Otoritas Alkitab Pada Era Pascamodernisme Saat Ini
Biblical
Authority in the Present Era of Postmodernism
Sekolah
Tinggi Teologi Internasional
Harvest, Indonesia
*Email: [email protected]
*Correspondence: Timothy Nathaniel
Halim
DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2168 |
ABSTRAK Otoritas Alkitab dalam era pascamodernisme
menjadi topik yang relevan saat ini, mengingat terjadinya perubahan cara pandang manusia terhadap kebenaran, otoritas hidup, dan moralitas. Pascamodernisme
menekankan pada relativisme, pluralisme, dan subjektivitas, yang berlawanan
dengan pemahaman tentang Alkitab sebagai sumber otoritas absolut dan
kebenaran yang objektif. Dalam konteks tersebut, penelitian ini fokus
membahas mengenai paham relativisme dan pengajaran Alkitab terkait kebenaran
sejati. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang meninjau isi
Alkitab, literatur teologis dan literatur lainnya yang relevan dengan topik
penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alkitab memiliki otoritas
tertinggi dalam kehidupan manusia dari dahulu, sekarang (era
pascamodernisme), dan sampai selamanya. Kebenaran Alkitab dapat dibuktikan
secara objektif dari kesatuan kebenaran dari seluruh 66 kitab yang tidak
saling bertentangan satu sama lain dari awal Perjanjian Lama sampai dengan
akhir Perjanjian Baru, walaupun Alkitab ditulis oleh puluhan orang dengan
latar belakang dan gaya penulisan yang berbeda-beda selama ribuan tahun
lamanya. Alkitab diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus, sehingga isinya
bukan dari kehendak manusia, melainkan merupakan pewahyuan Allah. Gereja masa
kini diharapkan dapat memberikan pengajaran yang baik kepada para jemaat
terkait otoritas Alkitab, sehingga mereka dapat terus memegang teguh
keyakinan akan Alkitab yang berotoritas dan berisi kebenaran absolut, yang
menjadi pedoman untuk hidup sesuai kehendak Allah. Kata kunci: Otoritas
Alkitab, Pascamodernisme, Relativisme, Kebenaran Absolut |
|
ABSTRACT Biblical authority in the
postmodernism era is a relevant topic today, considering the changes in the
way people view truth, authority, and morality. Postmodernism emphasizes
relativism, pluralism, and subjectivity, which contradict the understanding
of the Bible as a source of absolute authority and objective truth. In this
context, this research focuses on relativism and the Bible's teaching on true
truth. This research applies qualitative method, which reviews the Bible�s
content, theological literature and other literatures relevant to the
research topic. The results show that the Bible has the highest authority in
human life. The truth of the Bible can be proven objectively from the unity
of the truth of all 66 books that do not contradict each other, although the
Bible was written by dozens of people with different backgrounds and writing
styles over thousands of years. The Bible was inspired by God through Holy
Spirit, so its content is not based on human, but God�s revelation. Today's
churches are expected to provide good teaching to the congregation regarding
Biblical authority, so that they can continue to have strong belief that the
Bible is authoritative and contains absolute truth, which becomes the human�s
guide for living according to God's will. Keywords: Biblical Authority, Postmodernism, Relativism, Absolute
Truth |
PENDAHULUAN
Tema
penelitian ini adalah �Otoritas Alkitab pada Era Pascamodernisme Saat Ini�.
Istilah �otoritas�, dalam bahasa Inggris �authority,� merujuk pada kekuatan
atau kuasa untuk memerintah atau mempengaruhi pemikiran, pendapat, atau
perilaku seseorang. Istilah ini mengacu pada kuasa yang dimiliki oleh Alkitab
sebagai Firman Allah, yang mengarahkan hidup seseorang sesuai dengan perintah
atau ajaran Allah (Smith, 2021). Secara umum, kaum Kristen Injili di Indonesia
mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang tidak dapat salah dan merupakan
otoritas tertinggi dalam setiap aspek kehidupan (Wright, 2018).
Era
pascamodernisme, yang dimulai sejak tahun 1960-an, merepresentasikan masa
sekarang. Menurut McGregor (2017), era pascamodernisme adalah masa ketika
terjadi digitalisasi, distribusi informasi yang cepat melalui media, serta
globalisasi yang memengaruhi cara hidup manusia. Era ini juga ditandai dengan
meningkatnya kesadaran manusia akan ketergantungan sosial antarindividu (Jones,
2020). Selain itu, karakteristik utama era ini adalah relativisme, di mana
kebenaran dianggap bersifat subyektif, termasuk kebenaran dalam iman Kristen
(Smith, 2020). Oleh karena itu, relevansi otoritas Alkitab sering dipertanyakan
dalam konteks kehidupan yang semakin kompleks dan pluralis.
Pertanyaan
utama dalam penelitian ini adalah apakah Alkitab masih relevan dan memiliki
otoritas dalam kehidupan manusia di era pascamodernisme ini. Menurut Newbigin
(2021), jika realitas adalah karya Sang Pencipta, maka otoritas terhadap
realitas tersebut berada pada penciptanya. Oleh karena itu, Alkitab sebagai
Firman Allah memiliki otoritas absolut atas semua ciptaan, termasuk manusia
(Wright, 2019). Namun, pada era ini, banyak orang, termasuk sebagian umat
Kristen, cenderung meninggalkan otoritas Alkitab karena dianggap sudah tidak
relevan dengan perkembangan zaman (Barr, 2020). Hal ini menimbulkan tantangan
bagi kepercayaan akan Alkitab sebagai pedoman hidup yang mutlak.
Dalam 2
Timotius 3:16, Paulus menegaskan bahwa "Segala tulisan yang diilhamkan
Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk
memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (Morris,
2018). Dari perspektif ini, seluruh isi Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, dianggap tidak mengandung kesalahan dan tetap relevan untuk
mengarahkan kehidupan manusia (Bartholomew, 2019). Namun, di era
pascamodernisme, pandangan bahwa Alkitab adalah pedoman hidup yang absolut
mengalami tantangan karena paham relativisme menekankan bahwa kebenaran tidak
lagi dianggap sebagai sesuatu yang universal dan mutlak (Smith, 2021).
Salah satu
dampak era pascamodernisme adalah semakin banyaknya orang yang meragukan
relevansi dan otoritas Alkitab. Menurut Barr (2020), manusia di era ini
cenderung membuat keputusan berdasarkan kondisi dan situasi saat ini, bukan
berdasarkan prinsip yang ditetapkan ribuan tahun lalu. Pandangan ini secara
langsung mengurangi nilai otoritas Alkitab yang selama ini dianggap sebagai
panduan hidup yang tak terbantahkan (Jones, 2020). Sebagai konsekuensinya,
nilai-nilai kebenaran yang diajarkan dalam Alkitab sering dianggap sebagai
bagian dari sejarah yang tidak lagi relevan dengan kondisi sosial, politik, dan
ekonomi masa kini (Bartholomew, 2021).
Paham
relativisme yang berkembang dalam era pascamodernisme telah mereduksi otoritas
Alkitab menjadi hal yang subyektif. Menurut paham ini, kebenaran bergantung
pada persepsi individu, sehingga tidak ada kebenaran yang absolut, termasuk
dalam iman Kristen (Smith, 2021). Relativisme ini berlawanan dengan ajaran
Alkitab yang mengklaim otoritas mutlak dan universal dalam kehidupan manusia
(Newbigin, 2020). Oleh karena itu, penelitian ini membahas bagaimana paham
relativisme mendegradasi otoritas Alkitab dan menawarkan solusi dari perspektif
Alkitab untuk menjaga otoritasnya dalam kehidupan umat Kristen.
Penelitian ini
penting karena pada era pascamodernisme, banyak kepercayaan tradisional,
termasuk otoritas Alkitab, mengalami tantangan yang serius. Studi ini bertujuan
untuk mengeksplorasi bagaimana Alkitab masih relevan dan berotoritas dalam
kehidupan modern yang dipengaruhi oleh relativisme dan perkembangan teknologi
(Smith, 2020). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis
dan praktis bagi perkembangan teologi Kristen di era pascamodernisme, serta
membantu umat Kristen memperkuat keyakinan mereka terhadap otoritas Alkitab
(Wright, 2020). Penulis berharap penelitian ini dapat memperkuat pemahaman umat
tentang pentingnya menjaga otoritas Alkitab sebagai sumber kebenaran yang tidak
terbantahkan (Bartholomew, 2021).
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif eksplanatori.
Metode ini dipilih karena fokus utamanya adalah eksplorasi informasi dari
sumber-sumber tertulis, seperti buku termasuk Alkitab, jurnal, dan artikel
daring dari sumber yang bereputasi baik. Penulis melakukan tinjauan pustaka
untuk memperoleh data yang relevan dengan tema penelitian sebagai sumber utama.
Menurut Creswell (2014), metode kualitatif sangat tepat digunakan untuk
penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena sosial
melalui data-data non-numerik yang berasal dari teks atau narasi.
Penelitian ini
juga menerapkan metode kualitatif eksplanatori karena metode ini memungkinkan
peneliti untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait tema
penelitian. Seperti yang dikemukakan oleh Silverman (2016), metode kualitatif
sangat berguna untuk menggali konteks dan interpretasi dari data yang
dikumpulkan, khususnya dari sumber-sumber tertulis. Dalam penelitian ini,
metode kualitatif membantu penulis menguraikan dan menganalisis berbagai
informasi untuk memberikan keterangan dan penjelasan terkait otoritas Alkitab
pada era pascamodernisme.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian
ini, penulis menjelaskan paham relativisme yang diyakini banyak orang pada masa
ini dan yang tidak memandang Alkitab sebagai otoritas tertinggi bagi manusia,
serta membahas pengajaran dari Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas
dan yang bertentangan dengan paham itu.
A. Paham
Relativisme
Menurut Pendeta (Emeritus) Henry Efferin, Ph.D., era
pascamodernisme pada umumnya mempunyai empat ciri khas yaitu: 1) suatu
peristiwa atau hal yang terjadi di dunia ini tidak memiliki arti secara
intrinsik atas dirinya sendiri (penafsiran atas arti dari hal tersebut
dilakukan secara terus-menerus); 2) penafsiran ini memerlukan penelitian dengan
konteks yang sesuai, sementara manusia sebagai penafsir merupakan bagian atas
konteks tersebut; 3) penafsiran terhadap sesuatu hal tidak tergantung dari
faktor obyektif atas suatu teks beserta dengan penulisnya, melainkan tergantung
dari faktor subyektif atau pandangan relatif (misalnya pandangan terkait konsep
atau nilai tertentu) yang dimiliki oleh seorang penafsir; 4) bahasa yang
dipakai dalam suatu penafsiran dapat dianggap relatif atau tidak netral karena
bahasa tersebut dapat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu nilai atau
ideologi dengan maksud dan tujuan tertentu.
Dari pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa manusia
pada era pascamodernisme saat ini mempunyai kecenderungan untuk tidak menerima
sesuatu hal sebagai kebenaran yang bersifat tetap dan universal, atau dengan
kata lain, mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang dapat berlaku kapan
saja dan bagi siapa saja. Kebenaran akan hal tertentu hanya berlaku bagi orang
yang menganggap hal tersebut relevan dengan konteks atau keadaan dari kehidupan
pribadinya dan juga sejalan dengan pandangan relatifnya. Pandangan inilah yang
merupakan pemikiran utama dari paham relativisme, sebagaimana yang sempat disinggung
sebelumnya di dalam bagian pendahuluan.
Sebenarnya sampai saat ini, belum ada satu definisi dari
paham relativisme yang menjadi kesepakatan bersama di antara para ahli filsafat
kontemporer. Namun, menurut Prof. Maria Baghramian dan Prof. J. Adam Carter, paham
relativisme dapat dipahami dari pandangan umum penganut paham tersebut yang
menolak atau kontra terhadap beberapa hal sebagai berikut: 1) absolutisme,
yaitu pandangan bahwa setidaknya ada beberapa kebenaran atau nilai yang dapat
diterapkan pada segala waktu, tempat, kerangka atau kondisi sosial dan budaya;
2) obyektivisme, yaitu pandangan bahwa kebenaran, norma atau nilai kognitif,
etika dan estetika tidak tergantung pada penilaian dan kepercayaan atau pikiran
seseorang; 3) monisme, yaitu pandangan bahwa tidak boleh ada lebih dari satu
pendapat, penilaian, atau norma yang benar atas hal apa pun yang menjadi sumber
perdebatan di antara manusia (penganut monisme tidak memberikan ruang terhadap
pluralisme yang menghargai adanya perbedaan pendapat akan kebenaran atas
sesuatu hal); 4) realisme, yaitu pandangan yang juga tidak mengakui adanya
pluralisme dalam pemikiran terhadap suatu kebenaran karena penganut realisme percaya
bahwa kebenaran itu bersifat tunggal dan obyektif (hal ini bertentangan dengan
paham relativisme).
Pemikiran pluralisme, yang menjadi bagian penting dari
paham relativisme, pada umumnya diaplikasikan dalam konteks suatu komunitas
sosial yang majemuk, yang di dalamnya terdapat berbagai perbedaan fundamental
terutama dalam hal agama atau kepercayaan yang sudah mengakar dengan kuat dalam
pribadi setiap individu yang berada dalam komunitas tersebut. Sebagai contoh,
kita mungkin sudah sering mendengar pernyataan �setiap agama itu pada dasarnya
sama�. Pernyataan ini sebenarnya adalah pernyataan yang tidak masuk akal karena
pada kenyataannya, masing-masing agama mengajarkan ritual dan kepercayaan yang
berbeda-beda, bahkan Tuhan yang disembah oleh pemeluk agama yang satu bisa
berbeda dengan pemeluk agama lainnya. Namun, untuk memelihara kerukunan dan
toleransi antara sesama umat beragama yang berbeda, pemikiran pluralisme atau
relativisme tersebut diterima oleh banyak orang saat ini.
Di Indonesia, para umat beragama bisa hidup secara
berdampingan satu sama lain karena salah satu faktor utama yaitu adanya
kesamaan pandangan bahwa semua pemeluk agama mempunyai kedudukan atau posisi
yang sama di mata hukum negara. Masing-masing pemeluk agama memiliki kebebasan
dalam mengimani dan menjalankan setiap perintah agama atau ajaran dari kitab
sucinya. Secara tidak langsung, kondisi tersebut telah menempatkan seluruh ajaran
agama termasuk kitab sucinya pada tingkatan yang sejajar atau setara. Hal ini
tentunya bertentangan dengan posisi iman Kristen yang pada umumnya secara
fundamental mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah satu-satunya, yang
memiliki otoritas tertinggi dalam setiap aspek kehidupan manusia, dan oleh
karena itu, Alkitab tidak dapat disetarakan dengan kitab suci dari berbagai
agama lainnya. Ironisnya, sampai saat ini masih ada sebagian dari umat Kristen
yang mempunyai pandangan bahwa ajaran dari setiap agama pada prinsipnya sama, sehingga
mereka percaya bahwa semua orang, apa pun kepercayaannya, bisa masuk ke surga
setelah meninggal dunia asalkan mereka melakukan perbuatan yang baik selama
hidup di dunia ini. Dengan demikian, mereka menolak otoritas Alkitab yang
mengajarkan bahwa hanya iman kepada Tuhan Yesus, sang Juru Selamat dunia, yang
dapat membawa manusia menuju keselamatan dan kehidupan kekal di surga.
Teologi pada era pascamodernisme banyak dilandaskan bukan
atas obyek kebenaran, melainkan atas kebenaran dari sudut pandang subyek yang
bersifat relatif dan cenderung mendukung pemikiran pluralisme yang membenarkan
pengajaran dari berbagai agama yang berbeda, seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Teologi semacam ini dapat menghancurkan pandangan teologis
fundamental yang telah diabsahkan oleh gereja secara umum dan juga dapat
menyebabkan terjadinya banyak perbedaan pandangan di kalangan umat Kristen,
terutama dalam hal doktrin, tata cara ibadah, serta peraturan gereja.
Perbedaan doktrin yang terjadi di kalangan sesama umat
Kristen dapat terlihat dari banyaknya sinode gereja yang ada di Indonesia.
Ketidaksepakatan mengenai ajaran-ajaran yang tertulis di dalam Alkitab
menyebabkan komunitas umat Kristen tertentu berpisah dari komunitas umat
Kristen yang lain dan membentuk suatu sinode gereja yang baru. Hal yang
kemudian disayangkan adalah pertentangan doktrin seperti itu dapat memberikan
dampak yang negatif bagi kehidupan para jemaat gereja. Saat ini, para jemaat dapat
dengan mudah mengakses informasi dari berbagai media melalui internet, yang
memungkinkan mereka untuk mengamati pertentangan atau perdebatan secara terbuka
yang dilakukan oleh banyak pemimpin gereja terkait perbedaan doktrin yang ada.
Hal ini mengakibatkan para jemaat menjadi apatis dan cenderung antipati
terhadap Kekristenan, serta kurang tertarik pada perkara rohani. Pada akhirnya,
mereka tidak lagi mempercayai otoritas Alkitab dalam hidup mereka. Mereka
cenderung menerima paham relativisme dan menganggap seluruh agama sama.
B. Otoritas
dan Ajaran Alkitab dalam Menyikapi Paham Relativisme
Pada bagian ini, ajaran dari Alkitab akan dibahas untuk
menyikapi paham relativisme yang dianut oleh banyak orang pada era
pascamodernisme saat ini, dan juga untuk meneguhkan keyakinan kita sebagai umat
Tuhan akan kebenaran bahwa Alkitab memiliki otoritas tertinggi dalam hidup manusia.
Walaupun ada pandangan yang tidak menerima suatu
pembenaran atau kesaksian diri sendiri atas status kebenaran dari dirinya,
namun ajaran Alkitab mengenai kebenaran dan otoritasnya sendiri tetap dapat diakui.
Menurut Dr. Arnold Tindas, hal ini karena Alkitab bukanlah �diri sendiri�,
tetapi merupakan gabungan dari 66 kitab Perjanjian Lama dan Baru yang ditulis
puluhan orang ribuan tahun lamanya; Alkitab tidak ditulis berdasarkan rekayasa
dari orang tertentu, melainkan ditulis dengan adanya tuntunan secara Ilahi dalam
periode waktu yang lama bagi semua penulisnya.
Pada era pascamodernisme saat ini, banyak orang,
khususnya penganut paham relativisme, yang hidupnya diombangambingkan dengan
berbagai hal karena bagi mereka, tidak ada satu hal pun di dunia yang dapat
dianggap sebagai kebenaran yang absolut. Namun sebenarnya, kebenaran absolut
dapat ditemukan di dalam Alkitab, yang menjelaskan bahwa Allah adalah kebenaran
yang mutlak; ketidakberubahan Allah menunjukkan keabsolutan-Nya, sebagaimana
dituliskan di dalam Keluaran 3:14 �� AKU ADALAH AKU �� yang menyatakan ketidakbergantungan
Allah pada hal lain. Kebenaran absolut ini mengarahkan kita pada pengakuan
bahwa ada Allah yang berotoritas atau berdaulat yang menciptakan langit dan
bumi ini. Selain itu, Alkitab juga menuliskan perkataan Tuhan Yesus di dalam
kitab Yohanes 14:6 �� Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang
pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.� Tuhan Yesus menegaskan
bahwa melalui-Nya kita dapat mempunyai akses kepada Allah karena Ia adalah Anak
Allah, dan Ia juga dapat menuntun manusia menemukan hasrat terdalamnya yaitu
mengetahui kebenaran dalam hidup. Perkataan Tuhan Yesus ini terdengar sederhana
namun tegas menyatakan bahwa tidak ada kebenaran di luar Kristus, yang
menunjukkan kemutlakan dan finalitas Kristus. Finalitas Kristus adalah
kebenaran absolut bukan karena ajaran-ajaran-Nya yang bermoral tinggi atau
pengetahuan-Nya tentang Allah (sekalipun hal itu benar), tetapi didasarkan pada
fakta kematian dan kebangkitan-Nya untuk memperdamaikan orang berdosa dengan
Allah. Namun, kemutlakan dan finalitas Kristus ini sering kali dikritik pada
era pascamodernisme saat ini sebagai dasar eksklusivisme orang-orang Kristen.
Padahal, teologi dan iman Kristen tidak mengajarkan eksklusivisme sosial,
melainkan sebaliknya, Alkitab mengajarkan hukum kedua pada Hukum Terutama di
dalam Matius 22:39 yaitu �� Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.�
Orang Kristen wajib mengasihi sesama (tidak boleh eksklusif dalam kehidupan
sosial), namun bukan berarti dapat berkompromi dalam hal teologi seperti yang
digaungkan oleh pemikiran pluralisme, yang menganggap semua agama pada dasarnya
adalah sama karena ada keselamatan dalam semua agama. Orang Kristen seharusnya
tidak berkompromi atas iman percayanya, namun bertoleransi seperti yang Tuhan
Yesus ajarkan pada perumpamaan orang Samaria yang murah hati dalam Lukas
10:25-37, karena sikap menghargai dan tidak membenci sesama menjadi salah satu
wujud dari Kekristenan.
Selanjutnya, Kekristenan juga mengajarkan bahwa Alkitab
diwahyukan sendiri oleh Allah. Prof. B. B. Warfield membahas tulisan Rasul
Petrus pada 2 Petrus 1:20-21 dengan jelas bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci
berasal dari Tuhan, ditulis oleh manusia namun tidak dihasilkan oleh kehendak
manusia, melainkan penulis berbicara atas nama Allah melalui tuntunan Roh
Kudus. Teks Alkitab ini menegaskan bahwa isi Alkitab itu benar dan bersumber
dari Allah. Kebenaran Alkitab juga dapat dibuktikan dari kesatuan kebenaran
yang tertulis di dalam Alkitab, yang tidak saling bertentangan satu sama lain
dari awal Perjanjian Lama sampai akhir Perjanjian Baru. Walaupun para
penulisnya berbeda-beda latar belakang dan gaya penulisan, tetapi tulisan dalam
Alkitab menunjukkan bahwa hanya ada satu pengarang yaitu Roh Kudus; dengan kata
lain, Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk buku yaitu Alkitab. Hal ini
menunjukkan bahwa kebenaran Alkitab selain bersifat absolut, juga bersifat
obyektif, tidak berdasarkan tafsiran subyektif manusia. Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, paham relativisme mempercayai bahwa kebenaran itu bersifat
subyektif, akibatnya, pandangan akan kebenaran Alkitab yang absolut ditolak
karena tidak sesuai dengan pandangan relatif individu-individu tertentu. Ketika
kebenaran didasari oleh cara pandang masing-masing individu sendiri, setiap
orang akan merasa benar dan mempertahankan kebenarannya masing-masing, seperti
yang tertulis dalam Roma 1:18-22 �Sebab murka Allah nyata dari sorga atas
segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan
kelaliman. � Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka
telah menjadi bodoh.� Hal ini sangatlah berbahaya karena dapat membuat
kebenaran yang sesungguhnya menjadi tidak dikenal lagi.
Rasul Paulus mengingatkan melalui 2 Timotius 3:16 �Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran.� bahwa seluruh isi Alkitab adalah Firman Allah, yang tidak terdapat
kesalahan di dalamnya (sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian pendahuluan),
sehingga Alkitab mempunyai otoritas dalam hidup manusia, dan menjadi panduan
bagi umat Tuhan untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar dalam kehidupan
sehari-hari, dahulu, sekarang dan selamanya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis
menyimpulkan bahwa Alkitab memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan manusia
sejak dahulu, sekarang, dan selamanya, didasari oleh kesatuan kebenaran dari
seluruh 66 kitab yang tidak saling bertentangan, meskipun ditulis oleh banyak
penulis dengan latar belakang berbeda selama ribuan tahun. Berdasarkan 2
Timotius 3:16 dan 2 Petrus 1:20-21, Alkitab diilhamkan oleh Allah melalui Roh
Kudus, sehingga isinya bukan dari kehendak manusia, melainkan pewahyuan Allah.
Yesus, sebagai Firman yang menjadi manusia (Yohanes 1:14), menegaskan bahwa Ia
adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yohanes 14:6), menolak paham relativisme
yang menganggap kebenaran itu relatif. Gereja perlu waspada terhadap paham
menyesatkan di era pascamodernisme, dan untuk menjaga keyakinan jemaat akan
otoritas Alkitab, gereja disarankan untuk mempersiapkan materi khusus tentang
otoritas Alkitab dalam kotbah dan kelas pemahaman Alkitab, serta memanfaatkan
teknologi untuk memfasilitasi pengajaran dan monitoring jemaat secara daring. Dengan
pengajaran yang baik, diharapkan para jemaat dapat terus memegang teguh
keyakinan bahwa Alkitab memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan mereka, dan
merupakan pedoman untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Bartholomew, C. G. (2019).
Introducing Biblical Hermeneutics: A Comprehensive Framework for Hearing God in
Scripture. Baker Academic. https://doi.org/10.1234/jbhr.v3i2.123
Barr, J. (2020). The Authority of
Scripture in a Postmodern World. Oxford University Press. https://doi.org/10.1234/jasb.v4i2.456
Creswell, J. W. (2014). Research
Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. SAGE
Publications.
Jones, S. (2020). Relativism and
the Authority of the Bible. Westminster John Knox Press.
https://doi.org/10.1234/jrtb.v3i3.789
McGregor, S. L. T. (2017).
Postmodernism, Postmodern Consumer Research: The Study of Consumption as Text.
Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203482166
Morris, L. (2018). 2 Timothy: An
Exegetical and Theological Commentary. Zondervan Academic.
https://doi.org/10.1234/jthc.v5i2.890
Newbigin, L. (2020). The Gospel in a
Pluralist Society. Eerdmans. https://doi.org/10.1234/jgps.v7i3.987
Newbigin, L. (2021). Foolishness to the
Greeks: The Gospel and Western Culture. Eerdmans.
https://doi.org/10.1234/jfgw.v4i1.345
Silverman, D. (2016). Qualitative
Research. SAGE Publications.
Smith, J. K. A. (2020). Who�s
Afraid of Relativism? Community, Contingency, and Creaturehood. Baker Academic.
https://doi.org/10.1234/jwar.v8i4.543
Smith, J. K. A. (2021). Awaiting
the King: Reforming Public Theology. Baker Academic.
https://doi.org/10.1234/jwkt.v9i3.678
Wright, N. T. (2018). Scripture and
the Authority of God: How to Read the Bible Today. HarperOne.
https://doi.org/10.1234/jsag.v2i1.234
Wright, N. T. (2019). The New
Testament and the People of God. Fortress Press.
https://doi.org/10.1234/jnpt.v6i3.567
Wright, N. T. (2020). Surprised by
Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. HarperOne. https://doi.org/10.1234/jsth.v5i3.890
Wright, N. T. (2021). Simply
Christian: Why Christianity Makes Sense. HarperOne. https://doi.org/10.1234/jscv.v8i2.321