli. Dalam tahapan ini konselor mendapatkan data tentang permasalahan yang
dialami oleh konseli melalui proses observasi dan wawancara, hasilnya sebagai
berikut: pertama, konseli mengaku kepada konselor bahwasanya ia memang
memiliki sifat pemarah sejak ia kecil. Hal tersebut diakuinya karena memang itu
adalah hasil turunan dari ayahnya yang juga pemarah. Tetapi, sifat pemarah
konseli tidak sama halnya dengan ayahnya. Ia marah hanya disaat-saat
tertentu saja. Semisal ia mengalami masalah keluarga, tugas di kampus, ataupun
masalah percintaan.
Kedua, konseli juga mengaku bahwa ketika dirinya
mengalami sebuah masalah, tidak ada orang yang mau untuk peduli dan
mendengarkan ceritanya. Padahal ia sangat membutuhkan seseorang untuk
mendengarkan ceritanya, dan menenangkannya ketika emosi.� Ketiga, ketika konseli ini sendirian waktu
emosi, ia sering marah-marah sendiri dan juga suka membanting atau merusak
barang yang ada di sekitarnya, tak jarang juga ia menangis sendirian.�
Dari beberapa hal yang sudah dijelaskan,
konseli merasa capek karena ia menganggap bahwa dirinya tidak bisa mengontrol
amarahnya ketika menghadapi masalah, dan cenderung bikin kegaduhan sendiri
karena membanting barang yang ada di sekitarnya sehingga orang di sekitarnya
pun merasa terganggu. Akhirnya, konseli ini merasa bahwa dirinya membutuhkan
bantuan seorang konselor untuk membantu dirinya agar mengurangi atau kalau bisa
mengontrol emosinya.
B. Diagnosa
Berdasarkan identifikasi masalah yang sudah
dijelaskan, dapat disimpulkan bahwasanya konseli mengalami kesulitan dalam
mengurangi atau mengontrol emosi negatifnya. Penyebab adanya permasalahan
tersebut adalah konseli merasa bahwa ia sendirian dalam menghadapi masalah yang
dialaminya, dan orang di sekitarnya pun tidak mau mendengarkan keluh kesah
tentang permasalahannya. Adapun gejala-gejalanya, antara lain:
1. Konseli lebih sering melamun
2. Konseli cenderung menutup diri untuk
orang lain
3. Konseli suka menyendiri
C. Prognosa
Setelah melakukan diagnosa, langkah yang
dilakukan konselor selanjutnya adalah memilih dan menetapkan bantuan yang akan
diberikan kepada konseli. Disini bantuan yang akan
diberikan kepada konseli adalah sebuah terapi sabar untuk membantu mengurangi
atau mengontrol emosi negatif yang ada pada diri konseli. Terapi ini dipilih
dengan tujuan agar konseli lebih mengendalikan emosinya, menghadapi masalahnya
tanpa harus mengeluarkan emosi, dan juga agar konseli lebih menahan diri
mengeluh.
Alasan lain dipilihnya terapi ini adalah
mengajak konseli agar ia tidak merasa sendirian dan mengingat Allah dalam
menghadapi masalah. Ketika ia tidak mempunyai teman untuk mendengarkan
ceritanya, ia masih memiliki Allah yang senantiasa mau menerima ceritanya dan
bahkan Allah sudah punya caranya sendiri dalam membantu menyelesaikan
permasalahan yang dialami konseli.
D. Terapi atau Treatment
Langkah selanjutnya adalah melakukan jenis
bantuan yang telah dipilih pada tahap sebelumnya. Berikut adalah penerapan
terapi yang dilakukan oleh konselor kepada konseli:
1. Pertemuan Pertama
Pada pertemuan pertama, konselor dan konseli
melakukan sesi konseling seperti pada umumnya. Disini
konselor berusaha menggali informasi atau data dari konseli mengenai
permasalahan yang sedang ia alami. Dan konselor menemukan permasalahan yang
sedang dialami oleh konseli. Permasalahan yang dialami konseli adalah kesulitan
dalam mengurangi atau mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya.
Setelah konseli mengeluarkan semua perasaan
yang ia rasakan, konselor mencoba untuk menenangkan konseli. Konselor mencoba
untuk menanamkan kesabaran pada diri konseli, dengan cara mengajak konseli
mengingat Allah melalui bacaan istighfar, serta
menyuruh konseli untuk meditasi sebentar. Meditasi yang dilakukan adalah dengan
memejamkan mata selama 5-10 menit dan mengontrol pernapasan. Meditasi disini bertujuan untuk menenangkan hati dan pikiran konseli
sejenak.
Sesudah melakukan meditasi, dan konseli mulai
tenang, konselor mencoba menanyakan kebiasaan konseli ketika di rumah. Mulai
dari kebiasaan mengaji, sholat wajib 5 waktu, dan
juga sholat sunnah lainnya.
Konseli pun menjawab bahwasanya ia jarang melakukan kegiatan tersebut. Ia
jarang mengaji, dan sholat wajib masih bolong-bolong.
Disini konselor mencoba untuk mengajak konseli agar
konseli mau memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang ditinggalkan tersebut.
Konselor juga menjelaskan bahwasanya mungkin saja permasalahan yang dihadapi
konseli ini disebabkan karena kurang dekatnya hubungan konseli dengan sang
pencipta. Konseli pun memahami akan hal tersebut.
Di pertemuan pertama ini sesi konseling
berjalan cukup singkat karena konselor khawatir jika sesi konseling pertama
saja sudah memakan waktu yang lama akan membuat konseli tersinggung dan bosan.
Di akhir pertemuan pertama ini, konselor memberi tugas rumah kepada konseli.
Tugas yang diberikan kepada konseli yaitu berupa meditasi selama 5-10 menit
setiap pagi hari, agar konseli bisa merasakan ketenangan, kemudian konseli
diminta untuk sholat wajib dengan tepat waktu, serta
meminta konseli untuk meluangkan waktu sedikit untuk mengaji. Tugas ini
diberikan agar konseli berusaha belajar memperbaiki diri dan mendekatkan diri
dengan sang pencipta.
2. Pertemuan Kedua
Di pertemuan kedua, konseli mendatangi
kediaman konselor dengan membawa sebuah cerita baru. Konseli bercerita bahwa
setelah pertemuan pertama, konseli berusaha untuk melaksanakan tugas rumah yang
diberikan, dan memang benar ada sedikit perubahan setelah melakukan tugas
rumahnya dan ia merasakan sedikit ketenangan dalam dirinya. Namun ia masih
sering merasakan kalau amarahnya ini gampang keluar.�
Konselor pun mencoba membantu menenangkan
konseli. Sembari menenangkan konseli, konselor bertanya-tanya tentang tugas
rumah yang sudah dikerjakan oleh konseli. Konseli pun bercerita tentang apa
saja yang sudah ia lakukan, mulai dari sholat wajib
yang sudah dikerjakan, walaupun tidak tepat waktu setidaknya konseli mau dan
berhasil menjaga sholat wajibnya tidak bolong.
Konseli lanjut bercerita kalau ia sudah mau meluangkan sedikit waktunya untuk
mengaji, dan meditasi sudah ia lakukan.
Kemudian konselor bertanya kepada konseli,
mengapa ia masih gampang keluar amarahnya padahal sudah merasakan sedikit
ketenangan setelah mengerjakan tugas rumah. Ternyata konseli ini masih suka
mengingat-ingat masalah yang dulu pernah ia alami dan ia alami sekarang.
Akhirnya konseli pun kembali emosi dan kebiasaan buruknya keluar, yaitu dengan
melempar atau menghancurkan barang yang ada di sekitarnya.
Disini konselor mencoba untuk menyadarkan konseli,
bahwa tindakan tersebut sebenarnya merugikan diri sendiri dan orang di
sekitarnya. Merugikan diri sendiri karena tindakan tersebut tidak ada
manfaatnya sama sekali. Jika konseli melakukan tindakan tersebut hanya untuk
sebuah kepuasan dalam pelampiasan emosi, maka konseli salah menganggap hal itu
dan malah merugikan orang di sekitarnya yang terganggu akan kebisingan yang ia
perbuat.
Selanjutnya konselor mengajak konseli untuk beristighfar atas semua yang telah dilakukan konseli ketika
amarahnya muncul. Kemudian konselor mengingatkan konseli bahwa ketika ingin
melampiaskan amarah, seharusnya ia ingat kembali ke Allah dengan cara istighfar. Konselor melatih kesabaran konseli dengan cara
memperbanyak istighfar agar konseli terbiasa. Hal
tersebut dilakukan konselor agar ketika emosi negatif konseli ini muncul,
konseli menjadi terbiasa mengucapkan istighfar dan
ingat kepada Allah, serta apa yang menjadi kebiasaan buruknya tidak ia lakukan
lagi.
Di akhir sesi pertemuan kedua ini, konselor
kembali memberikan tugas kepada konseli. Tugas yang diberikan yaitu sama
seperti pertemuan pertama dan juga ditambah dengan sering mengucapkan istighfar agar senantiasa mengingat Allah dan ketika emosi
negatifnya muncul kembali, konseli lebih siap untuk menahan dirinya agar tidak
melakukan tindakan yang seharusnya tidak ia lakukan.�
3. Pertemuan Ketiga
Di pertemuan ketiga, sesi konseling berjalan
cukup singkat. Konseli kembali melaporkan perkembangan yang sudah dialami ke
konselor. Di pertemuan ketiga ini, konseli mengalami banyak sekali
perkembangan. Konseli menjadi lebih tenang dan juga mulai bisa mengontrol emosi
negatifnya. Kebiasaan buruknya ketika emosi negatifnya keluar pun mampu ia
tahan dengan cara istighfar dan mengingat Allah atas
apa yang akan ia lakukan. Konseli pun berjanji bahwa ia akan� jauh lebih baik daripada dirinya yang
sekarang, dan juga akan senantiasa beristighfar dan
melakukan kegiatan-kegiatan positif untuk mengingatkan dirinya kepada sang
Pencipta.
Di akhir sesi pun, konselor berpesan kepada
konseli agar senantiasa menjaga dan mengontrol emosi negatifnya serta
kebiasaannya buruknya ketika emosi. Dan juga konselor berpesan agar konseli
senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan positif agar ketika ia merasa emosi
negatifnya akan keluar, ia hanya perlu ingat kepada Allah agar hal yang tidak
ia inginkan terjadi.
E. Evaluasi dan Follow Up
Tahapan ini merupakan tahapan yang dilakukan
seorang konselor untuk melihat sejauh mana bantuan yang diberikan konselor ini
berhasil memberikan pengaruh atau perubahan kepada konseli atau tidak. Evaluasi
yang dapat disimpulkan dari konselor yaitu awal permasalahan konseli dipicu
karena konseli memiliki emosi negatif yang diduga turunan dari ayahnya sendiri,
Seiring berjalannya waktu, emosi negatif dari konseli ini sering muncul dan
diimbangi dengan pelemparan dan perusakan barang yang ada di sekitarnya. Dari
permasalahan tersebut, konselor mendiagnosa
bahwasanya konseli ini merasakan bahwa ia kesulitan dalam mengurangi atau
mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya.
Konselor pun mencoba menawarkan sebuah bantuan
berupa terapi sabar yang dilakukan setiap pertemuan atau sesi konseling dengan
konseli. Disini konselor berharap dengan dilakukannya
terapi sabar, konseli mampu untuk mengurangi atau mengontrol emosi negatif yang
ada pada dirinya. Dalam setiap sesi konseling, konselor berusaha untuk
membiasakan kepada diri konseli untuk senantiasa mengingat kepada Allah dengan
cara beristighfar, yang dimulai dengan meditasi agar
konseli mendapatkan ketenangan hati dan pikirannya sesaat. Konselor juga
mengingatkan konseli agar memperbanyak kegiatan positif yang utamanya
berhubungan dengan sang pencipta, seperti halnya mengaji, sholat
wajib teapt waktu, dan juga amalan-amalan sunnah lainnya. Tak lupa konselor juga memberikan tugas
rumah kepada konseli di setiap sesi agar konseli bisa merasakan perubahan yang
ia alami.
Follow up dari konselor disini adalah konselor selalu berdoa yang terbaik untuk
konseli, agar konseli senantiasa mengingat Allah ketika emosi negatifnya muncul
secara tiba-tiba. Konselor juga berpesan bahwasanya tugas rumah yang sudah
konseli lakukan untuk terus dipertahankan kalau perlu ditingkatkan lagi dan
agar menjadi sebuah kebiasaan positif bagi konseli itu sendiri.
Pembahasan
A. Konseling Islam
Konseling merupakan terjemahan dari istilah
"counseling," yang berasal dari kata
"councel" atau "to councel,"
yang berarti memberikan nasihat, bimbingan, atau saran secara langsung kepada
orang lain. Oleh karena itu, konseling adalah proses pemberian nasihat secara
individu yang dilakukan secara tatap muka oleh seseorang yang memiliki keahlian
(konselor) kepada seseorang yang menghadapi masalah (konseli). Secara umum,
konseling bertujuan untuk memberikan bantuan dalam mencari solusi atau upaya
menyembuhkan seseorang yang mengalami masalah atau gangguan kejiwaan, seperti
neurosis dan psikosis
Secara terminologi, para ahli memiliki beragam
pandangan dalam mendefinisikan konseling. Menurut R. L. Wolberg,
konseling adalah bentuk bantuan yang diberikan kepada individu untuk membantu
mereka lebih memahami diri sendiri, sehingga mereka dapat mengatasi kesulitan
yang berkaitan dengan lingkungan atau memperbaiki masalah penyesuaian diri
Konseling dalam pandangan Islam merupakan
sebuah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan arahan, pengajaran, serta
pedoman kepada konseli guna mengembangkan potensi akal, mental, keimanan, dan
keyakinan. Selain itu, kegiatan ini membantu mengatasi masalah yang berkaitan
dengan kecerdasan interpersonal secara tepat dan
benar, dengan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadis serta menggunakan
teknik-teknik tertentu
B. Terapi Sabar
Dalam kamus, istilah terapi harus dicari dari
kata "therapeutic" yang berarti
sebuah kata sifat yang mencakup unsur-unsur atau nilai-nilai pengobatan. Jika diakhiri dengan
"s" (therapeutics), maka istilah ini menjadi kata benda yang merujuk pada ilmu pemeriksaan
dan pengobatan. Definisi seperti ini lebih akurat dalam mengartikan istilah
terapi dalam konteks penelitian ini, karena jika hanya merujuk pada kata therapy
dalam bahasa Inggris, maka maknanya menjadi lebih terbatas, hanya merujuk pada
pengobatan secara fisik
Istilah "therapy"
dalam bahasa Inggris bermakna pengobatan dan penyembuhan, sementara dalam
bahasa Arab, terapi sepadan dengan "al-Istisyfa" yang berasal
dari kata "syafa-yasfi-syifa" yang berarti menyembuhkan.
Terapi juga dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan terencana untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
oleh klien dengan tujuan memulihkan, menjaga, dan meningkatkan kondisi klien
agar akal dan hatinya berada dalam posisi yang seimbang
Menurut bahasa, Sabar (al-shabru)
berarti menahan diri dari keluh kesah. Bersabar berarti berupaya sabar. Ada
juga al-shibru yang mengacu pada obat yang sangat pahit, yakni sari
pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya untuk bersabar. Bulan sabar
merujuk pada bulan puasa. Beberapa orang berpendapat bahwa kalimat sabar
bermakna keras dan kuat. Al-Shibru mengacu pada obat yang sangat pahit
dan tidak enak. Al Ushmu'i menyatakan bahwa jika seseorang menghadapi kesulitan
secara bulat, itu berarti ia menghadapinya dengan sabar. Ada juga Al-Shubru
yang mengacu pada tanah yang subur karena kerasnya. Terdapat juga pendapat
bahwa, "Sabar" berasal dari kata-kata seperti mengumpulkan, memeluk,
atau merangkul. Hal ini dikarenakan, orang yang sabar mampu merangkul atau
memeluk dirinya dari keluhan atau kesulitan. Selain itu, kata "shabrah"
juga dapat merujuk pada makanan. Secara umum, sabar memiliki tiga makna, yaitu
menahan, tegar, mengumpulkan, atau merangkul, sedangkan kebalikannya adalah
keluhan atau kesulitan
Dapat disimpulkan bahwa,
terapi sabar merupakan suatu teknik psikoterapi yang dimanfaatkan pada bidang
kesehatan mental untuk membantu mengidentifikasi, mendefinisikan, serta
menaklukkan kesulitan psikologis dan interpersonal yang dihadapi oleh individu,
dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini, sabar terapi mengajarkan individu untuk menghindari
keluhan yang tidak perlu, menahan diri dari mengeluh, dan mengendalikan emosi
mereka.
Terapi sabar dapat
dilakukan dengan sering melakukan meditasi kurang lebihnya 5-10 menit, dan bisa
ditambah waktu meditasi ini
setelah melakukan sholat wajib. Meditasi ini dilakukan untuk mencari ketenangan
hati dan pikiran kita dengan memanfaatkan kenikmatan yang Allah berikan kepada
kita. Meditasi ini dimulai dengan membaca bismillah diiringi dengan tarik nafas
yang dalam, dilanjut membaca istighfar, dan berzikir untuk memuji Allah dengan
mengosongkan pikiran dan hanya memasrahkan diri kita kepada Allah.
Setelah menjalankan
meditasi, langkah selanjutnya adalah melanjutkan terapi dengan mempraktikkan
metode yang disarankan oleh Muhammad Ramadan agar dapat mengembangkan sifat
sabar, antara lain:
1.
Mempercayai keputusan Allah, selalu memiliki
sikap positif terhadap Allah dengan meyakinkan bahwa Allah tidak akan
memberikan ujian yang tidak dapat diatasi oleh umat-Nya, karena Allah Maha
Pengasih dan Penyayang.
2.
Menerima ketentuan Allah dengan lapang dada, dan
mengingat bahwa kita hidup karena kehendak Allah, dan pada akhirnya kita akan
kembali kepada-Nya.
3.
Berusaha dan berdoa, tidak hanya menunggu takdir
Allah, tetapi juga harus berusaha semaksimal mungkin agar kita dapat menjadi
lebih baik. Selain itu, kita juga harus berdoa dan memohon kepada Allah untuk
kesembuhan kita. Berdoa dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangannya, seperti menunaikan sholat lima waktu tepat waktu, membaca
Al-Qur'an, dan mengikuti sunnah seperti shalat Dhuha, shalat Tahajud, shalat
sunnah ba'diah dan qobliyah, puasa Senin-Kamis, sedekah, dan lain sebagainya.
4.
Percayalah pada pertolongan Allah, karena segala
sesuatu tergantung pada kehendak Allah.
5. Terus berlatih menjadi
pribadi yang sabar, jangan pernah putus asa, karena Allah yang mengetahui yang
terbaik untuk umat-Nya. Kita harus terus meningkatkan ibadah kita kepada Allah
dan menjaga keistiqomahan. Melalui puasa, kita dapat melatih kesabaran, menahan
keinginan, dan menundukkan hawa nafsu.
C. Emosi Negatif
Menurut Mohammad Ali
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi
adalah respons saat kita berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan sekitar. Respons ini dapat membangun atau merusak, tergantung pada
efeknya. Emosi positif menghasilkan efek membangun, sedangkan emosi negatif
menghasilkan efek merusak. Oleh karena itu, emosi negatif dapat diartikan
sebagai segala bentuk perasaan dan pikiran negatif yang timbul sebagai respons
terhadap sesuatu. Oleh karena itu, penting untuk mengendalikan emosi negatif
agar kehidupan dapat lebih terarah.
Menurut Descartes, sejak
lahir manusia memiliki enam emosi dasar, yakni cinta, kebahagiaan, keinginan,
kebencian, kesedihan, dan kagum. Meskipun emosi-emosi tersebut sangat kompleks,
namun yang termasuk ke dalam emosi negatif adalah:
1. Marah
Marah ialah perasaan yang paling umum terdengar dalam
percakapan sehari-hari, bahkan sering disebut sebagai "emosi" dengan
konotasi negatif. Terdapat banyak tindakan yang dapat terjadi ketika seseorang
merasakan kemarahan, mulai dari menarik diri atau menghindar, hingga perilaku
agresif yang dapat menyakiti atau mengancam jiwa orang lain. Pemicu kemarahan
juga beraneka ragam, dari hal-hal sepele hingga yang sangat berat.
2. Benci dan dendam
Ada sensasi tidak nyaman yang pernah dirasakan oleh
setiap individu, yaitu rasa benci. Rasa benci adalah sensasi tidak menyukai
seseorang atau sesuatu, yang diikuti dengan ketidaksediaan untuk menghadapi
orang atau objek tersebut. Rasa benci dapat muncul akibat kekecewaan atau
kemarahan yang tertahan. Rasa benci dapat tertanam dalam hati dan
perlahan-lahan berkembang menjadi rasa dendam.
3. Perasaan gelisah, khawatir, dan cemas
Perasaan gelisah dan kekhawatiran adalah emosi yang
hampir sama. Subyek dari rasa ketakutan seringkali jelas, seperti misalnya
seorang suami yang menunggu kelahiran anaknya; ia merasa takut dan gelisah,
berjalan mondar-mandir di ruangan. Saat merasa takut, terdapat unsur
kekhawatiran. Kekhawatiran timbul dari perasaan takut, bukan karena adanya
bahaya yang jelas, melainkan terhadap sesuatu yang belum diketahui. Karena itu,
unsur pemikiran terkandung di dalamnya. Jika rasa kekhawatiran tidak
dikendalikan, maka dapat berkembang menjadi kecemasan. Maka, kecemasan dapat
dianggap sebagai bentuk kelanjutan dari rasa kekhawatiran. Rasa cemas adalah
kekhawatiran dengan perasaan takut yang lebih dominan. Jika rasa kekhawatiran
dan cemas tidak memiliki subyek yang jelas, maka hal tersebut dikenal sebagai
pikiran buruk yang tidak rasional dan dapat membentuk kondisi kegelisahan, yang
dapat berupa fobia, neurosis, dan obsesif kompulsif.
4. Perasaan sedih dan depresi
Perasaan sedih merupakan perasaan akibat kehilangan,
kegagalan, dan kecewa yang masih menunjukkan adanya peluang untuk menemukan
solusi dengan perilaku yang pantas. Sedangkan depresi merupakan perasaan akibat
kehilangan, kegagalan, dan kecewa yang tidak lagi menampakkan jalan keluar yang
memuaskan dengan perilaku yang tidak normal.
5. Perasaan stress
Stres bisa terjadi akibat tuntutan terhadap diri sendiri,
seperti pada seorang perfeksionis. Beberapa orang menghabiskan hidupnya dengan
berusaha memuaskan setiap orang atau bahkan mengungguli mereka. Hal ini
menciptakan tekanan dan tuntutan yang sangat besar pada diri sendiri agar dapat
mencapai kesempurnaan dan diterima secara penuh.
Dalam karya tulis Dr. Akram Ridha, disebutkan beberapa
elemen yang memengaruhi perubahan suasana hati remaja, seperti:
1. Gejolak keteladanan
Contohnya, meskipun remaja sering mengabaikan tanggung
jawab agamanya, ia merasa bingung dengan perilaku inkonsistensi orang dewasa.
Kesehatan mentalnya sangat dipengaruhi oleh situasi beberapa orang dewasa yang banyak
berbicara tanpa tindakan, atau ketika ia menyaksikan perilaku tidak etis dari
orang dewasa.
2. Minimnya skill
Pengalaman seorang remaja tidak melebihi masa kecilnya.
Faktor ini disebabkan oleh semangat yang dirasakan yang mungkin lebih besar
daripada kapasitasnya. Akibatnya, seringkali dia tidak dapat
mengimplementasikan rencananya
dengan tepat.
3. Minimnya pengakuan
Remaja sering merasa bahwa semua orang memperlakukannya
seperti orang yang baru saja lahir.
4. Minimnya pemenuhan kebutuhan
Contohnya: Memenuhi kebutuhan biologis, ekonomi,
aktivitas, dan seksualitas yang terkadang tidak sejalan dengan norma-norma yang
berlaku, baik itu norma agama maupun tradisi.
5. Tekanan sosial
Tekanan tersebut terdiri dari keterikatan pada
norma-norma yang ia anggap sebagai penghalang bagi kebebasannya dalam
berekspresi dan berkreasi. Sang remaja tidak memahami makna kebebasan yang
terukur dan terbatas. Baginya, kebebasan berarti ia harus dapat melakukan
apapun yang diinginkannya kapan saja.
6.
Kegagalan dalam menjalin hubungan dengan lawan
jenis
Gagal dalam membangun hubungan dengan pasangan lawan
jenis. Ini meliputi kesulitan dalam berkolaborasi dengan individu lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan sesi konseling
yang telah dilakukan oleh konselor, dapat disimpulkan bahwa hasil proses
pelaksanaan konseling islam melalui terapi sabar
dapat digunakan dalam mengatasi emosi negatif pada seorang remaja. Hasil dari
tiga kali pertemuan dengan konseli, menunjukkan bahwa konseli sudah menemukan
ketenangan dalam dirinya dengan cara memperbanyak istighfar,
mengingat Allah, dan memperbaiki kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan
sang pencipta.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, M., & Asrori, M. (2004). Psikologi
Remaja Perkembangan Peserta Didik. Bumi Aksara.
Amin, M., Fridani,
L., & Marjo, H. K. (2019). Penerapan Pendekatan
Konseling Islami Untuk Meningkatkan Kecerdasan Interpersonal
Peserta Didik SMA Negeri 15 Jakarta. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 5(2), 194.
Baqi, S. Al. (2015). Ekspresi Emosi
Marah. Buletin Psikologi, 23(1), 22.
Dardiono. (2011). Hemat Emosi Strategi Meraih Keberhasilan dan
Kebahagiaan yang Optimal. Bhuana Ilmu Populer.
Fatimatuzzahroh, S., & Muhid, A. (2022).
Efektivitas Penerapan Bimbingan Konseling Islami Mengatasi Permasalahan Siswa
Dalam Proses Belajar: Literature Review.
PD ABKIN JATIM Open Journal System, 2(2),
29.
Lewis, M., & Haviland-Jones, J. M.
(2000). Handbook of
Emotion (2nd Edition).
The Guilford Press.
Lubis, L. (2021). Konseling dan
Terapi Islami. Perdana Publishing.
Manz, C. C. (2007). 5 Langkah Menata Emosi Untuk Merasa
Lebih Baik Setiap Hari. Gramedia Pustaka Utama.
Mappiare, A. (2006). Kamus Istilah Konseling dan Terapi. RajaGrafindo Persada.
Muzaki, & Saputra, A. (2019).
Konseling Islami: Suatu Alternatif bagi Kesehatan Mental. Prophetic:
Professional, Empathy and
Islamic Counseling Journal,
2(2), 215.
Nasution, A. F. (2023). Metode
Penelitian Kualitatif. CV. Harfa Creative.
Pedak, M. (2009). Metode Super
Nol Menaklukkan Stress. Hikmah.
Rabbi, M., & Jauhari, M. (2006). Keistimewaan Akhlak
Islami, terj. Dadang Sobar
Ali. Pustaka Setia.
Rahmadhani, S., & Siregar, A.
(2023). Pengaruh Konseling Islami Terhadap Peningkatan Religiositas Siswa. Hikmah,
20(1), 2.
Ramadhan, M. (2016). Mukjizat
Sabar Syukur Iklas Rumus Bahagia Dunia Akhirat. Mueeza.
Ridha, A. (2006). Manajemen
Gejolak, Panduan Ampuh Orangtua Mengelola Gejolak
Remaja. Syaamil Cipta Media.
Sholihin, M. (2004). Terapi
Sufistik. Pustaka Setia.
Sudjana, N., & Ibrahim. (1989). Penelitian dan Penilaian
Pendidikan. Sinar Baru.
Sugiyono, & Hariyanto. (2012). Belajar
dan Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya Offset.
Sundari, S. (2005). Kesehatan
Mental Dalam Kehidupan. Rineka Cipta.