Perlindungan Hak Ekonomi Pemegang Hak Cipta Atas Lagu Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

 

Protection of Economic Rights of Copyright Holders of Songs According to Law Number 28 of 2014 concerning Copyright

 

1*) Christopher Plumbantoruan, 2) Saidin, 3) Runtung

123 Universitas Sumatera Utara, Indonesia

 

Email: 1[email protected], 2[email protected], 3[email protected]

*Correspondence: Christopher Plumbantoruan

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i7.2592

ABSTRAK

Penelitian ini membahas perselisihan antara Once Mekel dan Ahmad Dhani terkait pelanggaran hak cipta lagu-lagu Dewa 19. Ahmad Dhani, sebagai perwakilan grup musik Dewa 19, melarang Once Mekel membawakan lagu-lagu grup tersebut dalam konser tanpa izin dan pembayaran royalti, yang diduga telah terjadi beberapa kali. Perseteruan ini juga melibatkan larangan serupa terhadap vokalis lain yang ingin membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa persetujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses pembayaran royalti yang benar serta perlindungan dan kepastian hukum bagi pemilik hak cipta dalam kasus penggunaan karya secara tidak sah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, memanfaatkan data sekunder dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan hak cipta lagu di Indonesia melibatkan prosedur yang meliputi identifikasi pemegang hak cipta, pengajuan izin, dan negosiasi syarat penggunaan. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) memiliki peran penting sebagai perantara dalam pemberian lisensi dan pengelolaan royalti. Mekanisme penyelesaian sengketa meliputi alternatif penyelesaian sengketa hingga proses di Pengadilan Niaga, dengan landasan hukum UU No. 28 Tahun 2014. Untuk meningkatkan sistem, disarankan adanya pengembangan platform online untuk mempermudah proses perizinan, penguatan peran LMK, serta penerapan sistem penyelesaian sengketa online khusus untuk kasus hak cipta musik. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi, efisiensi, dan perlindungan hak cipta, sekaligus menyeimbangkan kepentingan semua pihak dalam industri musik Indonesia.

 

Kata kunci: Perlindungan Hak Ekonomi, Pemegang Hak Cipta, Lagu.

 

 

ABSTRACT

This research discusses the dispute between Once Mekel and Ahmad Dhani regarding the copyright infringement of Dewa 19 songs. Ahmad Dhani, as a representative of the music group Dewa 19, prohibited Once Mekel from performing the group's songs in concerts without permission and royalty payments, which allegedly occurred several times. This feud also involves a similar ban on other vocalists who want to perform Dewa 19 songs without consent. This study aims to examine the correct royalty payment process as well as legal protection and certainty for copyright owners in the case of unauthorized use of works. The research method used is normative legal research with a legislative approach and case studies. This research is descriptive analytical, utilizing secondary data from primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis was carried out qualitatively with deductive conclusions. The results of the study show that song copyright management in Indonesia involves procedures that include identifying copyright holders, applying for permits, and negotiating terms of use. The Collective Management Institution (LMK) has an important role as an intermediary in licensing and royalty management. The dispute resolution mechanism includes alternative dispute resolution to the process in the Commercial Court, with the legal basis of Law No. 28 of 2014. To improve the system, it is recommended to develop an online platform to facilitate the licensing process, strengthen the role of LMK, and implement an online dispute resolution system specifically for music copyright cases. This effort is expected to increase transparency, efficiency, and copyright protection, while balancing the interests of all parties in the Indonesian music industry.

 

Keywords: Protection of Economic Rights, Copyright Holders, Songs.

 

PENDAHULUAN

Sengketa yang terjadi terhadap hak cipta adalah merupakan sengketa terhadap harta kekayaan yang dalam terminologi hak cipta disebut sebagai economy rights atau hak ekonomi. Sengketa-sengketa itu tidak hanya berpangkal pada adanya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan menimbulkan kerugian kepada pencipta ataupun penerima hak yang dilakukan oleh pihak lain maupun adanya perbuatan wanprestasi sebagai akibat dari pelanggaran klausul-klausul yang termuat dalam perjanjian lisensi (Susanti, 2020). Kedua bentuk perbuatan hukum itu secara umum diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yakni perbuatan yang dikategorikan sebagai onrechtmatig daad dan wanprestasi (Herlina, 2019).

Secara teoritis, kata �ganti rugi� menunjukkan adanya satu peristiwa, di mana seseorang mengalami kerugian di satu pihak, dan di pihak lain adanya orang yang dibebankan kewajiban untuk mengganti kerugian akibat perbuatannya (Subekti, 2016). Peristiwa ini tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan peristiwa sebelumnya. Dalam terminologi hukum perdata, peristiwa yang mendahuluinya adalah dasar pengungkapan perkara tersebut (Rahardjo, 2018).

Apa yang menyebabkan kerugian seseorang? Hal ini menyangkut peristiwa, kemudian siapa pelaku yang telah mengakibatkan kerugian tersebut, menyangkut subjeknya. Antara peristiwa, pelaku, serta orang yang menderita kerugian memiliki hubungan hukum yang disebut perikatan (Salim, 2021). Tidaklah dapat meminta ganti rugi kepada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tersebut. Jadi, antara orang yang menderita kerugian dengan orang yang membuat peristiwa harus ada hubungan hukum yang sah (Manan, 2017).

Perikatan, menurut hukum perdata, dapat terjadi karena dua hal: pertama, karena adanya perjanjian; kedua, karena undang-undang (Widjaja, 2019). Membayar ganti rugi adalah kewajiban yang timbul dari perikatan berdasarkan undang-undang atau perjanjian yang telah disepakati sebelumnya (Maria, 2020). Misalnya, seseorang yang berjanji melunasi utangnya tepat waktu, tetapi gagal memenuhinya, dapat dikategorikan melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini muncul karena perikatan yang lahir dari perjanjian (Salim, 2021).

Ketentuan dalam Buku III KUHPerdata bersifat lex generalis, sedangkan yang menjadi lex spesialis adalah Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 (Simanjuntak, 2020). Menurut undang-undang ini, sengketa perdata terkait pelanggaran hak cipta diupayakan penyelesaiannya melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan. Undang-undang ini menempatkan penyelesaian sengketa agar dilakukan secara cepat, murah, dan biaya ringan sesuai asas peradilan yang dianut oleh sistem peradilan perdata Indonesia (Suhendar, 2020).

Sebab undang-undang menempatkan alternative penyelesaian sengketa pada urutan pertama, disusul dengan penyelesaian melalui arbitrase yang ditempatkan pada urutan kedua. Sedangkan pengadilan ditempatkan pada urutan ketiga (Saidin, 2015), meskipun karya cipta lagu sudah terdapat perlindungan hukumnya tidak menutup kemungkinan akan terjadi sebuah sengketa maupun pelanggaran terhadap hak cipta lagu. Karena lagu memiliki potensi ekonomi dan dapat memberikan keuntungan serta ditunjang dengan kemajuan teknologi. Maka hal ini dapat berdampak positif dan negatif dalam perkembangannya. Apabila dilihat dari dampak positifnya pencipta lagu bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan menjadi terkenal serta kemudahan setiap orang dalam berkarya bisa dengan mudah mempublikasikan lagunya. Sedangkan dampak negatifnya lagu yang dapat dijadikan lahan untuk mencari keuntungan menjadikan banyak orang yang menyalahgunakannya demi mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara menggandakan lagu, merubah lirik lagu, mengcover lagu seenaknya, dan mempublikasikan lagu tanpa seizin pencipta lagu serta banyak orang yang belum mengetahui adanya peraturan mengenai hak cipta lagu (Muh. Habibi Akbar dan Mukti Fajar ND, 2020).

Pelanggaran hak cipta karya lagu dengan cara menyanyikan ulang lagu di konser atau pentas musik merupakan salah satu topik permasalahan dalam pelanggaran hak cipta di Indonesia. Pelanggaran hak cipta terjadi ketika penyanyi tanpa seizin dari pencipta lagu menyanyikan lagu pada konser musik komersial yang melanggar hak moral dan hak ekonomi. Fenomena tersebutlah yang menyebabkan timbulnya sengketa antara pencipta lagu dengan penyanyi (Chrisna Bagus Edhita Praja, Budi Agus Riswandi dan Khudzaifah Dimyati, 2021).

Pada penelitian ini permasalahan yang akan diangkat adalah mengenai perselisihan yang terjadi antara penyanyi Once Mekel dengan Ahmad Dhani dalam grup musiknya yaitu Dewa 19 Diketahui pada perseteruan ini Ahmad Dhani yang mewakili grup musik Dewa 19 melakukan Pelarangan terhadap Once Mekel untuk menyanyikan lagu Dewa 19. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun sebelumya Once Mekel beberapa kali telah membawakan lagu-lagu (Columbanus Priaardanto dan Jeane Neltje Sally, 2023). Dari Dewa 19 tanpa memberikan royalti atas Hak Cipta lagu tersebut. Perseteruan ini juga berbuntut Ahmad Dhani melarang untuk setiap vokalis baik solo maupun grup untuk membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa seizin dari grup musik Dewa 19 tersebut. Dalam permasalahan ini diduga bahwa Once Mekel telah melakukan pelanggaran terhadap Hak Cipta atas lagu-lagu Dewa 19 yang dibawakan olehnya pada beberapa konser komersil.

���������� Berdasarkan uraian latar belakang di atas penelitian ini penting untuk megetahui bagaimana proses pembayaran royalti yang benar serta mengkaji perlindungan dan kepastian Hukum terhadap pemilik hak cipta dari orang yang menggunakan hak cipta tersebut secara semena-mena.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan proses ilmiah untuk menemukan aturan, prinsip, dan doktrin hukum guna menjawab isu hukum. Metode penelitian hukum yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Sifat penelitiannya deskriptif analisis, menggunakan data sekunder dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi dokumen. Analisis data menggunakan metode kualitatif, dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Syarat-Syarat Dan Prosedur Untuk Mendapatkan Izin Membawakan Lagu Dari Pemegang Hak Cipta

Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tidak terdapat pengaturan khusus tentang pengertian hak cipta lagu dan/atau musik. Hak cipta lagu dan/atau musik hanya merupakan salah satu karya yang dilindungi melalui Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagaimana juga karya-karya lain yang dicantumkan dalam Pasal 40 Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tepatnya diatur dalam Pasal 40 ayat (1) sub (d) Undang Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks. Penjelasannya mengemukakan, yang dimaksud dengan �lagu atau musik dengan atau tanpa teks� diartikan sebagai satu kesatuan karya cipta yang bersifat utuh. Karena itu, terhadap lagu dan/atau musik berlaku semua aturan umum yang juga berlaku untuk karya lainnya, kecuali disebutkan secara khusus tidak berlaku (Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, 2019).

Terdapat hak khusus bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta seperti memperbanyak atau menggandakan dan untuk mengumumkan hasil karya ciptaannya yang tumbuh bersamaan dengan lahirnya suatu ciptaan. Pencipta berhak pula atas manfaat ekonomi yang lahir dari ciptaanya tersebut. Manfaat ekonomi tersebut dapat bersumber dari kegiatan mengumumkan (performing right), kegiatan menyiarkan (broadcasting right), kegiatan memperbanyak yang mana termasuk di dalamnya; mechanical, printing, syncronization, advertising, dan kegiatan menyebarkan (distribution right) (Hendra Tanu Atmadja, 2019).

Sebagai seseorang yang menggunakan karya cipta lagu milik orang lain, maka siapapun berkewajiban untuk terlebih dahulu meminta izin dari si pemegang hak cipta lagu tersebut. Berkaitan dengan penggunaan karya cipta, pemegang hak cipta tidak memiliki kemampuan untuk memonitor setiap penggunaan karya ciptanya oleh pihak lain (Media Hukum Online, 2024).

Konsep perjanjian dapat dirumuskan dalam arti sempit, bahwa perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan (Nurhilmiyah, 2020). Berkenaan dengan perjanjian Lisensi atas karya cipta lagu dalam hubungan kerja Pencipta lagu dan produser rekaman suara ada kesepakatan-kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam suatu surat perjanjian.

Ada empat macam bentuk perjanjian antara Pencipta lagu dengan produser rekaman suara berdasarkan pembayaran honorarium Pencipta lagu, yaitu:

1.      Flat pay sempurna atau jual putus;

2.      Flat pay terbatas atau bersyarat;

3.      Royalti; dan

4.      Semi Royalti (Otto Hasibuan, 2008).

Materi atau isi muatan yang ada dalam perjanjian lisensi merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi perjanjian. Dalam arti bahwa, perjanjian dalam kebebasan berkontrak adalah mencerminkan kedudukan yang sama bagi para pihak. Doktrin kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat diartikan sebagai suatu keadaan hukum di mana para pihak menentukan sendiri isi perjanjian atau kesepakatan dalam kontrak. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga titik tolaknya adalah kepentingan individu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian yang memberi pengertian bahwa perjanjian sudah terjadi dan bersifat mengikat sejak tercapai kesepakatan (konsensus) antara kedua belah pihak mengenai objek perjanjian. Disini telah dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menyatakan bahwa pengelolaan royalti dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berdasarkan data yang terintegrasi pada pusat data lagu dan/atau musik. �Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait melalui LMKN�.

Menteri melakukan pencatatan perjanjian lisensi tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan lisensi disertai kewajiban memberikan laporan penggunaan lagu dan/musik kepada LMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM). Kemudian, setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial berdasarkan perjanjian lisensi tersebut membayar royalti melalui LMKN (Muhammad Choirul Anwar, 2024). Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, penggunaan secara komersial untuk suatu pertunjukan dapat menggunakan lagu dan/atau musik tanpa perjanjian lisensi dengan tetap membayar royalti melalui LMKN, yang dilakukan segera setelah penggunaan.

Penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik pada usaha mikro diberikan keringanan tarif royalti yang ditetapkan oleh menteri. Lebih lanjut disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, penarikan royalti dilakukan oleh LMKN untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun belum menjadi anggota dari suatu LMK. LMK adalah institusi yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. LMK ini berbentuk badan hukum nirlaba.

LMKN dalam melakukan penghimpunan royalti koordinasi dan menetapkan besaran royalti yang menjadi hak masing-masing LMK sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan. Adapun pada Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik disebutkan, royalti yang telah dihimpun digunakan untuk tiga hal yaitu:

1.      Didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota LMK;

2.      Dana operasional; dan

3.      Dana cadangan.

Royalti didistribusikan berdasarkan laporan penggunaan data lagu dan/atau musik yang ada di SILM. Royalti tersebut didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui LMK. �Royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang tidak diketahui dan/atau belum menjadi anggota dari suatu LMK disimpan dan diumumkan oleh LMKN selama dua tahun untuk diketahui pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait,� demikian bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Apabila dalam jangka waktu tersebut pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait diketahui dan/atau telah menjadi anggota suatu LMK, maka royalti didistribusikan. Namun jika tidak diketahui dan/atau tidak menjadi anggota, royalti dapat digunakan sebagai dana cadangan.

Terkait ketidaksesuaian pendistribusian besaran royalti, pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait dapat menyampaikan kepada Dirjen untuk dilakukan penyelesaian secara mediasi, hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pengelolaan royalti, LMKN wajib melaksanakan audit keuangan dan audit kinerja yang dilaksanakan oleh akuntan publik paling sedikit satu tahun sekali dan diumumkan hasilnya kepada masyarakat. �Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku menteri membangun pusat data lagu dan/atau musik dan LMKN membangun SILM, paling lama dua tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan�.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dimaksudkan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik. Selain itu, juga untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, menyebutkan bahwa: �Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN�.

Pusat data lagu dan/atau musik berisi semua lagu dan/atau musik yang telah dicatatkan dalam daftar umum ciptaan. Pusat data ini paling sedikit memuat informasi mengenai pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, hak cipta, serta hak terkait, yang dapat berasal dari e-hak cipta. Pusat data yang dikelola oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) ini dilakukan pembaharuan data secara berkala setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan, sebagaimana hal tersebut terdapa dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, menteri melakukan pencatatan lagu dan/atau musik berdasarkan permohonan yang diajukan secara elektronik oleh pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, atau kuasa. �Pengajuan permohonan pencatatan lagu dan/atau musik oleh kuasa sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh LMKN berdasarkan kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait,� ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Lagu dan/atau musik tersebut dicatatkan dalam daftar umum ciptaan, yang syarat dan tata cara pencatatannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, bentuk layanan publik yang bersifat komersial yang harus membayar royalti meliputi seminar dan konferensi komersial; restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; konser musik; pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut; serta pameran dan bazar. Kemudian bioskop; nada tunggu telepon; bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi; lembaga penyiaran radio; hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan usaha karaoke. Penambahan bentuk layanan publik yang bersifat komersial diatur dengan peraturan menteri.

 

Kewenangan Lembaga Manajeman Kolektif Dalam Pemberian Izin Membawakan Lagu Ciptaan Orang Lain

Sebagai seseorang yang menggunakan karya cipta lagu milik orang lain maka siapapun berkewajiban untuk terlebih dahulu meminta izin dari si pemegang hak cipta lagu tersebut. Berkaitan dengan penggunaan karya cipta, pemegang hak cipta tidak memiliki kemampuan untuk memonitor setiap penggunaan karya ciptanya oleh pihak lain (Media Hukum Online, 2024). Sebagaimana Pasal 80 UU Hak Cipta yang menyebutkan bahwa:

(1)   Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (21, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).

(2)   Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama jangka waktu tertentu dan tidak melebihi masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait.

(3)   Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai kewajiban penerima Lisensi untuk memberikan Royalti kepada Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait selama j angka waktu Lisensi.

(4)   Penentuan besaran Royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pemberian Royalti dilakukan berdasarkan perjanjian Lisensi antara Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dan penerima Lisensi.

(5)   Besaran Royalti dalam perjanjian Lisensi harus ditetapkan berdasarkan kelaziman praktik yang berlaku dan memenuhi unsur keadilan.

Pemegang Hak Cipta tersebut tidak bisa setiap waktu mengontrol setiap stasiun televisi, radio, restoran untuk mengetahui berapa banyak karya cipta lagunya telah diperdengarkan ditempat tersebut. Oleh karena itu, untuk menciptakan kemudahan baik bagi si pemegang hak cipta untuk memonitor penggunaan karya ciptanya dan bagi si pemakai maka si pencipta/pemegang Hak Cipta dapat saja menunjuk kuasa (baik seseorang ataupun lembaga) yang bertugas mengurus hal-hal tersebut. Dalam prakteknya di beberapa negara, pengurusan lisensi atau pengumpulan royalti dilakukan melalui suatu lembaga manajemen kolektif.

Pembayaran royalti merupakan bagian konsekuensi dari menggunakan jasa/karya orang lain, sebab dalam kehidupan sehari-hari, lagu merupakan salah satu sarana penunjang dalam kegiatan usaha atau komersial. Alasan inilah yang mendasari kewajiban pengguna membayar royalti, sebab lagu adalah suatu karya intelektual manusia yang mendapat perlindungan hukum dan untuk itu jika pihak lain menggunakannya sudah sepantasnya meminta izin kepada pemilik atau pemegang hak cipta.

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Aturan ini ditandatangani Kepala Negara pada 30 Maret 2021. Salah satu ketentuan dalam PP tersebut yakni kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial ataupun layanan publik.

Dasar penetapan tarif royalti tertuang pada Pasal 1, yaitu ditetapkan secara proporsional dan didasarkan pada praktik terbaik di tingkat internasional. Besaran tarif ini merupakan satu-satunya tarif yang resmi dari pengguna hak pencipta dan hak terkait oleh LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) pencipta dan hak terkait. Berikut besaran tarif royalti yang harus dibayar berdasarkan acara, tempat, musik tersebut diputar seperti yang tercantum dalam laman resmi LMKN:

1.      Tarif royalti untuk kegiatan seminar dan konferensi didasarkan lumpsum sebesar Rp500.000 per hari;

2.      Tarif royalti untuk bidang usaha jasa kuliner bermusik seperti restoran dan kafe ditentukan tiap kursi per tahun, dengan ketentuan royalti pencipta sebesar Rp60.000 per kursi per tahun dan royalti hak terkait sebesar Rp60.000 per kursi per tahun;

3.      Tarif royalti untuk bidang usaha jasa kuliner bermusik seperti pub, bar, dan bistro ditentukan tiap meter persegi per tahun. Tarif royalti untuk hak pencipta Rp180.000 per meter persegi per tahun dan royalti untuk hak terkait Rp180.000 per meter persegi per tahun;

4.      Tarif royalti untuk bidang usaha diskotek dan klab malam ditentukan tiap meter persegi per tahun. Tarif royalti untuk hak pencipta Rp250.000 per meter persegi per tahun dan royalti untuk hak terkait Rp180.000 per meter persegi per tahun;

5.      Tarif royalti bagi nada tunggu telepon ditetapkan sebesar Rp100.000 per sambungan telepon setiap tahun;

6.      Tarif royalti bagi bank dan kantor ditetapkan sebesar Rp6.000 per meter persegi setiap tahun;

7.      Tarif royalti untuk kegiatan usaha bioskop didasarkan lumpsum sebesar Rp3.600.000 per layar per tahun;

8.      Tarif royalti untuk kegiatan usaha pameran dan bazar didasarkan lumpsum sebesar Rp1.500.000 per hari;

9.      Tarif royalti untuk kegiatan usaha pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut ditetapkan 0,25% dikalikan dengan harga tiket terendah;

10.   Tarif royalti untuk kegiatan usaha konser musik didasarkan ada atau tidak adanya tiket:

a.      Konser musik dengan penjualan tiket maka tarifnya dihitung dari hasil kotor penjualan tiket dikali 2% ditambah dengan tiket yang digratiskan dikali 1%.

b.      Konser musik tanpa gratis dihitung berdasarkan biaya produksi musik dikali 2%.

11.   Tarif royalti untuk kegiatan usaha pertokoan seperti supermarket, pasar swalayan (department store), kompleks pertokoan (mall), toko, distro, salon kecantikan, pusat kebugaran (gym, fitness centre, etc), arena olahraga (termasuk bowling, ice skating, billiard), dan ruang pamer (showroom);

12.   Untuk pertokoan dihitung berdasarkan luas ruang pertokoan tiap meter persegi per tahun;

13.   Tarif royalti untuk kegiatan usaha hotel dan fasilitas hotel berdasarkan jumlah kamar;

14.   Tarif royalti untuk kegiatan usaha resort, hotel eksklusif dan hotel butik ditetapkan sebagai lumpsum sebesar Rp16.000.000 per tahun;

15.   Tarif royalti untuk lembaga penyiar radio didasarkan kepada jenis-jenis lembaga penyiaran;

16.   Tarif royalti untuk kegiatan usaha karaoke ditentukan berdasarkan jenis-jenisnya.

Diterbitkan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik. Selain itu, juga untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik. �Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional),� bunyi Pasal 3 ayat (1).

 

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata Terkait Pemanfaatan Hak Ekonomi Pemegang Hak Cipta Atas Lagu Menurut UU No. 28 Tahun 2014

Prinsip perlindungan hukum pada dasarnya adalah adanya pengakuan hak, perumusan pelanggaran hak yang bisa termasuk dalam ranah hukum perdata, pidana maupun administrasi serta mekanisme penyelesaian sengketa, serta perumusan sanksi pidana atau administratif (Yuliati, 2012). Dalam UUHC pengakuan atas hak-hak pencipta terbagi dalam dua jenis yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi ini meliputi hak penggandaan (reproduction right); hak penyebarluasan (distribution right); hak adaptasi (adaptation Right) yang meliputi hak penerjemahan, hak dramatisasi, hak film; hak pertunjukan (performance Right): hak atas rekaman suara (Mechanical Right); hak atas program siaran (broadcasting right).

Perwujudan perlindungan hukum atas hak ekonomi ini menjelma dalam penentuan jenis perbuatan yang dilarang beserta sanksi pidananya diatur dalam Pasal 72 UUHC. Sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada pencipta, yaitu hak untuk selalu dicantumkan nama pencipta dalam setiap ciptaannya dan hak atas keutuhan ciptaannya terhadap perubahan isi maupun judul. Hak moral ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 24 UUHC. Hak moral ini tidak bisa dialihkan kepemilikannya seperti hak ekonomi. Hak moral ini merupakan hak yang akan mengikuti karya cipta kemanapun karya cipta itu beralih, hak ini biasa disebut dengan Droit de suite karena tetap melekat pada ciptaan walaupun kepemilikan ciptaan tersebut sedah berpindah tangan.

Berkaitan dengan upaya penyelesaian sengketa, UUHC memberikan pilihan mekanisme bagi pencipta dan atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan haknya dengan tiga cara yaitu:

1.      Melalui jalur hukum perdata

Mengajukan gugatan perdata permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran serta permohonan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan dari pelanggaran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UUHC. Selain itu pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara dari hakim agar memerintahkan pelanggar menghentikan segala kegiatan pelanggaran hak cipta agar tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak cipta. Gugatan perdata ini dapat di ajukan di Pengadilan Niaga yang berkedudukan di 4 kota besar di Indonesia yaitu Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Sedangkan pelanggaran atas hak moral dari pencipta tetap dapat diajukan oleh pencipta atau ahli warisnya bila pencipta telah meninggal dunia.

Mekanisme gugatan perdata, mekanisme ini diatur di dalam Pasal 99 UUHC. Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan niaga atas pelanggaran hak ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada pengadilan niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, HKI dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (Khoirul Hidayah, 2018).

2.      Melalui jalur hukum pidana,

Dengan mengajukan tuntutan pidana, pengajuan gugatan perdata dalam pelanggaran hak cipta tidak menggugurkan hak negara untuk melakukan tuntutan pidana.

3.      Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pasal 65 UUHC menyatakan bahwa selain penyelesaian sengketa melalui jalur perdata dan pidana, para pihak juga dapat menggunakan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dari analisis UUHC menunjukkan bahwa UUHC telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pencipta, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan hak serta perumusan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta beserta sanksi pidananya. UUHC juga memberikan berbagai alternatif upaya penyelesaian sengketa bagi pencipta yang dirugikan haknya, tanpa mengurangi hak pemerintah untuk menegakkan hukum hak cipta secara efektif (Yuliati.2021).

Pengaturan mengenai pelanggaran terhadap hak cipta diatur dalam Bab IV UUHC 2014 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Apabila terjadi pelanggaran teradap hak cipta dilakukan melalui penyelesaian sengketa hak cipta yang dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase atau pengadilan yang berwenang, yaitu Pengadilan Niaga yang disebut pada Pasal 95.

Arbitrase, menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pilihan penyelesaian sengketa Hak Cipta lainnya, yaitu:

1.      Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.

2.      Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.

3.      Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

4.      Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

5.      Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.

Penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual selain dapat dilaksanakan melalui pengadilan niaga, juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Didirikannya lembaga di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa HKI dilatarbelakangi kondisi bahwa penyelesaian sengketa di dalam pengadilan lebih sering menghasilkan suatu kesepakatan yang tidak mampu merangkul kepentingan bersama cenderung menimbulkan masalah baru yaitu lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa (M. Citra Ramadhan, dkk, 2023).

Pilihan penyelesaian sengketa yang terakhir adalah melalui pengadilan. Pengadilan merupakan tindakan ultimum remedium yang berarti merupakan tindakan terakhir yang dapat ditempuh apabila pihak yang bersengketa tidak dapat memperoleh penyelesaian secara kekeluargaan. Dalam hal ini, pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga, sesuai dengan Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dan menurut ayat (3) Pasal yang sama, pengadilan lainnya tidak berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta. Ketentuan penyelesaian sengketa kemudian diperjelas lagi pada ayat (4) pasal yang sama, yaitu apabila para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus menempuh terlebih mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.

Apabila terdapat perusahaan/perorangan yang melakukan pelanggaran hak cipta harus mendapatkan sanksi yang tegas, akan tetapi Undang-Undang Kekayaan Intelektual sekarang adalah berupa Delik Aduan (Pasal 120 Undang-undang No 28 Tahun 2014 tentang hak cipta) sehingga diperlukan peran aktif pemilik hak cipta untuk dapat melaporkan adanya pelanggaran yang ada. Undang-undang No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta yang diuraikan pada pada BAB XVII Ketentuan Pidana sudah sangat jelas mengenai pelanggaran dan sanksi yang diberikan kepada pelanggar hak cipta. Pasal tersebut dengan jelas telah mencantumkan ancaman hukuman penjara hingga maksimal sepuluh tahun dan denda hingga empat miliar rupiah (Moody Rizqy Syailendra, dkk. 2023). Kemudian, sanksi hukum perdata dalam pelanggaran hak cipta lagu dan musik di Indonesia dapat berupa ganti rugi dan penghentian kegiatan yang melanggar hak cipta. Berikut adalah penjelasan mengenai sanksi hukum perdata:

Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum, yang menyebabkan kerugian mewajibkan orang yang karena salahnya membawa kerugian bagi orang lain, untuk mengganti kerugian tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 96 Undang-Undang Hak Cipta mengatur bahwa:

a.      Pencipta, pemegang Hak Cipta dan pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh Ganti Rugi.

b.      Ganti Rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana Hak Cipta dan Hak Terkait.

c.      Pembayaran Ganti Rugi kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait dibayarkan paling lama 6 (enam) bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 97 Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa:

a.      Dalam hal Ciptaan telah dicatat menurut ketentuan Pasal 69 ayat (1), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan pembatalan pencatatan Ciptaan dalam daftar umum Ciptaan melalui Pengadilan Niaga.

b.      Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Pencipta dan atau Pemegang Hak Cipta terdaftar.

 

KESIMPULAN

Penelitian ini mengkaji aspek-aspek penting dalam pengelolaan hak cipta lagu di Indonesia, mencakup syarat dan prosedur izin, kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), serta mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014. Proses mendapatkan izin melibatkan identifikasi pemegang hak cipta, pengajuan permohonan rinci, dan negosiasi syarat penggunaan. LMK berperan sebagai perantara dengan kewenangan non-eksklusif dalam pemberian lisensi blanket dan pengelolaan royalti. Penyelesaian sengketa menawarkan berbagai opsi, dari alternatif penyelesaian sengketa hingga proses di Pengadilan Niaga. Untuk peningkatan sistem, disarankan pengembangan platform online terpadu untuk izin penggunaan lagu, penguatan peran dan pengawasan LMK, serta implementasi sistem penyelesaian sengketa online khusus kasus hak cipta musik. Langkah-langkah ini bertujuan menyederhanakan proses, meningkatkan transparansi, dan mempercepat penyelesaian sengketa, sekaligus menyeimbangkan kepentingan semua pihak dalam industri musik Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. H., & Mukti Fajar, N. D. (2020). Mekanisme pembayaran royalti lagu dan musik dalam aplikasi streaming musik. Media of Law and Sharia, 1(2).

Anonim. (2024). Daftar nominal royalti yang harus dibayar pengguna lagu. CNN Indonesia. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2024, dari https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210409141803-227-627928/daftar-nominal-royalti-yang-harus-dibayar-pengguna-lagu

Anwar, M. C. (2024). Mengenal apa itu LMKN yang punya wewenang tarik royalti lagu. Kompas. Diakses pada tanggal 4 Agustus 2024, dari https://money.kompas.com/read/2021/04/12/174103226/mengenal-apa-itu-lmkn-yang-punya-wewenang-tarik-royalti-lagu?page=all

Atmadja, H. T. (2019). Hak cipta musik atau lagu. Jakarta: Universitas Indonesia.

Herlina, R. (2019). Dasar-dasar hukum perdata di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Hasibuan, O. (2008). Hak cipta di Indonesia: Tinjauan khusus hak cipta lagu, neighbouring rights, dan collecting society. Bandung: PT. Alumni.

Hidayah, K. (2018). Hukum hak kekayaan intelektual. Malang: Setara Press.

Media Hukum Online. (2024). Yang berwenang menarik royalti lagu, LMKN atau LMK. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2024, dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/yang-berwenang-menarik-royalti-lagu--lmkn-atau-lmk-cl755

Manan, B. (2017). Aspek hukum perjanjian dan wanprestasi. Bandung: Refika Aditama.

Maria, F. (2020). Wanprestasi dalam hukum perjanjian Indonesia. Surabaya: Pustaka Ilmu.

Nurhilmiyah. (2020). Hukum perdata. Medan: CV. Multi Global Makmur.

Panjaitan, H., & Sinaga, W. (2019). Performing right: Hak cipta atas karya musik dan lagu serta aspeknya (edisi revisi). Jakarta: Uki Press.

Praja, C. B. E., Riswandi, B. A., & Dimyati, K. (2021). Urgensi mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa hak cipta. Kertha Patrika, 43(3).

Priaardanto, C., & Sally, J. N. (2023). Tinjauan yuridis terhadap hak cipta lagu (studi kasus dalam permasalahan antara Dewa 19 dengan Once Mekel). Jurnal Kewarganegaraan, 7(2).

Rahardjo, S. (2018). Hukum dan perubahan sosial. Jakarta: Kompas Gramedia.

Ramadhan, M. C., dkk. (2023). Buku ajar hak kekayaan intelektual. Deliserdang: Universitas Medan Area Press.

Saidin. (2015). Aspek hukum hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Salim, H. S. (2021). Perikatan dalam perspektif hukum perdata. Jakarta: Rajawali Pers.

Simanjuntak, J. (2020). Hak cipta dan resolusi konflik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Subekti, R. (2016). Hukum perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suhendar, A. (2020). Penyelesaian sengketa hak cipta di Indonesia. Bandung: Graha Ilmu.

Susanti, E. (2020). Hukum dan ekonomi: Perspektif hak cipta. Jakarta: Pustaka Obor.

Syailendra, M. R., dkk. (2023). Pelanggaran hukum terhadap hak cipta lagu dan musik di Indonesia. JIMPS: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 8(4).

Widjaja, G. (2019). Dasar-dasar hukum perdata Indonesia. Depok: Rajawali Press.

Yuliati. (2012). Perlindungan hukum bagi pencipta berkaitan dengan plagiarisme karya ilmiah di Indonesia. Arena Hukum, 6(1).

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).