Pembuktian Tindak Pidana Korporasi Berdasarkan Putusan PN SEMARANG Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg

 

Proving Corporate Crimes Based on the Decision of the SEMARANG District Court Number 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg

 

1) Yuni Priskila Ginting, 2) Jeremie Widjaja, 3) Athaya Diah Dakota, 4) Valensia, 5) Julio Capello, 6)* Richie Orlando Jauhanes, 7) Alunuah Yogeta, 8) Raffi Aqil Baihaqi Haksoro, 9) Muhammad Farrel Djaya Putra, 10) Bintang Raja Dirgantara

12345678910 Universitas Pelita Harapan, Indonesia

 

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

*Correspondence: Richie Orlando Jauhanes

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i6.2503

ABSTRAK

Pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi merupakan salah satu aspek paling kompleks dalam hukum pidana modern. Di Indonesia, korporasi sering kali berada di balik layar tindak pidana ekonomi besar yang melibatkan aset bernilai tinggi dan memiliki dampak luas bagi masyarakat, namun ketiadaan prosedur hukum yang jelas telah membuat upaya penegakan hukum menjadi terhambat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang dikenal juga sebagai penelitian kepustakaan atau doctrinal research. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan peraturan terkait yang menjadi landasan dalam mengkaji tanggung jawab pidana korporasi. Sementara itu, bahan hukum sekunder berupa pendapat para ahli hukum, doktrin-doktrin yang dikemukakan dalam literatur akademik, serta artikel-artikel jurnal ilmiah yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini menegaskan bahwa korporasi mendapatkan keuntungan dari tindakan korupsi pengurusnya dan dapat dikenakan sanksi pidana. Tindak pidana korporasi di Indonesia adalah masalah hukum kompleks dengan tantangan dalam pembuktian, regulasi, dan penegakan hukum. Korporasi harus dipahami sebagai entitas hukum dengan struktur dan sistem pengambilan keputusan, bukan hanya tindakan individu. Pembuktian memerlukan pendekatan khusus untuk menunjukkan keterkaitan antara tindakan individu dan kepentingan korporasi. Studi kasus putusan Nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg menunjukkan tantangan dalam proses pembuktian tindak pidana korporasi, terutama dalam pengumpulan alat bukti. Penerapan Perma No. 13 Tahun 2016 telah membantu memberikan panduan hukum, tetapi masih menghadapi kendala dalam penyidikan, penuntutan, dan pembuktian.

 

Kata kunci: Hukum, Korporasi, Pembuktian, dan Pidana.

 

 

ABSTRACT

Proving criminal acts committed by corporations is one of the most complex aspects of modern criminal law. In Indonesia, corporations are often behind large economic crimes involving high-value assets with widespread societal impacts. However, the absence of clear legal procedures has hampered law enforcement efforts. This study employs a normative legal research method, also known as doctrinal research. Primary legal materials include legislation, jurisprudence, and related regulations that form the basis for examining corporate criminal liability. Meanwhile, secondary legal materials consist of opinions from legal experts, doctrines presented in academic literature, and scholarly journal articles related to the issue under study. The Public Prosecutor in this case asserted that the corporation benefited from the corrupt actions of its management and could be subjected to criminal sanctions. Corporate crime in Indonesia is a complex legal issue with challenges in proving, regulating, and enforcing the law. Corporations must be understood as legal entities with decision-making structures and systems, not just as a collection of individual actions. Proving such crimes requires a specific approach to demonstrate the connection between individual actions and the corporation's interests. A case study of Decision No. 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg highlights the challenges in proving corporate crimes, particularly in gathering evidence. The implementation of Perma No. 13 year 2016 has helped provide legal guidelines but still faces obstacles in investigation, prosecution, and proof.

 

Keywords: Law, Corporation, Proof, and Criminal Punishmen

 

 

PENDAHULUAN

Pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi merupakan salah satu aspek paling kompleks dalam hukum pidana modern (Pardede, 2020). Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersendiri telah membuka ruang untuk tanggung jawab pidana yang melampaui individu-individu di dalamnya (Jayaningprang, 2023). Hal ini menjadi penting karena berbagai tindak pidana ekonomi, lingkungan, dan korupsi sering kali dilakukan oleh korporasi, atau lebih tepatnya atas nama dan demi kepentingan korporasi. Di Indonesia, kompleksitas tersebut mendapat perhatian khusus ketika Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini memberikan panduan yang diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum terkait penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya (Smith, 2021).

Meskipun berbagai undang-undang telah mengatur bahwa korporasi dapat menjadi subjek hukum yang bertanggung jawab atas tindak pidana, kenyataannya sangat sedikit kasus yang sampai ke meja hijau. Penyebab utamanya adalah ketidakjelasan prosedural, mulai dari penyidikan hingga penuntutan dan persidangan, khususnya dalam hal menyusun surat dakwaan untuk entitas non-manusia seperti korporasi (Zulkarnain et al., 2020). Hal ini menimbulkan hambatan yang signifikan dalam upaya menegakkan hukum pidana terhadap korporasi. Bahkan dalam kasus-kasus yang melibatkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat, seperti kejahatan lingkungan, tindak pidana korupsi, atau pencucian uang, korporasi jarang dijadikan tersangka atau terdakwa (Hersh, 2001). Di Indonesia, korporasi sering kali berada di balik layar tindak pidana ekonomi besar yang melibatkan aset bernilai tinggi dan memiliki dampak luas bagi masyarakat. Namun, ketiadaan prosedur hukum yang jelas telah membuat upaya penegakan hukum menjadi terhambat (Castro et al., 2020).

Perma No. 13 Tahun 2016 hadir dengan membawa berbagai ketentuan penting yang diharapkan mampu mengatasi berbagai kesulitan tersebut. Salah satu hal utama yang diatur dalam Perma ini adalah kriteria kesalahan korporasi yang dapat dianggap telah melakukan tindak pidana. Korporasi dianggap bersalah apabila memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tertentu, atau apabila tindak pidana tersebut dilakukan demi kepentingan korporasi (Wang et al., 2023). Selain itu, korporasi juga dinilai bersalah apabila membiarkan terjadinya tindak pidana tersebut, misalnya dengan tidak mengambil langkah-langkah pencegahan. Tanggung jawab pidana korporasi juga dapat muncul apabila korporasi tidak memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku yang seharusnya bisa mencegah tindak pidana tersebut (Baer, 2020).

Selanjutnya, dalam hal tanggung jawab pidana, Perma No. 13 Tahun 2016 mengatur bahwa pertanggungjawaban korporasi tidak akan hilang hanya karena pengurusnya berhenti atau meninggal dunia. Ini merupakan langkah maju yang penting, mengingat selama ini ada anggapan bahwa tindak pidana korporasi bisa "lenyap" seiring dengan pergantian pengurus (Solomon, 2020). Selain itu, Perma ini juga tidak hanya mengatur pertanggungjawaban satu korporasi, tetapi juga membuka kemungkinan menjerat grup korporasi atau korporasi dalam penggabungan, peleburan, atau pemisahan. Namun, korporasi yang telah bubar tidak dapat dipidana kecuali jika aset-asetnya terbukti digunakan untuk tindak pidana (Jennings, 2023).

Meskipun Perma No. 13 Tahun 2016 telah memberikan kerangka hukum yang lebih jelas, sistem pembuktian dalam kasus tindak pidana korporasi masih merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum acara lainnya. Salah satu aspek penting dalam pembuktian adalah keterangan yang diberikan oleh korporasi, yang dianggap sebagai alat bukti sah dalam persidangan, mirip dengan keterangan terdakwa dalam kasus tindak pidana individu. Penjatuhan pidana terhadap korporasi juga telah diatur dengan pidana pokok berupa denda dan pidana tambahan berupa uang pengganti atau restitusi kepada korban (Andayani & Wuryantoro, 2023).

Namun pada praktiknya, tantangan terbesar dalam pembuktian tindak pidana korporasi adalah pada tahap penyusunan surat dakwaan. KUHAP belum memberikan petunjuk teknis yang jelas mengenai penyusunan dakwaan dalam perkara tindak pidana korporasi, mengakibatkan banyak penyidik dan penuntut umum kesulitan dalam merumuskan dakwaan yang menyertakan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa (Alcadipani & de Oliveira Medeiros, 2020). Sebagai contoh, meskipun UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan instrumen hukum untuk menjerat korporasi, kenyataannya KPK dan Kejaksaan jarang sekali membawa korporasi ke pengadilan. Dalam beberapa kasus, meskipun direksi atau pengurus perseroan telah diproses hukum, korporasi sering kali tidak tersentuh oleh hukum pidana (Kawasaki, 2019).

Salah satu kasus yang menarik perhatian dalam konteks pembuktian tindak pidana korporasi di Indonesia adalah Putusan Nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg. Kasus ini melibatkan Terdakwa Edy Kusnaedy yang dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Kasus ini menjadi contoh bagaimana korporasi, dalam hal ini PT Jawen Sejahtera, terlibat secara tidak langsung dalam tindak pidana yang dilakukan oleh individu pengurusnya (Sintung et al., 2022).

Mengingat masih adanya kesenjangan antara aturan hukum yang ada dengan praktik penegakan hukum di lapangan, penting untuk mengkaji bagaimana sistem hukum Indonesia dapat lebih efektif dalam menjerat korporasi yang terlibat dalam tindak pidana. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang penting bagi pengembangan hukum pidana korporasi di Indonesia, khususnya dalam upaya menegakkan keadilan terhadap tindak pidana yang melibatkan entitas korporasi (Alshraiedeh et al., 2020).

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang dikenal juga sebagai penelitian kepustakaan atau doctrinal research (Ali, 2022). Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menelaah hukum sebagai suatu norma atau aturan yang berlaku di masyarakat, serta menganalisis isi dan substansi dari norma-norma tersebut melalui pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan kasus. Dalam penelitian ini, metode normatif dipilih karena pokok permasalahan yang hendak dikaji adalah mengenai pembuktian tindak pidana korporasi yang bersifat teoritis dan normatif, terutama dalam konteks penerapan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana korporasi, serta melihat bagaimana peraturan tersebut diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana yang melibatkan korporasi di Indonesia.

Pendekatan normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap analisis. Pertama, penelitian ini berfokus pada studi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korporasi. Dalam hal ini, penelitian akan mengkaji secara mendalam Perma No. 13 Tahun 2016 sebagai dasar hukum utama yang mengatur tentang prosedur penanganan tindak pidana oleh korporasi, termasuk berbagai undang-undang lain yang relevan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta undang-undang sektoral yang mengatur tanggung jawab pidana korporasi dalam konteks tertentu, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Pada tahap kedua, penelitian ini akan melakukan analisis terhadap doktrin hukum yang berkembang mengenai tanggung jawab pidana korporasi, baik di Indonesia maupun di beberapa negara lain. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memahami pandangan dan konsep-konsep teoretis yang telah dikembangkan oleh para ahli hukum pidana, terutama mengenai bagaimana tanggung jawab pidana dapat dilekatkan pada entitas yang tidak berwujud fisik seperti korporasi. Analisis ini akan mengacu pada literatur hukum yang relevan, seperti buku teks hukum, jurnal ilmiah, serta artikel-artikel hukum yang telah membahas tentang konsep pertanggungjawaban pidana korporasi (Ali, 2022).

Selanjutnya, dalam tahap ketiga, penelitian ini akan mengkaji studi kasus, yaitu kasus-kasus konkret yang pernah diadili oleh pengadilan terkait dengan tindak pidana korporasi di Indonesia. Studi kasus ini penting untuk memahami bagaimana norma-norma hukum yang ada di dalam Perma No. 13 Tahun 2016 diterapkan dalam praktik. Melalui analisis yurisprudensi, penelitian ini akan menggali bagaimana hakim-hakim di pengadilan menerapkan kaidah-kaidah hukum pidana korporasi, bagaimana proses pembuktian dijalankan, serta apakah norma-norma yang diatur dalam Perma tersebut telah efektif digunakan sebagai pedoman dalam penanganan kasus. Salah satu studi kasus yang akan dianalisis secara mendalam adalah Putusan Nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg, yang melibatkan korporasi PT Jawen Sejahtera. Analisis terhadap putusan ini akan memberikan wawasan yang lebih jelas mengenai peran pengurus dan korporasi dalam tindak pidana yang terjadi, serta bagaimana pembuktian dilakukan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana.

Pendekatan konseptual juga merupakan bagian integral dari penelitian hukum normatif ini. Melalui pendekatan konseptual, penelitian ini akan menganalisis konsep-konsep hukum pidana yang relevan dengan tindak pidana korporasi, seperti konsep "actus reus" dan "mens rea" dalam konteks korporasi, serta konsep pertanggungjawaban pidana kolektif. Pendekatan ini penting karena tanggung jawab pidana korporasi memerlukan interpretasi hukum yang berbeda dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana individu. Konsep-konsep seperti �corporate liability� dan �strict liability� akan menjadi fokus utama dalam pendekatan konseptual ini, mengingat perdebatan yang ada di kalangan akademisi hukum mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada suatu entitas yang tidak memiliki kehendak atau niat seperti individu.

����������� Dalam penelitian normatif, penggunaan bahan hukum primer dan sekunder akan menjadi sumber utama dalam pengumpulan data. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan peraturan terkait yang menjadi landasan dalam mengkaji tanggung jawab pidana korporasi. Sementara itu, bahan hukum sekunder berupa pendapat para ahli hukum, doktrin-doktrin yang dikemukakan dalam literatur akademik, serta artikel-artikel jurnal ilmiah yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Seluruh bahan hukum ini akan diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai pembuktian tindak pidana korporasi.

 

 

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Putusan pengadilan dengan nomor perkara 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg melibatkan korporasi PT Jawen Sejahtera yang didakwa terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana proyek pemerintah. Studi kasus ini menjadi relevan dalam rangka mengkaji bagaimana pengadilan menangani kasus korupsi yang melibatkan entitas korporasi, termasuk bagaimana pembuktian dilakukan untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

Putusan ini dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Semarang dalam kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan PT Jawen Sejahtera. Dalam dakwaan, korporasi tersebut diduga berkolusi dengan beberapa pejabat pemerintah daerah untuk memenangkan kontrak proyek pembangunan infrastruktur yang didanai oleh APBD. Modus operandi yang digunakan adalah memberikan suap kepada pejabat terkait untuk memanipulasi proses lelang proyek sehingga PT Jawen Sejahtera ditetapkan sebagai pemenang. Suap yang diberikan disamarkan dalam bentuk hibah fiktif dan donasi yang diklaim untuk kegiatan sosial.

Dalam kasus ini, PT Jawen Sejahtera didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan dakwaan, perusahaan ini dianggap terlibat dalam tindak pidana korupsi karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya, yang dalam hal ini merupakan representasi dari korporasi itu sendiri. Pengadilan kemudian menghadapi tantangan dalam menilai apakah perusahaan sebagai entitas hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya.

Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu dakwaan terhadap individu yang bertindak sebagai pengurus PT Jawen Sejahtera, serta dakwaan terhadap korporasi itu sendiri. Dakwaan terhadap pengurus didasarkan pada peran aktif mereka dalam melakukan tindak pidana, sementara dakwaan terhadap korporasi didasarkan pada tanggung jawab pidana kolektif yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang memungkinkan korporasi dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.

Dalam dakwaannya, JPU menegaskan bahwa korporasi secara aktif mendapatkan keuntungan dari tindakan korupsi yang dilakukan oleh pengurusnya, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana. Dakwaan ini didasarkan pada premis bahwa korporasi, meskipun tidak memiliki kehendak atau niat (mens rea) seperti individu, dapat dinilai bertanggung jawab jika terbukti bahwa tindak pidana dilakukan dalam lingkup wewenang pengurus yang mewakili korporasi dan memberikan keuntungan bagi korporasi tersebut. JPU juga menekankan bahwa PT Jawen Sejahtera telah menerima keuntungan materiil dari proyek yang didapatkan melalui praktik korupsi. Sebagai pihak yang menikmati hasil dari tindakan melanggar hukum tersebut, perusahaan dianggap telah mengambil peran penting dalam proses terjadinya tindak pidana, meskipun tindakan fisik dilakukan oleh individu-individu tertentu.

Pembuktian

Pembuktian dalam kasus ini merupakan elemen kunci yang menentukan apakah dakwaan terhadap PT Jawen Sejahtera dan pengurusnya dapat dibuktikan di pengadilan. Sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah dalam perkara pidana meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam kasus ini, JPU menggunakan berbagai macam alat bukti untuk membuktikan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi yang terjadi.

Keterangan Saksi Keterangan saksi memegang peranan penting dalam proses pembuktian kasus ini. Saksi yang dihadirkan termasuk pejabat pemerintah daerah yang diduga menerima suap dari PT Jawen Sejahtera, serta beberapa pihak yang terlibat dalam proses lelang proyek. Keterangan saksi-saksi ini mengungkapkan bagaimana proses manipulasi lelang dilakukan, serta peran aktif pengurus PT Jawen Sejahtera dalam menawarkan suap kepada pejabat pemerintah. Para saksi juga memberikan keterangan mengenai aliran dana yang diterima oleh pejabat tersebut, yang kemudian diklaim sebagai hibah fiktif dari perusahaan untuk kegiatan sosial.

Keterangan Ahli Selain keterangan saksi, JPU juga menghadirkan beberapa ahli hukum pidana dan ahli forensik keuangan untuk memberikan pandangan mereka mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Ahli hukum pidana memberikan penjelasan mengenai bagaimana sebuah korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan peran aktif pengurusnya dalam menjalankan perusahaan (Syahrir et al., 2022). Ahli forensik keuangan, di sisi lain, menganalisis aliran dana yang diduga sebagai suap, serta mencoba menelusuri jejak keuangan yang digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana tersebut. Analisis forensik ini menunjukkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan antara PT Jawen Sejahtera dan beberapa pihak yang terkait dengan proyek pemerintah tersebut.

Surat dan Dokumen Dokumen-dokumen yang diajukan sebagai alat bukti dalam kasus ini termasuk kontrak proyek, laporan keuangan PT Jawen Sejahtera, serta dokumen-dokumen terkait proses lelang proyek. Dokumen-dokumen ini digunakan untuk membuktikan bahwa PT Jawen Sejahtera memang terlibat dalam proyek yang dimaksud, serta untuk menunjukkan bagaimana perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan finansial dari proyek tersebut. Selain itu, bukti-bukti transfer uang yang mencurigakan antara perusahaan dan pejabat pemerintah juga digunakan sebagai petunjuk adanya praktik korupsi.

Petunjuk-petunjuk yang diperoleh selama persidangan juga menjadi alat bukti yang mendukung dakwaan� (Manthovani, 2010). Petunjuk tersebut termasuk pola transaksi keuangan yang mencurigakan, serta testimoni yang konsisten dari beberapa saksi mengenai keterlibatan pengurus PT Jawen Sejahtera dalam menawarkan suap. Selain itu, pengadilan juga mempertimbangkan fakta bahwa perusahaan memperoleh keuntungan besar dari proyek yang didapatkan melalui praktik yang melanggar hukum.

Keterangan Terdakwa Pengurus PT Jawen Sejahtera yang didakwa dalam kasus ini memberikan keterangan yang pada awalnya menyangkal keterlibatan mereka dalam tindak pidana korupsi. Namun setelah dihadapkan pada bukti-bukti yang diajukan oleh JPU, mereka akhirnya mengakui bahwa terdapat pemberian uang kepada pejabat pemerintah, meskipun mereka berargumen bahwa uang tersebut adalah donasi sah untuk kegiatan sosial. Namun pengadilan menilai bahwa keterangan terdakwa tidak konsisten dengan bukti-bukti yang diajukan, dan menganggap bahwa pengakuan tersebut merupakan upaya untuk mengalihkan tanggung jawab.

Prosedur Pembuktian dalam Tindak Pidana Korporasi

Dalam menangani kasus ini, pengadilan menggunakan pedoman yang diatur dalam Perma No. 13 Tahun 2016, yang menetapkan tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi. Salah satu aspek penting dari pembuktian tindak pidana korporasi adalah menilai apakah tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan kepentingan korporasi, serta apakah tindakan tersebut memberikan keuntungan bagi korporasi. Pengadilan harus memeriksa dengan cermat bagaimana tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengurus perusahaan terkait dengan korporasi sebagai entitas hukum.

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembuktian tindak pidana korporasi adalah membedakan antara tanggung jawab individu dan tanggung jawab korporasi. Dalam kasus ini, pengadilan harus menentukan apakah tindakan pengurus PT Jawen Sejahtera dapat dianggap sebagai tindakan yang mewakili kepentingan korporasi, ataukah tindakan tersebut semata-mata dilakukan untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan alat bukti yang diajukan, pengadilan menyimpulkan bahwa tindakan pengurus tersebut memang dilakukan untuk kepentingan korporasi, karena perusahaan mendapatkan manfaat langsung dari proyek yang diperoleh melalui praktik korupsi.

Selain itu, pengadilan juga mempertimbangkan apakah PT Jawen Sejahtera memiliki sistem internal yang dapat mencegah terjadinya tindak pidana. Berdasarkan pemeriksaan, terbukti bahwa perusahaan tidak memiliki prosedur kepatuhan yang memadai untuk mencegah pengurusnya melakukan praktik korupsi sehingga perusahaan dianggap lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Pengadilan juga mencatat bahwa tidak adanya upaya dari perusahaan untuk mengawasi atau menghentikan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh pengurusnya menjadi salah satu faktor yang memperkuat dakwaan terhadap PT Jawen Sejahtera.

Prosedur yang diterapkan mengacu pada asas-asas umum dalam hukum pidana, khususnya terkait pertanggungjawaban pidana. Pengadilan menerapkan pendekatan vicarious liability, di mana korporasi dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh individu yang bertindak atas nama dan untuk kepentingan perusahaan. Dalam hal ini, peran pengurus perusahaan menjadi sentral, karena tindakan mereka dilihat sebagai perwujudan kehendak korporasi. Pengadilan juga menekankan pentingnya peran pengawasan dan pengendalian internal dalam sebuah korporasi. Sebagaimana dinyatakan dalam Perma No. 13 Tahun 2016, korporasi dapat dibebaskan dari tanggung jawab pidana jika terbukti bahwa perusahaan telah melakukan segala upaya yang wajar untuk mencegah terjadinya tindak pidana, namun gagal karena tindakan individu yang melanggar ketentuan perusahaan. Namun dalam kasus PT Jawen Sejahtera, tidak ada bukti bahwa perusahaan memiliki sistem kontrol yang efektif untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pengurusnya.

Analisis Penerapan Perma No. 13 Tahun 2016 dalam Kasus PT Jawen Sejahtera

Pada tahap penyidikan, Perma No. 13 Tahun 2016 memberikan pedoman tentang bagaimana aparat penegak hukum harus mengidentifikasi tindak pidana korporasi dan menelusuri keterlibatan korporasi dalam tindakan pidana tersebut (Pangaribuan, 2019). Di dalam Pasal 4 Perma No. 13 Tahun 2016 disebutkan bahwa dalam penyidikan tindak pidana oleh korporasi, penyidik wajib memeriksa apakah tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan atau atas perintah korporasi, dan apakah korporasi mendapatkan manfaat dari tindak pidana tersebut.

Dalam kasus PT Jawen Sejahtera, penyidik menelusuri peran para pengurus perusahaan yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan anggaran proyek pemerintah. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan terhadap individu-individu kunci yang menjabat sebagai pengambil keputusan di dalam perusahaan. Penyidik harus memastikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu tersebut benar-benar mewakili korporasi, serta apakah perusahaan mendapatkan keuntungan secara langsung dari hasil korupsi tersebut. Penyidikan ini melibatkan pengumpulan bukti-bukti, termasuk dokumen keuangan, kontrak, dan komunikasi internal perusahaan, yang digunakan untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara tindakan individu dan keuntungan yang diperoleh oleh korporasi.

Perma No. 13 Tahun 2016 juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk memanggil perwakilan sah korporasi, seperti direktur atau manajer, untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai perwakilan dari entitas hukum korporasi (Ms et al., 2024). Dalam kasus PT Jawen Sejahtera, direktur perusahaan diperiksa dalam beberapa sesi interogasi formal untuk menggali lebih dalam peran perusahaan dalam tindak pidana ini. Selain itu, penyidik juga menyelidiki struktur organisasi perusahaan, aliran dana, serta praktik-praktik pengambilan keputusan yang berlangsung di dalam korporasi, guna memperkuat bukti-bukti yang menunjukkan adanya kepentingan korporasi dalam tindakan korupsi tersebut.

Pada tahap penuntutan, peran jaksa menjadi sentral dalam menyusun dakwaan yang ditujukan kepada korporasi. Perma No. 13 Tahun 2016 memberikan pedoman khusus mengenai bagaimana dakwaan harus disusun, termasuk perincian mengenai siapa yang mewakili korporasi di persidangan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dapat diajukan. Jaksa dalam kasus PT Jawen Sejahtera menyusun dakwaan dengan mengacu pada ketentuan ini, di mana mereka tidak hanya menuntut pengurus yang secara aktif melakukan tindak pidana, tetapi juga korporasi itu sendiri sebagai subjek hukum yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Dalam dakwaan, jaksa harus menunjukkan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh pengurus perusahaan tersebut merupakan bagian dari kepentingan korporasi, dan bahwa korporasi telah memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung dari tindakan tersebut. Dakwaan yang disusun terhadap PT Jawen Sejahtera menjelaskan secara rinci bagaimana proyek yang dikerjakan oleh perusahaan menggunakan dana yang bersumber dari anggaran pemerintah. Jaksa juga menekankan bahwa korporasi memperoleh keuntungan finansial yang penting melalui praktik suap yang dilakukan oleh pengurusnya. Di sini, Perma No. 13 Tahun 2016 membantu membingkai dakwaan dengan lebih jelas.

Dalam proses persidangan, pembuktian tindak pidana korporasi berdasarkan Perma No. 13 Tahun 2016 melibatkan sejumlah alat bukti yang tidak hanya mencakup bukti yang relevan untuk pembuktian tindak pidana individu, tetapi juga bukti yang secara khusus menyasar keterlibatan korporasi. Perma ini mensyaratkan adanya pembuktian bahwa tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup kepentingan korporasi, dilakukan untuk dan atas nama korporasi, atau bahwa korporasi telah gagal untuk mencegah terjadinya tindak pidana, padahal seharusnya mereka dapat mencegahnya melalui tata kelola yang baik.

Alat bukti yang diajukan oleh jaksa dalam kasus PT Jawen Sejahtera mencakup dokumen-dokumen kontrak proyek yang menunjukkan keterlibatan perusahaan dalam tender pemerintah yang menjadi objek tindak pidana korupsi. Selain itu, bukti komunikasi antara pengurus perusahaan dan pejabat pemerintah yang menerima suap juga dihadirkan sebagai bukti bahwa perusahaan tersebut secara aktif terlibat dalam praktik suap. Perma No. 13 Tahun 2016 memperkuat pembuktian ini dengan menggarisbawahi bahwa bukti terkait struktur organisasi dan sistem pengambilan keputusan perusahaan juga relevan dalam menentukan tanggung jawab korporasi.

Dalam hal pembuktian tanggung jawab pidana korporasi, pengadilan harus mempertimbangkan apakah perusahaan telah memiliki kebijakan internal yang memadai untuk mencegah terjadinya tindak pidana (Taufiq & Haribowo, 2021). Dalam kasus PT Jawen Sejahtera, pengadilan menemukan bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki mekanisme pengawasan yang memadai untuk mencegah praktik suap dan korupsi sehingga kegagalan ini menjadi dasar untuk mengajukan tanggung jawab pidana terhadap korporasi.

Hambatan Pembuktian Tindak Pidana Korporasi

Salah satu kendala teknis utama dalam pembuktian tindak pidana korporasi adalah abstraksi entitas korporasi itu sendiri. Korporasi tidak memiliki fisik atau kapasitas untuk melakukan tindak pidana secara langsung seperti manusia. Sebaliknya, kejahatan dilakukan oleh pengurus atau karyawan korporasi yang beroperasi atas nama entitas tersebut. Hal ini menciptakan celah hukum, di mana sulit bagi jaksa untuk menunjukkan secara jelas bahwa tindakan individu yang melakukan tindak pidana benar-benar merupakan tindakan korporasi. Salah satu langkah penting dalam pembuktian adalah menunjukkan bahwa tindak pidana dilakukan atas perintah, untuk kepentingan, atau atas nama korporasi. Kendati demikian, untuk membuktikan hubungan ini, sering kali diperlukan penggalian bukti yang mendalam dan rumit, seperti mengakses dokumen internal perusahaan, komunikasi antar pengurus, hingga sistem pengambilan keputusan yang berlangsung di dalam perusahaan.

Kendala lain terletak pada kurangnya instrumen hukum yang komprehensif untuk menangani tindak pidana korporasi. Meskipun Perma No. 13 Tahun 2016 telah memberikan pedoman tata cara penanganan perkara pidana korporasi, regulasi ini tidak mencakup seluruh aspek yang diperlukan dalam setiap kasus. Sering kali, tidak adanya aturan teknis yang lebih mendalam mengenai pembuktian tanggung jawab korporasi mengakibatkan ketidakseragaman dalam proses penegakan hukum, terutama di pengadilan tingkat daerah. Hakim dan penegak hukum mungkin memiliki pemahaman yang berbeda mengenai bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban, yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam putusan pengadilan.

Dalam implementasinya di pengadilan, tantangan terbesar adalah terkait pengumpulan dan penyajian alat bukti. Dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh individu, alat bukti seperti keterangan saksi, rekaman video, atau jejak digital sering kali dapat secara langsung menghubungkan pelaku dengan kejahatan. Namun dalam konteks korporasi, alat bukti yang diperlukan cenderung lebih kompleks dan melibatkan banyak pihak (Taufiq & Haribowo, 2021). Misalnya, untuk membuktikan bahwa korporasi telah mengambil keuntungan dari tindak pidana, jaksa harus menghadirkan bukti keuangan yang detail, termasuk aliran dana, catatan pembukuan, hingga analisis kontrak. Dokumen-dokumen ini sering kali sulit diakses, terutama jika perusahaan yang bersangkutan menggunakan berbagai cara untuk menutup jejak administratif mereka.

Selain itu, proses pengadilan seringkali terhambat oleh manipulasi bukti oleh pihak korporasi. Karena korporasi memiliki sumber daya yang besar, mereka sering kali mampu menyewa tim hukum dan auditor yang kompeten untuk mencari celah dalam penyusunan dakwaan dan pembuktian. Terkadang, jaksa harus berhadapan dengan bukti yang telah dimanipulasi atau disembunyikan oleh pihak perusahaan, yang secara penting menghambat proses pengadilan. Manipulasi ini bisa berupa pengubahan dokumen, penghilangan catatan keuangan, atau bahkan pengaruh terhadap saksi-saksi yang mungkin memberikan kesaksian yang memberatkan korporasi.

Salah satu faktor krusial yang sering mempengaruhi keberhasilan pembuktian tindak pidana korporasi adalah kualitas surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut. Dakwaan yang lemah atau tidak terstruktur dengan baik dapat menyebabkan kerancuan dalam proses pengadilan, yang pada akhirnya menguntungkan terdakwa. Dakwaan yang kurang spesifik atau gagal menguraikan hubungan yang jelas antara tindakan individu dan korporasi seringkali berakhir dengan putusan bebas. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan jaksa untuk membuktikan bahwa kejahatan tersebut dilakukan dengan tujuan menguntungkan korporasi, atau bahwa korporasi secara langsung memperoleh manfaat dari tindak pidana yang dilakukan.

Kendala lainnya dalam penyusunan surat dakwaan adalah kesulitan merinci peran masing-masing pengurus korporasi dalam kejahatan tersebut. Dalam banyak kasus, tindakan korupsi atau suap dilakukan oleh beberapa individu dengan berbagai tingkat keterlibatan. Jaksa harus mampu menunjukkan dengan jelas bagaimana setiap individu bertindak atas nama korporasi, serta bagaimana tindakan mereka terkait secara langsung dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Jika dakwaan gagal merinci hal ini, maka hakim mungkin tidak akan menemukan cukup dasar untuk menyatakan korporasi bersalah.

Pengaruh dakwaan yang lemah terhadap keputusan hakim sangat besar dalam kasus tindak pidana korporasi. Jika surat dakwaan tidak disusun dengan cermat, maka hakim sering kali tidak memiliki panduan yang jelas mengenai bagaimana mempertimbangkan bukti dan fakta hukum yang disajikan di persidangan. Akibatnya, hakim mungkin kesulitan untuk menentukan apakah korporasi benar-benar dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh individu-individu dalam perusahaan tersebut.

Dakwaan yang lemah juga dapat mempengaruhi strategi pembelaan dari pihak terdakwa. Jika korporasi melihat adanya celah dalam dakwaan, mereka bisa memanfaatkannya untuk mereduksi tanggung jawab hukum mereka, baik dengan mengalihkan kesalahan sepenuhnya kepada individu yang terlibat, maupun dengan menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukanlah bagian dari kebijakan korporasi. Strategi pembelaan ini sering kali berhasil jika jaksa tidak mampu menyusun dakwaan yang kuat dan menyajikan alat bukti yang memadai untuk membuktikan hubungan langsung antara tindakan individu dan korporasi.

 

 

KESIMPULAN

Tindak pidana korporasi merupakan salah satu permasalahan hukum yang sangat kompleks di Indonesia, dengan tantangan yang mencakup aspek teknis pembuktian, keterbatasan regulasi, dan kelemahan dalam penegakan hukum. Keterlibatan korporasi dalam tindak pidana, khususnya korupsi, tidak bisa hanya dilihat dari tindakan individu yang bekerja di dalamnya, melainkan harus dipahami dari bagaimana korporasi sebagai entitas hukum bertanggung jawab secara pidana. Pembuktian dalam tindak pidana korporasi memerlukan pendekatan berbeda dari tindak pidana individu, di mana pengadilan harus menunjukkan hubungan antara tindakan individu dengan kepentingan korporasi. Kasus putusan Nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smg menggarisbawahi tantangan dalam membuktikan bahwa tindakan individu dilakukan untuk kepentingan korporasi, dengan alat bukti seperti dokumen keuangan dan komunikasi internal berperan penting. Namun, pengumpulan bukti sering kali terhambat oleh akses terbatas dan manipulasi dokumen. Perma No. 13 Tahun 2016 memberikan kerangka hukum untuk menata penanganan tindak pidana korporasi, meskipun implementasinya masih menghadapi kendala, seperti perbedaan pemahaman di kalangan penegak hukum yang menghambat prosedur penyidikan, penuntutan, dan pembuktian.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alcadipani, R., & de Oliveira Medeiros, C. R. (2020). When corporations cause harm: A critical view of corporate social irresponsibility and corporate crimes. Journal of Business Ethics, 167(2), 285�297.

Ali, H. Z. (2022). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.

Alshraiedeh, N. H., Kelly, S. A., Thompson, T. P., Flynn, P. B., Tunney, M. M., & Gilmore, B. F. (2020). Extracellular polymeric substance‐mediated tolerance of Pseudomonas aeruginosa biofilms to atmospheric pressure nonthermal plasma treatment. Plasma Processes and Polymers, 17(12), 2000108.

Andayani, W., & Wuryantoro, M. (2023). Good Corporate Governance, Corporate Social Responsibility and Fraud Detection of Financial Statements. International Journal of Professional Business Review: Int. J. Prof. Bus. Rev., 8(5), 9.

Baer, M. H. (2020). Three Conceptions of Corporate Crime (and One Avenue for Reform). Law & Contemp. Probs., 83, 1.

Castro, A., Phillips, N., & Ansari, S. (2020). Corporate corruption: A review and an agenda for future research. Academy of Management Annals, 14(2), 935�968.

Hersh, H. B. (2001). Environmental crimes and corporate responsibility: a legal research guide. (No Title).

Jayaningprang, H. (2023). Analisis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Tindak Pidana Korupsi. Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).

Jennings, A. K. (2023). The Market for Corporate Criminals. Yale J. on Reg., 40, 520.

Kawasaki, T. (2019). Review of Comparative Studies on White‐Collar and Corporate Crime. The Handbook of White‐Collar Crime, 437�447.

Manthovani, R. (2010). Penuntutan Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Kejahatan di Sektor Kehutanan: Optimalisasi Penggunaan Undang-undang Pencucian Uang dalam Pembuktian Tindak Pidana di Sektor Kehutanan di Indonesia yang Dilakukan oleh Korporasi.

Ms, I. A. N., Mandiana, S., & Setyabudhi, J. J. (2024). Corporate Criminal Law Liability in Corruption Crimes Based on Perma RI Number 13 of 2016. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 5(7), 3402�3411.

Pangaribuan, T. (2019). Perkembangan Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi. Law Review, 19(1), 1�24.

Pardede, M. (2020). Aspek Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi Dalam Bidang Perpajakan. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(3), 335�362.

Sintung, L. L., Haling, S., & Syah, K. (2022). Corporate Legal Liability as a Criminal Act of Corruption. Indonesian Research Journal in Legal Studies, 1(01), 33�43.

Smith, S. F. (2021). Corporate Criminal Liability: End It, Don�t Mend It. J. Corp. L., 47, 1089.

Solomon, J. (2020). Corporate governance and accountability. John Wiley & Sons.

Syahrir, K. A., Karim, M. S., & Mirzana, H. A. (2022). Pembaharuan Metode Pembuktian Subjek Hukum Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Tumou Tou Law Review, 32�47.

Taufiq, A., & Haribowo, S. N. (2021). Corporate Criminal Responsibility for Corruption Crimes in Perspective Perma No. 13 of 2016. International Journal of Health, Economics, and Social Sciences (IJHESS), 3(4), 312�325.

Wang, Z., Wang, C., & Fang, Z. (2023). Common institutional ownership and corporate misconduct. Managerial and Decision Economics, 44(1), 102�136.

Zulkarnain, I., Sugiri, B., & Navianto, I. (2020). Corporate Criminal Liability based on Economic Analysis of Law.