Perlindungan Hak
Ekonomi Pemegang Hak Cipta Atas Lagu Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
Protection
of Economic Rights of Copyright Holders of Songs According to Law Number 28 of
2014 concerning Copyright
1*) Christopher Plumbantoruan, 2) Saidin, 3) Runtung
123 Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Email: 1[email protected],
2[email protected], 3[email protected]
*Correspondence: Christopher Plumbantoruan
DOI: 10.59141/comserva.v4i7.2592 |
ABSTRAK Penelitian ini
membahas perselisihan antara Once Mekel dan Ahmad Dhani terkait pelanggaran
hak cipta lagu-lagu Dewa 19. Ahmad Dhani, sebagai perwakilan grup musik Dewa
19, melarang Once Mekel membawakan lagu-lagu grup tersebut dalam konser tanpa
izin dan pembayaran royalti, yang diduga telah terjadi beberapa kali.
Perseteruan ini juga melibatkan larangan serupa terhadap vokalis lain yang
ingin membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa persetujuan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji proses pembayaran royalti yang benar serta
perlindungan dan kepastian hukum bagi pemilik hak cipta dalam kasus
penggunaan karya secara tidak sah. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi
kasus. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, memanfaatkan data
sekunder dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data dilakukan
secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan deduktif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengelolaan hak cipta lagu di Indonesia melibatkan prosedur
yang meliputi identifikasi pemegang hak cipta, pengajuan izin, dan negosiasi
syarat penggunaan. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) memiliki peran penting
sebagai perantara dalam pemberian lisensi dan pengelolaan royalti. Mekanisme
penyelesaian sengketa meliputi alternatif penyelesaian sengketa hingga proses
di Pengadilan Niaga, dengan landasan hukum UU No. 28 Tahun 2014. Untuk
meningkatkan sistem, disarankan adanya pengembangan platform online untuk
mempermudah proses perizinan, penguatan peran LMK, serta penerapan sistem
penyelesaian sengketa online khusus untuk kasus hak cipta musik. Upaya ini
diharapkan dapat meningkatkan transparansi, efisiensi, dan perlindungan hak
cipta, sekaligus menyeimbangkan kepentingan semua pihak dalam industri musik
Indonesia. Kata kunci: Perlindungan Hak Ekonomi, Pemegang Hak Cipta, Lagu. |
|
ABSTRACT This research discusses
the dispute between Once Mekel and Ahmad Dhani regarding the copyright
infringement of Dewa 19 songs. Ahmad Dhani, as a representative of the music
group Dewa 19, prohibited Once Mekel from performing the group's songs in concerts
without permission and royalty payments, which allegedly occurred several
times. This feud also involves a similar ban on other vocalists who want to
perform Dewa 19 songs without consent. This study aims to examine the correct
royalty payment process as well as legal protection and certainty for
copyright owners in the case of unauthorized use of works. The research
method used is normative legal research with a legislative approach and case
studies. This research is descriptive analytical, utilizing secondary data
from primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis was
carried out qualitatively with deductive conclusions. The results of the
study show that song copyright management in Indonesia involves procedures
that include identifying copyright holders, applying for permits, and
negotiating terms of use. The Collective Management Institution (LMK) has an
important role as an intermediary in licensing and royalty management. The
dispute resolution mechanism includes alternative dispute resolution to the
process in the Commercial Court, with the legal basis of Law No. 28 of 2014.
To improve the system, it is recommended to develop an online platform to
facilitate the licensing process, strengthen the role of LMK, and implement an
online dispute resolution system specifically for music copyright cases. This
effort is expected to increase transparency, efficiency, and copyright
protection, while balancing the interests of all parties in the Indonesian
music industry. Keywords: Protection of Economic Rights, Copyright Holders, Songs. |
PENDAHULUAN
Sengketa yang
terjadi terhadap hak cipta adalah merupakan sengketa terhadap harta kekayaan
yang dalam terminologi hak cipta disebut sebagai economy
rights atau hak ekonomi. Sengketa-sengketa itu tidak
hanya berpangkal pada adanya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
menimbulkan kerugian kepada pencipta ataupun penerima hak yang dilakukan oleh
pihak lain maupun adanya perbuatan wanprestasi sebagai akibat dari pelanggaran
klausul-klausul yang termuat dalam perjanjian lisensi (Susanti, 2020). Kedua
bentuk perbuatan hukum itu secara umum diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yakni perbuatan yang dikategorikan sebagai onrechtmatig daad dan wanprestasi
(Herlina, 2019).
Secara
teoritis, kata �ganti rugi� menunjukkan adanya satu peristiwa, di mana
seseorang mengalami kerugian di satu pihak, dan di pihak lain adanya orang yang
dibebankan kewajiban untuk mengganti kerugian akibat perbuatannya (Subekti,
2016). Peristiwa ini tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki
keterkaitan dengan peristiwa sebelumnya. Dalam terminologi hukum perdata,
peristiwa yang mendahuluinya adalah dasar pengungkapan perkara tersebut
(Rahardjo, 2018).
Apa yang
menyebabkan kerugian seseorang? Hal ini menyangkut peristiwa, kemudian siapa
pelaku yang telah mengakibatkan kerugian tersebut, menyangkut subjeknya. Antara
peristiwa, pelaku, serta orang yang menderita kerugian memiliki hubungan hukum
yang disebut perikatan (Salim, 2021). Tidaklah dapat meminta ganti rugi kepada
orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tersebut. Jadi, antara
orang yang menderita kerugian dengan orang yang membuat peristiwa harus ada
hubungan hukum yang sah (Manan, 2017).
Perikatan,
menurut hukum perdata, dapat terjadi karena dua hal: pertama, karena adanya
perjanjian; kedua, karena undang-undang (Widjaja, 2019). Membayar ganti rugi
adalah kewajiban yang timbul dari perikatan berdasarkan undang-undang atau
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya (Maria, 2020). Misalnya, seseorang
yang berjanji melunasi utangnya tepat waktu, tetapi gagal memenuhinya, dapat
dikategorikan melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini muncul karena perikatan
yang lahir dari perjanjian (Salim, 2021).
Ketentuan
dalam Buku III KUHPerdata bersifat lex generalis, sedangkan yang menjadi lex
spesialis adalah Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 (Simanjuntak,
2020). Menurut undang-undang ini, sengketa perdata terkait pelanggaran hak
cipta diupayakan penyelesaiannya melalui alternatif penyelesaian sengketa,
arbitrase, atau pengadilan. Undang-undang ini menempatkan penyelesaian sengketa
agar dilakukan secara cepat, murah, dan biaya ringan sesuai asas peradilan yang
dianut oleh sistem peradilan perdata Indonesia (Suhendar, 2020).
Sebab
undang-undang menempatkan alternative penyelesaian sengketa pada urutan
pertama, disusul dengan penyelesaian melalui arbitrase yang ditempatkan pada
urutan kedua. Sedangkan pengadilan ditempatkan pada urutan ketiga (Saidin,
2015), meskipun karya cipta lagu sudah terdapat perlindungan hukumnya tidak
menutup kemungkinan akan terjadi sebuah sengketa maupun pelanggaran terhadap
hak cipta lagu. Karena lagu memiliki potensi ekonomi dan dapat memberikan
keuntungan serta ditunjang dengan kemajuan teknologi. Maka hal ini dapat
berdampak positif dan negatif dalam perkembangannya. Apabila dilihat dari
dampak positifnya pencipta lagu bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan
menjadi terkenal serta kemudahan setiap orang dalam berkarya bisa dengan mudah
mempublikasikan lagunya. Sedangkan dampak negatifnya lagu yang dapat dijadikan
lahan untuk mencari keuntungan menjadikan banyak orang yang menyalahgunakannya
demi mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara menggandakan lagu, merubah
lirik lagu, mengcover lagu seenaknya, dan mempublikasikan lagu tanpa seizin
pencipta lagu serta banyak orang yang belum mengetahui adanya peraturan
mengenai hak cipta lagu (Muh. Habibi Akbar dan Mukti Fajar ND, 2020).
Pelanggaran
hak cipta karya lagu dengan cara menyanyikan ulang lagu di konser atau pentas
musik merupakan salah satu topik permasalahan dalam pelanggaran hak cipta di
Indonesia. Pelanggaran hak cipta terjadi ketika penyanyi tanpa seizin dari
pencipta lagu menyanyikan lagu pada konser musik komersial yang melanggar hak
moral dan hak ekonomi. Fenomena tersebutlah yang menyebabkan timbulnya sengketa
antara pencipta lagu dengan penyanyi (Chrisna Bagus Edhita Praja, Budi Agus
Riswandi dan Khudzaifah Dimyati, 2021).
Pada
penelitian ini permasalahan yang akan diangkat adalah mengenai perselisihan
yang terjadi antara penyanyi Once Mekel dengan Ahmad Dhani dalam grup musiknya
yaitu Dewa 19 Diketahui pada perseteruan ini Ahmad Dhani yang mewakili grup
musik Dewa 19 melakukan Pelarangan terhadap Once Mekel untuk menyanyikan lagu
Dewa 19. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun sebelumya Once Mekel beberapa
kali telah membawakan lagu-lagu (Columbanus Priaardanto dan Jeane Neltje Sally,
2023). Dari Dewa 19 tanpa memberikan royalti atas Hak Cipta lagu tersebut.
Perseteruan ini juga berbuntut Ahmad Dhani melarang untuk setiap vokalis baik
solo maupun grup untuk membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa seizin dari grup
musik Dewa 19 tersebut. Dalam permasalahan ini diduga bahwa Once Mekel telah
melakukan pelanggaran terhadap Hak Cipta atas lagu-lagu Dewa 19 yang dibawakan
olehnya pada beberapa konser komersil.
����������� Berdasarkan
uraian latar belakang di atas penelitian ini penting untuk megetahui bagaimana
proses pembayaran royalti yang benar serta mengkaji perlindungan dan kepastian
Hukum terhadap pemilik hak cipta dari orang yang menggunakan hak cipta tersebut
secara semena-mena.
Penelitian hukum merupakan proses ilmiah untuk
menemukan aturan, prinsip, dan doktrin hukum guna menjawab isu hukum. Metode
penelitian hukum yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Sifat penelitiannya
deskriptif analisis, menggunakan data sekunder dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan
studi dokumen. Analisis data menggunakan metode kualitatif, dengan penarikan
kesimpulan secara deduktif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Syarat-Syarat Dan Prosedur Untuk Mendapatkan Izin
Membawakan Lagu Dari Pemegang Hak Cipta
Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tidak terdapat
pengaturan khusus tentang pengertian hak cipta lagu dan/atau musik. Hak cipta
lagu dan/atau musik hanya merupakan salah satu karya yang dilindungi melalui
Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
sebagaimana juga karya-karya lain yang dicantumkan dalam Pasal 40 Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tepatnya diatur
dalam Pasal 40 ayat (1) sub (d) Undang Undang No. 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks.
Penjelasannya mengemukakan, yang dimaksud dengan �lagu atau musik dengan atau
tanpa teks� diartikan sebagai satu kesatuan karya cipta yang bersifat utuh.
Karena itu, terhadap lagu dan/atau musik berlaku semua aturan umum yang juga
berlaku untuk karya lainnya, kecuali disebutkan secara khusus tidak berlaku (Hulman Panjaitan dan Wetmen
Sinaga, 2019).
Terdapat hak khusus bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta seperti
memperbanyak atau menggandakan dan untuk mengumumkan hasil karya ciptaannya
yang tumbuh bersamaan dengan lahirnya suatu ciptaan. Pencipta berhak pula atas manfaat ekonomi
yang lahir dari ciptaanya tersebut. Manfaat ekonomi tersebut dapat bersumber
dari kegiatan mengumumkan (performing
right), kegiatan menyiarkan (broadcasting
right), kegiatan memperbanyak yang mana termasuk di dalamnya; mechanical, printing, syncronization,
advertising, dan kegiatan menyebarkan (distribution
right) (Hendra Tanu Atmadja, 2019).
Sebagai
seseorang yang menggunakan karya cipta lagu milik orang lain, maka siapapun berkewajiban untuk terlebih dahulu meminta izin
dari si pemegang hak cipta lagu tersebut. Berkaitan dengan penggunaan karya
cipta, pemegang hak cipta tidak memiliki kemampuan untuk memonitor setiap
penggunaan karya ciptanya oleh pihak lain (Media Hukum Online, 2024).
Konsep
perjanjian dapat dirumuskan dalam arti sempit, bahwa perjanjian adalah
persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan (Nurhilmiyah, 2020). Berkenaan dengan perjanjian Lisensi atas
karya cipta lagu dalam hubungan kerja Pencipta lagu dan produser rekaman suara
ada kesepakatan-kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam suatu surat
perjanjian.
Ada empat macam bentuk perjanjian antara Pencipta lagu dengan produser
rekaman suara berdasarkan pembayaran honorarium Pencipta lagu, yaitu:
1. Flat pay sempurna atau jual putus;
2. Flat pay terbatas atau bersyarat;
3. Royalti;
dan
4. Semi
Royalti (Otto Hasibuan,
2008).
Materi atau isi muatan yang ada dalam
perjanjian lisensi merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi
perjanjian. Dalam arti bahwa, perjanjian dalam kebebasan berkontrak adalah
mencerminkan kedudukan yang sama bagi para pihak. Doktrin kebebasan berkontrak
(freedom of contract) dapat diartikan
sebagai suatu keadaan hukum di mana para pihak menentukan sendiri isi
perjanjian atau kesepakatan dalam kontrak. Sumber dari kebebasan berkontrak
adalah kebebasan individu sehingga titik tolaknya adalah kepentingan individu.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya
kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum
perjanjian yang memberi pengertian bahwa perjanjian sudah terjadi dan bersifat
mengikat sejak tercapai kesepakatan (konsensus) antara kedua belah pihak mengenai
objek perjanjian. Disini telah dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak.
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021
tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menyatakan bahwa pengelolaan royalti dilakukan oleh Lembaga Manajemen
Kolektif Nasional (LMKN) berdasarkan data yang terintegrasi pada pusat data lagu
dan/atau musik. �Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu
dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan
mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak
terkait melalui LMKN�.
Menteri melakukan pencatatan perjanjian
lisensi tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan lisensi disertai kewajiban memberikan laporan penggunaan lagu
dan/musik kepada LMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM).
Kemudian, setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau
musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial berdasarkan
perjanjian lisensi tersebut membayar royalti melalui LMKN (Muhammad Choirul Anwar, 2024). Disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu
dan/atau Musik, penggunaan secara komersial untuk suatu pertunjukan dapat
menggunakan lagu dan/atau musik tanpa perjanjian lisensi dengan tetap membayar
royalti melalui LMKN, yang dilakukan segera setelah penggunaan.
Penggunaan secara komersial lagu
dan/atau musik pada usaha mikro diberikan keringanan tarif royalti yang
ditetapkan oleh menteri. Lebih lanjut disebutkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik,
penarikan royalti dilakukan oleh LMKN untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan
pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun belum menjadi anggota
dari suatu LMK. LMK adalah institusi yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang
hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam
bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. LMK ini berbentuk badan hukum
nirlaba.
LMKN dalam melakukan penghimpunan
royalti koordinasi dan menetapkan besaran royalti yang menjadi hak
masing-masing LMK sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.
Adapun pada Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang
Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik disebutkan, royalti yang telah dihimpun digunakan untuk tiga
hal yaitu:
1.
Didistribusikan
kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi
anggota LMK;
2.
Dana operasional; dan
3.
Dana cadangan.
Royalti didistribusikan berdasarkan
laporan penggunaan data lagu dan/atau musik yang ada di SILM. Royalti tersebut
didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui
LMK. �Royalti untuk
pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang tidak diketahui
dan/atau belum menjadi anggota dari suatu LMK disimpan dan diumumkan oleh LMKN
selama dua tahun untuk diketahui pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak
terkait,� demikian bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Apabila dalam jangka waktu tersebut pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik
hak terkait diketahui dan/atau telah menjadi anggota suatu LMK, maka royalti
didistribusikan. Namun jika tidak diketahui dan/atau tidak menjadi anggota,
royalti dapat digunakan sebagai dana cadangan.
Terkait ketidaksesuaian pendistribusian
besaran royalti, pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait dapat
menyampaikan kepada Dirjen untuk dilakukan penyelesaian secara mediasi, hal
tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik,
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pengelolaan royalti, LMKN wajib
melaksanakan audit keuangan dan audit kinerja yang dilaksanakan oleh akuntan
publik paling sedikit satu tahun sekali dan diumumkan hasilnya kepada
masyarakat. �Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku menteri membangun
pusat data lagu dan/atau musik dan LMKN membangun SILM, paling lama dua tahun
sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan�.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik
dimaksudkan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta,
pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu
dan/atau musik serta setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial
lagu dan/atau musik. Selain itu, juga untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan
royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang
lagu dan/atau musik.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik,
menyebutkan bahwa: �Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial
lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan
membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak
terkait melalui LMKN�.
Pusat data lagu dan/atau musik berisi
semua lagu dan/atau musik yang telah dicatatkan dalam daftar umum ciptaan.
Pusat data ini paling sedikit memuat informasi mengenai pencipta, pemegang hak
cipta, pemilik hak terkait, hak cipta, serta hak terkait, yang dapat berasal
dari e-hak cipta. Pusat data yang dikelola oleh Direktorat Jenderal (Dirjen)
ini dilakukan pembaharuan data secara berkala setiap tiga bulan atau
sewaktu-waktu jika diperlukan, sebagaimana hal tersebut terdapa dalam Pasal 6
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti
Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik,
menteri melakukan pencatatan lagu dan/atau musik berdasarkan permohonan yang
diajukan secara elektronik oleh pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak
terkait, atau kuasa. �Pengajuan permohonan pencatatan lagu dan/atau musik oleh
kuasa sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh LMKN berdasarkan kuasa dari
pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait,� ketentuan Pasal 4 ayat
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak
Cipta Lagu dan/atau Musik.
Lagu dan/atau musik tersebut dicatatkan
dalam daftar umum ciptaan, yang syarat dan tata cara pencatatannya dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, disebutkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak
Cipta Lagu dan/atau Musik, bentuk layanan publik yang bersifat komersial yang
harus membayar royalti meliputi seminar dan konferensi komersial; restoran,
kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; konser musik; pesawat udara,
bus, kereta api, dan kapal laut; serta pameran dan bazar. Kemudian bioskop;
nada tunggu telepon; bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga
penyiaran televisi; lembaga penyiaran radio; hotel, kamar hotel, dan fasilitas
hotel; dan usaha karaoke. Penambahan bentuk layanan publik yang bersifat
komersial diatur dengan peraturan menteri.
Kewenangan Lembaga Manajeman Kolektif Dalam Pemberian
Izin Membawakan Lagu Ciptaan Orang Lain
Sebagai
seseorang yang menggunakan karya cipta lagu milik orang lain maka siapapun
berkewajiban untuk terlebih dahulu meminta izin dari si pemegang hak cipta lagu
tersebut. Berkaitan dengan penggunaan karya cipta, pemegang hak cipta tidak
memiliki kemampuan untuk memonitor setiap penggunaan karya ciptanya oleh pihak
lain (Media Hukum Online, 2024).
Sebagaimana Pasal 80 UU Hak Cipta yang menyebutkan bahwa:
(1) Kecuali
diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait berhak
memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk
melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23
ayat (21, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).
(2) Perjanjian
Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama jangka waktu tertentu
dan tidak melebihi masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait.
(3) Kecuali
diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai kewajiban penerima Lisensi untuk memberikan Royalti kepada Pemegang
Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait selama j angka waktu Lisensi.
(4) Penentuan
besaran Royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pemberian
Royalti dilakukan berdasarkan perjanjian Lisensi antara Pemegang Hak Cipta atau
pemilik Hak Terkait dan penerima Lisensi.
(5) Besaran
Royalti dalam perjanjian Lisensi harus ditetapkan berdasarkan kelaziman praktik
yang berlaku dan memenuhi unsur keadilan.
Pemegang Hak
Cipta tersebut tidak bisa setiap waktu mengontrol setiap stasiun televisi,
radio, restoran untuk mengetahui berapa banyak karya cipta lagunya telah
diperdengarkan ditempat tersebut. Oleh karena itu, untuk menciptakan kemudahan
baik bagi si pemegang hak cipta untuk memonitor penggunaan karya ciptanya dan
bagi si pemakai maka si pencipta/pemegang Hak Cipta dapat saja menunjuk kuasa
(baik seseorang ataupun lembaga) yang bertugas mengurus hal-hal tersebut. Dalam
prakteknya di beberapa negara, pengurusan lisensi atau pengumpulan royalti
dilakukan melalui suatu lembaga manajemen kolektif.
Pembayaran
royalti merupakan bagian konsekuensi dari menggunakan jasa/karya orang lain,
sebab dalam kehidupan sehari-hari, lagu merupakan salah satu sarana penunjang
dalam kegiatan usaha atau komersial. Alasan inilah yang mendasari kewajiban
pengguna membayar royalti, sebab lagu adalah suatu karya intelektual manusia
yang mendapat perlindungan hukum dan untuk itu jika pihak lain menggunakannya
sudah sepantasnya meminta izin kepada pemilik atau pemegang hak cipta.
Presiden
Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang
Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Aturan ini ditandatangani
Kepala Negara pada 30 Maret 2021. Salah satu ketentuan dalam PP tersebut yakni
kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu dan/atau
musik secara komersial ataupun layanan publik.
Dasar
penetapan tarif royalti tertuang pada Pasal 1, yaitu ditetapkan secara
proporsional dan didasarkan pada praktik terbaik di tingkat internasional.
Besaran tarif ini merupakan satu-satunya tarif yang resmi dari pengguna hak
pencipta dan hak terkait oleh LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional)
pencipta dan hak terkait. Berikut besaran tarif royalti yang harus dibayar
berdasarkan acara, tempat, musik tersebut diputar seperti yang tercantum
dalam laman resmi LMKN:
1.
Tarif royalti untuk kegiatan
seminar dan konferensi didasarkan lumpsum sebesar Rp500.000 per hari;
2.
Tarif royalti untuk bidang
usaha jasa kuliner bermusik seperti restoran dan kafe ditentukan tiap kursi per
tahun, dengan ketentuan royalti pencipta sebesar Rp60.000 per kursi per tahun
dan royalti hak terkait sebesar Rp60.000 per kursi per tahun;
3.
Tarif royalti untuk bidang
usaha jasa kuliner bermusik seperti pub, bar, dan bistro ditentukan tiap meter
persegi per tahun. Tarif royalti untuk hak pencipta Rp180.000 per meter persegi
per tahun dan royalti untuk hak terkait Rp180.000 per meter persegi per tahun;
4.
Tarif royalti untuk bidang
usaha diskotek dan klab malam ditentukan tiap meter persegi per tahun. Tarif
royalti untuk hak pencipta Rp250.000 per meter persegi per tahun dan royalti
untuk hak terkait Rp180.000 per meter persegi per tahun;
5.
Tarif royalti bagi nada
tunggu telepon ditetapkan sebesar Rp100.000 per sambungan telepon setiap tahun;
6.
Tarif royalti bagi bank dan
kantor ditetapkan sebesar Rp6.000 per meter persegi setiap tahun;
7.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha bioskop didasarkan lumpsum sebesar Rp3.600.000 per layar per tahun;
8.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha pameran dan bazar didasarkan lumpsum sebesar Rp1.500.000 per hari;
9.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut ditetapkan 0,25% dikalikan
dengan harga tiket terendah;
10.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha konser musik didasarkan ada atau tidak adanya tiket:
a.
Konser musik dengan
penjualan tiket maka tarifnya dihitung dari hasil kotor penjualan tiket dikali
2% ditambah dengan tiket yang digratiskan dikali 1%.
b.
Konser musik tanpa gratis
dihitung berdasarkan biaya produksi musik dikali 2%.
11.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha pertokoan seperti supermarket, pasar swalayan (department store), kompleks pertokoan (mall), toko, distro, salon kecantikan, pusat kebugaran (gym, fitness centre, etc), arena
olahraga (termasuk bowling, ice skating,
billiard), dan ruang pamer (showroom);
12.
Untuk pertokoan dihitung
berdasarkan luas ruang pertokoan tiap meter persegi per tahun;
13.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha hotel dan fasilitas hotel berdasarkan jumlah kamar;
14.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha resort, hotel eksklusif dan hotel butik ditetapkan sebagai lumpsum
sebesar Rp16.000.000 per tahun;
15.
Tarif royalti untuk lembaga penyiar
radio didasarkan kepada jenis-jenis lembaga penyiaran;
16.
Tarif royalti untuk kegiatan
usaha karaoke ditentukan berdasarkan jenis-jenisnya.
Diterbitkan untuk memberikan pelindungan dan
kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait
terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap orang yang melakukan
penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik. Selain itu, juga untuk
mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan
dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik. �Setiap orang dapat
melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan
publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta,
pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN (Lembaga
Manajemen Kolektif Nasional),� bunyi Pasal 3 ayat (1).
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata Terkait
Pemanfaatan Hak Ekonomi Pemegang Hak Cipta Atas Lagu Menurut UU No. 28 Tahun
2014
Prinsip
perlindungan hukum pada dasarnya adalah adanya pengakuan hak, perumusan
pelanggaran hak yang bisa termasuk dalam ranah hukum perdata, pidana maupun
administrasi serta mekanisme penyelesaian sengketa, serta perumusan sanksi
pidana atau administratif (Yuliati,
2012).
Dalam UUHC pengakuan atas hak-hak pencipta terbagi dalam dua jenis yaitu hak
ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi ini meliputi hak penggandaan (reproduction
right); hak penyebarluasan (distribution right); hak adaptasi (adaptation
Right) yang meliputi hak penerjemahan, hak dramatisasi, hak film; hak
pertunjukan (performance Right): hak atas rekaman suara (Mechanical
Right); hak atas program siaran (broadcasting right).
Perwujudan
perlindungan hukum atas hak ekonomi ini menjelma dalam penentuan jenis
perbuatan yang dilarang beserta sanksi pidananya diatur dalam Pasal 72 UUHC.
Sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada pencipta, yaitu hak untuk
selalu dicantumkan nama pencipta dalam setiap ciptaannya dan hak atas keutuhan
ciptaannya terhadap perubahan isi maupun judul. Hak moral ini secara eksplisit
diatur dalam Pasal 24 UUHC. Hak moral ini tidak bisa dialihkan kepemilikannya
seperti hak ekonomi. Hak moral ini merupakan hak yang akan mengikuti karya
cipta kemanapun karya cipta itu beralih, hak ini biasa disebut dengan Droit
de suite karena tetap melekat pada ciptaan walaupun kepemilikan ciptaan
tersebut sedah berpindah tangan.
Berkaitan
dengan upaya penyelesaian sengketa, UUHC memberikan pilihan mekanisme bagi
pencipta dan atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan haknya dengan tiga
cara yaitu:
1. Melalui
jalur hukum perdata
Mengajukan
gugatan perdata permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran serta permohonan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan dari pelanggaran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 56
UUHC. Selain itu pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara dari hakim agar memerintahkan pelanggar menghentikan segala kegiatan pelanggaran hak cipta agar tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi
pemegang hak cipta. Gugatan
perdata ini dapat di ajukan di Pengadilan Niaga yang berkedudukan di 4 kota
besar di Indonesia yaitu Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Sedangkan
pelanggaran atas hak moral dari pencipta tetap dapat diajukan oleh pencipta
atau ahli warisnya bila pencipta telah meninggal dunia.
Mekanisme gugatan perdata, mekanisme ini diatur di dalam
Pasal 99 UUHC. Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
pengadilan niaga atas pelanggaran hak ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap
benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta
juga berhak memohon kepada pengadilan niaga agar memerintahkan penyerahan
seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah,
pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil
pelanggaran hak cipta. Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah
kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, HKI dapat
memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau
perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (Khoirul Hidayah, 2018).
2. Melalui
jalur hukum pidana,
Dengan mengajukan tuntutan pidana, pengajuan gugatan
perdata dalam pelanggaran hak cipta tidak menggugurkan hak negara untuk
melakukan tuntutan pidana.
3. Melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal
65 UUHC menyatakan bahwa selain penyelesaian sengketa melalui jalur perdata dan pidana, para pihak juga dapat menggunakan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dari analisis UUHC menunjukkan bahwa UUHC telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pencipta, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya pengakuan hak serta
perumusan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta beserta sanksi
pidananya. UUHC juga memberikan berbagai
alternatif upaya penyelesaian sengketa bagi pencipta yang dirugikan haknya, tanpa mengurangi hak pemerintah untuk menegakkan hukum hak cipta
secara efektif (Yuliati.2021).
Pengaturan
mengenai pelanggaran terhadap hak cipta diatur dalam Bab IV UUHC 2014 yang
mengatur tentang penyelesaian sengketa. Apabila terjadi pelanggaran teradap hak
cipta dilakukan melalui penyelesaian sengketa hak cipta yang dapat dilakukan
melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase atau pengadilan yang
berwenang, yaitu Pengadilan Niaga yang disebut pada Pasal 95.
Arbitrase,
menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pilihan
penyelesaian sengketa Hak
Cipta lainnya, yaitu:
1. Konsultasi:
suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu
(klien) dengan pihak lain
yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan
kebutuhan kliennya.
2.
Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan atas dasar kerja
sama yang lebih harmonis dan kreatif.
3.
Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
4.
Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.
5.
Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis
dan sesuai dengan bidang keahliannya.
Penyelesaian
sengketa Hak Kekayaan Intelektual selain dapat dilaksanakan melalui pengadilan
niaga, juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. Didirikannya lembaga di luar pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa HKI dilatarbelakangi kondisi bahwa penyelesaian sengketa
di dalam pengadilan lebih sering menghasilkan suatu kesepakatan yang tidak
mampu merangkul kepentingan bersama cenderung menimbulkan masalah baru yaitu
lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif,
dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa (M. Citra Ramadhan,
dkk, 2023).
Pilihan
penyelesaian sengketa yang terakhir adalah melalui pengadilan. Pengadilan
merupakan tindakan ultimum remedium yang berarti merupakan tindakan
terakhir yang dapat ditempuh apabila pihak yang bersengketa tidak dapat
memperoleh penyelesaian secara kekeluargaan. Dalam hal ini, pengadilan yang
berwenang adalah Pengadilan Niaga, sesuai dengan Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dan menurut ayat (3) Pasal yang sama,
pengadilan lainnya tidak berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta.
Ketentuan penyelesaian sengketa kemudian diperjelas lagi pada ayat (4) pasal
yang sama, yaitu apabila para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya
dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus menempuh terlebih
mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.
Apabila terdapat
perusahaan/perorangan yang melakukan pelanggaran hak cipta harus mendapatkan
sanksi yang tegas, akan tetapi Undang-Undang Kekayaan Intelektual sekarang
adalah berupa Delik Aduan (Pasal 120 Undang-undang No 28 Tahun 2014 tentang hak
cipta) sehingga diperlukan peran aktif pemilik hak cipta untuk dapat melaporkan
adanya pelanggaran yang ada. Undang-undang No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta
yang diuraikan pada pada BAB XVII Ketentuan Pidana sudah sangat jelas mengenai
pelanggaran dan sanksi yang diberikan kepada pelanggar hak cipta. Pasal
tersebut dengan jelas telah mencantumkan ancaman hukuman penjara hingga
maksimal sepuluh tahun dan denda hingga empat miliar rupiah (Moody Rizqy Syailendra, dkk. 2023).
Kemudian, sanksi hukum perdata dalam pelanggaran hak cipta lagu dan musik di
Indonesia dapat berupa ganti rugi dan penghentian kegiatan yang melanggar hak
cipta. Berikut adalah penjelasan mengenai sanksi hukum perdata:
Berdasarkan
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa setiap perbuatan
melanggar hukum, yang menyebabkan kerugian mewajibkan orang yang karena
salahnya membawa kerugian bagi orang lain, untuk mengganti kerugian tersebut. Sesuai
yang tercantum pada Pasal 96 Undang-Undang
Hak Cipta mengatur bahwa:
a. Pencipta,
pemegang Hak Cipta dan pemegang
Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi
berhak memperoleh Ganti Rugi.
b.
Ganti Rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak
pidana Hak Cipta dan Hak Terkait.
c.
Pembayaran Ganti Rugi kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta
dan pemilik Hak Terkait dibayarkan paling lama 6 (enam) bulan setelah putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 97
Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa:
a.
Dalam hal Ciptaan telah dicatat menurut ketentuan Pasal
69 ayat (1), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan pembatalan
pencatatan Ciptaan dalam daftar umum Ciptaan melalui Pengadilan Niaga.
b.
Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
kepada Pencipta dan atau Pemegang Hak Cipta terdaftar.
Penelitian
ini mengkaji aspek-aspek penting dalam pengelolaan hak cipta lagu di Indonesia,
mencakup syarat dan prosedur izin, kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK),
serta mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014. Proses mendapatkan izin melibatkan identifikasi pemegang
hak cipta, pengajuan permohonan rinci, dan negosiasi syarat penggunaan. LMK
berperan sebagai perantara dengan kewenangan non-eksklusif dalam pemberian
lisensi blanket dan pengelolaan royalti. Penyelesaian sengketa menawarkan
berbagai opsi, dari alternatif penyelesaian sengketa hingga proses di
Pengadilan Niaga. Untuk peningkatan sistem, disarankan pengembangan platform
online terpadu untuk izin penggunaan lagu, penguatan peran dan pengawasan LMK,
serta implementasi sistem penyelesaian sengketa online khusus kasus hak cipta
musik. Langkah-langkah ini bertujuan menyederhanakan proses, meningkatkan
transparansi, dan mempercepat penyelesaian sengketa, sekaligus menyeimbangkan
kepentingan semua pihak dalam industri musik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. H., & Mukti Fajar, N. D. (2020). Mekanisme pembayaran royalti
lagu dan musik dalam aplikasi streaming musik. Media of Law and Sharia, 1(2).
Anonim. (2024). Daftar nominal royalti
yang harus dibayar pengguna lagu. CNN Indonesia. Diakses pada tanggal 1 Agustus
2024, dari
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210409141803-227-627928/daftar-nominal-royalti-yang-harus-dibayar-pengguna-lagu
Anwar, M. C. (2024). Mengenal apa itu LMKN yang punya wewenang tarik
royalti lagu. Kompas. Diakses pada tanggal 4 Agustus 2024, dari
https://money.kompas.com/read/2021/04/12/174103226/mengenal-apa-itu-lmkn-yang-punya-wewenang-tarik-royalti-lagu?page=all
Atmadja, H. T. (2019). Hak cipta musik atau lagu. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Herlina, R. (2019). Dasar-dasar hukum perdata di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Hasibuan, O. (2008). Hak cipta di
Indonesia: Tinjauan khusus hak cipta lagu,
neighbouring rights, dan collecting society. Bandung: PT. Alumni.
Hidayah, K. (2018). Hukum hak kekayaan intelektual. Malang: Setara Press.
Media Hukum Online. (2024). Yang berwenang menarik royalti lagu, LMKN atau
LMK. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2024, dari
https://www.hukumonline.com/klinik/a/yang-berwenang-menarik-royalti-lagu--lmkn-atau-lmk-cl755
Manan, B. (2017). Aspek hukum perjanjian dan wanprestasi. Bandung: Refika
Aditama.
Maria, F. (2020). Wanprestasi dalam hukum perjanjian Indonesia. Surabaya:
Pustaka Ilmu.
Nurhilmiyah. (2020). Hukum perdata. Medan: CV. Multi Global Makmur.
Panjaitan, H., & Sinaga, W. (2019). Performing right: Hak cipta atas
karya musik dan lagu serta aspeknya (edisi revisi). Jakarta: Uki Press.
Praja, C. B. E., Riswandi, B. A., & Dimyati, K. (2021). Urgensi mediasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa hak cipta. Kertha Patrika, 43(3).
Priaardanto, C., & Sally, J. N. (2023). Tinjauan yuridis terhadap hak
cipta lagu (studi kasus dalam permasalahan antara Dewa 19 dengan Once Mekel).
Jurnal Kewarganegaraan, 7(2).
Rahardjo, S. (2018). Hukum dan perubahan sosial. Jakarta: Kompas Gramedia.
Ramadhan, M. C., dkk. (2023). Buku ajar hak kekayaan intelektual. Deliserdang: Universitas Medan Area
Press.
Saidin.
(2015). Aspek hukum hak kekayaan intelektual
(intellectual property rights). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Salim, H. S. (2021). Perikatan dalam perspektif hukum perdata. Jakarta:
Rajawali Pers.
Simanjuntak, J. (2020). Hak cipta dan resolusi konflik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Subekti, R. (2016). Hukum perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suhendar, A. (2020). Penyelesaian sengketa hak cipta di Indonesia. Bandung:
Graha Ilmu.
Susanti, E. (2020). Hukum dan ekonomi: Perspektif hak cipta. Jakarta:
Pustaka Obor.
Syailendra, M. R., dkk. (2023). Pelanggaran hukum terhadap hak cipta lagu
dan musik di Indonesia. JIMPS: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah,
8(4).
Widjaja, G. (2019). Dasar-dasar hukum perdata Indonesia. Depok: Rajawali
Press.
Yuliati. (2012). Perlindungan hukum bagi pencipta berkaitan dengan
plagiarisme karya ilmiah di Indonesia. Arena Hukum, 6(1).