Konseling Islam Melalui Terapi Sabar Dalam Mengatasi Emosi Negatif Pada Seorang Remaja di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar

 

Islamic Counseling Through Patient Therapy in Overcoming Negative Emotions in a Teenager in Kepanjenkidul District, Blitar City

 

1)* Ahmad Fauzi Nurrohman

1 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Indonesia

 

Email: [email protected]

*Correspondence: 1)* Ahmad Fauzi Nurrohman

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i7.2702

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas konseling Islam melalui terapi sabar dalam mengatasi emosi negatif pada remaja. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar, dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah seorang remaja akhir berusia 21 tahun yang mengalami kesulitan dalam mengelola emosi negatif. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi sabar mampu membantu subjek dalam mengurangi dan mengontrol emosi negatifnya. Proses terapi dimulai dengan identifikasi masalah, diagnosa, pemberian terapi berupa meditasi, istighfar, dan peningkatan ibadah, hingga evaluasi perkembangan subjek. Dalam setiap sesi konseling, subjek diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengembangkan kebiasaan positif, dan melatih kesabaran melalui refleksi spiritual. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konseling Islam dengan pendekatan terapi sabar efektif dalam membantu subjek meredakan emosi negatif, meningkatkan kesadaran spiritual, dan membangun pola pikir positif. Penelitian ini merekomendasikan implementasi terapi sabar dalam pendekatan konseling Islami sebagai upaya penanganan masalah psikologis berbasis nilai-nilai agama.

 

Kata kunci: Konseling Islam; Terapi Sabar; Emosi Negatif

 

 

ABSTRACT

This study aims to examine the effectiveness of Islamic counseling through patient therapy in overcoming negative emotions in adolescents. This research was carried out in Kepanjenkidul District, Blitar City, with a qualitative approach. The study subject was a late 21-year-old adolescent who had difficulty managing negative emotions. Data collection techniques include observation, interviews, and documentation, while data analysis is carried out descriptively. The results of the study showed that patient therapy was able to help subjects reduce and control their negative emotions. The therapy process begins with problem identification, diagnosis, therapy in the form of meditation, istighfar, and increasing worship, to evaluation of the subject's development. In each counseling session, the subject is directed to draw closer to God, develop positive habits, and practice patience through spiritual reflection. The findings of this study show that Islamic counseling with a patient therapy approach is effective in helping subjects relieve negative emotions, increase spiritual awareness, and build a positive mindset. This study recommends the implementation of patient therapy in the Islamic counseling approach as an effort to handle psychological problems based on religious values.

 

Keywords: Islamic Counseling; Patient Therapy; Negative Emotions

 

 

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang hidup dalam kebersamaan, dan setiap orang tidak dapat menghindari interaksi sosial dengan orang lain. Setiap interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang menimbulkan perasaan dalam diri individu tersebut. Perasaan tersebut kemudian akan mempengaruhi sikap dan pemikiran individu sehingga individu mampu bertindak sesuai dengan keinginannya (Lewis & Haviland-Jones, 2000). Misalnya, putus cinta pada remaja dapat menimbulkan perasaan sedih sehingga remaja tersebut cenderung menarik diri atau murung, bahkan terinjak kaki pun dapat menimbulkan perasaan marah.

Perkembangan emosi dimulai sejak lahir, dan rangsangan adalah pemicunya. Pengalaman sehari-hari yang dihadapi individu dapat meningkatkan kepekaan emosi dan kemampuan dalam mengekspresikannya. Pada masa kanak-kanak, sulit untuk membedakan ekspresi emosi. Misalnya, tangisan pada anak atau bayi bisa berarti rasa marah, lapar, takut, dan lain sebagainya. Semakin besar atau dewasa, anak belajar untuk mengekspresikan emosi di masyarakatnya dan membedakan rangsangan dari lingkungannya. Emosi tampak dari luar sebagai perilaku yang sesuai dengan norma yang dipelajari dari masyarakat. Pengalaman sangat mempengaruhi perkembangan dan kematangan emosi. Orang yang memiliki banyak pengalaman positif tentu akan memiliki perkembangan dan kematangan emosi yang berbeda dengan mereka yang kurang mengalami pengalaman positif (Sundari, 2005).

Goleman menguraikan bahwa secara prinsip emosi mendasar manusia mencakup rasa takut, kemarahan, kesedihan, dan kegembiraan. Sutanto menambahkan malu, perasaan bersalah, dan kecemasan sebagai emosi dasar manusia yang sama pentingnya. Emosi-emosi ini memiliki dampak yang signifikan tidak hanya pada perilaku saat ini, tetapi juga perilaku di masa depan, terutama emosi-emosi yang negatif. Kemarahan sendiri merupakan respons terhadap hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan atau tindakan. Kemarahan yang timbul seringkali ditandai dengan berbagai ekspresi perilaku (Baqi, 2015).

Banyak orang, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, mengalami kesulitan mengungkapkan kemarahan mereka secara lisan. Meskipun mereka menyadari bahwa perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial terjadi setiap kali mereka mengekspresikan kemarahan, namun mereka tidak mampu menghindarinya. Kondisi ini disebut emotionally illiterate (buta emosi) atau kurangnya kemampuan untuk memahami perasaan serta kesulitan dalam mengekspresikan kemarahan secara tepat dan dapat diterima secara sosial.

Hal ini juga dialami salah satu seorang konseli yang juga memiliki permasalahan yang berhubungan dengan emosi negatif yang dimilikinya. Ketika menghadapi sebuah permasalahan, konseli ini susah untuk mengurangi atau mengontrol emosi negatifnya. Akibatnya ia sering melempar dan menghancurkan barang yang ada di sekitarnya. Lama kelamaan konseli ini merasa dirinya capek dan ingin segera bisa mengontrol emosi negatifnya. Akhirnya ia memutuskan datang ke konselor yang kebetulan adalah penulis sendiri. Dan disini penulis merasa bahwa terapi sabar cocok untuk mencoba membantu mengatasi permasalahan yang dialami oleh konseli ini. Karena menurut penulis, terapi sabar bisa membantu untuk menenangkan konseli dan membantu konseli untuk mengingat Allah atas apa yang akan ia lakukan ketika menghadapi masalah dengan cara beristighfar, melakukan kewajiban-kewajiban yang berhubungan langsung dengan sang Pencipta, dan melakukan kegiatan sunnah lainnya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Salsabila Sajida Nufus, dkk dengan judul penelitian �Terapan Terapi Sabar Untuk Mengatasi Stres Akademik di Kalangan Remaja Pada Masa Pandemi� menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa menerapkan terapi sabar, seperti pengendalian diri, menerima kenyataan, istiqomah, tidak mudah putus asa, bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa, serta mengendalikan emosi, dapat dijadikan alternatif yang sangat cocok diterapkan di kalangan remaja untuk menghadapi stres akademik selama pandemi. Dengan terapi ini, diharapkan remaja dapat semakin meningkatkan kemampuan mengelola stres akademik sehingga mereka tetap produktif meskipun dalam situasi pandemi.

Menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad Fitra Rasyadi dan Mustahar Ali Wardana dengan judul penelitian �Konseling Islam Melalui Terapi Berpikir Positif untuk Mengelola Stres Ketua Himpunan dan Organisasi� menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa Konseling Islam melalui terapi berpikir positif yang dilakukan antara konselor dan konseli dapat dikatakan berhasil karena kedua konseli mengalami perubahan terkait pikiran negatif yang sebelumnya mereka miliki. Konselor melaksanakan konseling dengan tahapan yang sesuai dengan teknik komunikasi konseling. Meskipun konseli merasakan perubahan signifikan sebelum dan sesudah konseling, masih ada beberapa masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan karena keterbatasan konselor.

Dari penjelasan di atas, peneliti mengambil sebuah hipotesis bahwasanya konseling islam melalui terapi sabar dapat mengatasi emosi negatif pada seorang remaja dan juga penggunaan konseling islam melalui terapi sabar belum banyak dilakukan dalam mengatasi emosi negatif pada seorang remaja. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul, �Konseling Islam Melalui Terapi Sabar dalam Mengatasi Emosi Negatif Pada Seorang Remaja di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar�.

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang yang diteliti (Sugiyono & Hariyanto, 2012). Metode penelitian mengandung prosedur dan cara melakukan verifikasi data yang diperlukan untuk memecahkan atau menjawab masalah penelitian. Peran metodologi sangat diperlukan untuk menghimpun data dalam penelitian. Dengan kata lain, metode penelitian akan memberikan petunjuk tentang bagaimana penelitian dilakukan (Sudjana & Ibrahim, 1989).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.Moleong menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang memiliki tujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, serta dengan menggunakan berbagai metode alamiah untuk menghasilkan konteks khusus dan alami (Nasution, 2023). Subjek dalam penelitian ini merupakan seorang remaja akhir berusia 21 tahun berdomisili di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar yang susah untuk mengatur emosi negatif. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan konseli. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dengan menggunakan penelitian kualitatif, maka hasil yang akan dijelaskan berupa analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif memberikan gambaran dan keterangan yang secara jelas, objektif, sistematis, analisis dan kritis mengenai gambaran serta penjelasan tentang konseling islam melalui terapi sabar dalam mengatasi emosi negatif pada seorang remaja di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berikut ini merupakan proses pelaksanaan konseling islam melalui terapi sabar dalam mengatasi emosi negatif pada seorang remaja di Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar:

A.  Identifikasi Masalah

Tahap pertama dalam pelaksanaan konseling adalah tahap identifikasi masalah. Tahap identifikasi masalah ini bertujuan agar konselor mampu menggali data sebanyak mungkin dari permasalahan yang dialami oleh konseli. Berdasarkan identifikasi masalah yang dilakukan oleh konselor, maka konselor dapat mengetahui permasalahan yang dialami oleh konseli. Dalam tahapan ini konselor mendapatkan data tentang permasalahan yang dialami oleh konseli melalui proses observasi dan wawancara, hasilnya sebagai berikut: pertama, konseli mengaku kepada konselor bahwasanya ia memang memiliki sifat pemarah sejak ia kecil. Hal tersebut diakuinya karena memang itu adalah hasil turunan dari ayahnya yang juga pemarah. Tetapi, sifat pemarah konseli tidak sama halnya dengan ayahnya. Ia marah hanya disaat-saat tertentu saja. Semisal ia mengalami masalah keluarga, tugas di kampus, ataupun masalah percintaan.

Kedua, konseli juga mengaku bahwa ketika dirinya mengalami sebuah masalah, tidak ada orang yang mau untuk peduli dan mendengarkan ceritanya. Padahal ia sangat membutuhkan seseorang untuk mendengarkan ceritanya, dan menenangkannya ketika emosi.Ketiga, ketika konseli ini sendirian waktu emosi, ia sering marah-marah sendiri dan juga suka membanting atau merusak barang yang ada di sekitarnya, tak jarang juga ia menangis sendirian.

Dari beberapa hal yang sudah dijelaskan, konseli merasa capek karena ia menganggap bahwa dirinya tidak bisa mengontrol amarahnya ketika menghadapi masalah, dan cenderung bikin kegaduhan sendiri karena membanting barang yang ada di sekitarnya sehingga orang di sekitarnya pun merasa terganggu. Akhirnya, konseli ini merasa bahwa dirinya membutuhkan bantuan seorang konselor untuk membantu dirinya agar mengurangi atau kalau bisa mengontrol emosinya.

B.  Diagnosa

Berdasarkan identifikasi masalah yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwasanya konseli mengalami kesulitan dalam mengurangi atau mengontrol emosi negatifnya. Penyebab adanya permasalahan tersebut adalah konseli merasa bahwa ia sendirian dalam menghadapi masalah yang dialaminya, dan orang di sekitarnya pun tidak mau mendengarkan keluh kesah tentang permasalahannya. Adapun gejala-gejalanya, antara lain:

1.   Konseli lebih sering melamun

2.   Konseli cenderung menutup diri untuk orang lain

3.   Konseli suka menyendiri

C.  Prognosa

Setelah melakukan diagnosa, langkah yang dilakukan konselor selanjutnya adalah memilih dan menetapkan bantuan yang akan diberikan kepada konseli. Disini bantuan yang akan diberikan kepada konseli adalah sebuah terapi sabar untuk membantu mengurangi atau mengontrol emosi negatif yang ada pada diri konseli. Terapi ini dipilih dengan tujuan agar konseli lebih mengendalikan emosinya, menghadapi masalahnya tanpa harus mengeluarkan emosi, dan juga agar konseli lebih menahan diri mengeluh.

Alasan lain dipilihnya terapi ini adalah mengajak konseli agar ia tidak merasa sendirian dan mengingat Allah dalam menghadapi masalah. Ketika ia tidak mempunyai teman untuk mendengarkan ceritanya, ia masih memiliki Allah yang senantiasa mau menerima ceritanya dan bahkan Allah sudah punya caranya sendiri dalam membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami konseli.

D.  Terapi atau Treatment

Langkah selanjutnya adalah melakukan jenis bantuan yang telah dipilih pada tahap sebelumnya. Berikut adalah penerapan terapi yang dilakukan oleh konselor kepada konseli:

1.   Pertemuan Pertama

Pada pertemuan pertama, konselor dan konseli melakukan sesi konseling seperti pada umumnya. Disini konselor berusaha menggali informasi atau data dari konseli mengenai permasalahan yang sedang ia alami. Dan konselor menemukan permasalahan yang sedang dialami oleh konseli. Permasalahan yang dialami konseli adalah kesulitan dalam mengurangi atau mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya.

Setelah konseli mengeluarkan semua perasaan yang ia rasakan, konselor mencoba untuk menenangkan konseli. Konselor mencoba untuk menanamkan kesabaran pada diri konseli, dengan cara mengajak konseli mengingat Allah melalui bacaan istighfar, serta menyuruh konseli untuk meditasi sebentar. Meditasi yang dilakukan adalah dengan memejamkan mata selama 5-10 menit dan mengontrol pernapasan. Meditasi disini bertujuan untuk menenangkan hati dan pikiran konseli sejenak.

Sesudah melakukan meditasi, dan konseli mulai tenang, konselor mencoba menanyakan kebiasaan konseli ketika di rumah. Mulai dari kebiasaan mengaji, sholat wajib 5 waktu, dan juga sholat sunnah lainnya. Konseli pun menjawab bahwasanya ia jarang melakukan kegiatan tersebut. Ia jarang mengaji, dan sholat wajib masih bolong-bolong. Disini konselor mencoba untuk mengajak konseli agar konseli mau memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang ditinggalkan tersebut. Konselor juga menjelaskan bahwasanya mungkin saja permasalahan yang dihadapi konseli ini disebabkan karena kurang dekatnya hubungan konseli dengan sang pencipta. Konseli pun memahami akan hal tersebut.

Di pertemuan pertama ini sesi konseling berjalan cukup singkat karena konselor khawatir jika sesi konseling pertama saja sudah memakan waktu yang lama akan membuat konseli tersinggung dan bosan. Di akhir pertemuan pertama ini, konselor memberi tugas rumah kepada konseli. Tugas yang diberikan kepada konseli yaitu berupa meditasi selama 5-10 menit setiap pagi hari, agar konseli bisa merasakan ketenangan, kemudian konseli diminta untuk sholat wajib dengan tepat waktu, serta meminta konseli untuk meluangkan waktu sedikit untuk mengaji. Tugas ini diberikan agar konseli berusaha belajar memperbaiki diri dan mendekatkan diri dengan sang pencipta.

2.   Pertemuan Kedua

Di pertemuan kedua, konseli mendatangi kediaman konselor dengan membawa sebuah cerita baru. Konseli bercerita bahwa setelah pertemuan pertama, konseli berusaha untuk melaksanakan tugas rumah yang diberikan, dan memang benar ada sedikit perubahan setelah melakukan tugas rumahnya dan ia merasakan sedikit ketenangan dalam dirinya. Namun ia masih sering merasakan kalau amarahnya ini gampang keluar.

Konselor pun mencoba membantu menenangkan konseli. Sembari menenangkan konseli, konselor bertanya-tanya tentang tugas rumah yang sudah dikerjakan oleh konseli. Konseli pun bercerita tentang apa saja yang sudah ia lakukan, mulai dari sholat wajib yang sudah dikerjakan, walaupun tidak tepat waktu setidaknya konseli mau dan berhasil menjaga sholat wajibnya tidak bolong. Konseli lanjut bercerita kalau ia sudah mau meluangkan sedikit waktunya untuk mengaji, dan meditasi sudah ia lakukan.

Kemudian konselor bertanya kepada konseli, mengapa ia masih gampang keluar amarahnya padahal sudah merasakan sedikit ketenangan setelah mengerjakan tugas rumah. Ternyata konseli ini masih suka mengingat-ingat masalah yang dulu pernah ia alami dan ia alami sekarang. Akhirnya konseli pun kembali emosi dan kebiasaan buruknya keluar, yaitu dengan melempar atau menghancurkan barang yang ada di sekitarnya.

Disini konselor mencoba untuk menyadarkan konseli, bahwa tindakan tersebut sebenarnya merugikan diri sendiri dan orang di sekitarnya. Merugikan diri sendiri karena tindakan tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali. Jika konseli melakukan tindakan tersebut hanya untuk sebuah kepuasan dalam pelampiasan emosi, maka konseli salah menganggap hal itu dan malah merugikan orang di sekitarnya yang terganggu akan kebisingan yang ia perbuat.

Selanjutnya konselor mengajak konseli untuk beristighfar atas semua yang telah dilakukan konseli ketika amarahnya muncul. Kemudian konselor mengingatkan konseli bahwa ketika ingin melampiaskan amarah, seharusnya ia ingat kembali ke Allah dengan cara istighfar. Konselor melatih kesabaran konseli dengan cara memperbanyak istighfar agar konseli terbiasa. Hal tersebut dilakukan konselor agar ketika emosi negatif konseli ini muncul, konseli menjadi terbiasa mengucapkan istighfar dan ingat kepada Allah, serta apa yang menjadi kebiasaan buruknya tidak ia lakukan lagi.

Di akhir sesi pertemuan kedua ini, konselor kembali memberikan tugas kepada konseli. Tugas yang diberikan yaitu sama seperti pertemuan pertama dan juga ditambah dengan sering mengucapkan istighfar agar senantiasa mengingat Allah dan ketika emosi negatifnya muncul kembali, konseli lebih siap untuk menahan dirinya agar tidak melakukan tindakan yang seharusnya tidak ia lakukan.

3.   Pertemuan Ketiga

Di pertemuan ketiga, sesi konseling berjalan cukup singkat. Konseli kembali melaporkan perkembangan yang sudah dialami ke konselor. Di pertemuan ketiga ini, konseli mengalami banyak sekali perkembangan. Konseli menjadi lebih tenang dan juga mulai bisa mengontrol emosi negatifnya. Kebiasaan buruknya ketika emosi negatifnya keluar pun mampu ia tahan dengan cara istighfar dan mengingat Allah atas apa yang akan ia lakukan. Konseli pun berjanji bahwa ia akanjauh lebih baik daripada dirinya yang sekarang, dan juga akan senantiasa beristighfar dan melakukan kegiatan-kegiatan positif untuk mengingatkan dirinya kepada sang Pencipta.

Di akhir sesi pun, konselor berpesan kepada konseli agar senantiasa menjaga dan mengontrol emosi negatifnya serta kebiasaannya buruknya ketika emosi. Dan juga konselor berpesan agar konseli senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan positif agar ketika ia merasa emosi negatifnya akan keluar, ia hanya perlu ingat kepada Allah agar hal yang tidak ia inginkan terjadi.

E.  Evaluasi dan Follow Up

Tahapan ini merupakan tahapan yang dilakukan seorang konselor untuk melihat sejauh mana bantuan yang diberikan konselor ini berhasil memberikan pengaruh atau perubahan kepada konseli atau tidak. Evaluasi yang dapat disimpulkan dari konselor yaitu awal permasalahan konseli dipicu karena konseli memiliki emosi negatif yang diduga turunan dari ayahnya sendiri, Seiring berjalannya waktu, emosi negatif dari konseli ini sering muncul dan diimbangi dengan pelemparan dan perusakan barang yang ada di sekitarnya. Dari permasalahan tersebut, konselor mendiagnosa bahwasanya konseli ini merasakan bahwa ia kesulitan dalam mengurangi atau mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya.

Konselor pun mencoba menawarkan sebuah bantuan berupa terapi sabar yang dilakukan setiap pertemuan atau sesi konseling dengan konseli. Disini konselor berharap dengan dilakukannya terapi sabar, konseli mampu untuk mengurangi atau mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya. Dalam setiap sesi konseling, konselor berusaha untuk membiasakan kepada diri konseli untuk senantiasa mengingat kepada Allah dengan cara beristighfar, yang dimulai dengan meditasi agar konseli mendapatkan ketenangan hati dan pikirannya sesaat. Konselor juga mengingatkan konseli agar memperbanyak kegiatan positif yang utamanya berhubungan dengan sang pencipta, seperti halnya mengaji, sholat wajib teapt waktu, dan juga amalan-amalan sunnah lainnya. Tak lupa konselor juga memberikan tugas rumah kepada konseli di setiap sesi agar konseli bisa merasakan perubahan yang ia alami.

Follow up dari konselor disini adalah konselor selalu berdoa yang terbaik untuk konseli, agar konseli senantiasa mengingat Allah ketika emosi negatifnya muncul secara tiba-tiba. Konselor juga berpesan bahwasanya tugas rumah yang sudah konseli lakukan untuk terus dipertahankan kalau perlu ditingkatkan lagi dan agar menjadi sebuah kebiasaan positif bagi konseli itu sendiri.

 

Pembahasan

A.  Konseling Islam

Konseling merupakan terjemahan dari istilah "counseling," yang berasal dari kata "councel" atau "to councel," yang berarti memberikan nasihat, bimbingan, atau saran secara langsung kepada orang lain. Oleh karena itu, konseling adalah proses pemberian nasihat secara individu yang dilakukan secara tatap muka oleh seseorang yang memiliki keahlian (konselor) kepada seseorang yang menghadapi masalah (konseli). Secara umum, konseling bertujuan untuk memberikan bantuan dalam mencari solusi atau upaya menyembuhkan seseorang yang mengalami masalah atau gangguan kejiwaan, seperti neurosis dan psikosis (Lubis, 2021).

Secara terminologi, para ahli memiliki beragam pandangan dalam mendefinisikan konseling. Menurut R. L. Wolberg, konseling adalah bentuk bantuan yang diberikan kepada individu untuk membantu mereka lebih memahami diri sendiri, sehingga mereka dapat mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan lingkungan atau memperbaiki masalah penyesuaian diri (Muzaki & Saputra, 2019). Konseling juga dapat diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu yang memerlukan bantuan dari seorang profesional (Rahmadhani & Siregar, 2023).

Konseling dalam pandangan Islam merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan arahan, pengajaran, serta pedoman kepada konseli guna mengembangkan potensi akal, mental, keimanan, dan keyakinan. Selain itu, kegiatan ini membantu mengatasi masalah yang berkaitan dengan kecerdasan interpersonal secara tepat dan benar, dengan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadis serta menggunakan teknik-teknik tertentu (Amin et al., 2019). Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan secara berkesinambungan kepada individu atau kelompok yang menghadapi masalah, baik secara fisik maupun spiritual, agar mereka dapat memahami diri sendiri, menemukan solusi atas masalah yang dihadapi, dan menjalani kehidupan yang selaras dengan ketentuan Allah (Fatimatuzzahroh & Muhid, 2022).

B.  Terapi Sabar

Dalam kamus, istilah terapi harus dicari dari kata "therapeutic" yang berarti sebuah kata sifat yang mencakup unsur-unsur atau nilai-nilai pengobatan. Jika diakhiri dengan "s" (therapeutics), maka istilah ini menjadi kata benda yang merujuk pada ilmu pemeriksaan dan pengobatan. Definisi seperti ini lebih akurat dalam mengartikan istilah terapi dalam konteks penelitian ini, karena jika hanya merujuk pada kata therapy dalam bahasa Inggris, maka maknanya menjadi lebih terbatas, hanya merujuk pada pengobatan secara fisik (Pedak, 2009).

Istilah "therapy" dalam bahasa Inggris bermakna pengobatan dan penyembuhan, sementara dalam bahasa Arab, terapi sepadan dengan "al-Istisyfa" yang berasal dari kata "syafa-yasfi-syifa" yang berarti menyembuhkan. Terapi juga dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan terencana untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh klien dengan tujuan memulihkan, menjaga, dan meningkatkan kondisi klien agar akal dan hatinya berada dalam posisi yang seimbang (Sholihin, 2004).

Menurut bahasa, Sabar (al-shabru) berarti menahan diri dari keluh kesah. Bersabar berarti berupaya sabar. Ada juga al-shibru yang mengacu pada obat yang sangat pahit, yakni sari pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya untuk bersabar. Bulan sabar merujuk pada bulan puasa. Beberapa orang berpendapat bahwa kalimat sabar bermakna keras dan kuat. Al-Shibru mengacu pada obat yang sangat pahit dan tidak enak. Al Ushmu'i menyatakan bahwa jika seseorang menghadapi kesulitan secara bulat, itu berarti ia menghadapinya dengan sabar. Ada juga Al-Shubru yang mengacu pada tanah yang subur karena kerasnya. Terdapat juga pendapat bahwa, "Sabar" berasal dari kata-kata seperti mengumpulkan, memeluk, atau merangkul. Hal ini dikarenakan, orang yang sabar mampu merangkul atau memeluk dirinya dari keluhan atau kesulitan. Selain itu, kata "shabrah" juga dapat merujuk pada makanan. Secara umum, sabar memiliki tiga makna, yaitu menahan, tegar, mengumpulkan, atau merangkul, sedangkan kebalikannya adalah keluhan atau kesulitan (Rabbi & Jauhari, 2006).

Dapat disimpulkan bahwa, terapi sabar merupakan suatu teknik psikoterapi yang dimanfaatkan pada bidang kesehatan mental untuk membantu mengidentifikasi, mendefinisikan, serta menaklukkan kesulitan psikologis dan interpersonal yang dihadapi oleh individu, dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, sabar terapi mengajarkan individu untuk menghindari keluhan yang tidak perlu, menahan diri dari mengeluh, dan mengendalikan emosi mereka.

Terapi sabar dapat dilakukan dengan sering melakukan meditasi kurang lebihnya 5-10 menit, dan bisa ditambah waktu meditasi ini setelah melakukan sholat wajib. Meditasi ini dilakukan untuk mencari ketenangan hati dan pikiran kita dengan memanfaatkan kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Meditasi ini dimulai dengan membaca bismillah diiringi dengan tarik nafas yang dalam, dilanjut membaca istighfar, dan berzikir untuk memuji Allah dengan mengosongkan pikiran dan hanya memasrahkan diri kita kepada Allah.

Setelah menjalankan meditasi, langkah selanjutnya adalah melanjutkan terapi dengan mempraktikkan metode yang disarankan oleh Muhammad Ramadan agar dapat mengembangkan sifat sabar, antara lain:

1.   Mempercayai keputusan Allah, selalu memiliki sikap positif terhadap Allah dengan meyakinkan bahwa Allah tidak akan memberikan ujian yang tidak dapat diatasi oleh umat-Nya, karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang.

2.   Menerima ketentuan Allah dengan lapang dada, dan mengingat bahwa kita hidup karena kehendak Allah, dan pada akhirnya kita akan kembali kepada-Nya.

3.   Berusaha dan berdoa, tidak hanya menunggu takdir Allah, tetapi juga harus berusaha semaksimal mungkin agar kita dapat menjadi lebih baik. Selain itu, kita juga harus berdoa dan memohon kepada Allah untuk kesembuhan kita. Berdoa dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya, seperti menunaikan sholat lima waktu tepat waktu, membaca Al-Qur'an, dan mengikuti sunnah seperti shalat Dhuha, shalat Tahajud, shalat sunnah ba'diah dan qobliyah, puasa Senin-Kamis, sedekah, dan lain sebagainya.

4.   Percayalah pada pertolongan Allah, karena segala sesuatu tergantung pada kehendak Allah.

5.   Terus berlatih menjadi pribadi yang sabar, jangan pernah putus asa, karena Allah yang mengetahui yang terbaik untuk umat-Nya. Kita harus terus meningkatkan ibadah kita kepada Allah dan menjaga keistiqomahan. Melalui puasa, kita dapat melatih kesabaran, menahan keinginan, dan menundukkan hawa nafsu. (Ramadhan, 2016)

C.  Emosi Negatif

Menurut Mohammad Ali (Ali & Asrori, 2004), perasaan adalah respons terhadap suatu rangsangan yang mengakibatkan perubahan fisiologis dan diiringi dengan perasaan yang kuat serta berpotensi untuk meledak. Andi Mappiare (Mappiare, 2006) mengungkapkan bahwa emosi merupakan suatu pengalaman kompleks dalam kesadaran yang melibatkan sensasi mental dan ekspresi fisik yang mendorong individu untuk bertindak dengan cara tertentu.Ekhart Tolle dalam Charles C. Manz, emosi ialah cerminan dari pemikiran Anda yang termanifestasi dalam tubuh. (Manz, 2007)

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah respons saat kita berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Respons ini dapat membangun atau merusak, tergantung pada efeknya. Emosi positif menghasilkan efek membangun, sedangkan emosi negatif menghasilkan efek merusak. Oleh karena itu, emosi negatif dapat diartikan sebagai segala bentuk perasaan dan pikiran negatif yang timbul sebagai respons terhadap sesuatu. Oleh karena itu, penting untuk mengendalikan emosi negatif agar kehidupan dapat lebih terarah.

Menurut Descartes, sejak lahir manusia memiliki enam emosi dasar, yakni cinta, kebahagiaan, keinginan, kebencian, kesedihan, dan kagum. Meskipun emosi-emosi tersebut sangat kompleks, namun yang termasuk ke dalam emosi negatif adalah:

1.   Marah

Marah ialah perasaan yang paling umum terdengar dalam percakapan sehari-hari, bahkan sering disebut sebagai "emosi" dengan konotasi negatif. Terdapat banyak tindakan yang dapat terjadi ketika seseorang merasakan kemarahan, mulai dari menarik diri atau menghindar, hingga perilaku agresif yang dapat menyakiti atau mengancam jiwa orang lain. Pemicu kemarahan juga beraneka ragam, dari hal-hal sepele hingga yang sangat berat.

2.   Benci dan dendam

Ada sensasi tidak nyaman yang pernah dirasakan oleh setiap individu, yaitu rasa benci. Rasa benci adalah sensasi tidak menyukai seseorang atau sesuatu, yang diikuti dengan ketidaksediaan untuk menghadapi orang atau objek tersebut. Rasa benci dapat muncul akibat kekecewaan atau kemarahan yang tertahan. Rasa benci dapat tertanam dalam hati dan perlahan-lahan berkembang menjadi rasa dendam.

3.   Perasaan gelisah, khawatir, dan cemas

Perasaan gelisah dan kekhawatiran adalah emosi yang hampir sama. Subyek dari rasa ketakutan seringkali jelas, seperti misalnya seorang suami yang menunggu kelahiran anaknya; ia merasa takut dan gelisah, berjalan mondar-mandir di ruangan. Saat merasa takut, terdapat unsur kekhawatiran. Kekhawatiran timbul dari perasaan takut, bukan karena adanya bahaya yang jelas, melainkan terhadap sesuatu yang belum diketahui. Karena itu, unsur pemikiran terkandung di dalamnya. Jika rasa kekhawatiran tidak dikendalikan, maka dapat berkembang menjadi kecemasan. Maka, kecemasan dapat dianggap sebagai bentuk kelanjutan dari rasa kekhawatiran. Rasa cemas adalah kekhawatiran dengan perasaan takut yang lebih dominan. Jika rasa kekhawatiran dan cemas tidak memiliki subyek yang jelas, maka hal tersebut dikenal sebagai pikiran buruk yang tidak rasional dan dapat membentuk kondisi kegelisahan, yang dapat berupa fobia, neurosis, dan obsesif kompulsif.

4.   Perasaan sedih dan depresi

Perasaan sedih merupakan perasaan akibat kehilangan, kegagalan, dan kecewa yang masih menunjukkan adanya peluang untuk menemukan solusi dengan perilaku yang pantas. Sedangkan depresi merupakan perasaan akibat kehilangan, kegagalan, dan kecewa yang tidak lagi menampakkan jalan keluar yang memuaskan dengan perilaku yang tidak normal.

5.   Perasaan stress

Stres bisa terjadi akibat tuntutan terhadap diri sendiri, seperti pada seorang perfeksionis. Beberapa orang menghabiskan hidupnya dengan berusaha memuaskan setiap orang atau bahkan mengungguli mereka. Hal ini menciptakan tekanan dan tuntutan yang sangat besar pada diri sendiri agar dapat mencapai kesempurnaan dan diterima secara penuh. (Dardiono, 2011)

Dalam karya tulis Dr. Akram Ridha, disebutkan beberapa elemen yang memengaruhi perubahan suasana hati remaja, seperti:

1.   Gejolak keteladanan

Contohnya, meskipun remaja sering mengabaikan tanggung jawab agamanya, ia merasa bingung dengan perilaku inkonsistensi orang dewasa. Kesehatan mentalnya sangat dipengaruhi oleh situasi beberapa orang dewasa yang banyak berbicara tanpa tindakan, atau ketika ia menyaksikan perilaku tidak etis dari orang dewasa.

2.   Minimnya skill

Pengalaman seorang remaja tidak melebihi masa kecilnya. Faktor ini disebabkan oleh semangat yang dirasakan yang mungkin lebih besar daripada kapasitasnya. Akibatnya, seringkali dia tidak dapat mengimplementasikan rencananya dengan tepat.

3.   Minimnya pengakuan

Remaja sering merasa bahwa semua orang memperlakukannya seperti orang yang baru saja lahir.

4.   Minimnya pemenuhan kebutuhan

Contohnya: Memenuhi kebutuhan biologis, ekonomi, aktivitas, dan seksualitas yang terkadang tidak sejalan dengan norma-norma yang berlaku, baik itu norma agama maupun tradisi.

5.   Tekanan sosial

Tekanan tersebut terdiri dari keterikatan pada norma-norma yang ia anggap sebagai penghalang bagi kebebasannya dalam berekspresi dan berkreasi. Sang remaja tidak memahami makna kebebasan yang terukur dan terbatas. Baginya, kebebasan berarti ia harus dapat melakukan apapun yang diinginkannya kapan saja.

6.   Kegagalan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis

Gagal dalam membangun hubungan dengan pasangan lawan jenis. Ini meliputi kesulitan dalam berkolaborasi dengan individu lain. (Ridha, 2006)

 

KESIMPULAN

Berdasarkan sesi konseling yang telah dilakukan oleh konselor, dapat disimpulkan bahwa hasil proses pelaksanaan konseling islam melalui terapi sabar dapat digunakan dalam mengatasi emosi negatif pada seorang remaja. Hasil dari tiga kali pertemuan dengan konseli, menunjukkan bahwa konseli sudah menemukan ketenangan dalam dirinya dengan cara memperbanyak istighfar, mengingat Allah, dan memperbaiki kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan sang pencipta.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., & Asrori, M. (2004). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Bumi Aksara.

Amin, M., Fridani, L., & Marjo, H. K. (2019). Penerapan Pendekatan Konseling Islami Untuk Meningkatkan Kecerdasan Interpersonal Peserta Didik SMA Negeri 15 Jakarta. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 5(2), 194.

Baqi, S. Al. (2015). Ekspresi Emosi Marah. Buletin Psikologi, 23(1), 22.

Dardiono. (2011). Hemat Emosi Strategi Meraih Keberhasilan dan Kebahagiaan yang Optimal. Bhuana Ilmu Populer.

Fatimatuzzahroh, S., & Muhid, A. (2022). Efektivitas Penerapan Bimbingan Konseling Islami Mengatasi Permasalahan Siswa Dalam Proses Belajar: Literature Review. PD ABKIN JATIM Open Journal System, 2(2), 29.

Lewis, M., & Haviland-Jones, J. M. (2000). Handbook of Emotion (2nd Edition). The Guilford Press.

Lubis, L. (2021). Konseling dan Terapi Islami. Perdana Publishing.

Manz, C. C. (2007). 5 Langkah Menata Emosi Untuk Merasa Lebih Baik Setiap Hari. Gramedia Pustaka Utama.

Mappiare, A. (2006). Kamus Istilah Konseling dan Terapi. RajaGrafindo Persada.

Muzaki, & Saputra, A. (2019). Konseling Islami: Suatu Alternatif bagi Kesehatan Mental. Prophetic: Professional, Empathy and Islamic Counseling Journal, 2(2), 215.

Nasution, A. F. (2023). Metode Penelitian Kualitatif. CV. Harfa Creative.

Pedak, M. (2009). Metode Super Nol Menaklukkan Stress. Hikmah.

Rabbi, M., & Jauhari, M. (2006). Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali. Pustaka Setia.

Rahmadhani, S., & Siregar, A. (2023). Pengaruh Konseling Islami Terhadap Peningkatan Religiositas Siswa. Hikmah, 20(1), 2.

Ramadhan, M. (2016). Mukjizat Sabar Syukur Iklas Rumus Bahagia Dunia Akhirat. Mueeza.

Ridha, A. (2006). Manajemen Gejolak, Panduan Ampuh Orangtua Mengelola Gejolak Remaja. Syaamil Cipta Media.

Sholihin, M. (2004). Terapi Sufistik. Pustaka Setia.

Sudjana, N., & Ibrahim. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru.

Sugiyono, & Hariyanto. (2012). Belajar dan Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya Offset.

Sundari, S. (2005). Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Rineka Cipta.

 

� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).