Peran Media Sosial dalam Kampanye Politik di Indonesia Lima Tahun Terakhir: Antara Demokrasi dan Manipulasi Informasi

 

The Role of Social Media in Political Campaigns in Indonesia Over the Last Five Years: Between Democracy and Information Manipulation

 

1*) Ismail Zaky Al Fatih

Universitas Indonesia, Indonesia

 

Email: [email protected]

*Correspondence: Ismail Zaky Al Fatih

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i7.2611

ABSTRAK

Penggunaan media sosial dalam politik Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan sejak pemilu 2019. Platform digital ini telah mempercepat polarisasi opini publik dan memfasilitasi penyebaran hoaks serta propaganda politik. Berdasarkan studi literatur, penelitian ini menunjukkan bahwa media sosial telah mengubah lanskap politik dengan cara yang mendalam. Di satu sisi, media sosial telah mempermudah partisipasi politik masyarakat. Namun, di sisi lain, kemudahan akses dan penyebaran informasi telah dimanfaatkan untuk memanipulasi opini publik dan menghambat dialog yang konstruktif. Untuk menjaga integritas demokrasi, diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan literasi digital masyarakat dan menyusun regulasi yang efektif guna mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan.

 

Kata kunci: Media sosial, kampanye politik, demokrasi, manipulasi informasi, disinformasi, literasi digital, regulasi

 

 

ABSTRACT

The use of social media in Indonesian politics has evolved significantly since the 2019 elections. These digital platforms have accelerated the polarization of public opinion and facilitated the spread of hoaxes and political propaganda. Based on a literature review, this study shows that social media has profoundly transformed the political landscape. On the one hand, social media has facilitated greater public participation in politics. However, on the other hand, the ease of access and dissemination of information has been exploited to manipulate public opinion and hinder constructive dialogue. To safeguard democratic integrity, concerted efforts are needed to improve digital literacy among the public and develop effective regulations to prevent the spread of misleading information.

 

Keywords: Social media, political campaign, democracy, information manipulation, disinformation, digital literacy, regulation

 

 

PENDAHULUAN

Penggunaan media sosial dalam politik Indonesia telah mengalami perubahan besar sejak pemilu 2019. Di masa sebelumnya, kampanye politik cenderung bergantung pada media tradisional seperti televisi, radio, dan surat kabar untuk menjangkau pemilih. Namun, dengan berkembangnya platform digital seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok, kandidat politik, partai, serta tim kampanye mulai memanfaatkan media sosial sebagai alat utama dalam komunikasi politik. Evolusi ini telah memperluas jangkauan kampanye, tetapi di saat yang sama mempercepat polarisasi opini publik dan memfasilitasi penyebaran hoaks serta propaganda politik (Fahruji & Fahrudin, 2023).

Media sosial memungkinkan kampanye politik berjalan dengan lebih efisien dan langsung, karena kandidat dapat berkomunikasi langsung dengan pemilih tanpa perantara. Misalnya, pada pemilu 2019, banyak kandidat presiden dan partai politik menggunakan media sosial untuk menjangkau generasi muda yang lebih aktif di dunia digital (Saputra & Erowati, 2021). Studi menunjukkan bahwa kampanye melalui media sosial, terutama di kalangan pemilih muda, memberikan dampak signifikan terhadap perilaku pemilih. Pemilih dapat berinteraksi dengan kandidat melalui komentar, pesan langsung, atau "like," yang memberikan kesan kedekatan personal yang tidak mungkin tercapai melalui media tradisional (Maciej Serda et al., 2022). Kandidat seperti Ganjar Pranowo misalnya, memanfaatkan Instagram untuk mempromosikan dirinya sebagai figur yang dekat dengan masyarakat dalam Pilkada Jawa Tengah 2018. Media sosial memungkinkan konten visual seperti foto dan video untuk memperkuat citra pribadi dan pesan politik, menjadikannya lebih efektif dalam menjangkau pemilih (Maciej Serda et al., 2022).

Namun, perubahan ini tidak sepenuhnya positif. Platform media sosial tidak hanya digunakan untuk membangun citra kandidat, tetapi juga menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks dan disinformasi yang dirancang untuk memanipulasi opini publik. Kecepatan penyebaran informasi di media sosial, ditambah dengan algoritma yang memperkuat konten yang bersifat emosional atau sensasional, membuat pengguna lebih rentan terhadap berita palsu dan propaganda (Juditha, 2019). Hal ini menjadi lebih berbahaya ketika akun-akun anonim dan buzzer politik memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kampanye negatif yang menargetkan lawan politik. Buzzer ini sering kali membentuk narasi yang menyesatkan, memanipulasi fakta, dan menciptakan polarisasi yang lebih dalam di antara masyarakat (Putra, 2023).

Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019 dan Pilkada serentak tahun 2020, banyak akun-akun buzzer yang digunakan untuk membangun opini publik dan menyerang kandidat lawan. Beberapa studi mengindikasikan bahwa buzzer sering kali bertindak secara terkoordinasi, menyebarkan pesan-pesan yang sama dalam waktu singkat, sehingga memunculkan kesan bahwa narasi tersebut didukung oleh banyak orang (Dewi, 2021; Juditha, 2019). Ini menunjukkan bagaimana media sosial tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk manipulasi politik yang dapat merusak dialog demokratis yang sehat.

Lebih lanjut, penyebaran hoaks selama masa kampanye juga menjadi masalah besar dalam menjaga integritas proses pemilu. Hoaks politik sering kali dirancang untuk merusak reputasi kandidat, mengaburkan fakta, atau memprovokasi emosi publik dengan isu-isu sensitif seperti agama, etnis, atau nasionalisme. Temuan Anatasya et al. (2024) menunjukkan bahwa menjelang pemilu 2024, lebih dari 1.100 hoaks terkait pemilu telah terdeteksi oleh Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia), yang semakin menegaskan urgensi untuk mengatasi fenomena ini sebelum pemilu berikutnya. Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) juga mengidentifikasi beberapa daerah yang paling rentan terhadap penyebaran hoaks, menunjukkan bahwa masalah ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan penyelenggara pemilu (Anatasya Andriarti et al., 2024).

Selain itu, kehadiran buzzer politik telah menjadi bagian dari strategi kampanye digital yang memanfaatkan keterhubungan jaringan media sosial. Menurut penelitian Dewi (2021), buzzer sering kali menggunakan akun palsu dan bot untuk memperkuat narasi tertentu, menyebarkan propaganda, atau menyerang lawan politik. Fenomena ini membuat pengawasan terhadap konten kampanye di media sosial menjadi sangat sulit, karena penyebaran informasi dapat terjadi dengan sangat cepat dan luas, serta sering kali tanpa identitas jelas dari pihak yang menyebarkan. Dengan demikian, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat kampanye yang positif, tetapi juga sebagai medium untuk manipulasi politik yang memicu ketegangan di masyarakat (Dewi, 2021).

Tantangan lainnya adalah kemampuan media sosial untuk memperkuat polarisasi politik di kalangan masyarakat. Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan preferensi pengguna, yang sering kali memperkuat opini yang sudah mereka miliki. Hal ini menciptakan fenomena "echo chamber," di mana pengguna hanya terekspos pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri, sementara pandangan yang berlawanan diabaikan. Studi Dwitama et al. (2022) menunjukkan bahwa media sosial berperan dalam meningkatkan partisipasi politik selama Pilkada 2020 di Tangerang Selatan, tetapi juga menyebabkan polarisasi yang lebih tajam karena konten yang bersifat emosional dan memecah belah lebih mudah menyebar (Dwitama et al., 2022).

Di sisi lain, media sosial juga memiliki dampak positif dalam mendukung demokrasi, terutama dalam meningkatkan aksesibilitas informasi politik dan mendorong partisipasi yang lebih luas dari kelompok masyarakat yang sebelumnya kurang terlibat dalam politik. Generasi muda, khususnya, lebih terdorong untuk berpartisipasi dalam politik ketika mereka dapat mengakses informasi politik dengan mudah melalui platform yang sudah mereka kenal. Menurut penelitian Fahruji dan Fahrudin (2023), partai-partai politik di Indonesia secara aktif menggunakan media sosial untuk membangun hubungan dengan pemilih muda, mempromosikan pesan-pesan kampanye, serta memperluas jangkauan mereka tanpa harus bergantung pada media arus utama. Media sosial memungkinkan kandidat untuk merespons isu-isu secara real-time, sehingga memberikan kesan lebih responsif dan adaptif terhadap aspirasi masyarakat (Fahruji & Fahrudin, 2023).

Namun, meskipun ada manfaat yang jelas, penggunaan media sosial dalam politik juga menuntut adanya pengawasan dan regulasi yang lebih ketat. Pemerintah Indonesia, bersama dengan platform media sosial dan lembaga terkait, perlu bekerja sama untuk mengembangkan regulasi yang lebih baik dalam mengatasi penyebaran informasi palsu dan kampanye negatif. Dalam konteks ini, literasi digital juga menjadi aspek yang sangat penting. Peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat tidak hanya akan membantu mereka dalam mengenali hoaks dan disinformasi, tetapi juga akan meningkatkan kemampuan mereka untuk menggunakan media sosial secara lebih kritis dan bertanggung jawab (Anatasya Andriarti et al., 2024).

Sebagai metode penelitian, studi literatur menjadi pendekatan yang paling relevan untuk menganalisis fenomena ini. Dengan mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai peran media sosial dalam politik di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana platform digital telah mengubah cara kampanye politik dilakukan dan bagaimana hal ini mempengaruhi demokrasi di Indonesia. Melalui kajian literatur, data dari berbagai studi sebelumnya yang mencakup penggunaan media sosial oleh kandidat politik, peran buzzer, serta penyebaran hoaks akan dirangkum untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai dampak media sosial dalam kampanye politik di Indonesia. Pendekatan ini juga akan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti pengaruh algoritma media sosial terhadap polarisasi politik dan strategi yang digunakan oleh tim kampanye dalam memanfaatkan media sosial (Maciej Serda et al., 2022; Putra, 2023).

Dengan demikian, penggunaan media sosial dalam politik Indonesia telah mengalami evolusi yang mendalam, memberikan peluang baru untuk komunikasi politik yang lebih terbuka dan partisipatif. Namun, tantangan dalam hal disinformasi, hoaks, dan peran buzzer juga mengancam proses demokrasi yang sehat. Penelitian ini akan menelusuri lebih lanjut bagaimana fenomena-fenomena ini mempengaruhi dinamika politik di Indonesia dan bagaimana regulasi serta literasi digital dapat menjadi solusi dalam menjaga integritas demokrasi di era digital.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur sebagai metode utama untuk mengumpulkan dan menganalisis data terkait peran media sosial dalam kampanye politik di Indonesia. Studi literatur, atau literature review, adalah metode yang mengandalkan penelusuran dan pemahaman mendalam terhadap sumber-sumber sekunder, seperti jurnal ilmiah, artikel, buku, laporan penelitian, serta data lain yang relevan dan sudah dipublikasikan. Dalam konteks penelitian ini, studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan berbagai penelitian yang membahas topik seputar media sosial, kampanye politik, disinformasi, dan pengaruhnya terhadap demokrasi.

 

Teknik Pengumpulan Data: Penelusuran literatur dilakukan dengan menggunakan beberapa kriteria berikut:

  1. Kata Kunci: Penelitian ini menggunakan kata kunci seperti �media sosial�, �kampanye politik�, �disinformasi�, �manipulasi informasi�, �buzzer politik�, dan �hoaks politik�. Kata kunci ini membantu dalam memfilter artikel dan publikasi yang relevan dengan fokus penelitian.
  2. Sumber Data: Sumber utama literatur berasal dari jurnal-jurnal ilmiah yang terindeks, baik nasional maupun internasional, serta buku-buku yang mengkaji peran media sosial dalam politik. Artikel-artikel dari jurnal komunikasi politik, sosiologi, dan ilmu pemerintahan juga dimanfaatkan. Contoh literatur yang digunakan antara lain penelitian mengenai penggunaan media sosial oleh politisi Indonesia pada Pemilu 2019 (Maciej Serda et al., 2022), dampak penggunaan buzzer politik (Juditha, 2019), dan literasi digital sebagai upaya melawan hoaks (Anatasya Andriarti et al., 2024).
  3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi: Artikel dan literatur yang dipilih untuk ditinjau memiliki fokus pada topik kampanye politik melalui media sosial dalam konteks Indonesia, serta penelitian yang mempelajari disinformasi dan manipulasi informasi melalui platform digital. Publikasi yang terlalu umum atau tidak secara spesifik membahas pengaruh media sosial dalam konteks politik Indonesia dikecualikan.

Analisis Data: Data yang diperoleh dari berbagai literatur dianalisis secara kualitatif. Langkah pertama adalah melakukan kategorisasi temuan-temuan utama dari setiap studi, seperti:

  1. Dampak media sosial terhadap perilaku pemilih (Saputra & Erowati, 2021).
  2. Penyebaran hoaks dan dampaknya terhadap polarisasi politik (Juditha, 2019).
  3. Peran buzzer politik dalam membentuk opini publik (Putra, 2023).

 

Setelah itu, data dikombinasikan untuk menemukan pola umum yang menggambarkan bagaimana media sosial memengaruhi kampanye politik dan bagaimana manipulasi informasi terjadi. Analisis ini juga mempertimbangkan peran platform media sosial dan algoritma yang memperkuat konten-konten politis yang cenderung emosional dan sensasional.

 

Teknis Pelaksanaan Studi Literatur:

  1. Identifikasi Literatur: Artikel dan jurnal diidentifikasi melalui database ilmiah seperti Google Scholar, JSTOR, dan ProQuest. Fokus pada penelitian terkini (minimal lima tahun terakhir) diprioritaskan untuk memastikan relevansi dalam konteks politik modern dan evolusi media sosial.
  2. Evaluasi Kritis: Setiap artikel yang dipilih dievaluasi secara kritis untuk menentukan relevansi, metodologi, dan kontribusi penelitian terhadap topik yang diteliti. Penekanan diberikan pada validitas metode penelitian dan kekuatan argumen yang diajukan dalam setiap literatur yang ditinjau.
  3. Sintesis dan Interpretasi: Setelah mengevaluasi setiap artikel, langkah selanjutnya adalah mengintegrasikan hasil-hasil penelitian ke dalam diskusi yang lebih luas. Sintesis dilakukan untuk mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan dalam temuan-temuan penelitian, serta menyusun kerangka konseptual yang mendukung argumentasi utama dalam penelitian ini.

 

Metode studi literatur memungkinkan penelitian ini untuk menyajikan analisis yang komprehensif mengenai peran media sosial dalam kampanye politik di Indonesia, serta dampaknya terhadap demokrasi dan manipulasi informasi. Dengan meninjau literatur yang ada, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam berdasarkan data yang sudah ada, sekaligus menawarkan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan literasi digital guna mencegah penyalahgunaan media sosial dalam proses politik.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan media sosial dalam kampanye politik di Indonesia telah membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika politik, terutama sejak Pemilu 2019. Di satu sisi, media sosial telah membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi masyarakat, memudahkan akses informasi politik, dan mempercepat komunikasi antara kandidat dan pemilih. Namun, di sisi lain, kemudahan penyebaran informasi ini juga dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks, manipulasi informasi, dan propaganda politik, yang dapat menghambat dialog politik yang sehat dan konstruktif. Dalam bab ini, pembahasan akan difokuskan pada dua aspek utama: dampak positif media sosial terhadap partisipasi politik dan tantangan yang dihadirkan oleh penyebaran informasi yang menyesatkan.

A.  Peran Media Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Politik

Salah satu kontribusi terbesar dari media sosial dalam kampanye politik adalah peningkatan partisipasi politik masyarakat. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok telah memudahkan interaksi langsung antara kandidat politik dan pemilih, terutama di kalangan pemilih muda yang lebih familiar dengan teknologi digital (Saputra & Erowati, 2021). Pemilih tidak lagi harus bergantung pada media tradisional seperti televisi atau surat kabar untuk mendapatkan informasi terkait kampanye. Sebaliknya, mereka dapat dengan mudah mengakses informasi kampanye melalui akun-akun resmi kandidat di media sosial, berinteraksi langsung dengan kandidat, dan mengikuti perkembangan kampanye secara real-time.

Penelitian Fahruji dan Fahrudin (2023) menunjukkan bahwa media sosial memungkinkan kandidat untuk menjangkau lebih banyak pemilih tanpa harus melalui filter media arus utama. Hal ini membuat kampanye politik lebih demokratis karena memungkinkan kandidat dari berbagai kalangan untuk menyebarkan pesan politik mereka tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk iklan di media tradisional. Di sisi lain, pemilih juga dapat dengan mudah mencari informasi tentang program kerja dan visi-misi kandidat, yang sebelumnya sulit diakses oleh masyarakat umum melalui media tradisional (Fahruji & Fahrudin, 2023).

Penggunaan media sosial juga memfasilitasi partisipasi politik yang lebih aktif dari masyarakat. Pemilih dapat memberikan tanggapan terhadap pernyataan kandidat, mengajukan pertanyaan, atau bahkan berdebat dengan pengguna lain terkait isu politik. Studi Dwitama et al. (2022) menunjukkan bahwa selama Pilkada 2020 di Tangerang Selatan, media sosial memainkan peran penting dalam memengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat. Kandidat walikota dan wakil walikota memanfaatkan platform seperti Facebook dan Instagram untuk menyebarkan pesan kampanye mereka, sementara pemilih menggunakan platform ini untuk berinteraksi dengan para kandidat dan memberikan dukungan atau kritik terhadap program yang ditawarkan (Dwitama et al., 2022).

Dengan meningkatnya aksesibilitas informasi politik melalui media sosial, generasi muda yang sebelumnya kurang terlibat dalam politik kini lebih terdorong untuk berpartisipasi dalam proses politik. Saputra dan Erowati (2021) menemukan bahwa ada hubungan positif antara intensitas kampanye politik di media sosial dan partisipasi pemilih muda. Media sosial menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada pemilih muda, yang cenderung mengabaikan media tradisional (Saputra & Erowati, 2021).

B.   Tantangan Penyebaran Hoaks dan Manipulasi Informasi

Meskipun media sosial memiliki peran positif dalam meningkatkan partisipasi politik, platform ini juga membawa tantangan besar terkait penyebaran informasi yang menyesatkan. Hoaks dan disinformasi yang disebarkan melalui media sosial sering kali digunakan sebagai alat untuk memanipulasi opini publik dan menyerang lawan politik. Hal ini menjadi lebih kompleks dengan adanya peran buzzer politik yang memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebarkan propaganda dan kampanye negatif secara terorganisir (Juditha, 2019).

Buzzer politik di Indonesia telah menjadi fenomena yang berbahaya dalam kampanye politik. Menurut penelitian Putra (2023), buzzer sering kali digunakan untuk menyebarkan narasi palsu yang dirancang untuk memanipulasi opini publik dan menciptakan polarisasi politik. Dengan memanfaatkan akun palsu dan bot, buzzer dapat menyebarkan pesan-pesan politik dengan cepat dan dalam jumlah besar, sehingga menciptakan kesan bahwa narasi tersebut didukung oleh banyak orang. Pada kenyataannya, banyak dari akun-akun ini tidak memiliki identitas yang jelas dan hanya digunakan untuk memperkuat propaganda politik tertentu (Putra, 2023).

Penyebaran hoaks politik juga sering kali menargetkan isu-isu sensitif seperti agama, etnisitas, dan nasionalisme. Temuan Anatasya et al. (2024) menunjukkan bahwa menjelang Pemilu 2024, lebih dari 1.100 hoaks terkait pemilu telah terdeteksi oleh Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia). Hoaks-hoaks ini dirancang untuk memprovokasi emosi publik dan merusak reputasi kandidat tertentu, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil pemilu. Isu-isu seperti ini sering kali sulit diklarifikasi atau ditanggapi oleh kandidat karena kecepatan penyebaran informasi di media sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan untuk mengoreksi atau memverifikasi informasi tersebut (Anatasya et al., 2024).

Salah satu faktor yang memperburuk situasi ini adalah algoritma media sosial yang cenderung memprioritaskan konten yang bersifat emosional atau sensasional. Konten seperti ini lebih mudah disebarkan dan lebih banyak menarik perhatian pengguna, yang pada akhirnya memperkuat polarisasi politik di masyarakat. Menurut Dewi (2021), algoritma media sosial sering kali memperkuat "echo chamber," di mana pengguna hanya terekspos pada pandangan-pandangan yang mendukung keyakinan mereka sendiri, sementara sudut pandang yang berbeda diabaikan. Hal ini tidak hanya menghambat dialog politik yang sehat, tetapi juga menciptakan perpecahan yang lebih dalam di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda (Dewi, 2021).

Lebih jauh, kurangnya regulasi yang efektif dalam mengawasi konten di media sosial juga menjadi tantangan tersendiri. Pemerintah Indonesia, meskipun telah berupaya mengatur konten politik di media sosial, masih kesulitan dalam menangani masalah buzzer politik dan penyebaran hoaks. Banyak akun-akun yang terlibat dalam kampanye disinformasi menggunakan identitas palsu atau anonim, sehingga sulit untuk menindak tegas pelaku di balik penyebaran informasi palsu tersebut (Juditha, 2019). Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik terhadap konten politik di media sosial.

C.  Literasi Digital sebagai Solusi

Salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi penyebaran hoaks dan manipulasi informasi di media sosial adalah dengan meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan untuk menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mengenali informasi yang akurat dan memverifikasi kebenaran dari suatu konten sebelum membagikannya. Menurut Anatasya et al. (2024), literasi digital dapat menjadi alat yang efektif dalam melawan hoaks dan disinformasi, terutama menjelang Pemilu 2024, ketika penyebaran informasi palsu diprediksi akan meningkat. Dengan meningkatkan literasi digital, masyarakat dapat lebih waspada terhadap konten-konten yang tidak diverifikasi dan lebih kritis dalam menggunakan media sosial (Anatasya et al., 2024).

Selain literasi digital, regulasi yang lebih ketat dan transparan juga diperlukan untuk mengawasi konten politik di media sosial. Pemerintah perlu bekerja sama dengan platform media sosial untuk mengidentifikasi dan menindak tegas akun-akun yang terlibat dalam kampanye disinformasi. Dalam hal ini, penguatan kerjasama antara lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa media sosial dapat digunakan sebagai alat yang positif dalam mendukung proses demokrasi di Indonesia (Putra, 2023).

D.  Perbandingan Studi dan Temuan Penelitian

Berbagai studi yang dibahas dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang serupa mengenai dampak media sosial terhadap kampanye politik di Indonesia. Di satu sisi, media sosial memfasilitasi keterlibatan politik yang lebih luas, terutama di kalangan pemilih muda (Saputra & Erowati, 2021). Di sisi lain, media sosial juga memperburuk polarisasi dan menjadi alat manipulasi informasi yang digunakan oleh buzzer politik (Juditha, 2019; Putra, 2023). Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memiliki potensi untuk memperkuat demokrasi, tanpa regulasi yang tepat dan peningkatan literasi digital, platform ini dapat merusak integritas proses politik.

Dalam perbandingan antar literatur, penelitian Fahruji dan Fahrudin (2023) menekankan pada aspek positif media sosial dalam meningkatkan partisipasi politik, sementara penelitian Putra (2023) lebih berfokus pada tantangan yang dihadirkan oleh buzzer politik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada manfaat yang jelas dari penggunaan media sosial dalam kampanye politik, ada juga risiko besar yang harus dikelola dengan hati-hati. Temuan ini mendukung pentingnya pendekatan yang holistik dalam memanfaatkan media sosial untuk politik, yang melibatkan kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat dan akurat.

Pembahasan ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara memanfaatkan potensi positif media sosial untuk kampanye politik dan menangani tantangan yang dihadirkan oleh penyebaran informasi yang menyesatkan. Literasi digital, regulasi yang efektif, dan kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia di era digital.

 

Tabel 1. Tabel Perbandingan Studi dan Temuan Penelitian

No

Penelitian

Topik Utama

Temuan Utama

1

(Maciej Serda et al., 2022)

Penggunaan media sosial dalam kampanye politik

Media sosial Instagram memudahkan komunikasi politik kandidat dan masyarakat serta meningkatkan partisipasi politik di kalangan muda.

2

(Fahruji & Fahrudin, 2023)

Penggunaan media sosial oleh partai politik

Media sosial efektif dalam menjangkau pemilih generasi muda dan memungkinkan keterlibatan langsung melalui platform seperti Instagram dan TikTok.

3

(Saputra & Erowati, 2021)

Pengaruh media sosial terhadap pemilih muda

Ada hubungan signifikan antara kampanye media sosial dengan keterlibatan pemilih muda, terutama dalam hal partisipasi politik.

4

(Juditha, 2019)

Peran buzzer dalam kampanye politik

Buzzer memainkan peran penting dalam menyebarkan disinformasi, memperkuat polarisasi politik, dan mengganggu proses demokrasi yang sehat.

5

(Dewi, 2021)

Penggunaan media sosial untuk disinformasi

Media sosial digunakan untuk menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian yang memperburuk kualitas informasi politik di masyarakat.

6

(Anatasya Andriarti et al., 2024)

Literasi digital melawan hoaks politik

Literasi digital diperlukan untuk melawan hoaks yang menyebar melalui media sosial, terutama dalam konteks Pemilu 2024.

7

(Putra & Irwansyah, 2020)

Orkestrasi buzzer untuk kampanye Covid-19

Buzzer berhasil dalam orkestrasi kampanye melalui Twitter, meningkatkan penyebaran informasi melalui retweet dan like.

8

(Mustika, 2019)

Pergeseran peran buzzer di media sosial

Buzzer yang awalnya digunakan untuk promosi produk kini semakin banyak digunakan dalam kampanye politik, sering kali untuk kampanye negatif.

9

(Dwitama et al., 2022)

Media sosial dan partisipasi politik di Pilkada

Media sosial berperan penting dalam mempengaruhi partisipasi politik masyarakat selama Pilkada Tangerang Selatan 2020.

10

(Gois et al., 2020)

Kampanye politik di media sosial

Buzzer memainkan peran kunci dalam meningkatkan kesadaran kampanye pasangan calon kepala daerah di Sulawesi Utara.

11

(Idris & Fahlevi, 2022)

Penggunaan buzzer di Pemilu 2019

Buzzer memperkuat pesan politik dan memengaruhi opini publik dalam Pemilu, namun sering kali digunakan untuk menyebarkan kampanye negatif.

12

(Hidayat, 2020)

Buzzer politik dalam kampanye Pemilu

Buzzer politik meningkatkan popularitas kandidat, namun menimbulkan tantangan karena kurangnya regulasi yang jelas terkait peran buzzer.

13

(Rudi Trianto, 2023)

Buzzer sebagai komunikator politik

Buzzer berperan penting dalam mempengaruhi opini publik melalui media sosial, membangun citra politik, dan memobilisasi dukungan massa.

14

(Fawwaz Ihza Mahenda Daeni et al., 2023)

Pengaruh buzzer terhadap demokrasi

Buzzer sering digunakan dalam kontestasi politik untuk menyebarkan disinformasi, mengancam prinsip kejujuran dalam proses demokrasi.

 

E.   Analisis Perbandingan

Tabel di atas menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi instrumen penting dalam kampanye politik di Indonesia. Penelitian Serda et al. (2022) dan Fahruji & Fahrudin (2023) menekankan dampak positif media sosial dalam meningkatkan keterlibatan politik di kalangan generasi muda. Instagram dan TikTok, misalnya, digunakan oleh politisi untuk membangun hubungan langsung dengan pemilih dan menyampaikan pesan-pesan kampanye secara efektif. Hal ini didukung oleh temuan Saputra & Erowati (2021), yang menunjukkan bahwa kampanye media sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku pemilih muda di Semarang.

Namun, meskipun media sosial memudahkan partisipasi politik, beberapa penelitian menunjukkan bahwa platform ini juga membawa tantangan serius. Juditha (2019) dan Dewi (2021) mengungkapkan bagaimana media sosial telah menjadi sarana penyebaran hoaks dan disinformasi, yang merusak kualitas dialog politik. Fenomena buzzer, seperti yang dibahas oleh Hidayat (2020) dan Gois et al. (2020), memperlihatkan bagaimana buzzer memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda negatif dan memanipulasi opini publik, sering kali tanpa regulasi yang jelas.

Di sisi lain, penelitian seperti yang dilakukan oleh Putra & Irwansyah (2020) dan Mustika (2019) menunjukkan bahwa peran buzzer dalam kampanye politik semakin terorganisir, bahkan melibatkan orkestrasi massal di media sosial seperti Twitter untuk memperkuat narasi politik. Ini menunjukkan betapa strategisnya penggunaan media sosial dalam menciptakan narasi politik yang diinginkan, meskipun sering kali tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang sehat.

Penelitian Anatasya et al. (2024) dan Fawwaz et al. (2023) menyarankan bahwa literasi digital dapat menjadi solusi jangka panjang dalam melawan disinformasi. Literasi digital dapat memberikan masyarakat kemampuan untuk mengidentifikasi hoaks dan mengurangi dampak negatif buzzer dalam kampanye politik. Dalam konteks Pemilu 2024, literasi digital akan sangat penting untuk melawan tren penyebaran informasi palsu yang diprediksi akan semakin marak.

Secara keseluruhan, media sosial memiliki potensi untuk mendukung demokrasi dengan memperluas akses informasi dan meningkatkan partisipasi politik. Namun, tanpa regulasi yang ketat dan peningkatan literasi digital, media sosial juga dapat menjadi alat yang kuat untuk manipulasi informasi dan penyebaran disinformasi, yang pada akhirnya merusak integritas demokrasi.

 

KESIMPULAN

Penggunaan media sosial dalam politik Indonesia sejak pemilu 2019 telah mengubah komunikasi politik, memperluas partisipasi publik, namun juga membuka ruang bagi hoaks dan manipulasi opini. Media sosial meningkatkan akses informasi, terutama bagi generasi muda, namun juga memfasilitasi kampanye negatif yang memperkuat polarisasi. Penyebaran hoaks berdampak negatif pada demokrasi, diperparah oleh algoritma media sosial yang menguatkan konten emosional, menciptakan "echo chamber" yang merusak dialog politik. Literasi digital diperlukan untuk meningkatkan pemahaman publik dalam menilai informasi, membantu menangkal hoaks, serta mendukung partisipasi politik yang lebih bijak. Selain itu, regulasi yang lebih ketat untuk mengawasi penggunaan media sosial dalam politik sangat penting, agar kampanye tetap adil dan transparan. Penelitian lanjutan perlu mengeksplorasi pengaruh algoritma terhadap polarisasi, efektivitas literasi digital, peran regulator, dampak buzzer politik, dan perbandingan internasional penggunaan media sosial dalam politik untuk memastikan media sosial mendukung demokrasi dan meminimalkan efek negatif seperti disinformasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anatasya Andriarti, Dita Nurmadewi, Suharyati, Rindu Dwi Yulianti, Richard Ariyanto, & Rangga Fadhil M. S. (2024). Literasi Digital Melawan Hoaks Pemilu 2024. Community Development Journal, Vol. 5 No.(1), 838�844.

Dewi, N. (2021). Pasukan Siber Indonesia Gunakan Media Sosial Untuk Disinformasi. PRESSCARE: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(2).

Dwitama, M. I., Hakiki, F. A., Sulastri, E., Usni, U., & Gunanto, D. (2022). Media Sosial Dan Pengaruhnya Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Di Pilkada 2020 Tangerang Selatan. Independen: Jurnal Politik Indonesia Dan Global, 3(1), 53. https://doi.org/10.24853/independen.3.1.53-66

Fahruji, D., & Fahrudin, A. (2023). Pemanfaatan Media Sosial dalam Kampanye Politik Menjelang Pemilu 2024: Studi Kasus tentang Akun Media Sosial Partai Politik dan Politisi. JIKA (Jurnal Ilmu Komunikasi Andalan), 6(2), 118�132. https://doi.org/10.31949/jika.v6i2.6675

Fawwaz Ihza Mahenda Daeni, Fitri Aliva Rachmarani, & Rhiza, I. (2023). Pengaruh Buzzer Politik dalam Pemilu: Tantangan Terhadap Electoral Justice dalam Mempertahankan Prinsip Demokrasi. Padjadjaran Law Review, 11(2), 191�211. https://doi.org/10.56895/plr.v11i2.1288

Gois, C., Randang, J. L., & Lotulung, L. J. (2020). Buzzer Di Media Sosial Pada Sulawesi Utara (Studi Terhadap Kampanye Politik Odsk 2020). Jurnal Universitas Sam Ratulangi, 1�7.

Hidayat, R. N. (2020). Penggunaan Buzzer Politik di Media Sosial Pada Masa Kampanya Pemilihan Umum. �ADALAH, 4(2). https://doi.org/10.15408/adalah.v4i2.15606

Idris, L. O. M., & Fahlevi, R. (2022). Kampanye Capres dan Cawapres Pada Pemilu 2019: Efektivitas Penggunaan Buzzer di Media Sosial. Journalism, Public Relation and Media Communication Studies Journal (JPRMEDCOM), 4(1). https://doi.org/10.35706/jprmedcom.v4i1.6544

Juditha, C. (2019). Buzzer di Media Sosial Pada Pilkada dan Pemilu Indonesia Buzzer in Social Media in Local Elections and Indonesian Elections. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Dan Informatika, 3, 199�212. https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/snki/article/view/2557/1255

Maciej Serda, Becker, F. G., Cleary, M., Team, R. M., Holtermann, H., The, D., Agenda, N., Science, P., Sk, S. K., Hinnebusch, R., Hinnebusch A, R., Rabinovich, I., Olmert, Y., Uld, D. Q. G. L. Q., Ri, W. K. H. U., Lq, V., Frxqwu, W. K. H., Zklfk, E., Edvhg, L. V, � فاطمی, ح. (2022). Penggunaan Media Sosial Instagram Ganjar Pranowo Dalam Kampanye Politik Pemilihan Gubernur Jawa Tengah Tahun 2018. Journal of Politic and Government Studies, 11(2), 521�544. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/view/33632

Mustika, R. (2019). Pergeseran Peran Buzzer Ke Dunia Politik Di Media Sosial Shifting The Role Of Buzzer To The World Of Politics On Social Media. Diakom : Jurnal Media Dan Komunikasi, 2(2), 144�151.

Putra, A. (2023). Peran Buzzer Politik dalam Dinamika Jelang Pemilu Tahun 2024. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-i, 10(4), 1143�1158. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v10i4.34076

Putra, A., & Irwansyah, I. (2020). Orkestrasi Buzzer Melalui Media Sosial Microblogging Dalam Kampanye Penanganan Virus Covid-19. Jurnal Riset Komunikasi, 3(2), 269�289. https://doi.org/10.38194/jurkom.v3i2.151

Rudi Trianto. (2023). Buzzer sebagai Komunikator Politik. An-Nida� : Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 11(2), 74�97. https://doi.org/10.61088/annida.v11i2.562

Saputra, N. A., & Erowati, D. (2021). Pengaruh Peran Kampanye Media Sosial Terhadap Perilaku Pemilih Muda Di Kota Semarang. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 3(3), 845�852. https://doi.org/10.34007/jehss.v3i3.413

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).