Pengaruh Group Therapy Dalam
Mengurangi Derajat Stres Pada Kelompok Wanita Warga Binaan Pemasyarakatan
The Effect of Group Therapy
in Reducing Stress Levels in Female Groups of Correctional Assisted Citizens
1)* Novi Adelina, 2) Eneng
Nurlaili Wangi, 3) Endah Nawangsih
123 Universitas Islam Bandung,
Indonesia
Email: 1)*
[email protected], 2) [email protected], 3)
[email protected]
*Correspondence: Novi Adelina
DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2170 |
ABSTRAK Stres pada warga binaan pemasyarakatan telah menjadi
kondisi yang tak dapat dihindari. Stres yang berat dapat mengganggu aktivitas
selama dalam proses masa peradilan dan masa hukuman. Pada warga binaan
pemasyarakatan dengan latar belakang dan kasus tindak pidana yang berbeda
memiliki tingkat derajat stres yang beragam selama di dalam rumah tahanan.
Kondisi rumah tahanan yang menjadi stresor bagi penghuninya gejala stres.
Pentingnya pengelolaan stres pada kelompok Wanita warga binaan pemasyarakatan
selama di rumah tahanan agar dapat tercapainya kondisi kesehatan mental yang
baik pada warga binaan pemasyarakatan selama menjalani proses peradilan.
Dalam Group Therapy terdapat faktor-faktor kuratif yang dapat membantu
mengurangi gejala-gejala stres pada kelompok wanita warga binaan
pemasyarakata guna dapat menjalani aktivitas dengan baik dan beradaptasi
selama proses peradilan. Desain penelitian yang digunakan adalah one group pre-test post-test, data dianalisis dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test untuk menguji perbedaan sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Hasil Uji statistik menunjukan
p-value sebesar 0,27, lebih besar dari alpha 0,05. Terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap pengurangan derajat stres pada kelompok Wanita warga
binaan pemasyarakatan yang sedang dalam masa peradilan di Rumah Tahanan Perempuan
Kelas IIA Bandung. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor kuratif dari
Group Therapy yang muncul dalam penelitian ini adalah kohesivitas kelompok,
universalitas, pembelajaran interpersonal dan perasaan lega. Pada penelitian
ini ditemukan bahwa situasi rumah tahanan sangat rentan dan dapat memicu
kondisi stres, diperlukan program yang dapat mencegah dan menanggulangi
masalah kesehatan mental pada kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan. Kata kunci: group therapy,
narapidana wanita, stres, tahanan wanita, warga binaan pemasyarakatan. |
|
ABSTRACT Stress
in prisoners has become an unavoidable condition. Severe stress can interfere
with activities during the trial and sentencing process. Prisoners with
different backgrounds and criminal cases have varying degrees of stress while
in detention. The conditions of the detention house are a stressor for its
residents, triggering emotions and behaviors that
are not adaptive. The importance of stress management in the Women's group of
correctional prisoners while in detention in order to achieve a good mental
health condition in correctional prisoners during the judicial process. In
Group Therapy there are curative factors that can help reduce the symptoms of
stress in the group of women prisoners in order to undergo activities well
and adapt during the judicial process. The research design used was one group
pre-test post-test, the data was analyzed by
Wilcoxon Signed Rank Test to test the difference before and after the
intervention. The statistical test results showed a p-value of 0.27, greater
than alpha 0.05. There is a significant effect on reducing the degree of
stress in the group of women prisoners who are in the judicial period at the
Bandung Class IIA Women's Detention Center. The
results showed that the curative factor of Group Therapy that emerged in this
study was cohesion. Keywords: group
therapy, female inmates, stress, female prisoners, correctional inmates. |
Narapidana memiliki risiko kesehatan
mental yang buruk, hal ini disebabkan masalah personal dan pengalaman kehidupan
sebelumnya seperti pengalaman kekerasan, hubungan interpersonal yang buruk,
kesulitan mengatasi stres dan tantangan dalam menghadapi bermacam situasi, juga
tantangan dalam menghadapi permasalahan masa pengasuhan (Chang, Larsson, et al., 2015).� Saat mereka masuk ke dalam rumah tahanan,
potensi gangguan psikologis semakin tinggi sehingga seringkali muncul berbagai
macam keluhan fisik seperti gatal-gatal, gangguan pencernaan, kesulitaan tidur
dan lain-lain (Chang, Larsson, et al., 2015). Lalu juga
sering muncul masalah psikis seperti merasa sensitif, mudah marah, sering
menangis, merasakan kesepian dan kekosongan karena kehilangan hubungan dengan
keluarga dan teman-teman, takut dan cemas, kehilangan harapan hidup, merasa
tidak dihargai oleh masyarakat dan menarik diri dari lingkungan (van Tilburg et al., 2013).
Menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) adalah stresor kehidupan yang
berat bagi pelakunya (Leenes & Kosta, 2015). Perasaan
sedih, cemas dan takut pada WBP saat berada dalam proses hukum serta berbagai
hal lainnya seperti rasa bersalah, hilangnya kebebasan, perasaan malu, sangsi
ekonomi dan sosial serta kehidupan dalam penjara yang penuh dengan tekanan
psikologis dapat memperburuk dan mengintensifkan stresor sebelumnya.
Keadaan tersebut bukan saja mempengaruhi penyesuaian fisik tetapi juga
psikologis individunya. Setiap warga binaan memiliki hak untuk mendapatkan
kesejahteraan kesehatan, baik fisik mauapun mental selama masa pembinaan (Shaw & Elger, 2015). Namun, hal
tersebut kurang mendapatkan perhatian. Pada kenyataannya banyak warga binaan
pemasyarakatan yang mengalami gangguan psikologis seperti cemas, stres, depresi
ringan sampai berat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Indonesia dari data demografi di Indonesia jumlah warga binaan
pemasyarakatan yang� mengalami tingkat
stres pada tahun 2012 berjumlah 5.516 orang, berjumlah 5.358 orang pada� tahun 2013, berjumlah 5.076 orang pada tahun
2014, berjumlah 6.638 orang pada tahun 2015 (Badan Pusat Statistik, 2015) (Calcaterra et al., 2014). Semakin
meningkatnya tingkat stres dari tahun ke tahun yang dialami warga binaan
pemasyarakatan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kepadatan
jumlah penghuni, keberagaman karakteristik penghuni, pembatasan aktivitas,
isolasi dari lingkungan luar, perasaan bersalah dan ketakutan akan
keberlangsungan kehidupan di masa depan (Antaranews, 2015). Kondisi ini
mempersulit para warga binaan pemasyarakatan wanita dalam melakukan aktivitas
dan juga kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu yang perlu sejahtera
secara mental dan fisik. Kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan yang
berada dalam rumah tahanan lebih rentan terhadap masalah psikologis karena
sumber-sumber stres yang dimiliki� oleh
warga binaan diantaranya masalah sosial ekonomi , urusan keluarga , kurangnya
kesempatan pendidikan, masalah pernikahan bahkan lebih meningkat apabila sudah
memiliki anak.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh University� of�
Australia� menunjukkan� bahwa�
40% masalah kesehatan mental pada narapidana adalah stres (Chang, Lichtenstein, et al., 2015).� Stres�
pada� narapidana wanita� lebih�
tinggi� dibanding dengan� pria�
yaitu 70% : 30% (Rachmawati,�
2019). Hal ini terjadi karena narapidana wanita secara pribadi biasanya
memiliki tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak dibandingkan dengan
narapidana laki laki, sehingga kondisi narapidana wanita di penjara sering
meminta fasilitas dukungan finansial dan emosional untuk menitipkan anak.
Masalah psikologis yang terjadi pada warga binaan pemasyarakatan selama di
Rutan menjadi perhatian saat ini. Masalah psikologis yang sering ditemui pada
warga binaan pemasyarakatan dengan gejala tertinggi yaitu stres, kecemasan,
perilaku agresif, dan psikosomatis (Lyu et al., 2015). Tingkat stres
dan kecemasan yang tinggi ditemukan pada warga binaan pemasyarakatan di
Ethiopia yaitu kecemasan wanita lebih tinggi dibandingkan pria sekitar 35,8%
pria dan 57,9% wanita (Altemus et al., 2014).
Kecemasan yang dialami oleh warga binaan pemasyarakatan wanita berasal dari
faktor yang sangat beragam dan subyektif. Negy, Woods & Carlson, 1997, menyatakan
bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan pria dan wanita memiliki pengalaman
yang sama dalam penjara, namun banyak ditemukan argumentasi bahwa warga binaan
pemasyarakatan wanita lebih mungkin mengalami penyakit mental akibat tekanan
terkait dengan memelihara keluarga-keluarga agar tetap utuh, peran sebagai
orang tua yang harus mengurus anak-anak, dan kebutuhan untuk berhubungan dengan
konflik perkawinan atau hubungan yang belum terpecahkan. Semua itu menjadi
terbatas ketika mereka berada dalam penjara (Bangasser & Valentino, 2014).
Kondisi stres yang dialami narapidana di dalam penjara sangat beragam, jika
hal ini tidak ditangani dengan baik maka dampaknya akan semakin memburuk (Calcaterra et al., 2014). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada 206 narapidana di Inggris dengan menggunakan
alat ukur attachment style questionnaire,
coping styles questionnaire, dan beck hopeless scale, ditemukan bahwa coping style yang tidak tepat dalam
menghadapi situasi di penjara mengakibatkan potensi menyakiti diri dan bunuh
diri.
Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa permasalahan psikologis yang sering muncul pada kelompok
wanita warga binaan pemasyarakatan diantaranya adalah kecemasan, stres, dan
depresi. Masalah psikologis yang menjadi fokus penelitian ini adalah stres,
dimana stres merupakan suatu reaksi individu saat menghadapi tekanan atau
permasalahan (Mannion et al., 2013). Saat individu
mengalami stres kemudian tidak tertangani, maka reaksi stress yang muncul dapat
menjadi tidak adaptif. Reaksi stress yang tidak terkelola dengan baik maka akan
menimbulkan masalah psikologis yang lain. Sehingga pengurangan stres diharapkan
dapat membantu pengelolaan reaksi stress guna menampilkan reaksi yang adaptif
sehingga warga binaan pemasyarakatan dapat beradaptasi di lingkungan rumah
tahanan dan menjalani aktivitas sesuai aturan yang berlaku.
Hal ini juga ditemukan� pada kelompok
wanita warga binaan pemasyarakatan yg ditemukan di Rumah Tahanan Perempuan
Kelas IIA Bandung (2023) terdapat 97 warga binaan pemasyarakatan, terdiri dari
32 tahanan dan 65 narapidana. Rumah Tahanan Perempuan Kelas IIA Bandung
memiliki aturan yang sangat ketat terhadap warga binaan pemasyarakatan.
Pembatasan tingkah laku warga binaan pemasyarakatan yang sedang dalam masa
peradilan menunjukan respons yang bermacam-macam hingga mengeluarkan reaksi
stres negatif seperti marah-marah, tidak mau melakukan aktivitas, melawan
sipir, hingga berkelahi dengan sesama warga binaan pemasyarakatan lain. Reaksi
stres negatif ini akan memicu hukuman tambahan untuk pelanggar peraturan Rutan (Kogler et al., 2015).
Berdasarkan wawancara pada salah satu pembina di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II Bandung kondisi saat ini telah melebihi kapasitas yang ada. Aktivitas
yang dilakukan warga binaan setiap harinya adalah kegiatan pembinaan
kepribadian diantaranya yaitu kegiatan keagamaan, olahraga, kesenian dan
penyuluhan hukum (Wilson & Dishman, 2015). Kegiatan
rutinitas ini dilakukan setiap hari oleh warga binaan baik di Rumah Tahanan
maupun di Lembaga Pemasyarakatan. Lingkungan yang padat dan terbatasnya
aktivitas yang bisa dilakukan warga binaan�
membuat para warga binaan mengalami berbagai kondisi psikologis yang
sulit ditangani secara optimal oleh pembina yang menyebabkan tidak kondusifnya
situasi di Lapas. Akibat kepadatan yang terjadi di Lapas maka upaya untuk
mengatasi kondisi yang tidak nyaman di Lapas, kepala pembina memindahkan
sebagian narapidana dengan vonis maksimal 3 tahun ke Rumah Tahanan. Hukuman
pelanggar peraturan Rutan bisa bermacam-macam, dari mulai isolasi, penangguhan
potongan hukuman atau bahkan penahanan surat keputusan bebas. Karena aturan
yang ketat inilah para warga binaan pemasyarakatan biasanya menahan diri untuk
menampilkan reaksi stres mereka (Kamarulzaman & McBrayer, 2015).
Ketika harus tinggal di Rumah Tahanan, segala ruang gerak pada warga binaan
pemasyarakatan menjadi terbatas dan terisolasi dari masyarakat. Keadaan yang
terisolasi dan terbatasi menjadi stresor tersendiri bagi para warga binaan
pemasyarakatan yang akhirnya menyebabkan stres. Status yang berubah menjadi
warga binaan pemasyarakatan itupun telah menjadi stresor yang berat bagi
pelakunya. Kurangnya adaptasi dengan lingkungan baru juga menjadi salah satu
pemicu para warga binaan pemasyarakatan mengalami berbagai tekanan yang
berujung pada stres.
Ketika individu mengalami stres maka akan berpengaruh ke perubahan biologis
tubuh (Oken et al., 2015). stres diawali
dengan reaksi alarm (alarm reaction),
sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, terjadi
luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin membesar dan thimus meniadi
lemah. Kemudian dikuti dengan resistensi (resistance),
organisme beradaptasi dengan stres melalui berbagai mechanisme coping yang dimilikinya. Apabila stresor menetap atau
organisme tidak mampu merespon secara efektif maka akan terjadi fase kelelahan
(exhaustion) dan organisme menjadi
menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Bukan hanya berpengaruh pada
aspek biologis saja tetapi stres juga akan mempengaruhi aspek psikososial
individu. Aspek psikologis terdiri dari kognisi dan emosi (Ong et al., 2015). Bila seseorang
mengalami stres maka dapat mengganggu daya ingat serta atensi dalam aktivitas
kognisinya seperti kesulitan berkonsentrasi, menjaga jarak dari lingkungan,
tidak bersemangat saat beraktivitas, dan menampilkan perilaku menarik diri.
Sedangkan menurut Harrington (2013), stres merupakan reaksi-reaksi negatif
seperti kekhawatiran, ketakutan atau kecemasan meskipun dalam konteks lain
stres dapat merujuk pada sejumlah emosi yang berbeda seperti iritasi, malu,
atau kesedihan yang biasanya ditampilkan dengan mudah tersinggung, mudah
menangis, takut berkomunikasi dengan sekitar, dan mudah marah. Semakin besar
tingkat stres yang dialami maka semakin intens reaksi-reaksi tersebut muncul.
Berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan pada warga binaan pemasyarakatan
di Rumah Tahanan Perempuan Kelas IIA Kota Bandung, Sebagian warga binaan
pemasyarakatan yang berada di Rumah Tahanan merupakan warga binaan yang sedang
dalam masa peradilan. Warga binaan pemasyarakatan yang sedang dalam masa
peradilan yang mengalami gejala stres sering menarik diri dari lingkungan,
mudah marah dan menangis, serta menujukan reaksi distress yaitu merasa kewalahan, tidak berdaya atau putus asa.
Gejala ini sering muncul setelah kembali dari persidangan. Warga binaan
pemasyarakatan tersebut juga mengalami perubahan nafsu makan, kesulitan tidur,
dan mengalami kesulitan berkonstrasi atau mengingat. Selama beraktivitas sering
mudah lelah, mudah marah dan menghabiskan banyak waktu mengkhawatirkan sesuatu
hal yang belum terjadi. Mereka memiliki pemikiran bahwa hidupnya tidak berarti
lagi dan menjadi aib bagi keluarganya. Sedangkan dari sisi emosi, mereka merasa
kecewa, marah, sedih, merasa diabaikan, ditinggalkan dan menyesal terhadap
perilakunya namun merasa tidak berdaya. Perilaku yang muncul atas pikiran dan
emosi yang dirasakan adalah enggan beraktivitas, melawan kepada sipir, mudah
tersinggung, kesulitan merawat diri dan berkelahi dengan sesama warga binaan
pemasyarakatan.
Kegiatan di Rumah Perempuan Kelas II Bandung bermacam-macam, mulai dari
apel harian, kegiatan merawat diri, membaca buku, kegiatan rohani, hiburan,
olahraga, kegiatan pendidikan dan konsultasi hukum. Jadwal kegiatan yang padat
dan serentak membuat para warga binaan tidak dapat beraktivitas secara bebas
kecuali di waktu tertentu. Kehilangan kebebasan dan keterbatasan beraktivitas
membuat kondisi warga binaan menjadi tertekan dan menimbulkan gejala-gejala
stres. Stres yang dialami warga binaan pemasyarakatan Wanita di dalam Rumah
Tahanan merupakan masalah yang sulit terhindarkan, banyak faktor yang membuat
gejala stres tersebut semakin meningkat.
Hasil penelitian hubungan dukungan sosial dengan stres narapidana wanita di
Lapas IIA Malang menunjukkan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres
warga binaan pemasyarakatan wanita sebesar 18% dan 82% stres warga binaan
pemasyarakatan wanita dapat diakibatkan oleh faktor atau variabel lain selain
variabel dukungan sosial. yaitu kejenuhan dengan kegiatan di Lapas terutama
untuk para warga binaan pemasyarakatan yang telah berada lama di Lapas,
keterpisahan dengan keluarga atau pasangan, isolasi sosial yang meningkatkan
kecemasan pada saat fase awal berada di Lapas, perasaan takut ditolak oleh
teman sesama warga binaan pemasyarakatan, kesesakan penghuni sesama tahanan
terlebih untuk Lapas yang berada dalam kategori overload dan kurangnya privasi
yang membatasi ruang gerak para warga binaan pemasyarakatan.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan dukungan sosial yang diterima
warga binaan pemasyarakatan stres 55% berada pada kategori tinggi. Sedangkan
untuk tingkat stres warga binaan pemasyarakatan�
menunjukan kategori stres tinggi sebesar 40% dan yang berkategori rendah
60%. Pada warga binaan yang dukungan sosialnya tinggi menunjukan hasil tingkat
stres yang rendah
Dukungan sosial yang diterima warga binaan pemasyarakatan diantaranya
dukungan dari teman Lapas, petugas Lapas, maupun keluarga yang� berkunjung (Pettus-Davis, 2014). Sejumlah
penelitian juga pernah dilakukan di Indonesia mengenai depresi pada warga
binaan pemasyarakatan kstres. Penelitian yang mengambil lokasi di Lembaga
Pemasyarakatan Sragen menyatakan bahwa warga binaan pemasyarakatan dan tahanan
yang menghuni Lapas tersebut mengalami depresi. Screening yang digunakan untuk mengungkap depresi menggunakan BDI dan menunjukkan hasil bahwa dari 74
jumlah warga binaan pemasyarakatan dan tahanan stres yang menghuni Lapas
tersebut di tahun 2006, 100% mengalami depresi.
Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan yaitu mengenai dukungan
emosional warga binaan pemasyarakatan di Lembaga pemasyarakatan kelas III
Kendari, besar dukungan emosionalnya kurang baik sebesar 60,5% dan dukungan
emosionalnya baik sebesar 39,5%. Ada hubungan kuat antara dukungan emosional
keluarga dengan tingkat stres warga binaan pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Kendari. (Elpinar, dkk 2019).
Hasil penelitan mengenai terapi untuk stres yang dilakukan di New Delhi
dalam Effect Of Yoga And Meditation On
Stres Management Of Female Prisoners In Delhi pada tahun 2016 menunjukan
bahwa terdapat penurunan stress, depresi dan kecemasan pada narapidana stres
sebanyak 14,8% (Kaur et al. 2016). Penelitian lain tentang Mindfulness and Acceptance�Based Group Therapy: An Uncontrolled Pragmatic Pre�Post Pilot
Study in a Heterogeneous Population of Female Prisoners menunjukan
hasil bahwa adanya hubungan antara keterlibatan dalam program
terapi Mindfulness
and Acceptance�Based Group Therapy dengan peningkatan
kualitas kondisi Depresi, Kecemasan dan Stres pada lebih dari 50% klien narapidana di penjara Australia Selatan (Riley, et al 2019).� Adapun penelitian
lain yaitu Pengaruh Emotional Freedom Techniques (EFT) �Untuk
Menurunkan Stres Pada Narapidana Lapas Kelas I Makassar
menujukan bahwa terdapat penuruan derajat stres pada narapidana sebesar 0,8% (Rahmadewi, 2017)
Penelitian Intervensi lain yaitu pengaruh Cognitive Behavior Therapy(CBT)� dengan metoda dzikir terhadap penurunan gejala stres pada warga binaan pemasyarakatan yang tidak dikunjungi keluarga (Dyah Rachman Kusuwartani, 2015) menunjukan hasil bahwa stres
yang dialami warga binaan pemasyarakatan telah menurun sebanyak
kurang lebih 50% pada ketiga subjek penelitiannya.
Hal ini senada dengan penelitian Studi Kasus Dampak Penerapan Cognitive
Behaviour Therapy (CBT) Terhadap Stres Narapidana Lapas Kelas II A
Bengkulu menunjukan terdapat
penurunan gejala stres yang muncul pada 3 narapidana di lapas kelas II A Bengkulu (Utomo dkk,
2020).
Berkaitan dengan gejala stres yang dialami, psikoterapi yang paling sering
digunakan dalam mengatasi stres adalah yang berfokus aspek Kognitif. Beberapa
Intervensi yang dilakukan pada penelitian sebelumnya seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Thinking
of Change, Mindfullness dan beberapa psikoterapi lainnya yang dapat
menurunkan gejala stres yang dialami warga binaan pemasyarakatan dan menunjukan
perubahan perilaku yang lebih baik.
Dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ditemukan
bahwa masalah psikologis yang ada pada warga binaan pemasyarakatan wanita yaitu
depresi, kecemasan dan stress dapat menurun dengan beberapa terapi psikologi
diantaranya adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT) , Mindfulness and Acceptance�Based Group Therapy, dan Emotional Freedom Techniques (EFT) yang
dilakukan secara individual pada warga binaan pemasyarakatan wanita dan
terbukti efektif dapat menurunkan masalah psikologis yang dialaminya.
Warga binaan pemasyarakatan wanita memiliki hak yang sama untuk
kesejahteraan kesehatan secara fisik dan mental. Sumber-sumber yang dapat
memicu munculnya masalah psikologis pada warga binaan pemasyarakatan wanita
diantaranya adalah kepadatan populasi di dalam rumah tahanan, aturan yang
ketat, perilaku yang dibatasi, sanksi-sanksi saat melawan aturan membuat
lingkungan rumah tahanan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental
para warga binaan pemasyarkatan di dalamnya. Kondisi keterbatasan ini membentuk
dinamika sosial yang unik pada kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan
selama menjalani proses peradilan di rumah tahanan. Selama proses menjalani
masa peradilan, kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan faktor lain yang
muncul adalah kurangnya dukungan sosial, keterbatasan privasi, hilangya rasa
kontrol terhadap diri hingga muncul gejala-gejala stres yang berat.
Goup therapy memiliki tujuan
untuk meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing) melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau
dari orang lain, membentuk sosialisasi, meningkatkan fungsi psikologis, yaitu
meningkatkan kesadaran tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri
dengan perilaku defensive (bertahan
terhadap stres dan adaptasi terhadap lingkungan baru, membangkitkan motivasi
bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan afektif. Pada
proses intervensi group therapy fungsi
anggota kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta
mengubah perilaku yang destruktif dan maladapif. Kekuatan anggota kelompok ada
pada kontribusi setiap anggotanya untuk berbagi pengalaman dan saling membantu
satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah (Yalom, 2010).
Melalu Group Therapy, faktor-faktor
terapeutik yang akan muncul selama prosesnya akan membantu mengurangi derajat
stres yang dirasakan oleh warga binaan pemasyarakatan wanita diantaranya
seperti kohesivitas kelompok akan membantu warga binaan pemasyarakatan wanita
dapat berinteraksi antar anggota kelompok untuk menumbuhkan dukungan sosial
antar anggota, perasaan lega yang didapatkan antar anggota kelompok dapat
mengembalikan hak kontrol terhadap diri, dan pembelajaran interpersonal untuk
membuka peluang mengekspresikan diri dan menjalin hubungan dnegan anggota
kelompok guna meningkatkan empati dan penerimaan diri.
Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti terkait stres yang
dialami kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan Perempuan
Kelas IIA Bandung. Sebagian warga binaan pemasyarakatan tidak mampu mengatasi
masalah yang dialami di dalam Rutan adanya stresor yang sulit untuk dihadapi
warga binaan pemasyarakatan sehingga coping
strategy tidak dapat berfungsi efektif dan menyebabkan warga binaan
pemasyarakatan mengalami stres selama menjalani masa tahanan. Bahaya atau
gangguan yang telah terjadi pada orang tersebut, frustrasi merintangi atau
memperlambat aktifitas penting tertentu yang sedang berlangsung atau pencapaian
tujuan penting tertentu. Dalam psychosocial
stress (Herbert, T & Cohen,S.,1996) mendefinisikan stres sebagi sebuah
proses dimana peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan diinterpretasikan
oleh manusia dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang mereka pegang sebagai
sumber pengetahuan (kognitif), dan bagaimana mereka merespon hal tersebut
secara psikologis, perubahan perilaku atau secara biologis.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka warga binaan pemasyarakatan yang
mengalami stres perlu diberikan penanganan untuk mengembalikan fungsi hidupnya
kembali normal guna menjalani masa hukuman dan kelak akan kembali ke
masyarakat. Intervensi yang dipilih peneliti adalah Group Therapy.�
Group therapy (Yalom,
2020) dapat memberikan efek
terapeutik dimana setiap anggota kelompok akan bersama-sama mengeksplorasi sisi
kognitif dan afektif mereka yang muncul dalam situasi permasalahan dalam
intervensi ini anggota kelompok diajarkan untuk mengubah pikiran otomatisnya yang
negatif menjadi pikiran yang lebih positif. Tujuan utama dari terapi ini adalah
untuk memfasilitasi proses adaptasi terhadap kondisi Rumah Tahanan yang menjadi
stresor dan mengurangi gejala stres untuk dapat menjalani masa peradilan di
Rumah Tahanan dengan sebaik mungkin.
Populasi kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan yang telah menjadi
fokus utama pada penelitian menjadi sasaran peneliti melihat terdapat
aspek-aspek sosial yang unik untuk diteliti. Kondisi lingkungan Rumah Tahanan
yang ketat dan terbatas memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan
kesejahteraan sosial para penghuninya. Pada kelompok wanita warga binaan
pemasyarakatan terdapat dinamika sosial dan interpersonal yang khusus.
Interaksi yang terjadi dalam kelompok tersebut dapat menjadi salah satu faktor
pendukung untuk kesejahteraan sosial, dimana Group Therapy dapat menjadi sarana dalam memfasilitasi interaksi
kelompok untuk saling memberikan dukungan sosial dan pemberdayaan pada
penghuninya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membuat program
dukungan untuk menangani masalah psikologis pada kelompok wanita warga binaan
pemasyarakatan, khususnya di Rumah Tahanan Perempuan Kelas IIA Bandung.
Berdasarkan fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk meneliti �Pengaruh Group
Therapy dalam Mengurangi Derajat Stres pada Kelompok Wanita Warga Binaan
Pemasyarakatan." Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
berpengaruh terapi kelompok dalam mengurangi tingkat stres pada warga binaan
perempuan di Rumah Tahanan Perempuan Kelas II Bandung. Secara teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada literatur ilmiah
mengenai kesehatan mental di lembaga pemasyarakatan, memperdalam pemahaman
tentang kondisi psikologis dan sosial wanita dalam penjara, serta menjadi acuan
bagi penelitian selanjutnya. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan
membantu meningkatkan efektivitas program kesehatan mental, merancang strategi
pemulihan yang tepat, mengurangi risiko masalah kesehatan mental, dan
meningkatkan kesejahteraan serta pemberdayaan warga binaan. Selain itu,
penelitian ini juga berpotensi membantu mengurangi stigma sosial, mendorong
advokasi kebijakan, dan mendukung reintregrasi sosial bagi warga binaan perempuan
di rumah tahanan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur
pengaruh Group Therapy dalam mengurangi stres pada warga binaan
pemasyarakatan di Rumah Tahanan Perempuan Kelas II Bandung. Desain penelitian
menggunakan metode Quasi-Experimental, di mana variabel-variabel luar
tidak sepenuhnya dapat dikontrol (Christensen, 2001). Quasi-Experimental
diterapkan karena lingkungan penelitian memiliki batasan seperti kebijakan
keamanan dan dinamika sosial. Penelitian ini menggunakan desain one-group
pretest-posttest, di mana pengukuran dilakukan sebelum dan setelah
perlakuan untuk membandingkan perubahan stres menggunakan skala Perceived
Stress Scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen & Williamson (1988).
Variabel penelitian mencakup variabel terikat (derajat stres) dan variabel
bebas (Group Therapy). Variabel non-eksperimental seperti jumlah anggota
kelompok dan waktu pelaksanaan dikontrol untuk memastikan interaksi efektif.
Subjek penelitian adalah warga binaan perempuan yang sedang dalam masa
peradilan, dan sampel dipilih menggunakan teknik purposive sampling.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner PSS, observasi, dan wawancara
mendalam untuk memperoleh informasi tentang kondisi fisik dan psikologis
subjek.
Analisis data menggunakan uji Wilcoxon Signed-Rank Test, metode
non-parametrik yang cocok untuk data berpasangan sebelum dan sesudah perlakuan.
Uji ini digunakan untuk mengetahui pengaruh Group Therapy terhadap
perubahan stres pada subjek penelitian (Alwi, 2012). Rumus statistik yang
digunakan adalah H0: Median Sebelum = Median Sesudah, dan H1: Median >
Median Sesudah, dengan hasil akhir menunjukkan apakah intervensi terapi
berpengaruh signifikan dalam mengurangi derajat stres.
HASIL DAN PEMBAHASAN
�������� Pada bab
ini akan dikemukakan mengenai hasil dan pembahasan dari pelaksanaan group therapy yang telah dilakukan pada
warga binaan pemasyarakatan yang sedang dalam masa peradilan di Rumah Tahanan
Perempuan Kelas II A Bandung.� Uraian
tentang hasil intervensi akan dijelaskan melalui data kuantitatif berdasarkan
perhitungan statistik pada derajat stres. Data kuantitatif mengenai perubahan
derajat stress menggunakan uji statistik yaitu Wilcoxon Signed Rank Test. Sedangkan pada pembahasan akan
dikemukakan mekanisme bagaimana intervensi group therapy dapat memberikan
perubahan derajat stress melalui laporan pelaksanaan intervensi group therapy dan pelaksanaan hasil
konseling.
�������� Penelitian
ini bertujuan untuk melihat pengaruh group
therapy dalam mengurangi derajat stres pada kelompok wanita warga binaan
pemasyarakatan yang sedang menajalani proses peradilan. Pada bab ini akan
dibahas mengenai hasil pengolahan data dilengkapi dengan pembahasan yang
didasarkan pada perhitungan statistik, serta penjelasan-penjelasan teoritis.
4.1. �Gambaran Umum Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 6 orang wanita warga binaan pemasyarakatan� yang sedang dalam masa peradilan di Rumah
Tahanan Perempuan Kelas II A� dengan
kondisi derajat stres tinggi. Adapaun identitas subjek penelitian akan
ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.1. Identitas
Subjek Penelitian
No |
Inisial Nama |
Usia |
Jenis Kelamin |
Pend. Terakhir |
1 |
C |
34 |
Perempuan |
SMP |
2 |
S |
36 |
Perempuan |
SMA |
3 |
SK |
22 |
Perempuan |
D3 |
4 |
SN |
27 |
Perempuan |
SMK |
5 |
AP |
35 |
Perempuan |
SMA |
6 |
R |
34 |
Perempuan |
S1 |
4.2. Hasil Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengukur pengaruh dari pemberian
intervensi Group
Therapy terhadap derajat
stres, sebelum melakukan pengujian terhadap pengaruh dan signifikansi pemberian intervensi Group
Therapy terhadap derajat
stres maka terlebih dahulu dilakukan pengukuran statistik yaitu uji normalitas data, setelah dilakukan uji normalitas data diperoleh bahwa data tidak berdistribusi normal.
Selanjutnya setelah
uji normalitas data, agar dapat
mengetahui seberapa besar signifikansi perubahan derajat stres sebelum dan sesudah diberikan intervensi Group Therapy, maka
dilakukan analisis perbandingan menggunakan uji wilcoxon dengan rumusan� hipotesis sebagai berikut: Terdapat pengaruh yang signifikan dari Group Therapy terhadap
berkurangnya derajat stres pada kelompok wanita warga binaan
pemasyarakatan.
Berdasarkan hasil perhitungan data derajat stres pada subjek penelitian, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa ada perubahan berupa
penurunan pada skor derajat stres pada warga binaan pemasyarakatan
yang sedang dalam masa peradilan
di Rumah Tahanan Perempuan Kelas
IIA Bandung.
Tabel 4. 2 Hasil Uji Wilcoxon Signed Rank Test.
Ranks |
||||
|
N |
Mean Rank |
Sum of Ranks |
|
POSTTEST
- PRETEST |
Negative
Ranks |
6a |
3.50 |
21.00 |
Positive
Ranks |
0b |
.00 |
.00 |
|
Ties |
0c |
|
|
|
Total |
6 |
|
|
|
a.
POSTTEST < PRETEST |
||||
b.
POSTTEST > PRETEST |
||||
c.
POSTTEST = PRETEST |
Test Statisticsa |
|
|
POSTTEST - PRETEST |
Z |
-2.214b |
Asymp. Sig. (2-tailed) |
.027 |
a.
Wilcoxon Signed Ranks Test |
|
b.
Based on positive ranks. |
Perhitungan dengan Wilcoxon Signed Rank Test, menunjukkan nilai p value sebesar 0,27 dimana kurang dari batas kritis penelitian α = 0,05 sehingga Hipotesis Alternatif (H1) diterima.
Hal tersebut berarti bahwa pemberian intervensi Group
Therapy sebeagai variabel
(X) menunjukkan terdapat perbedaan skor derajat stres sebelum dan sesudah
pemberian intervensi Group Therapy sebagai
variable (Y) pada warga binaan
pemasyarakatan yang sedang
dalam masa peradilan di Rumah Tahanan
Perempuan Kelas IIA Bandung. Oleh karena
itu pemberian intervensi Group Therapy �berpengaruh
dalam menurunkan derajat stres pada warga binaan pemasyarakatan
yang sedang dalam masa peradilan
di Rumah Tahanan Perempuan Kelas IIA Bandung.
4.3. �Hasil Pengukuran Derajat
Stres pada Subjek
Penelitian
Pengukuran derajat stres terhadap subjek
penelitian dilakukan dengan
menggunakan alat ukur Perceived Stress
Scale (PSS-10). Pengukuran derajat stres ini dilakukan sebanyak
dua kali, yakni pada saat sebelum diberikan intervensi Group
Therapy yang disebut pre-test, dan sesudah diberikan
intervensi Group
Therapy yang disebut post-test. Berikut adalah hasil pengukuran derajat stres pada subjek penelitian.
Tabel 4. 3 Hasil Skor Pre-Test Post-Test
pada Subjek Penelitian
No |
Inisial Nama |
Pre-Test |
Kategori |
Post - Test |
Kategori |
1 |
C |
29 |
Tinggi |
16 |
Rendah |
2 |
S |
27 |
Tinggi |
15 |
Rendah |
3 |
SK |
26 |
Tinggi |
11 |
Rendah |
4 |
SN |
26 |
Tinggi |
14 |
Rendah |
5 |
AP |
25 |
Tinggi |
14 |
Rendah |
6 |
R |
25 |
Tinggi |
14 |
Rendah |
Berdasarkan hasil pengukuran
pre-test dapat
dilihat bahwa derajat stres pada warga binaan pemasyarakatan
di Rumah Tahanan Perempuan Kelas
IIA Bandung berada pada kategori
tinggi ,
dan berdasarkan pengukuran post-test dapat
dilihat bahwa derajat stres subjek penelitian
berada pada kategori rendah. Berdasarkan tabel, secara keseluruhan
subjek menunjukan derajat stres yang berkurang atau menurun.
Adapun rata-rata penurunan skor derajat stres adalah
sebesar 47%, yang berarti saat pengambilan data pra sesi untuk mengukur derajat
stres pada kelompok wanita warga binaan pemasyarakatan dan pengukuran post test
setelah dilaksanakannya Group Therapy �menunjukan perubahan yang cukup besar pada
berkurangnya derajat stres. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa Group Therapy berpengaruh untuk
mengurangi derajat stres pada warga binaan pemasyarkatan yang sedang dalam masa
peradilan di Rumah Tahanan Perempuan Kelas IIA Bandung.
Gambar 4.2 Gambaran Hasil Pengukuran Derajat Stres
Pada gambar tersebut di atas, dapat dilihat bahwa
pada seluruh subjek terdapat perubahan pada tingkat derajat stres sebelum dan sesudah diberikan
intervensi, dimana setelah diberikan intervensi Group Therapy adanya penurunan derajat stres pada hasil pengukuran post-test.
Situasi yang
saat ini terjadi pada warga binaan pemasyarakatan yang dipengaruhi berbagai
faktor memicu berbagai masalah psikologis,�
Hasil penelitian mengungkap bahwa terdapat pengaruh sebesar 57,8% antara
lama masa hukuman dengan kondisi stres narapidana. Semakin lama masa hukuman
yang harus dijalani narapidana, maka kondisi stres juga semakin tinggi (Siswati
& Abdurrohim, 2009). Hukuman penjara dalam jangka waktu panjang dapat
menyebabkan permasalahan psikologis berat, seperti depresi, hingga mengarah pada
perilaku bunuh diri (Xu, Jia, Liu, & Hoffman, 2016). Kondisi psikologis
yang dialami warga binaan pemasyarakatan merupakan hal yang perlu penanganan
segera. Karena kondisi stres yang berat dan berkelanjutan akan memicu masalah
psikologis lainnya.
Penelitian ini
dilakukan untuk membantu warga binaan pemasyarakatan wanita dalam pengelolaan
stresnya. Peneliti memilih group therapy
dikarenakan group therapy memiliki
faktor-faktor kuratif yang dapat membantu individu dala pengelolaan stresnya
selama menjalani masa peradilan di Rumah Tahanan.
Irvin D. Yalom
(1985) menjelaskan bahwa group therapy
adalah treatment yang diawali dengan
mengikutsertakan kelompok kecil dari anggota dan satu atau lebih terapis.
Terapi ini dirancang untuk meningkatkan perkembangan psikologis dan mengatasi
permasalahan psikologi dengan mengeksplorasi dari sisi kognitif dan afektif
melalui interaksi antar anggota, dan antara anggota dan terapis.
Salah satu
prinsip mendasar pada Group Therapy
atau Terapi Kelompok adalah seorang individu dipengaruhi oleh sebuah sistem
dimana ia berfungsi (Irvin, 2005). Terapi kelompok adalah sebuah treatment atau intervensi yang
memanfaatkan modalitas anggota-anggota kelompok dan terapis untuk mendorong
perkembangan psikologis dan memperbaiki masalah psikologis melalui eksplorasi
kognitif dan afektif dalam interaksi antar anggota dan terapis dalam kelompok.
Melihat pada definisi tersebut, beberapa poin penting yang perlu diperhatikan
diantaranya (Irvin, 2005) :
Terapi kelompok
dirancang untuk mendorong perkembangan psikologis dan memperbaiki masalah
psikologis. Dimana definisi ini membedakan terapi kelompok dengan kelompok self-help dan support group. Terapi kelompok lebih bertujuan untuk mencari dampak
dari perubahan psikologis, sementara kelompok self-help dan support group
bertujuan untuk membantu anggota kelompok menghadapi masalah mereka yang ada
saat ini.
Pada
penelilitian yang dilakukan Eka (2018), mengenaiGroup
Therapy dalam menurunkan derajat stress pada istri prajurit yang
ditinggalkan tugas operasi menunjukan bahwa secara keseluruhan terdapat
penurunan derajat stress setelah diberikan Group
Therapy. Faktor -faktor kuratif
yang muncul selama proses Group Therapy daintaranya
adalah installation
hope, imparting information, universalty, altruime, dan development
of socializing technique.
Pada penelitian
ini gambaran perubahan dinamika kelompok saat proses terapi menunjukan
pengurangan derjat stres. Dimulai
saat Entry
Phase pelaksanaan Group Therapy �seluruh
subyek relatif sudah saling mengenal
satu sama lain. Subjek SN dan SK merupakan individu yang aktif dan lebih
terbuka serta mau memberikan masukan kepada anggota kelompok lainnya. Pada
subjek S terlihat lebih hati-hati dalam berbicara dan cenderung aktif pada saat
mulai mendekati waktu akhir sesi. Sementara subjek C, AP dan R memiliki sikap
lebih pendiam dan berbicara saat diminta memberikan masukan atau pendapat untuk
anggota kelompok lain.
Pada
pelaksanaan sesi Body Phase, terapis
mencoba melakukan konseling dengan pendekatan kognitif pada beberapa sesi
terutama pada tahap produktivitas. Terapis meminta untuk menceritakan
pengalaman pribadinya dan meminta seluruh subyek untuk memberi masukan yang
bersifat positif dan membangun. Dengan media kelompok inilah, setiap anggota
kelompok berperan aktif untuk memberikan masukan, menceritakan masalahnya
masing-masing, mampu mengekspresikan emosinya, saling menghargai dan memotivasi
serta memberikan feedback positif
yang diharapkan akan menciptakan suasana kebersamaan, saling terbuka, saling
percaya dan saling memiliki satu sama lainnya yang akhirnya seluruh subyek
mendapatkan insight dari peserta lainnya, yang akan mampu merubah penilaian
dari negatif menjadi positif. Subjek SK, SN dan S merupakan anggota kelompok
yang paling aktif selama sesi berlangsung, saat diminta memberikan pendapatnya
tentang kondisi C sebagai Ibu yang harus berpisah dengan keluarga, S memberikan
informasi mengenai cara untuk menulis jurnal agar dapat disampaikan kepada
keluarga saat ada yang menjenguk ke Rutan.
Kondisi-kondisi
inilah yang memunculkan faktor-faktor terapeutik selama proses konseling
berlangsung antar anggotanya. Faktor terapeutik yang dimaksud pada penelitian
ini adalah hubungan antara terapis dan sesama anggota kelompok yang sifatnya
menyembuhkan dan saling menolong (helping
relationship) dalam menyelesaikan permasalahan klien serta melibatkan
fungsi-fungsi psikologi seperti empati,sosial, kelekatan dan rasa peduli.
Faktor terapeutik dalam penelitian ini merujuk pada teori Yalom beberapa
diantaranya adalah installation hope,
imparting information, universalitas, altruisme, development of socializing
technique.� Pada setiap tahapan
proses konseling faktor terapeutik yang muncul bisa berbeda-beda tergantung
daripada dinamika kelompok.
Pada penelitian
ini sesi pertama proses Group Therapy diawali dengan proses installation hope kepada setiap
subjeknya, sampai subjek memahami pentingnya mengikuti Group Therapy untuk
membantu dirinya menyelesaikan masalahnya, kemudian terapis memberikan
informasi (imparting information)
berupa informasi penting atau materi yang bermanfaat bagi para anggota
kelompok. Dalam sesi ini juga diberikan beberapa psikoedukasi terkait
sumber-sumber stress, dampak stress dan bagaimana konseptualisasi kognitif akan
mempengaruhi kepada perasaan dan perilaku individu. Seluruh subjek mengikuti
sesi dengan baik, selama psikoeduksi subjek R, SK dan S terlihat tertarik dan
dapat menangkap materi dengan baik serta dapat menjelaskan kembali kepada
anggota kelompok lain.
Pada sesi Termination terapis dan anggota kelompok
bersama-sama membahas hope yang telah
ditulis saat awal pertemuan. Beberapa dari subjek sudah ada yang mulai ikut
persidangan, Subjek SK, SN dan A memiliki pandangan yang optimis pada hasil
sidang setelah mengikuti terapi untuk mengatasi gejala stresnya dan konseling
hukum bersama Lembaga bantuan hukum yang disediakan Rutan.
Melalui Group Therapy ini setiap anggota kelompok bersama-sama belajar
untuk menerima kondisi saat ini yang tidak ideal dan penuh aturan serta
keterbatasan. Pada dasarnya tidak ada solusi yang akan membuat subjek merasa
masalah yang saat ini dihadapi akan selesai selain setelah bebas dari penjara,
oleh karenanya selama intervensi berlangsung terapis fokus pada bagaimana
pikiran dan emosi klien di hari tersebut dan bagaimana cara menghadapi gejala
stress jika terjadi untuk hari selanjutnya.
Pemahaman baru yang diperoleh dari
intervensi ini adalah bagaimana membedakan antara pikiran, emosi dan perilaku
sehingga subjek dapat lebih memahami apa yang ada dalam dirinya merupakan
sebuah automatic thought �yang belum tentu nyata dan terjadi namun
seringkali mengganggu dan memicu timbulnya emosi-emosi negatif. Secara keseluruhan para subjek
mengalami penurunan derajat stress setelah diberikan Intervensi Group Therapy. �
4.5. �Pembahasan� Secara Khusus
Group
Therapy sebagai
pendekatan terhadap upaya mengurangi derajat stress kelompok wanita warga binaan
pemasyarakatan, menunjukan hasil yang signifikan. Pelaksanaan terapi dilakukan selama 7 kali pertemuan
selama 60-120 menit setiap pertemuan dilakukan satu kali dalam seminggu. Faktor
kuratif yang muncul dalam pelaksanaan Group
Therapy �diantaranya adalah installation of hope dimana para subjek
bersama-sama mengemukakan dan menghayati harapannya, kemudian kohesivitas
kelompok terlihat saat antar anggota kelompok saling memberikan dukungan.
Efek aspek
dukungan kelompok yang telah dilaksanakan mampu memberikan fungsi terapeutiknya
terhadap kelompok, yaitu sebagai faktor dukungan (suppor-tive factors), faktor keterbukaan diri dan katarsis, faktor
belajar kebijaksanaan atau kearifan dari anggota kelompok lainnya, serta
faktor-faktor psikologis yang� berkaitan
dengan bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain dan bagaimana memahami
diri sendiri (Brabender, Fallon, & Smolar, 2004). Faktor dukungan (supportive factors) adalah salah satu
yang paling penting dalam terapi dukungan kelompok. Setiap anggota yang masuk
dalam kelompok selalu dalam kondisi yang tidak menyenangkan dan dalam keadaan
tidak nyaman mengenai situasi yang mereka hadapi. Faktor-faktor dukungan
berhubungan dengan memacu harapan, penerimaan, tolong menolong, kebersamaan,
dan senasib sepenanggungan.
Dukungan dan
penerimaan dari anggota kelompok yang lain dapat menciptakan harapan terhadap
semua subjek untuk menciptakan dan mencapai tujuan yang akan dihadapinya
kemudian hari. Pertemuan terakhir intervensi memberikan kesempatan kepada
masing-masing subjek untuk mengungkapkan tujuan hidupnya kelak ketika selesai
masa hukuman.
Sampel yang
relatif kecil maka hasilnya mungkin tidak dapat diterapkan secara luas ke
populasi yang lebih besar. Ukuran sampel yang kecil dapat membatasi kekuatan
statistik dan umumnya meningkatkan variabilitas hasil.
Penggunaan
kuesioner berpotensi bias dan dapat memengaruhi validitas hasil.
Penelitian yang dilakukan
pada sampel tertentu yaitu kelompok wanita warga binaan
pemasyarakatan yang mengalami
stress, hasil penelitian mungkin tidak langsung
dapat diterapkan pada kelompok lain.
Meliputi waktu
dan anggaran dapat memengaruhi ruang lingkup dan kedalaman penelitian dan
berdampak pada keterbatasan dalam mengumpulkan data atau melibatkan sampel yang
lebih besar.
Sehubungan
dengan munculnya variabel yang tidak menjadi fokus penelitian, namun
memengaruhi hubungan antara variable bebas dan terikat, serta terdapat
kesulitan dalam analisis stastik sehingga sulit untuk menentukan apakah
perubahan dalam variabel menyebabkan perubahan pada variabel terikat. Misalnya
: Kondisi rumah tahanan (kualitas fasilitas, interaksi dengan petugas yang
dapat memengaruhi tingkat stress), perbedaan karakteristik indivdu (tingkat
motivasi, dukungan sosial), kondisi Kesehatan fisik, pengaruh pihak luar
(kunjungan keluarga), karakteristik terapi
Berdasarkan
analisis statistik dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Group Therapy berpengaruh dalam mengurangi derajat stres pada warga binaan
pemasyarakatan yang sedang dalam masa peradilan di Rumah Tahanan Perempuan
Kelas IIA Bandung. Terapi kelompok ini efektif dalam menurunkan stres melalui
faktor-faktor seperti installation hope, kohesivitas kelompok, interpersonal
learning, imparting information, dan altruism. Secara praktis, kelompok wanita
warga binaan pemasyarakatan diharapkan mampu mengelola stres mereka agar dapat
beradaptasi selama proses peradilan dan mengikuti aturan di Rumah Tahanan.
Pembina Rumah Tahanan disarankan untuk mengembangkan program berbasis kelompok,
seperti support group, guna meningkatkan dukungan sosial dan emosional antar
warga binaan. Secara teoritis, peneliti selanjutnya dapat mereplikasi dan
mengembangkan intervensi ini pada subjek dengan karakteristik yang berbeda atau
serupa. Selain itu, penelitian lanjutan disarankan menggunakan sampel dan populasi
yang lebih besar, serta menambahkan kelompok kontrol untuk mendapatkan hasil
yang lebih representatif terkait skor stres pada warga binaan pemasyarakatan.
Altemus, M., Sarvaiya, N., & Epperson, C. N. (2014). Sex
differences in anxiety and depression clinical perspectives. Frontiers in
Neuroendocrinology, 35(3), 320�330.
Bangasser, D. A., & Valentino, R. J. (2014). Sex
differences in stress-related psychiatric disorders: neurobiological
perspectives. Frontiers in Neuroendocrinology, 35(3), 303�319.
Calcaterra,
S. L., Beaty, B., Mueller, S. R., Min, S.-J., & Binswanger, I. A. (2014).
The association between social stressors and drug use/hazardous drinking among
former prison inmates. Journal of Substance Abuse Treatment, 47(1),
41�49.
Chang, Z.,
Larsson, H., Lichtenstein, P., & Fazel, S. (2015). Psychiatric disorders
and violent reoffending: a national cohort study of convicted prisoners in
Sweden. The Lancet Psychiatry, 2(10), 891�900.
Chang, Z.,
Lichtenstein, P., Larsson, H., & Fazel, S. (2015). Substance use disorders,
psychiatric disorders, and mortality after release from prison: a nationwide
longitudinal cohort study. The Lancet Psychiatry, 2(5), 422�430.
Kamarulzaman,
A., & McBrayer, J. L. (2015). Compulsory drug detention centers in East and
Southeast Asia. International Journal of Drug Policy, 26,
S33�S37.
Kogler, L.,
M�ller, V. I., Chang, A., Eickhoff, S. B., Fox, P. T., Gur, R. C., &
Derntl, B. (2015). Psychosocial versus physiological stress�Meta-analyses on
deactivations and activations of the neural correlates of stress reactions. Neuroimage,
119, 235�251.
Leenes, R.,
& Kosta, E. (2015). Taming the cookie monster with dutch law�a tale of
regulatory failure. Computer Law & Security Review, 31(3),
317�335.
Lyu, S.-Y.,
Chi, Y.-C., Farabee, D., Tsai, L.-T., Lee, M.-B., Lo, F.-E., & Morisky, D.
E. (2015). Psychological distress in an incarcerated juvenile population. Journal
of the Formosan Medical Association, 114(11), 1076�1081.
Mannion,
A., Leader, G., & Healy, O. (2013). An investigation of comorbid
psychological disorders, sleep problems, gastrointestinal symptoms and epilepsy
in children and adolescents with autism spectrum disorder. Research in
Autism Spectrum Disorders, 7(1), 35�42.
Oken, B.
S., Chamine, I., & Wakeland, W. (2015). A systems approach to stress,
stressors and resilience in humans. Behavioural Brain Research, 282,
144�154.
Ong, D. C.,
Zaki, J., & Goodman, N. D. (2015). Affective cognition: Exploring lay
theories of emotion. Cognition, 143, 141�162.
Pettus-Davis,
C. (2014). Social support among releasing men prisoners with lifetime trauma
experiences. International Journal of Law and Psychiatry, 37(5),
512�523.
Shaw, D.,
& Elger, B. (2015). Improving public health by respecting autonomy: Using
social science research to enfranchise vulnerable prison populations. Preventive
Medicine, 74, 21�23.
van
Tilburg, M. A. L., Palsson, O. S., & Whitehead, W. E. (2013). Which
psychological factors exacerbate irritable bowel syndrome? Development of a
comprehensive model. Journal of Psychosomatic Research, 74(6),
486�492.
Wilson, K.
E., & Dishman, R. K. (2015). Personality and physical activity: A
systematic review and meta-analysis. Personality and Individual Differences,
72, 230�242.