Upaya Pencapaian SDG's Goals #4: KJP Untuk Pendidikan Berkualitas di
Jakarta
Efforts to
Achieve SDG's Goals #4: KJP for Quality Education in Jakarta
1)* Jeremy Bryce Lim, 2)
Josephine Exaudi, 3) Inrika Juni Harti
Universitas Kristen Indonesia, Jakarta,
Indonesia
Email: 1)[email protected], 2)[email protected],
3)[email protected]
*Correspondence: 1) Jeremy
Bryce Lim
DOI: 10.59141/comserva.v4i6.2489 |
ABSTRAK Warga DKI
Jakarta kini bisa menikmati pendidikan dengan bahagia. Sebab, pemerintah
daerah memberikan kesempatan bagi masyarakat yang tidak mampu mengenyam
pendidikan. Kebijakan dukungan finansial biaya pendidikan individu yang
dikenal dengan program Kartu Jakarta Pintar Plus (KJP Plus) memberikan
kemudahan akses terhadap pemerataan pendidikan khususnya di wilayah DKI
Jakarta. Namun masih banyak kasus penyalahgunaan KJP Plus yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini membuat nama KJP Plus menjadi kurang
akurat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas penggunaan KJP Plus di sekolah-sekolah di provinsi Jakarta.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan fokus studi kasus. Data
yang berguna terdiri dari hasil wawancara dengan Bappenas DKJ dan pengelola
masing-masing pilar SDGs, yang dilakukan saat kunjungan pelatihan ke salah
satu kursus. Kedua, karena lembaga yang dikunjungi bukanlah lembaga yang
bekerja langsung di lapangan/masyarakat, melainkan hanya lembaga yang merujuk
pemangku kepentingan kepada pemerintah negara/otoritas terkait, maka
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sumber/referensi online di
websitenya maka akan diperoleh hasil yang terbaik. Temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis data, penggunaan KJP Plus di
sekolah-sekolah di Jakarta tidak tepat sasaran karena penggunaan KJP Plus
tidak tepat sasaran dan tidak menyasar masyarakat yang sangat membutuhkan
dana pendidikan serta tidak tepat sasaran. tidak efektif. Penerima KJP Plus
masih banyak yang berasal dari keluarga mampu. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menyusun pedoman peningkatan mutu pendidikan
melalui KJP Plus. Kata kunci: Kartu Jakarta Pintar, Pemerintah Provinsi, Pendidikan, Efektivitas. |
|
ABSTRACT DKI Jakarta residents can now enjoy education happily. This is because
local governments provide opportunities for people who cannot afford
education. The policy of financial support for individual education costs,
known as the Jakarta Smart Plus Card (KJP Plus) program, provides easy access
to equitable education, especially in the DKI Jakarta area. However, there
are still many cases of misuse of KJP Plus that do not comply with applicable
regulations. This makes the name KJP Plus less accurate. Therefore, this
research aims to determine the effectiveness of using KJP Plus in schools in
Jakarta province. This research uses qualitative methods with a case study
focus. Useful data consists of the results of interviews with Bappenas DKJ and managers of each SDGs pillar, which were
conducted during a training visit to one of the courses. Second, because the
institutions visited are not institutions that work directly in the
field/community, but only institutions that refer stakeholders to the state
government/relevant authorities, data collection is carried out using online
sources/references on their websites so the best results will be obtained.
The findings of this research show that based on the results of data
analysis, the use of KJP Plus in schools in Jakarta is not on target because
the use of KJP Plus is not on target and does not target people who really
need education funds and is not on target. ineffective. Many KJP Plus
recipients still come from well-off families. Therefore, further research is needed
to develop guidelines for improving the quality of education through KJP
Plus. Keywords: Jakarta Smart Card, Provincial Government, Education,
Effectiveness |
PENDAHULUAN
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan program
lanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs) yang menjadi pedoman pembangunan global selama
periode 2000-2015 (H�k et al., 2016). Pada akhir implementasi MDGs, negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat untuk mengembangkan program
pembangunan global (Bhattacharya et al.,
2016). Agenda
SDGs kemudian diresmikan dan diadopsi pada Majelis
Umum PBB pada tanggal 25 September 2015. Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030
mencakup 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan 169 target spesifik yang harus
dicapai pada tahun 2030. SDGs dirancang lebih
komprehensif dan inklusif, berfokus pada hak asasi manusia, dan melibatkan
banyak pemangku kepentingan. SDGs bukan sekedar
program, namun merupakan komitmen global dan nasional untuk mencapai masyarakat
sejahtera (Arts, 2017).
SDGs bertujuan untuk menjaga
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan, menjaga
keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup
serta pembangunan yang inklusif dan menerapkan tata kelola yang mampu menjaga
peningkatan kesejahteraan masyarakat. kualitas hidup dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Henderson &
Loreau, 2023).
Sebagai anggota PBB, Indonesia berperan aktif dalam implementasi dan pencapaian
SDGs (Ike et al., 2019). Departemen/lembaga khusus yang
menangani perencanaan pembangunan nasional dibentuk pada tahun 1947.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas merupakan koordinator
pelaksanaan SDGs di Indonesia. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS bersama Pusat Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pemangku
kepentingan telah resmi menerjemahkan istilah SDGs
menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk menciptakan pemahaman
bersama mengenai SDGs (Di Gregorio et al.,
2017).
Pada tahun 2018, Pemprov DKI Jakarta resmi membentuk Sekretariat SDGs melalui Peraturan Gubernur (Purnomo et al., 2018). Sekretariat ini diharapkan dapat
menjadi pusat koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan SDGs
di Jakarta yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
program terkait 17 tujuan SDGs. Sejak pembentukannya,
Sekretariat SDGs DKI Jakarta telah berhasil
mengintegrasikan beberapa tujuan SDGs ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan berbagai kebijakan
strategis lainnya (Joseph et al., 2019). Beberapa inisiatif yang berhasil
dilaksanakan antara lain program pengentasan kemiskinan, peningkatan akses
terhadap pendidikan dan kesehatan, serta pengelolaan lingkungan yang lebih
baik. Artikel ini akan membahas upaya dan efektivitas Kartu Jakarta Pintar
dalam mendukung pencapaian Tujuan SDGs 4: Pendidikan
Berkualitas.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang
kami gunakan untuk memenuhi karya ilmiah ini adalah dengan menggunakan metode
wawancara (Zhang et al., 2017). Maka kami segera mengunjungi Sekretariat SDGs Provinsi
DKI Jakarta yang bertempat di Gedung Kantor Balai Kota Provinsi DKI Jakarta di
Jalan Medan Merdeka Selatan, Gambir � Jakarta Pusat. Kunjungan ke Sekretariat
SDGs Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 17 April 2024 diterima oleh Bapak
Andhika Ajie selaku Kepala Pusat Riset dan Inovasi Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah DKI Jakarta beserta staf/manajer dari masing-masing
perwakilan dari masing-masing pilar SDGs yaitu Sosial, Ekonomi , Lingkungan dan
Hukum � Tata Kelola. Pertemuan tersebut digelar dengan pemaparan mengenai
implementasi dan urgensi pentingnya pendidikan berkualitas di Provinsi DKI
Jakarta. Selain itu, diskusi dan tanya jawab dilaksanakan sesuai daftar
pertanyaan yang telah ditanyakan peserta sebelumnya (terlampir). Fokus
pengamatannya adalah untuk memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan
adil di wilayah Jakarta. Berdasarkan informasi yang kami terima, hal ini
dikarenakan instansi terkait tidak terjun langsung ke lapangan untuk menyelesaikan
kesenjangan yang ada, namun hanya berperan sebagai penyalur yang akan bekerja
sama dengan pihak-pihak seperti; Dinas Pendidikan Provinsi dan pemerintah
daerah lainnya, sehingga untuk mengetahui lebih jauh kesenjangan yang ada harus
mengecek sendiri dengan menelusuri situs resminya atau menggunakan cara lain.
Jadi selain metode kuantitatif, kita juga menggunakan metode kualitatif untuk
mendapatkan jawaban yang kita inginkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prinsip utama dalam SDGs adalah �Leave no one behind�. Dari prinsip-prinsip
tersebut, setidaknya SDGs dapat menjawab dua hal, yaitu:
a.� Keadilan
Prosedural, yaitu sejauh mana semua pihak, terutama pihak yang tertinggal,
dapat terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan.
b.� Keadilan
Substansial, yaitu sejauh mana kebijakan dan program pembangunan dapat atau
mampu menjawab permasalahan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang
kurang beruntung.
Sebagai wujud komitmen
politik Indonesia terhadap implementasi SDGs, pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Implementasi Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan telah berkomitmen untuk melaksanakan dan mencapai SDGs secara partisipatif
yang melibatkan semua pihak (Fatimah et al., 2020).
Materi penelitian kami
berfokus pada Tujuan 4 SDGs, �Pendidikan Berkualitas�. Tujuan tersebut
merupakan salah satu tujuan yang dikembangkan dan disepakati bersama oleh
Kepala Negara dan Pemerintahan Negara Anggota PBB pada tahun 2015. Tujuannya
adalah pendidikan yang berkualitas. Pernyataan misi untuk tujuan keempat ini
adalah: �Memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif, adil dan meningkatkan
peluang pembelajaran sepanjang hayat�. Pendidikan merupakan nilai inti bagi
seluruh umat manusia karena dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas.
Dunia membutuhkan pendidikan berkualitas untuk menghasilkan generasi muda yang
mampu membawa perubahan positif (O�Brien et al., 2013). Hal ini mencakup tidak hanya pendidikan formal, namun
juga pendidikan yang dapat membimbing pemikiran generasi muda dan pendidikan
inovatif yang dapat mengembangkan pemikiran kreatif yang mampu menerjemahkan
konsep-konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam kehidupan yang dapat
diterapkan (Rieckmann, 2012).
Sasaran keempat ini
mencakup 10 target dan 11 indikator untuk mengukur kemajuan. Tujuh dari sepuluh
tujuan tersebut berfokus pada pendidikan dasar dan menengah gratis, akses yang
adil terhadap pendidikan prasekolah dan anak usia dini yang berkualitas, pendidikan
teknis, kejuruan, dan pendidikan tinggi yang terjangkau, serta keberhasilan
ekonomi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah orang dengan keterampilan
yang relevan dan menghilangkan pendidikan yang diskriminatif. Literasi dan
pendidikan universal untuk pembangunan berkelanjutan dan kewarganegaraan
global. Tiga tujuan lainnya adalah cara untuk mencapai tujuan Anda. Hal ini
berarti membangun dan meningkatkan sekolah inklusif dan aman. Perluasan
beasiswa universitas ke negara-negara berkembang. Meningkatkan jumlah guru yang
berkualitas di negara-negara berkembang.
Jika berkaca pada
penyelenggaraan pendidikan berkualitas di Jakarta, kami tertarik membahas isu
program dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu KJP; Program Kartu Jakarta
Pintar merupakan program pendanaan pendidikan perorangan yang diberikan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membantu warga sekolah miskin tetap
terlibat aktif dalam pembelajaran di sekolah. Pada dasarnya pelayanan
pendidikan bagi masyarakat miskin merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah pusat dan daerah. Tujuan dari program ini adalah untuk mencapai
tingkat pendidikan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien dengan
memberikan akses dan keamanan bagi masyarakat, khususnya masyarakat kurang
mampu atau miskin, untuk menerima layanan wajib belajar minimal 12 tahun.
Namun ternyata sejalan
dengan program tersebut, pemerintah negara bagian juga telah merumuskan
kebijakan sekolah mandiri yang baru. Pendidikan gratis merupakan program
Pemprov DKI Jakarta (Xiao et al., 2017). Pendidikan gratis di DKI Jakarta menjadi program
prioritas Gubernur DKI Jakarta. Seharusnya program ini dilaksanakan pada masa
kepemimpinannya. Untuk itu terbitlah Peraturan Gubernur Nomor 27 Tahun 2013
tentang Bantuan Biaya Pendidikan Pribadi Bagi Siswa dari Keluarga
Berpenghasilan Rendah melalui Kartu Jakarta Pintar. Terkait apakah program ini
adil dan efektif, Dinas Pendidikan DKI Jakarta sebenarnya sudah melakukan
kajian dan simulasi penerapan kebijakan sekolah gratis negeri dan swasta. Namun
penentuan tindakan lebih lanjut memerlukan kajian lebih lanjut, termasuk
berbagai persyaratan dan data pendukung. Hal ini perlu diperkuat, terutama
terkait dengan sekolah gratis, dan kita perlu memastikan bahwa niat baik
menyediakan sekolah gratis tidak menjadi bumerang bagi pemerintah negara
bagian.
Penerapan kebijakan ini
dikhawatirkan akan mengakibatkan migrasi massal warga dari luar Jakarta. Hal
ini dapat menimbulkan permasalahan baru seperti permukiman kumuh dan kemacetan
lalu lintas. Melihat kembali pengalaman KJP dan kesejahteraan, berarti kita
tidak pernah menutup atau mampu menghentikan pergerakan penduduk. Artinya, jika
sekolah di Jakarta diketahui gratis, maka migrasi penduduk bisa meningkat (Pearce et al., 2008). Hal ini menjadi salah satu faktornya, sehingga tentunya
harus ada data pendukung dan persyaratan yang mendukungnya. Selain meningkatkan
mutu pendidikan, kemandirian sekolah diharapkan dapat menghilangkan
permasalahan sekolah yang ada setiap tahunnya (Hanushek et al., 2004). Contohnya adalah pendaftaran siswa baru di sekolah
swasta dan penundaan penerbitan ijazah karena tidak dibayarnya biaya bulanan.
Jika semua sekolah digratiskan, kesenjangan sosial akan hilang dan tidak
diperlukan lagi program Kartu Jakarta Pintar (KJP), yang selama ini manfaatnya
kontradiktif.
Kebijakan sekolah gratis
dapat mengurangi kesenjangan sosial. Program sekolah gratis dapat membantu
anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah hingga menengah mengatasi kendala
keuangan. Agar mereka bisa mengenyam pendidikan dan mewujudkan cita-citanya.
Namun syarat agar anak-anak di Jakarta bisa mendapatkan pendidikan gratis
adalah harus mendapatkan KJP terlebih dahulu. Program sekolah gratis ini
merupakan kelanjutan dari program KJP yang sudah ada, dan KJP sendiri tidak
didistribusikan secara merata kepada seluruh populasi anak. Oleh karena itu,
program sekolah gratis tampaknya tidak merata dan tidak efektif bagi warga
Jakarta.
Kedua program tersebut
mengalami beberapa kendala dalam pemanfaatannya, antara lain: Tidak tepat
sasaran dan tidak merata. Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta diminta mengkaji
ulang kebijakan tersebut. Tindakan ini harus dilakukan untuk menjamin hak atas
pendidikan yang setara bagi masyarakat. Program sekolah gratis merupakan solusi
tepat untuk menjamin akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat,
khususnya masyarakat kurang mampu. Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu juga
menyoroti program KJP Plus yang gagal mencapai target penyalurannya. Banyak
siswa dari keluarga berpenghasilan rendah masih kesulitan mendapatkan manfaat
dari program ini. KJP perlu lebih proaktif terutama dalam memberikan bantuan
kepada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang bersekolah di sekolah
swasta. Pasalnya, meski saat ini anak-anak di sekolah swasta mendapat KJP,
tidak jarang sekolah swasta tiba-tiba menaikkan biaya pendidikannya. Jika itu
terjadi, kamu tidak akan mampu membayar biaya sekolahmu. Kemungkinan terburuknya
adalah siswa tersebut akan putus sekolah. Berdasarkan data Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), tercatat
75.303 anak di DKI Jakarta akan putus sekolah pada tahun 2022. Jika kenaikan
biaya sekolah menghambat akses pendidikan, harus ada langkah konkrit yang
dilakukan. untuk mengatasi masalah ini.
Tahun ini, Pemprov DKI
Jakarta mengalokasikan anggaran sebesar Rp2 triliun untuk program tersebut.
Pemerintah daerah harus mengkaji ulang program KJP Plus dan membuat program
sekolah gratis, khususnya untuk sekolah swasta. Ketika biaya pendidikan semakin
memberatkan, kita harus mencari solusi untuk memastikan semua anak mempunyai
akses terhadap pendidikan tanpa hambatan finansial. Selain itu, Kementerian
Pendidikan DKI Jakarta juga harus segera membahas program makan siang gratis di
tingkat sekolah dasar dan menengah. Langkah ini diambil pemerintahan baru untuk
memberantas kasus stunting dan mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Aspek kesenjangan sosial
lainnya yang diakibatkan oleh program KJP dan sekolah gratis adalah
penyalahgunaan KJP oleh individu atau masyarakat yang menggunakannya untuk
tujuan yang sama sekali tidak berkaitan dengan kegiatan belajar atau sekolah.
Yang lebih disayangkan lagi, penerima KJP tidak tepat sasaran, karena banyak di
antara mereka yang justru berasal dari keluarga kaya. Namun KJP Plus berasumsi
pemerintah akan lebih selektif dalam menilai calon penerima, termasuk dengan
mendatangi langsung lokasi untuk memverifikasi Kartu Keluarga (KK). Selain itu,
pemerintah juga mempercayakan sekolah untuk memantau pembelian barang penerima
KJP. Upaya pemutakhiran data penerima KJP menunjukkan banyak siswa yang berasal
dari keluarga menengah atas. Hal ini terlihat jika Anda memiliki lebih dari
satu kendaraan pribadi, misalnya sepeda motor atau mobil. Tentu saja
berdasarkan bukti-bukti tersebut, penerapan KJP dapat dikatakan belum efektif
hingga saat ini.
Penyelenggaraan program
KJP tidak memenuhi standar yang ditetapkan DKI Jakarta dan tidak memenuhi
standar pemerintah, karena masih banyak siswa penerima dana KJP yang
menyalahgunakan dana KJP untuk kebutuhan rumah tangga orang tuanya. Terkait
Program Penerus Sekolah Gratis KJP juga terungkap adanya oknum yang
memanfaatkan dukungan tersebut untuk membeli barang-barang yang melebihi
ketentuan, seperti barang mewah dan barang-barang yang tidak ada hubungannya
dengan peningkatan pembelajaran siswa. Program ini telah meningkatkan
pengawasan dan sanksi terhadap pelanggaran, namun kenyataannya meski ada
dukungan, masih ada sebagian masyarakat yang melakukan pelanggaran. Analisis
dan hasil penelitian ini juga menjelaskan bahwa penargetan belum sepenuhnya
menyasar siswa yang membutuhkan. Masih ada pengguna yang mampu secara finansial
dan mampu memiliki lebih dari satu mobil. Hal ini menunjukkan proses seleksi
penentuan penerima penghargaan belum selesai.
KESIMPULAN
Penyelenggaraan program
KJP tidak memenuhi standar yang ditetapkan DKI Jakarta dan tidak memenuhi
standar pemerintah, karena masih banyak siswa penerima dana KJP yang
menyalahgunakan dana KJP untuk kebutuhan rumah tangga orang tuanya. Terkait
Program Penerus Sekolah Gratis KJP juga terungkap adanya oknum yang
memanfaatkan dukungan tersebut untuk membeli barang-barang yang melebihi
ketentuan, seperti barang mewah dan barang-barang yang tidak ada hubungannya
dengan peningkatan pembelajaran siswa. Program ini telah meningkatkan
pengawasan dan sanksi terhadap pelanggaran, namun kenyataannya meski ada
dukungan, masih ada sebagian masyarakat yang melakukan pelanggaran. Analisis
dan hasil penelitian ini juga menjelaskan bahwa penargetan belum sepenuhnya
menyasar siswa yang membutuhkan. Masih ada pengguna yang mampu secara finansial
dan mampu memiliki lebih dari satu mobil. Hal ini menunjukkan
proses seleksi penentuan penerima penghargaan belum selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Arts, K. (2017). Inclusive
sustainable development: a human rights perspective. Current Opinion in
Environmental Sustainability, 24, 58�62.
Bhattacharya,
S., Patro, S. A., & Rathi, S. (2016). Creating Sustainable Urban
Systems: Need for Redesigning Indicators for Urban Infrastructure and Services.
Di
Gregorio, M., Nurrochmat, D. R., Paavola, J., Sari, I. M., Fatorelli, L.,
Pramova, E., Locatelli, B., Brockhaus, M., & Kusumadewi, S. D. (2017).
Climate policy integration in the land use sector: Mitigation, adaptation and
sustainable development linkages. Environmental Science & Policy, 67,
35�43.
Fatimah,
Y. A., Govindan, K., Murniningsih, R., & Setiawan, A. (2020). Industry 4.0
based sustainable circular economy approach for smart waste management system
to achieve sustainable development goals: A case study of Indonesia. Journal
of Cleaner Production, 269, 122263.
H�k,
T., Janou�kov�, S., & Moldan, B. (2016). Sustainable Development Goals: A
need for relevant indicators. Ecological Indicators, 60, 565�573.
Hanushek,
E. A., Kain, J. F., & Rivkin, S. G. (2004). Disruption versus Tiebout
improvement: The costs and benefits of switching schools. Journal of Public
Economics, 88(9�10), 1721�1746.
Henderson,
K., & Loreau, M. (2023). A model of Sustainable Development Goals:
Challenges and opportunities in promoting human well-being and environmental
sustainability. Ecological Modelling, 475, 110164.
Ike,
M., Donovan, J. D., Topple, C., & Masli, E. K. (2019). The process of
selecting and prioritising corporate sustainability issues: Insights for
achieving the Sustainable Development Goals. Journal of Cleaner Production,
236, 117661.
Joseph,
C., Gunawan, J., Madi, N., Janggu, T., Rahmat, M., & Mohamed, N. (2019).
Realising sustainable development goals via online integrity framework
disclosure: Evidence from Malaysian and Indonesian local authorities. Journal
of Cleaner Production, 215, 112�122.
O�Brien,
K., Reams, J., Caspari, A., Dugmore, A., Faghihimani, M., Fazey, I., Hackmann,
H., Manuel-Navarrete, D., Marks, J., & Miller, R. (2013). You say you want
a revolution? Transforming education and capacity building in response to
global change. Environmental Science & Policy, 28, 48�59.
Pearce,
M. E., Christian, W. M., Patterson, K., Norris, K., Moniruzzaman, A. K. M.,
Craib, K. J. P., Schechter, M. T., & Spittal, P. M. (2008). The Cedar
Project: Historical trauma, sexual abuse and HIV risk among young Aboriginal
people who use injection and non-injection drugs in two Canadian cities. Social
Science & Medicine, 66(11), 2185�2194.
Purnomo,
H., Okarda, B., Dewayani, A. A., Ali, M., Achdiawan, R., Kartodihardjo, H.,
Pacheco, P., & Juniwaty, K. S. (2018). Reducing forest and land fires
through good palm oil value chain governance. Forest Policy and Economics,
91, 94�106.
Rieckmann,
M. (2012). Future-oriented higher education: Which key competencies should be
fostered through university teaching and learning? Futures, 44(2),
127�135.
Xiao,
Y., Li, L., & Zhao, L. (2017). Education on the cheap: The long-run effects
of a free compulsory education reform in rural china. Journal of Comparative
Economics, 45(3), 544�562.
Zhang,
X., Kuchinke, L., Woud, M. L., Velten, J., & Margraf, J. (2017). Survey
method matters: Online/offline questionnaires and face-to-face or telephone
interviews differ. Computers in Human Behavior, 71, 172�180.