Pendidikan
Agama Islam Berbasis Gender
Gender-Based Islamic Religious Education
Mokhammad
Ainul Yaqin
Sekolah Tinggi Agama Islam Salahuddin Pasuruan, Indonesia
Email: [email protected]
*Correspondence: Mokhammad Ainul Yaqin
DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2228 |
ABSTRAK Penelitian ini membahas pentingnya mengintegrasikan kesetaraan gender
dalam pendidikan agama Islam guna mengatasi diskriminasi sosial yang
didasarkan pada ideologi patriarki. Penelitian ini menelaah peran pendidikan
Islam dalam mendorong keadilan gender melalui pengembangan kurikulum dan
pelatihan guru, serta menekankan pentingnya sensitivitas gender dalam sistem
pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini
bersumber pada data primer seperti al-Qur�an dan Hadis, serta literatur akademik
yang berfokus pada gender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik
pendidikan yang peka terhadap gender sangat penting untuk mencapai hubungan
gender yang setara dalam masyarakat Muslim. Langkah-langkah seperti Pelatihan
Analisis Gender untuk guru agama Islam, lokakarya gender berkala, dan
pembentukan kurikulum berbasis gender merupakan langkah penting dalam
mengarusutamakan kesetaraan gender dalam pendidikan Islam. Kata kunci: Kesetaraan Gender, Pendidikan
Islam, Ideologi Patriarki |
|
ABSTRACT This study
discusses the importance of integrating gender equality into Islamic
religious education to address social discrimination based on patriarchal
ideologies. The research examines the role of Islamic education in promoting
gender justice through curriculum development and teacher training,
emphasizing the need for gender sensitivity in educational systems. Using a
qualitative approach, this research relies on primary sources such as the
Qur'an and Hadith, and secondary sources including gender-focused academic
literature. The findings suggest that gender-sensitive educational practices
are critical to achieving equitable gender relations in Muslim societies.
Efforts such as Gender Analysis Training for Islamic teachers, periodic
gender workshops, and the creation of gender-based curricula are essential
steps toward mainstreaming gender equality in Islamic education. Keywords: Gender Equality, Islamic Education, Patriarchal Ideology |
���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
PENDAHULUAN
Seiring dengan berjalannya waktu, seringkali kita
mendengarkan bahwasannya semakin meningkatnya
kesadaran manusia mengingatkan kepada kita semuanya bahwa secara substansial
manusia adalah setara dengan yang lainnya, maka kesataraan
yang dimaksud itu merupakan kesetaraan gender yang acapkali didengungkan, baik
dari kalangan laki-laki maupun wanita. Hal tersebut di atas penting untuk
diwacanakan baik pada golongan akademis dan reaksi sosial terkait dengan ketidaksamaan gender yang acapkali didasarkan oleh nilai-nilai
keagamaan, sehingga dengan merubah hal itu tidaklah
begitu mudah karena acapkali mereka yang mendengungkan kesetaraan tersebut
dituduh melanggar nilai-nilai fitrah agama.
Ideologi dengan menggunakan patriarki merupakan manifestasi dari varian
sebuah ideologi hegemoni. Ideologi hegemoni adalah suatu teori yang berpendapat
suatu kesanggupan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal itu seperti sering
terjadi antara etnis yang berpendapat bahwa sebenarnya ada diskriminasi jenis
kelamin baik pria dan wanita, agama, ras, atau kelas ekonomi. Sebetulnya ada
tiga dugaan penting yang mendasari untuk memakai ideologi ini, yaitu pertama,
persetujuan-persetujuan sosial yang sebenarnya hanya menguntungkan kepentingan
kelompok tertentu yang cenderung dianggap mewakili kepentingan semua kelangan. Kedua,
ideologi dengan memakai hegemoni seperti ini merupakan integral dari pemikiran
kehidupan sehari-hari, cenderung diterima apa adanya (taken for granted)
sebagai suatu yang memang demikian. Ketiga, dengan tidak menghiraukan
kontradiksi yang sangat tampak antara kepentingan kelompok yang cenderung
dengan kelompok subordinat, ideologi yang seperti ini dituduh sebagai penjamin
relasi yang kuat dan kerja sama sosial sebab jika tidak dilakukan demikian,
yang terjadi adalah justru suatu konflik. (Pyke, 1996)
Hal ini kemudian mendapatkan perlawanan dari kalangan yang memperhatikan
dengan hal tersebut. Mereka itu mendengungkan dan memperjuangkan hak-hak
kesetaraan antara pria dan wanita. Meskipun pada akhirnya proses selanjutnya
terjadi beberapa diskriminasi paham mengenai apa, mengapa, dan bagaimana
penindasan pendayagunaan itu bisa terjadi, namun sebenarnya ada titik kesamaan
paham bahwa pada hakikatnya upaya yang dilakukan wanita pada dasarnya adalah
untuk egalisasi, martabat dan kebebasan untuk mengkontrol kehidupan
sehari-hari. Keyakinan tersebut, dimanivestasikan ke dalam dunia baru (struktur
masyarakat) yang lebih adil, makmur, wanita dan pria harus bertindak, berjuang
bersama-sama dalam satu wadah menuju kemerdekaan untuk pria dan wanita,
kelompok yang memandang perbedaan kelas antara manusia satu dengan manusia lain
(Himawan, 1997).
Para pakar pendidikan, berpendapat bahwa ketimpangan relasi antara pria dan
wanita perlu diadakannya pembicaraan dan diselesaikan lewat jalur pendidikan.
Pendidikan berfungsi sekali sebagai alat transformasi pengetahuan yang
mempunyai peran penting dalam mengembangkan nilai-nilai atau norma-norma
kemanusian dan ketuhanan pada peserta didik dan satuan sosial masyarakat (Muhadjir, 2000), Pendidikan
yang dibahas disini adalah Pendidikan Agama Islam. Maksudnya pendidikan yang
mencoba memberikan kontribusi berupa dogma agama untuk menyelesaikan suatu
permasalahan di masa sekarang. Selain itu juga, hipotesis yang diutarakan
Freire bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai proses humanisme, karena hal
ini awalnya dari sebuah analisa bahwasannya adanya ketidakseimbangan dalam
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terwujud, baik dalam bentuk
hubungan kelas, hubungan gender, maupun hubungan yang tidak adil lainnya,
membuat masyarakat mendapatkan dampak �dehumanisasi�. Sistem yang tidak
seimbang pasti bersifat menindas apalagi ketika sistem tersebut dipelopori oleh
kepentingan-kepentingan politik tertentu, penguasa pasti mengerjakan sistem
yang tidak adil tersebut (Smith & Prihantoro, 2001). Dengan
asumsi-asumsi dasar tadi, tidak ada salahnya apabila memposisikan pendidikan
sebagai penggerak dalam mengurangi dampak diskriminatif dari ideologi
patriarkhi yang telah mengakar dalam masyarakat kita, bahkan dalam setiap
bidang tertentu, selain itu juga mengingatkan bahwa pendidikan adalah ilmu
normatif produktif, maka fungsi pendidikan adalah mengembangkan peserta didik
ketaraf normatif produktif yang lebih baik, dengan jalan yang baik, serta dalam
konteks yang positif. (Assegaf, 2003)
Oleh karena itu, pentingnya untuk membahas Pendidikan Agama Islam dalam
bingkai gender maka kita perlu mengartikan keduanya secara adil dan tidak ada
yang dibedakan. Sehingga dalam pembahasannya nanti akan mewujudkan pendidikan
Agama Islam berbasis gender.
METODE PENELITIAN
Adapun penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif ini menfokuskan pada analisis deskriptif yang merupakan bentuk
kata-kata yang tertulis atau lisan dari obyek yang diamati (Moelong Lexy, 2001). Sedangkan
jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian dengan mengkaji buku-buku yang relevan dan
berkaitan dengan pokok-pokok pembahasan dan permasalahan dari analisis sebuah
referensi yang didapatkan dari data yang diinginkan secara mendalam (Fithri et al., 2018).
Sumber data dalam penelitian ini dapat diabagi menjadi dua, yakni sumber
data primer dan sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah
al-Qur�an dan hadis. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah kitab-kitab
tafsir dan hadis.
Selain sumber primer dan sekunder yang digunakan di atas, peneliti juga menfungsikan
sumber-sumber data lainnya yang didapat dalam usaha untuk menciptakan hasil
penelitian yang lebih sempurna, baik dalam bentuk karya ilmiah berupa
disertasi, jurnal, artikel di internet dan sumber-sumber data yang relevan
lainnya.
Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan analisis isi
(content analysis) dan analisis bersifat induktif. Analisis isi (content
analysis) yaitu : teknik penelitian dalam rangka membuat simpulan-simpulan
dengan menentukan terlebih dahulu secara aturan atau sistematik dan obyektif
karakteristik-karakteristik khusus dalam sebuah teks (Ahmad, 2018).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai bentuk implementasi kemauan baik kultural maupun struktural, maka
pertama, perlu dirintis untuk dilaksanakannya Gender Analisys Training
kepada para guru agama Islam pada semua tingkatan profesi--mulai guru agama SD
sampai dosen--secara berkala, dengan mendatangkan para pakar tentang gender
dalam segala cabangnya. Kedua, berusaha mengirim guru agama Islam secara
periodik untuk mengikuti pertemuan--baik seminar, lokakarya, workshop dan lainnya-tentang gender sehingga pada akhirnya
terbentuk mindset yang sensitif gender, atau paling
tidak berkepedulian tentang gender. Ketiga, perlunya
dibentuk suatu konsorsium yang bertugas menyusun silabi
dan kurikulum yang berbasis gender, sehingga isu tentang gender dapat
diaplikasikan secara sistematis dan mendasar serta tidak sekedar menggunakan additive approach, dimana jika berhenti pada pendekatan ini, sulit untuk
menentukan keberhasilan gender mainstreaming
dimaksud, untuk tidak menyatakan sekedar slogan belaka.
A. Definisi
Gender
�Gender�
merupakan derivasi kata dari bahasa inggris,
yang memiliki makna�jenis kelamin�. Kata
gender sendiri apabila ditelusuri lebih lanjut dalam Webster�s New World Dictionary, memiliki
arti perbedaan yang tampak dan jelas antara kaum laki-laki dan perempuan
dilihat dari sudut nilai dan tingkah
laku (UMAR, n.d.). Dalam Webster�s
Studies Encylopedia kata gender sendiri diungkapkan sebagai suatu konsep budaya yang berusaha
untuk membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, tingkah
laku, mentalitas dan karakterstik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang selama ini dalam masyarakat (Rasyad, 2022).
Pengertian gender
adalah perbedaan yang terletak
pada laki-laki dan wanita apabila ditinjau dari segi nilai
dan perilaku. Gender sendiri merupakan istilah
yang dibuat sebagai gambaran perbedaan
baik laki-laki maupun wanita secara sosial. Jadi gender merupakan
anggota atribut dan perilaku
secara budaya yang
melekat pada laki-laki dan wanita
(Narwoko, 2004).
Berdasarkan keterangan di atas, memberikan suatu titik terang bahwa gender merupakan
konsep hubungan masyarakat yang membedakan fungsi dan peran antara wanita dan lak-laki. Perbedaan
fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan itu tidak ditentukan keberadaannya karena keduanya mempunyai
perbedaan biologis atau kodrat,
melainkan dibedakan perspektif kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan .[1]
Menurut Eniwati
berbeda lagi dengan pengertian diatas, bahwa gender merupakan konsep
yang difungsikan sebagai identifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan yang dilihat dari sisi sosial budayanya. Gender
menggunakan makna ini mengidentifikasi laki-laki dan wanita dari sudut non
biologis (Khaidir, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwasannya gender adalah peran antara laki-laki
dan wanita yang merupakan hasil
model kultural. Adapun peran maupun sifat yang dilekatkan kepada laki-laki karena
berlandaskan habit (kebiasaan) atau kebudayaan biasanya peran maupun
sifat tersebut hanya dilakukan atau dimiliki oleh kalangan laki-laki dan begitu juga dengan perempuan. Suatu peran
bila diindetikkan pada perempuan karena
berdasarkan kebiasaan atau kultural yang ujung-ujungnya membentuk suatu kesimpulan bahwa peran ataupun sifat itu hanya dilakukan
oleh wanita.
B. Perspektif
Islam tentang Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender dalam perspektif Islam memberikan
informasi bahwa al-Qur�an menjelaskan
bahwa (1) pada hakikatnya baik laki-laki dan perempuan keduanya sebagai hamba,
(2) keduanya sama menjadi khalifah Allah, (3) laki-laki dan perempuan menerima
perjanjian, (4) Dalam drama kosmis, adam dan hawa terlibat dan (5) laki-laki
dan wanita berpotensi memperoleh prestasi (Umar,
2010).
Dalam kapasitasnya sebagai hamba, manusia
mengasumsikan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena
masing-masing keduanya akan memperoleh apresiasi dari Tuhannya sesuai dengan
kadar pengabdiannya (QS. al-Nahl : 97). Keduanya sama-sama memiliki
potensi dan peluang untuk menjadi sebagai hamba yang ideal (QS. al-Hujur�t :
19). Laki-laki memiliki kekhususan seperti suami lebih tinggi kedudukannya di
atas isteri, laki-laki sebagai pelindung perempuan, laki-laki memiliki warisan
lebih banyak dan diperkenankannya olehnya untuk berpoligami.
Kelebihan-kelebihan tersebut di atas diperuntukkan kepada laki-laki dalam
perannya sebagai masyarakat yang mempunyai peran publik dan sosial �lebih�
ketika ayat-ayat al-Qur�an tersebut diturunkan.
Selain itu pula, bahwa dalam posisinya sebagai
khalifah, al-Qur��n tidak hanya mengindikasikan kepada salah satu golongan
etnis tertentu (Solichin, 2006). Laki-laki dan
wanita memiliki peran yang sama yaitu sebagai khalifah, yang akan dikemudian
hari dituntut untuk mempertanggung jawabkan tugasnya sebagai kekhalifahannya di
muka bumi ini seperti halnya mereka itu harus bertanggung jawab perannya
sebagai hamba Tuhan.
Laki-laki dan wanita pada hakikatnya sama-sama
memikul amanah dan menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS. al-A�r�f : 172).
Ketika melihat dalam al-Qur��n tidak jumpai dalam satu ayat pun yang
mengindikasikan tentang keutamaan seseorang ditinjau dari segi faktor jenis
kelamin atau karena ras suku bangsa tertentu. Dikotomi dan kepribadian wanita
dalam tradisi Islam sejak awal begitu kuat.
Selanjutnya, apabila dilihat dari perspektif
sejarah, perilaku Muhammad saw. terhadap kesetaraan gender adalah pada
kenyataanya Nabi Muhammad mendemonstrasikan persamaan kedudukan laki-laki dan
perempuan yang dituangkan dalam aktivitas sosial, mulai dari kewirausahaan,
politik sampai kepada peperangan (Umar, 2008).
C. Relasi
Pendidikan Islam dan Gender
John Dewey yang dikutip oleh Budi Rajab mengatakan bahwa sifat transformasi itu dimungkinkan karena melalui pengajaran di sekolah yang terorganisir
orang dapat mengenal kemampuan dan kekuatan dirinya sendiri didorong untuk mempertanyakan berbagai asumsi serta terus
mencari kebenaran. Arah
pendidikan yang dimaksud untuk
mengembangkan potensi yang ada
pada diri manusia seluas luasnya dan diharapkan dapat tumbuh menjadi manusia bebas dan mampu berfikir kritis dan dapat memberi penilaian sendiri atas berbagai situasi yang dihadapi, merefleksikannya, dan kemudian menjadikanya landasan untuk realitas itu sendiri. Pendidikan
bukan sekedar mendorong manusia menerima dan beradaptasi dengan realitas, tapi
ikut membuat sejarah itu sendiri (Rohmah & Ulinnuha, 2014).
Menurut Athiyah, dengan adanya satu rumusan yang
jelas, nilai-nilai Islam dapat disebarkan ke seluruh penjuru. Islam membawa
asas persamaan, kebebasan, demokrasi, dan keadilan tema sentral yang universal.
Untuk itu empat dasar utama pendidikan Islam adalah persamaan (kemanusiaan),
demokrasi, kebebasan, dan keadilan. Dasar utama tersebut dilaksanakan untuk
mengembangkan nilai-nilai humanis (kemanusiaan) (Sutisna, 2019) �Persamaan asas dan semangat yang dibawa oleh
Islam dan teori kesetaraan laki-laki dan perempuan kiranya mampu menjadi media
dukung yang humanis dan strategis dalam mewujudkan cita-cita Islam dan dalam
pengembangan da�wah ajarannya. Oleh sebab itu, untuk memiliki bangunan
pendidikan yang jelas dan adil gender, perlu kiranya melakukan perumusan
kerangka kerja pindidikan berdasarkan tiga asas ontologi (Tafsir et al., 2004), epistimologi (Qomar, 2001), dan aksiologi (Suriasumantri, 1993) , tentunya
ketiga asas tadi dirumuskan menggunakan kerangka berfikir dari teori kesetaraan
laki-laki dan perempuan dalam Islam.
�Secara
ontologi, pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan
yang mungkin ada, hakikat adalah realitas yang memiliki arti kenyataan yang
sebenarnya, yang tidak sementara, atau kenyataan yang tidak berubah (Atabik, 2014).�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������Bila dikaitkan dengan pendidikan Islam yang
adil gender dimensi yang bisa dikaji adalah tentang pengertian, dasar, dan
tujuan yang ingin dicapai, artinya di dalam pembahasan ontologi ini kita akan
membicarakan bagaimana pendidikan Islam yang adil gender menyampaikan maknanya,
memberikan informasi tentang dasar-dasar yang digunakan, atau landasan teoritis
yang melatar belakanginya, dan menjelaskan tentang tujuan yang akan dicapai.
Secara garis besar, antara pendidikan Islam pada umumnya dan pendidikan Islam yang
adil gender tidak memiliki begitu perbedaan, baik secara pengertiannya seperti
yang sudah dijabarkan dibab sebelumnya, juga pembahasan tentang dasar dan
tujuan yang akan dicapai. Hanya saja aksentuasi yang dimiliki oleh pendidikan
Islam yang adil gender adalah dalam hal peninjauan kembali terhadap argumen Illahiyah
yang dijadikan sebagai dasar ontologi pendidikan Islam, peninjauan kembali
disini secara khusus memberikan masukan atau kritik terhadap subordinasi atau
diskriminasi penafsiran para mufasir terdahulu yang cenderung mendeskriditkan
kaum hawa.
Secara epistimologi, Islam memandang bahwa
epistemologi adalah hal yang mencerminkan kandungan pesan-pesan dari wahyu
(al-Qur�an dan al-Hadis) dalam membentuk peradaban yang berimbang antara
orientasi dunia dan akhirat, orientasi kealaman dan ketuhanan, akal dan wahyu
dan sebagainya (Subki, 2015). Dengan
pemusatan epistemologi Islam pada Tuhan sebagai pemilik ilmu, maka skeptisisme
yang tidak mengenal batas-batas etik dan nilai dari sitem ilmu pengetahuan
Barat adalah merupakan antitesis terhadap epistemologi Islam. Epistemologi ini
berangkat dan berawal dari kepercayaan, selanjutnya menetapkan kepercayaan itu
melalui perenungan-perenungan yang bersandar pada wahyu Tuhan. Ada beberapa
metode epistemologi yang dapat digunakan dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Metode tersebut antara lain adalah metode rasional, metode kritik, metode
komparatif, metode dilogis, dan metode intuitif.
Secara aksiologi, tujuan pendidikan Islam tidak
seharusnya bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja
dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan. Tujuan pendidikan Islam
seharusnya adalah memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala potensi
yang dimilikinya (Rohmah & Ulinnuha, 2014). Namun sangat
disayangkan pendidikan Islam dewasa ini terlalu berkutat terhadap orientasi
akhirat semata, seakan hanya berorientasi kepada Tuhan, dan mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan. Seharunya tujuan pendidikan lebih ditekankan untuk
meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik
tentang ajaran Islam. Sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Alla SWT serta memiliki akhlak yang mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa
dan bernegara (Muhaimin, 2020). Artinya tujuan
dari pendidikan Islam yang adil gender memiliki beberapa demensi yang saling
berkaitan tidak hanya mengorientasikan kepada Tuhan semata, memiliki kesempatan
dalam ruang keadilan, pemberdayaan, keimanan, bahkan tujuan tadi
mengintegrasikan antara kebutuhan dunia berdasar realita, dan kewajiban akhirat
berdasarkan aturan agama. Pendidikan Islam yang adil gender ini harus segera
direalisasikan dan dirumuskan secara rinci karena, menurut Sutari Imam Barnadib
yang dikutip oleh Moh. Roqib, bagi suatu negara pendidikan merupakan realisasi
kebijakan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan.
Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan perkembangan
sosial budaya (Roqib, 2009). Artinya
kepentingan yang diperoleh dari pengkonsepan tadi tidak sebatas bagi kaum
perempuan sendiri, melainkan lebih kepada pengaruh yang luas baik agama,
negara, dan kelangsungan kehidupan manusia.
Adapun harapan yang dapat dibangun terhadap
perubahan pendidikan dengan adanya gerakan feminis yang dilakukan berbagai
elemen dalam bentuk kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
Kebijakan inilah yang sering dilakukan oleh feminis liberal, misalnya memastikan bahwa perempuan tidak akan diarahkan
pada pada pendidikan yang stereotype, tidak mengalami diskriminasi dalam penyeleksian studi, adanya bantuan
finansial bagi mereka yang membutuhkan bahkan lebih jauh
dari itu perlu adanya tindakan
afirmasi (affirmative action), dan penyediaan fasilitas yang memadai termasuk kualitas pengajar yang telah ikut pendidikan berperspektif gender.
Kebijakan ini mengupayakan pendidikan gratis demi akses pendidikan untuk
semua golongan. Disamping itu persoalan kurikulum dan fasilitas seharusnya
memadai dan berkualitas.
Hal ini dilakukan dengan menganalis dan merubah teks-teks yang bias
gender. Dan harus diajarkan dalam setiap tingkat pendidikan. Sebuah idealitas
yang ingin dicapai dalam gerakan feminisme dalam dunia pendidikan adalah
bagaimana, menciptakan pendidikan yang bebas gender dimana tidak lagi ada
pembedaan peran, sebuah upaya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan
sensitifitas dalam lingkunagan pendidikan adalah melalui Gender
mainstreaming dan gender analysys training. Sedangkan secara
akadamis yang diperlukan dalam training ini akan muncul sensitivitas baik
secara overt maupun hidden curriculum adalah perspektif gender.
Adapun yang dimaksud dengan overt curiculum adalah bagaimana persoalan
gender terefleksi secara nyata dalam kurikulum yang tersedia sebagi bahan
perkuliahan atau pembelajaran. sedangkan hidden kurikulum adalah
perspektif komunitas yang menyampaikan materi kurikulum tersebut (Rohmah & Ulinnuha, 2014).
Konsep pendidikan Islam yang adil gender sangat
ideal, dimana pendidikan dalam berbagai dimensi baik perencanaan, kebijakan dan
pelaksanaan mempunyai wawasan dan kepekaan terhadap masalah gender. Yang
demikian dapat meluruskan pemahaman dan sikap yang tidak menimbulkan
ketimpangan gender. Upaya mewujudkan konsep ini tidak mudah, karena berbagai
faktor yang cukup mempengaruhinya terlebih dahulu berkaitan dengan masalah
budaya dan kebijakan. Oleh karena itu, untuk menghadapi persoalan tersebut dan
sebagai upaya untuk mewujudkan sebuah pendidikan Islam yang adil gender
tentunya diperlukan langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan tersebut,
selain upaya yang telah dilakukan dalam sisi konsepsi yang disampaikan diatas,
langkah-langkah yang bisa diambil yaitu:
Selanjutnya adalah tugas kita bersama baik laki-laki
dan perempuan, dalam menciptakan keadaan yang adil bagi semua golongan manusia,
mengembalikan kedudukan dan kondisi tentang perempuan sebagaimana mestinya
sesuai dengan yang ada di dalam ajaran agama Islam, ini adalah tugas bersama,
bagian dari melanjutkan da�wah Nabi Muhammad SAW. Pendidikan Islam yang adil
gender adalah satu dari sekian ribu cara yang bisa dilakukan kita dalam
mengembalikan apa yang seharusnya, kehidupan di dalam masyarakat lebih memiliki
peranan yang sangat penting di dalam mengemban tugas ini.
D. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender
Dengan melakukan penelitian pada doktrin Islam
terkait dengan kesetaraan gender yang dijewantahkan secara terus menerus
melalui implementasi pendidikan agama Islam yang berlangsung dan diusung
berabad-abad, maka membutuhkan suatu kegiatan reorientasi, bahkan lebih dari
itu yaitu merekonstruksi ulang terhadap struktur bangunan tafsir tentang materi
atau bahan ajar pendidikan agama Islam tersebut, dengan berlandaskan pada
sumber utama agama Islam yaitu al-Qur��n dan hadis Nabi Muhammad saw. Untuk itu
dibutuhkan dalam menyusun suatu strategi pengarusutamaan kesetaraan gender
melalui bahan teks pendidikan agama Islam melihat perkembangan kehidupan
mayoritas orang Islam mengindikasikan bahwa kenyatan aktualisasi secara faktual
sebagai berikut pertama, model hubungan laki-laki dan wanita dalam kehidupan
bermasyarakat orang Islam di Jawa misalnya, merupakan acuan dari sistem
pengetahuan tentang hubungan laki-laki dan wanita yang terserap dari kultur
Jawa dan tafsir ajaran agama yang dilibatkan melalui pusat pendidikan yaitu
pesantren, madrasah dan sekolah. Kedua, beberapa penelitian pada umumnya
mengindikasikan bahwa lembaga yang ada pada pendidikan pesantren masih
terbilang banyak dan diwarnai oleh model kepemimpinan paternalistik. Kebanyakan
pesantren yang menerapkan kitab �Uq�d al-Lujjayn yang memberikan
informasi hak dan kewajiban suami istri dengan kedudukan yang tidak stabil (Susiloningsih & Najib, 2004).
Atas dasar fakta-fakta tersebut itulah, jelas
sangatlah diperlukan bentuk usaha pengarusutamaan gender dalam sistem
pengetahuan masyarakat Islam, dan hal ini tidak bisa lain kecuali hanya
dilakukan dengan melalui ikhtiar pengarusutamaan gender melalui pendidikan.
Diakui maupun tidak, kunci utama bagi terbentuknya
keadilan gender dalam masyarakat, adalah pendidikan karena pendidikan disamping
merupakan alat untuk mentransformasi nilai-nilai masyarakat, pengetahuan dan
kemampuan mereka, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan
nilai-nilai baru (Khotimah, 2008). Karena itu,
dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan kepada
masyarakat, sejak awal perlu diusahakan terwujudnya keadilan gender. Untuk
mengarah pada terwujudnya hal tersebut, maka diperlukan pertama, memberlakukan
keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta
didik, kedua, mengupayakan keadilan keadilan di kalangan pimpinan, ketiga,
meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi
pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan dan menentang
segala ide dan pemikiran yang mengandung steriotyping.
Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa
kurikulum merupakan unsur utama bagi terlaksananya pengarusutamaan gender dalam
pendidikan (Solichin, 2006). Kurikulum pada
dasarnya merupakan wadah atau sarana untuk memuat dan mengembangkan visi dan
misi yang dimiliki sebuah lembaga Pendidikan supaya misi tersebut dapat
terimplementasi dengan baik. Kurikulum tersebut kemudian akan dijabarkan dalam
bahan ajar dengan segala perangkatnya, sehingga lembaga pendidikan yang
memperjuangkan kesetaraan gender, dengan demikian akan mencantumkan upaya
kesetaraan gender ini sebagai visi dan missinya yang kemudian akan
terimplementasi melalui kurikulum beserta komponen dan pirantinya.
Atas dasar itu, pengarusutamaan gender melalui bahan
ajar ini sedemikian penting dilaksanakan didasari oleh beberapa pertimbangan,
pertama, pengalaman pendidikan memberi pengaruh yang signifikan terhadap bentuk
nilai-nilai dan pola pikir yang dikembangkan oleh para pendidik, dimana
keseluruhan pengalaman tersebut berpengaruh terhadap mindset, pola sikap dan
perilaku rasional antara laki-laki dan perempuan (Muthali�in, 2001). Kedua,
ketidakadilan gender telah menjadi realitas yang tidak terbantahkan hampir
dalam setiap sektor kehidupan, buktinya steriotyping, subordinasi,
marginalisasi, beban ganda dan kekerasan terhadap kaum perempuan kerap kali
terjadi dan karena itu, diperlukan usaha sistematis dalam mengentaskannya,
yakni dengan menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak dan kewajibannya secara
proporsional, dan pada sisi lain memberikan informasi argumentatif kepada
laki-laki bahwa sesungguhnya apa yang diterima selama ini merupakan hal yang
gender biased. Ketiga, internalisasi nilai-nilai yang tidak bias gender
tersebut akan semakin efektif jika bertitiktolak pada materi-materi keagamaan,
sehingga dengan menunjukkan bahwa telah terjadi manipulasi teks-teks keagamaan
yang bias gender dan telah terjadi misinterpretasi terhadap doktrin-doktrin
keagamaan, maka emosi dan kesadaran keagamaan generasi muda akan bergelora,
untuk kemudian mereka bersikap kritis terhadap interpretasi tersebut, sehingga
akhirnya terjadi dinamika interpretasi yang mengantarkan pada terciptanya
dinamika pemikiran keagamaan yang sangat mempengaruhi terhadap dinamika
kehidupan sosial.
Kemudian, strategi untuk mengintegrasikan materi
gender dalam suatu kurikulum, agar terimplementasi konkrit dalam bahan ajar,
paling tidak, ada empat level integrasi yang perlu ditempuh. Pertama, contributions
approach. Pendekatan ini dilakukan oleh sistem dan kebijakan yang ada pada
lembaga pendidikan melalui kurikulum. Masalah-masalah gender dimasukkan secara
ekplisit dalam kurikulum yang ada. Kedua, additive approach.
Dalam pendekatan ini variasi dan perspektif lain ditambahkan pada kurikulum
tanpa mengubah struktur kurikulum. Pemikiran dan ide-ide baru tentang gender
dapat dimasukkan dan dikorelasikan dengan kurikulum yang ada. Ketiga, transformational
approach. Pada pendekatan ini, tujuan, struktur dan perspektif yang ada
dalam kurikulum semuanya dirombak dan diganti dengan tujuan dan perspektif yang
sensitif gender. Keempat, social action approach. Pada pendekatan
ini, siswa (mahasiswa) diarahkan untuk membuat keputusan dan tindakan yang
sensitif gender dalam aktivitas kehidupan mereka, yang dapat dilakukan dengan
cara mendiskusikan mengenai konsep, peran dan relasi gender dalam masyarakat,
seperti mengapa terjadi diskriminasi terhadap perempuan, apa yang menyebabkan
terjadinya diskriminasi itu, bagaimana keadaannya dalam kelas apa terjadi
diskriminasi dan bagaimana diskriminasi tersebut mesti disikapi. Dengan
pendekatan ini dimaksudkan agar siswa (mahasiswa) dapat melakukan kritik sosial
bahkan dapat melakukan perubahan sosial (Lochbaum et al., 2017).
Demikianlah, dapat ditegaskan bahwa pengarusutamaan
gender sedemikian urgen untuk disosialisasikan melalui bahan ajar, termasuk
dalam materi keagamaan (apalagi memang banyak materi yang sangat gender biased)
dengan pola, dapat memilih diantara keempat pendekatan yang telah ditawarkan di
atas, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi di lapangan. Memang sedapat
mungkin, pola yang ideal-seperti pola transformational dan social action
approach diterapkan dalam usaha mewujudkan perubahan yang radikal, namun jika
dinamika kehidupan sosial tidak memungkinkan untuk mengambil pendekatan ideal,
pola additive approach juga merupakan pilihan bijak, sebab yang
dipentingkan adalah bagaimana terjadi perubahan dalam perspektif gender,
sehingga ketidakadilan gender dapat ditekan, sampai ambang batas minimal, jika
memungkinkan.
KESIMPULAN
Sebagai bentuk implementasi kemauan baik kultural
maupun struktural, maka pertama, perlu dirintis untuk dilaksanakannya Gender
Analisys Training kepada para guru agama [Islam] pada semua tingkatan
profesi--mulai guru agama SD sampai dosen--secara berkala, dengan mendatangkan
para pakar tentang gender dalam segala cabangnya. Kedua, berusaha mengirim guru
agama [Islam] secara periodik untuk mengikuti pertemuan--baik seminar,
lokakarya, workshop dan lainnya-tentang gender sehingga pada akhirnya terbentuk
mindset yang sensitif gender, atau paling tidak berkepedulian tentang gender.
Ketiga, perlunya
dibentuk suatu konsorsium yang bertugas menyusun silabi dan kurikulum yang
berbasis gender, sehingga isu tentang gender dapat diaplikasikan secara sistematis
dan mendasar serta tidak sekedar menggunakan additive approach, dimana jika
berhenti pada pendekatan ini, sulit untuk menentukan keberhasilan gender
mainstreaming dimaksud, untuk tidak menyatakan sekedar slogan belaka.
��������������������������������������������������������������������
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, J.
(2018). Desain penelitian analisis isi (Content analysis). Research Gate,
5, 1�20.
Assegaf, A. R. (2003). Kondisi dan pemicu kekerasan dalam
pendidikan. Dalam Jurnal Penelitian Islam Indonesia, 2(01).
Atabik, A. (2014). Teori kebenaran perspektif filsafat
ilmu: Sebuah kerangka untuk memahami konstruksi pengetahuan agama. Fikrah,
2(2).
Fithri, A., Putri, M., Nasir, M., & Munira, M. (2018).
Keanekaragaman Jenis Burung di Ruang Terbuka Hijau Kota Banda Aceh. Jurnal
Bioleuser, 2(2).
Himawan, A. H. (1997). Teologi Feminisme dalam Budaya
Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan. Jurnal Ulumul Qur�an, 7(4),
35�42.
Khaidir, E. (2010). Pendidikan Islam Dan Peningkatan
Sumber Daya Perempuan. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender, 9(1),
76�92.
Khotimah, K. (2008). Urgensi Kurikulum Gender dalam
Pendidikan. INSANIA: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 13(3),
420�533.
Lochbaum, M., Jean-Noel, J., Pinar, C., & Gilson, T.
(2017). A meta-analytic review of Elliot�s (1999) Hierarchical
Model of Approach and Avoidance Motivation in the sport, physical activity, and
physical education literature. Journal of Sport and Health Science, 6(1),
68�80.
Moelong
Lexy, J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya: Bandung.
Muhadjir, N. (2000). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muhaimin, M. A. (2020). Paradigma Pendidikan Islam.
PT Remaja Rosdakarya.
Muthali�in, A. (2001). Bias Gender dalam Pendidikan,
Surakarta. Muhammadiyah University Press.
Narwoko,
J. D. (2004). Sosiologi teks pengantar dan
terapan.
Pyke,
K. D. (1996). Class-based masculinities: The interdependence of gender, class,
and interpersonal power. Gender &
Society, 10(5), 527�549.
Qomar, M. (2001). Epistemologi Pendidikan Islam (sebuah
Upaya Mencari Bentuk)�. Lektur Seri XIII.
Rasyad, R. (2022). Konsep Khalifah Dalam Al-Qur�an (Kajian
Ayat 30 Surat Al-Baqarah Dan Ayat 26 Surat Shaad). Jurnal Ilmiah
Al-Mu�ashirah: Media Kajian Al-Qur�an Dan Al-Hadits Multi Perspektif, 19(1),
20�31.
Rohmah, N., & Ulinnuha, L. (2014). Relasi Gender dan
Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 345�364.
Roqib, M. (2009). Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan
Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. LKIS
Pelangi Aksara.
Smith,
W. A., & Prihantoro, A. (2001). Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo
Freire. Pustaka Pelajar.
Solichin, M. M. (2006). Pendidikan agama Islam berbasis
kesetaraan gender. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1).
Subki, S. (2015). Manajemen kurikulum Pendidikan Agama
Islam berbasis pendidikan karakter: Studi multikasus di SMAN 5 Mataram dan SMA
Muhammadiyah Mataram. Universitas Negeri Islam Maulana Malik Ibrahim.
Suriasumantri, J. S. (1993). Filsafat ilmu: Sebuah
pengantar populer.
Susiloningsih & Najib, A. M. (2004). Kesetaraan Gender
di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Sutisna, U. (2019). Rekonstruksi Pendidikan Islam Di
Indonesia Dalam Perspektif Pemikiran Muhaimin. UIN Raden Intan Lampung.
Tafsir, A., Supardi, A., Basri, H., Mahmud, M., Kurahman,
O. T., Fathurrahman, P., Priatna, T., Supriatna, S., Ruswandi, U., &
Suryana, Y. (2004). Cakrawala pemikiran pendidikan Islam (Vol. 1).
Mimbar Pustaka: Media Tranformasi Pengetahuan.
Umar, N. (2008). Metode Penelitian Berperspektif Gender
tentang Literatur Islam. /Jurnal/Al-Jamiah/Al-Jamiah No. 64-XII Th. 1999/.
Umar, N. (2010). Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur�an.
Umar, N. (n.d.). Kesetaraan Gender: Studi Komparasi
Pemikiran Fatimah Mernissi Dan.
|
|