Otoritas
Alkitab Pada Era Pascamodernisme Saat Ini
Biblical Authority in the Present Era of Postmodernism
Sekolah
Tinggi Teologi Internasional Harvest, Indonesia
*Email: [email protected]
*Correspondence: Timothy
Nathaniel Halim
DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2168 |
ABSTRAK Otoritas Alkitab dalam era pascamodernisme
menjadi topik yang relevan saat ini, mengingat terjadinya perubahan cara
pandang manusia terhadap kebenaran, otoritas hidup, dan moralitas.
Pascamodernisme menekankan pada relativisme, pluralisme, dan subjektivitas,
yang berlawanan dengan pemahaman tentang Alkitab sebagai sumber otoritas
absolut dan kebenaran yang objektif. Dalam konteks tersebut, penelitian ini
fokus membahas mengenai paham relativisme dan pengajaran Alkitab terkait
kebenaran sejati. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang meninjau
isi Alkitab, literatur teologis dan literatur lainnya yang relevan dengan
topik penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alkitab memiliki
otoritas tertinggi dalam kehidupan manusia dari dahulu, sekarang (era
pascamodernisme), dan sampai selamanya. Kebenaran Alkitab dapat dibuktikan
secara objektif dari kesatuan kebenaran dari seluruh 66 kitab yang tidak
saling bertentangan satu sama lain dari awal Perjanjian Lama sampai dengan
akhir Perjanjian Baru, walaupun Alkitab ditulis oleh puluhan orang dengan
latar belakang dan gaya penulisan yang berbeda-beda selama ribuan tahun
lamanya. Alkitab diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus, sehingga isinya
bukan dari kehendak manusia, melainkan merupakan pewahyuan Allah. Gereja masa kini diharapkan dapat memberikan pengajaran
yang baik kepada para jemaat terkait otoritas Alkitab, sehingga mereka dapat
terus memegang teguh keyakinan bahwa Alkitab itu berotoritas dan adalah
kebenaran absolut, yang menjadi pedoman untuk hidup sesuai kehendak Allah. Kata kunci: Otoritas Alkitab, Pascamodernisme, Relativisme, Kebenaran Absolut |
|
ABSTRACT Biblical authority
in the postmodernism era is a relevant topic today, considering the changes in the way people view
truth, authority, and morality. Postmodernism emphasizes relativism, pluralism, and subjectivity, which contradict the understanding of the Bible
as a source of absolute authority and objective truth. In this context, this research focuses on relativism and the Bible's
teaching on true truth. This
research applies qualitative method, which reviews the Bible�s content,
theological literature and other literatures
relevant to the research topic. The results show that the
Bible has the highest authority in human life. The truth of the Bible
can be proven objectively from the unity
of the truth of all
66 books that do not contradict each other, although
the Bible was written by
dozens of people with different
backgrounds and writing styles over thousands of years. The Bible was inspired by God through
Holy Spirit, so its content is not based on human, but God�s revelation.
Today's churches are expected to provide
good teaching to the congregation
regarding Biblical authority, so that they can
continue to have strong belief
that the Bible is authoritative
and an absolute truth, which becomes the human�s guide
for living according to God's will. Keywords: Biblical Authority, Postmodernism,
Relativism, Absolute Truth |
PENDAHULUAN
Tema atau judul dari penelitian ini
adalah �Otoritas Alkitab pada Era Pascamodernisme Saat Ini�. Istilah �otoritas�,
dalam bahasa Inggris, menggunakan kata �authority� yang berarti kekuatan atau kuasa untuk memerintah
atau mempengaruhi pemikiran, pendapat, atau perilaku seseorang (Merriam-Webster, 2024). Dari informasi tersebut, istilah
�otoritas Alkitab� dapat dimengerti sebagai wibawa atau kuasa yang dimiliki
oleh Alkitab sebagai Firman Allah yang memberikan pengaruh kepada seseorang
untuk memiliki nilai dan car����� a hidup yang sesuai dengan perintah atau ajaran Allah. Pada
umumnya, kaum Kristen Injili di Indonesia mengakui Alkitab sebagai Firman Allah
yang tidak dapat salah dan merupakan otoritas tertinggi dalam setiap aspek
kehidupan manusia (Tindas, 2005).
Era pascamodernisme
merepresentasikan masa di mana manusia hidup saat ini. Menurut Prof. (Emeritus)
Dr. Sue L. T. McGregor, zaman
kehidupan manusia di seluruh dunia dari tahun 800-an sampai dengan sekarang
dapat dibagi menjadi lima era (McGregor, 2015). Era
pertama yang disebut Era Pramodernisme, dari tahun
800-an sampai tahun 1500-an, adalah zaman pada saat iman atau takhayul yang
menjadi kepercayaan manusia mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia.
Era kedua yang disebut Era Renaisans, dari tahun 1500-an sampai tahun 1700-an,
adalah era kelahiran kembali ilmu pengetahuan yang menjadi dasar dari
pembelajaran dan hikmat atau kebijaksanaan manusia. Era ketiga yang disebut Era
Pencerahan, dari tahun 1700-an sampai tahun 1800-an, adalah waktu terjadinya
proses industrialisasi, paham individualisme, serta revolusi dalam bidang
politik dan ilmu pengetahuan. Era keempat yang disebut Era Modernisme, dari
tahun 1800-an sampai tahun 1950-an, adalah zaman dimulainya kemajuan inovasi
dalam bidang teknologi, serta berkembangnya beberapa paham seperti
konsumerisme, kapitalisme, dan imperialisme. Era kelima yang disebut Era
Pascamodernisme, dari tahun 1960-an sampai dengan saat ini, adalah masa terjadinya
perkembangan dalam hal digitalisasi, distribusi informasi melalui media, dan globalisasi,
serta gencarnya gerakan-gerakan sosial yang dilakukan seiring meningkatnya
kesadaran manusia akan ketergantungan sosial antara satu sama lain.
Berdasarkan pemaparan di atas, tema
dari tulisan ini adalah tentang bagaimana otoritas Alkitab terhadap kehidupan
manusia saat ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah isi Alkitab
dapat dianggap relevan dengan kondisi manusia sekarang sehingga Alkitab masih
memiliki otoritas dalam hidup manusia.
Dalam 2 Timotius 3:16, Rasul Paulus
menyatakan bahwa �Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk
mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran.� Ungkapan �Segala tulisan yang diilhamkan Allah
memang bermanfaat� diterjemahkan dari bahasa asli, Yunani Perjanjian Baru
(Yunani PB), πᾶσα γραφὴ θεόπνευστος
καὶ ὠφέλιμος
(pasa grafe theopneustos kai ofelimos), yang berarti bahwa setiap bagian atau setiap
kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah diilhamkan oleh Allah
dan bermanfaat (Tindas, 2005). Dari informasi ini, kita dapat memahami bahwa
semua isi Alkitab merupakan Firman Allah, dan oleh karena itu, isi Alkitab
tidak mengandung kesalahan.
Menurut Prof. Lesslie
Newbigin, jika suatu realitas merupakan karya dari sang
pencipta, maka otoritas terhadap realitas tersebut berada pada penciptanya (Newbigin, 1996). Dalam Kejadian 1, dinyatakan bahwa Allah
menciptakan langit dan bumi serta isinya. Sebagai Sang Pencipta, Allah
mempunyai otoritas terhadap seluruh ciptaan-Nya, termasuk umat manusia. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Alkitab, yang adalah Firman Allah, memiliki
otoritas dalam semua aspek kehidupan umat manusia.
Ironisnya, pada era pascamodernisme
saat ini, banyak orang, termasuk sebagian orang Kristen atau pemimpin dan pengerja gereja, cenderung meninggalkan kepercayaan yang
dianggap sudah tidak lagi relevan dengan kondisi manusia saat ini (Lukito, 2001).
Kepercayaan yang ditinggalkan termasuk kepercayaan akan Alkitab sebagai Firman
Allah yang berotoritas atas hidup manusia. Menurut Prof. James Barr, pada masa kini, titik berat pertimbangan yang diambil
oleh manusia dalam membuat suatu keputusan adalah berdasarkan situasi saat ini
dan bukan atas pemikiran yang dihasilkan dari dua ribu tahun yang lalu atau
lebih; Alkitab tidak dapat menggantikan manusia sebagai pembuat keputusan pada
situasi terkini (Barr, 1973). Pandangan semacam ini
mendegradasi otoritas Alkitab yang kebenarannya sudah tidak lagi dianggap
absolut, sehingga tidak dapat menjadi acuan atau panduan mutlak bagi hidup
manusia pada era pascamodernisme.
Salah satu karakteristik utama dari
era pascamodernisme yaitu mengedepankan paham relativisme. Paham ini menekankan
bahwa kebenaran itu bersifat subyektif, sehingga kebenaran dapat dianggap
sebagai sesuatu hal yang relatif, termasuk kebenaran iman Kristen (yang mengacu
pada isi dan otoritas Alkitab) dianggap sebagai hal yang relatif (S. I. Lumintang,
2010). Tidak ada kebenaran yang absolut dalam kehidupan manusia berdasarkan
paham relativisme.
Ruang lingkup pembahasan dalam
penelitian ini berkonsentrasi pada paham relativisme yang dianggap relevan
dengan era pascamodernisme saat ini, serta pada pengajaran dari Alkitab yang
bertentangan dengan paham tersebut. Pembahasan dilakukan secara sistematis
dengan terlebih dahulu memaparkan metode yang digunakan dalam penelitian,
dilanjutkan dengan menjelaskan bagaimana paham relativisme mendegradasi
otoritas Alkitab dalam hidup manusia saat ini,
serta membahas pengajaran dari Alkitab yang dapat meneguhkan kepercayaan umat
Tuhan akan otoritas Alkitab. Penulis kemudian memberikan kesimpulan dan saran
yang diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga kepercayaan akan otoritas
Alkitab di antara umat Tuhan pada masa ini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
oleh penulis adalah metode kualitatif eksplanatori.
Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan menggunakan materi-materi tertulis
yang relevan dengan tema penelitian sebagai sumber utama penelitian.
Materi-materi tertulis tersebut terdiri dari buku termasuk Alkitab, jurnal, dan
artikel daring dari sumber yang bereputasi baik.
Penulis menerapkan metode
kualitatif karena metode ini tepat untuk digunakan pada penelitian ini yang
fokus utamanya yaitu melakukan eksplorasi terhadap informasi-informasi yang
bersumber dari materi-materi tertulis yang telah disebutkan sebelumnya, yang
kemudian semua informasi itu digunakan oleh penulis untuk memberikan keterangan
atau penjelasan terkait tema dan ruang lingkup penelitian (Leavy,
2023). Metode kualitatif dapat membantu penulis memperoleh pengertian yang baik
terkait lingkup penelitian (Murdiyanto, 2020).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis menjelaskan
paham relativisme yang diyakini banyak orang pada masa ini dan yang tidak
memandang Alkitab sebagai otoritas tertinggi bagi manusia, serta membahas
pengajaran dari Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas dan yang
bertentangan dengan paham itu.
A.
Paham
Relativisme
Menurut
Pendeta (Emeritus) Henry Efferin, Ph.D., era
pascamodernisme pada umumnya mempunyai empat ciri khas yaitu: 1) suatu
peristiwa atau hal yang terjadi di dunia ini tidak memiliki arti secara
intrinsik atas dirinya sendiri (penafsiran atas arti dari hal tersebut
dilakukan secara terus-menerus); 2) penafsiran ini memerlukan penelitian dengan
konteks yang sesuai, sementara manusia sebagai penafsir merupakan bagian atas
konteks tersebut; 3) penafsiran terhadap sesuatu hal tidak tergantung dari
faktor obyektif atas suatu teks beserta dengan penulisnya, melainkan tergantung
dari faktor subyektif atau pandangan relatif (misalnya pandangan terkait konsep
atau nilai tertentu) yang dimiliki oleh seorang penafsir; 4) bahasa yang
dipakai dalam suatu penafsiran dapat dianggap relatif atau tidak netral karena
bahasa tersebut dapat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu nilai atau
ideologi dengan maksud dan tujuan tertentu (Efferin,
1999).
Dari
pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa manusia pada era pascamodernisme
saat ini mempunyai kecenderungan untuk tidak menerima sesuatu hal sebagai
kebenaran yang bersifat tetap dan universal, atau dengan kata lain, mereka
tidak mempercayai adanya kebenaran yang dapat berlaku kapan saja dan bagi siapa
saja. Kebenaran akan hal tertentu hanya berlaku bagi orang yang menganggap hal
tersebut relevan dengan konteks atau keadaan dari kehidupan pribadinya dan juga
sejalan dengan pandangan relatifnya. Pandangan inilah yang merupakan pemikiran
utama dari paham relativisme, sebagaimana yang sempat disinggung sebelumnya di
dalam bagian pendahuluan.
Sebenarnya
sampai saat ini, belum ada satu definisi dari paham relativisme yang menjadi kesepakatan
bersama di antara para ahli filsafat kontemporer. Namun, menurut Prof. Maria Baghramian dan Prof. J. Adam Carter, paham relativisme
dapat dipahami dari pandangan umum penganut paham tersebut yang menolak atau
kontra terhadap beberapa hal sebagai berikut: 1) absolutisme, yaitu pandangan
bahwa setidaknya ada beberapa kebenaran atau nilai yang dapat diterapkan pada
segala waktu, tempat, kerangka atau kondisi sosial dan budaya; 2) obyektivisme,
yaitu pandangan bahwa kebenaran, norma atau nilai kognitif, etika dan estetika
tidak tergantung pada penilaian dan kepercayaan atau pikiran seseorang; 3) monisme,
yaitu pandangan bahwa tidak boleh ada lebih dari satu pendapat, penilaian, atau
norma yang benar atas hal apa pun yang menjadi sumber perdebatan di antara
manusia (penganut monisme tidak memberikan ruang terhadap pluralisme yang
menghargai adanya perbedaan pendapat akan kebenaran atas sesuatu hal); 4) realisme,
yaitu pandangan yang juga tidak mengakui adanya pluralisme dalam pemikiran
terhadap suatu kebenaran karena penganut realisme percaya bahwa kebenaran itu
bersifat tunggal dan obyektif (hal ini bertentangan dengan paham relativisme) (Baghramian & Carter, 2020).
Pemikiran
pluralisme, yang menjadi bagian penting dari paham relativisme, pada umumnya diaplikasikan
dalam konteks suatu komunitas sosial yang majemuk, yang di dalamnya terdapat
berbagai perbedaan fundamental terutama dalam hal agama atau kepercayaan yang
sudah mengakar dengan kuat dalam pribadi setiap individu yang berada dalam
komunitas tersebut (Shandery, Paulus, & Haans, 2021). Sebagai contoh, kita mungkin sudah sering
mendengar pernyataan �setiap agama itu pada dasarnya sama�. Pernyataan ini
sebenarnya adalah pernyataan yang tidak masuk akal karena pada kenyataannya,
masing-masing agama mengajarkan ritual dan kepercayaan yang berbeda-beda,
bahkan Tuhan yang disembah oleh pemeluk agama yang satu bisa berbeda dengan
pemeluk agama lainnya. Namun, untuk memelihara kerukunan dan toleransi antara
sesama umat beragama yang berbeda, pemikiran pluralisme atau relativisme
tersebut diterima oleh banyak orang saat ini.
Di
Indonesia, para umat beragama bisa hidup secara berdampingan satu sama lain
karena salah satu faktor utama yaitu adanya kesamaan pandangan bahwa semua
pemeluk agama mempunyai kedudukan atau posisi yang sama di mata hukum negara.
Masing-masing pemeluk agama memiliki kebebasan dalam mengimani dan menjalankan
setiap perintah agama atau ajaran dari kitab sucinya. Secara tidak langsung,
kondisi tersebut telah menempatkan seluruh ajaran agama termasuk kitab sucinya
pada tingkatan yang sejajar atau setara. Hal ini tentunya bertentangan dengan
posisi iman Kristen yang pada umumnya secara fundamental mempercayai bahwa
Alkitab adalah Firman Allah satu-satunya, yang memiliki otoritas tertinggi
dalam setiap aspek kehidupan manusia, dan oleh karena itu, Alkitab tidak dapat
disetarakan dengan kitab suci dari berbagai agama lainnya. Ironisnya, sampai
saat ini masih ada sebagian dari umat Kristen yang mempunyai pandangan bahwa
ajaran dari setiap agama pada prinsipnya sama, sehingga mereka percaya bahwa
semua orang, apa pun kepercayaannya, bisa masuk ke surga setelah meninggal
dunia asalkan mereka melakukan perbuatan yang baik selama hidup di dunia ini (Shandery, Paulus, & Haans,
2021). Dengan demikian, mereka menolak otoritas Alkitab yang mengajarkan bahwa
hanya iman kepada Tuhan Yesus, sang Juru Selamat dunia, yang dapat membawa
manusia menuju keselamatan dan kehidupan kekal di surga.
Teologi
pada era pascamodernisme banyak dilandaskan bukan atas obyek kebenaran,
melainkan atas kebenaran dari sudut pandang subyek yang bersifat relatif dan
cenderung mendukung pemikiran pluralisme yang membenarkan pengajaran dari
berbagai agama yang berbeda, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Teologi
semacam ini dapat menghancurkan pandangan teologis fundamental yang telah diabsahkan
oleh gereja secara umum dan juga dapat menyebabkan terjadinya banyak perbedaan
pandangan di kalangan umat Kristen, terutama dalam hal doktrin, tata cara
ibadah, serta peraturan gereja (R. B. Lumintang, 2010).
Perbedaan
doktrin yang terjadi di kalangan sesama umat Kristen dapat terlihat dari
banyaknya sinode gereja yang ada di Indonesia. Ketidaksepakatan
mengenai ajaran-ajaran yang tertulis di dalam Alkitab menyebabkan komunitas
umat Kristen tertentu berpisah dari komunitas umat Kristen yang lain dan membentuk
suatu sinode gereja yang baru. Hal yang kemudian disayangkan adalah
pertentangan doktrin seperti itu dapat memberikan dampak yang negatif bagi
kehidupan para jemaat gereja. Saat ini, para jemaat dapat dengan mudah mengakses
informasi dari berbagai media melalui internet, yang memungkinkan mereka untuk
mengamati pertentangan atau perdebatan secara terbuka yang dilakukan oleh
banyak pemimpin gereja terkait perbedaan doktrin yang ada. Hal ini mengakibatkan
para jemaat menjadi apatis dan cenderung antipati terhadap Kekristenan, serta
kurang tertarik pada perkara rohani (Shandery,
Paulus, & Haans, 2021). Pada akhirnya, mereka
tidak lagi mempercayai otoritas Alkitab dalam hidup mereka. Mereka cenderung
menerima paham relativisme dan menganggap seluruh agama sama.
B.
Otoritas
dan Ajaran Alkitab dalam Menyikapi Paham Relativisme
Pada
bagian ini, ajaran dari Alkitab akan dibahas untuk menyikapi paham relativisme
yang dianut oleh banyak orang pada era pascamodernisme saat ini, dan juga untuk
meneguhkan keyakinan kita sebagai umat Tuhan akan kebenaran bahwa Alkitab
memiliki otoritas tertinggi dalam hidup manusia.
Walaupun
ada pandangan yang tidak menerima suatu pembenaran atau kesaksian diri sendiri
atas status kebenaran dari dirinya, namun ajaran Alkitab mengenai kebenaran dan
otoritasnya sendiri tetap dapat diakui. Menurut Dr. Arnold Tindas, hal ini
karena Alkitab bukanlah �diri sendiri�, tetapi merupakan gabungan dari 66 kitab
Perjanjian Lama dan Baru yang ditulis puluhan orang ribuan tahun lamanya;
Alkitab tidak ditulis berdasarkan rekayasa dari orang tertentu, melainkan
ditulis dengan adanya tuntunan secara Ilahi dalam periode waktu yang lama bagi
semua penulisnya (Tindas, 2005).
Pada
era pascamodernisme saat ini, banyak orang, khususnya penganut paham
relativisme, yang hidupnya diombangambingkan dengan
berbagai hal karena bagi mereka, tidak ada satu hal pun di dunia yang dapat
dianggap sebagai kebenaran yang absolut. Namun sebenarnya, kebenaran absolut
dapat ditemukan di dalam Alkitab, yang menjelaskan bahwa Allah adalah kebenaran
yang mutlak; ketidakberubahan Allah menunjukkan
keabsolutan-Nya, sebagaimana dituliskan di dalam Keluaran 3:14 �� AKU ADALAH
AKU �� yang menyatakan ketidakbergantungan Allah pada
hal lain (Bavinck, Indra, & Tjulianto,
2012). Kebenaran absolut ini mengarahkan kita pada pengakuan bahwa ada Allah
yang berotoritas atau berdaulat yang menciptakan langit dan bumi ini. Selain
itu, Alkitab juga menuliskan perkataan Tuhan Yesus di dalam kitab Yohanes 14:6
�� Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.� Tuhan Yesus menegaskan bahwa melalui-Nya
kita dapat mempunyai akses kepada Allah karena Ia adalah Anak Allah, dan Ia
juga dapat menuntun manusia menemukan hasrat terdalamnya yaitu mengetahui
kebenaran dalam hidup (Aquinas et
al, 2010). Perkataan Tuhan Yesus ini terdengar
sederhana namun tegas menyatakan bahwa tidak ada kebenaran di luar Kristus,
yang menunjukkan kemutlakan dan finalitas
Kristus. Finalitas Kristus adalah kebenaran absolut
bukan karena ajaran-ajaran-Nya yang bermoral tinggi atau pengetahuan-Nya
tentang Allah (sekalipun hal itu benar), tetapi didasarkan pada fakta kematian
dan kebangkitan-Nya untuk memperdamaikan orang berdosa dengan Allah (Siburian, 2004).
Namun, kemutlakan dan finalitas
Kristus ini sering kali dikritik pada era pascamodernisme saat ini sebagai
dasar eksklusivisme orang-orang Kristen. Padahal, teologi dan iman Kristen
tidak mengajarkan eksklusivisme sosial, melainkan sebaliknya, Alkitab
mengajarkan hukum kedua pada Hukum Terutama di dalam Matius 22:39 yaitu ��
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.� Orang Kristen wajib
mengasihi sesama (tidak boleh eksklusif dalam kehidupan sosial), namun bukan
berarti dapat berkompromi dalam hal teologi seperti yang digaungkan
oleh pemikiran pluralisme, yang menganggap semua agama pada dasarnya adalah
sama karena ada keselamatan dalam semua agama (R. B. Lumintang, 2010). Orang
Kristen seharusnya tidak berkompromi atas iman percayanya, namun bertoleransi
seperti yang Tuhan Yesus ajarkan pada perumpamaan orang Samaria yang murah hati
dalam Lukas 10:25-37, karena sikap menghargai dan tidak membenci sesama menjadi
salah satu wujud dari Kekristenan.
Selanjutnya,
Kekristenan juga mengajarkan bahwa Alkitab diwahyukan sendiri oleh Allah. Prof.
B. B. Warfield membahas tulisan Rasul Petrus pada 2
Petrus 1:20-21 dengan jelas bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci berasal dari
Tuhan, ditulis oleh manusia namun tidak dihasilkan oleh kehendak manusia,
melainkan penulis berbicara atas nama Allah melalui tuntunan Roh Kudus. Teks
Alkitab ini menegaskan bahwa isi Alkitab itu benar dan bersumber dari Allah (Ryrie, 1999). Kebenaran Alkitab juga dapat dibuktikan dari
kesatuan kebenaran yang tertulis di dalam Alkitab, yang tidak saling
bertentangan satu sama lain dari awal Perjanjian Lama sampai akhir Perjanjian
Baru. Walaupun para penulisnya berbeda-beda latar belakang dan gaya penulisan,
tetapi tulisan dalam Alkitab menunjukkan bahwa hanya ada satu pengarang yaitu
Roh Kudus; dengan kata lain, Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk buku yaitu
Alkitab (Sproul, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa
kebenaran Alkitab selain bersifat absolut, juga bersifat obyektif, tidak
berdasarkan tafsiran subyektif manusia. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya,
paham relativisme mempercayai bahwa kebenaran itu bersifat subyektif,
akibatnya, pandangan akan kebenaran Alkitab yang absolut ditolak karena tidak
sesuai dengan pandangan relatif individu-individu tertentu (R. B. Lumintang, 2010).
Ketika kebenaran didasari oleh cara pandang masing-masing individu sendiri,
setiap orang akan merasa benar dan mempertahankan kebenarannya masing-masing,
seperti yang tertulis dalam Roma 1:18-22 �Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang
menindas kebenaran dengan kelaliman. � Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh
hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.� Hal ini sangatlah
berbahaya karena dapat membuat kebenaran yang sesungguhnya menjadi tidak
dikenal lagi.
Rasul
Paulus mengingatkan melalui 2 Timotius 3:16 �Segala tulisan yang diilhamkan
Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk
memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.� bahwa seluruh
isi Alkitab adalah Firman Allah, yang tidak terdapat kesalahan di dalamnya
(sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian pendahuluan), sehingga
Alkitab mempunyai otoritas dalam hidup manusia, dan menjadi panduan bagi umat
Tuhan untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar dalam kehidupan
sehari-hari, dahulu, sekarang dan selamanya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aquinas, T., Larcher,
F., Weisheipl, J. A., Keating,
D., & Levering, M. (2010). Commentary on the Gospel of John: Chapters 13-21. Washington,
D.C.: Catholic University of America Press.
Baghramian, M., & Carter, J. A.
(2020). Relativism. https://plato.stanford.edu/entries/relativism/
#:~:text=Relativism%2C%20roughly%20put%2C%20is%20the,context%20giving%20rise%20to%20them
Barr, J. (1973). The Bible in the Modern World. London: SCM Press
Ltd.
Bavinck,
H., Indra, I. G., & Tjulianto, I. (2012). Dogmatika Reformed Jilid 2: Allah dan Penciptaan.
Surabaya: Momentum.
Efferin, H. (1999).
Pascamodernisme dan Keyakinan Injili. Jurnal Pelita Zaman, 14(1).
Leavy, P. (2023). Research Design: Quantitative,
Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-Based Participatory Research Approaches (2nd
ed.). New York: The Guilford
Press.
Lukito, D. L. (2001).
Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi. Veritas:
Jurnal Teologi dan Pelayanan, 2(2): 149-157.
Lumintang, R. B. (2010). Bahaya Postmodernisme
dan Peranan Kredo Reformed. Batu: Departemen Literatur YPPII.
Lumintang, S. I. (2010). Keunikan Theologia
Kristen di Tengah Kepalsuan. Batu: Departemen Literatur YPPII.
McGregor, S. L. T. (2015). Postmodernism and Home Economics: Revitalizing the Conversation.
https://publications.kon.org/archives/forum/19-1/mcgregor5.html
Merriam-Webster. (2024). Authority.
https://www.merriam-webster.com/dictionary/authority
Murdiyanto, E. (2020). Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi
disertai Contoh Proposal. Yogyakarta: LP2M UPN �Veteran� Yogyakarta Press.
Newbigin, L. (1996). Truth and Authority in Modernity. Valley Forge: Trinity Press International.
Ryrie, C. C. (1999). Basic Theology: A
Popular Systematic Guide to Understanding Biblical Truth. Chicago: Moody Publishers.
Shandery, T., Paulus, Y., & Haans, A. L. J. (2021). Pola Pengembalaan
dalam Menangkal Paham Relativisme Berdasarkan 1 Timotius 4:13. SCRIPTA:
Jurnal Teologi dan Pelayanan Kontekstual, 12(2): 81-93.
Siburian, T. (2004). Kerangka Teologi Religionum
Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dengan Agama-Agama Lain. Bandung: STT Bandung.
Sproul, R. C. (2002). Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Tanudjaja,
R., Penerjemah). Malang:
Departemen Literatur SAAT.
Tindas, A. (2005). Inerrancy: Ketaksalahan
Alkitab. Jakarta: Harvest International Theological
Seminary.