Otoritas Alkitab Pada Era Pascamodernisme Saat Ini

 

Biblical Authority in the Present Era of Postmodernism

 

Timothy Nathaniel Halim

Sekolah Tinggi Teologi Internasional Harvest, Indonesia

 

*Email: [email protected]

*Correspondence: Timothy Nathaniel Halim

DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2168

ABSTRAK

Otoritas Alkitab dalam era pascamodernisme menjadi topik yang relevan saat ini, mengingat terjadinya perubahan cara pandang manusia terhadap kebenaran, otoritas hidup, dan moralitas. Pascamodernisme menekankan pada relativisme, pluralisme, dan subjektivitas, yang berlawanan dengan pemahaman tentang Alkitab sebagai sumber otoritas absolut dan kebenaran yang objektif. Dalam konteks tersebut, penelitian ini fokus membahas mengenai paham relativisme dan pengajaran Alkitab terkait kebenaran sejati. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang meninjau isi Alkitab, literatur teologis dan literatur lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alkitab memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan manusia dari dahulu, sekarang (era pascamodernisme), dan sampai selamanya. Kebenaran Alkitab dapat dibuktikan secara objektif dari kesatuan kebenaran dari seluruh 66 kitab yang tidak saling bertentangan satu sama lain dari awal Perjanjian Lama sampai dengan akhir Perjanjian Baru, walaupun Alkitab ditulis oleh puluhan orang dengan latar belakang dan gaya penulisan yang berbeda-beda selama ribuan tahun lamanya. Alkitab diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus, sehingga isinya bukan dari kehendak manusia, melainkan merupakan pewahyuan Allah. Gereja masa kini diharapkan dapat memberikan pengajaran yang baik kepada para jemaat terkait otoritas Alkitab, sehingga mereka dapat terus memegang teguh keyakinan bahwa Alkitab itu berotoritas dan adalah kebenaran absolut, yang menjadi pedoman untuk hidup sesuai kehendak Allah.

 

Kata kunci: Otoritas Alkitab, Pascamodernisme, Relativisme, Kebenaran Absolut

 

 

ABSTRACT

Biblical authority in the postmodernism era is a relevant topic today, considering the changes in the way people view truth, authority, and morality. Postmodernism emphasizes relativism, pluralism, and subjectivity, which contradict the understanding of the Bible as a source of absolute authority and objective truth. In this context, this research focuses on relativism and the Bible's teaching on true truth. This research applies qualitative method, which reviews the Bible�s content, theological literature and other literatures relevant to the research topic. The results show that the Bible has the highest authority in human life. The truth of the Bible can be proven objectively from the unity of the truth of all 66 books that do not contradict each other, although the Bible was written by dozens of people with different backgrounds and writing styles over thousands of years. The Bible was inspired by God through Holy Spirit, so its content is not based on human, but God�s revelation. Today's churches are expected to provide good teaching to the congregation regarding Biblical authority, so that they can continue to have strong belief that the Bible is authoritative and an absolute truth, which becomes the human�s guide for living according to God's will.

 

Keywords: Biblical Authority, Postmodernism, Relativism, Absolute Truth

 

 

PENDAHULUAN

Tema atau judul dari penelitian ini adalah �Otoritas Alkitab pada Era Pascamodernisme Saat Ini�. Istilah �otoritas�, dalam bahasa Inggris, menggunakan kata �authority� yang berarti kekuatan atau kuasa untuk memerintah atau mempengaruhi pemikiran, pendapat, atau perilaku seseorang (Merriam-Webster, 2024). Dari informasi tersebut, istilah �otoritas Alkitab� dapat dimengerti sebagai wibawa atau kuasa yang dimiliki oleh Alkitab sebagai Firman Allah yang memberikan pengaruh kepada seseorang untuk memiliki nilai dan car����� a hidup yang sesuai dengan perintah atau ajaran Allah. Pada umumnya, kaum Kristen Injili di Indonesia mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang tidak dapat salah dan merupakan otoritas tertinggi dalam setiap aspek kehidupan manusia (Tindas, 2005).

Era pascamodernisme merepresentasikan masa di mana manusia hidup saat ini. Menurut Prof. (Emeritus) Dr. Sue L. T. McGregor, zaman kehidupan manusia di seluruh dunia dari tahun 800-an sampai dengan sekarang dapat dibagi menjadi lima era (McGregor, 2015). Era pertama yang disebut Era Pramodernisme, dari tahun 800-an sampai tahun 1500-an, adalah zaman pada saat iman atau takhayul yang menjadi kepercayaan manusia mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Era kedua yang disebut Era Renaisans, dari tahun 1500-an sampai tahun 1700-an, adalah era kelahiran kembali ilmu pengetahuan yang menjadi dasar dari pembelajaran dan hikmat atau kebijaksanaan manusia. Era ketiga yang disebut Era Pencerahan, dari tahun 1700-an sampai tahun 1800-an, adalah waktu terjadinya proses industrialisasi, paham individualisme, serta revolusi dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan. Era keempat yang disebut Era Modernisme, dari tahun 1800-an sampai tahun 1950-an, adalah zaman dimulainya kemajuan inovasi dalam bidang teknologi, serta berkembangnya beberapa paham seperti konsumerisme, kapitalisme, dan imperialisme. Era kelima yang disebut Era Pascamodernisme, dari tahun 1960-an sampai dengan saat ini, adalah masa terjadinya perkembangan dalam hal digitalisasi, distribusi informasi melalui media, dan globalisasi, serta gencarnya gerakan-gerakan sosial yang dilakukan seiring meningkatnya kesadaran manusia akan ketergantungan sosial antara satu sama lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, tema dari tulisan ini adalah tentang bagaimana otoritas Alkitab terhadap kehidupan manusia saat ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah isi Alkitab dapat dianggap relevan dengan kondisi manusia sekarang sehingga Alkitab masih memiliki otoritas dalam hidup manusia.

Dalam 2 Timotius 3:16, Rasul Paulus menyatakan bahwa �Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.� Ungkapan �Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat� diterjemahkan dari bahasa asli, Yunani Perjanjian Baru (Yunani PB), πᾶσα γραφὴ θεόπνευστος καὶ ὠφέλιμος (pasa grafe theopneustos kai ofelimos), yang berarti bahwa setiap bagian atau setiap kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah diilhamkan oleh Allah dan bermanfaat (Tindas, 2005). Dari informasi ini, kita dapat memahami bahwa semua isi Alkitab merupakan Firman Allah, dan oleh karena itu, isi Alkitab tidak mengandung kesalahan.

Menurut Prof. Lesslie Newbigin, jika suatu realitas merupakan karya dari sang pencipta, maka otoritas terhadap realitas tersebut berada pada penciptanya (Newbigin, 1996). Dalam Kejadian 1, dinyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya. Sebagai Sang Pencipta, Allah mempunyai otoritas terhadap seluruh ciptaan-Nya, termasuk umat manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Alkitab, yang adalah Firman Allah, memiliki otoritas dalam semua aspek kehidupan umat manusia.

Ironisnya, pada era pascamodernisme saat ini, banyak orang, termasuk sebagian orang Kristen atau pemimpin dan pengerja gereja, cenderung meninggalkan kepercayaan yang dianggap sudah tidak lagi relevan dengan kondisi manusia saat ini (Lukito, 2001). Kepercayaan yang ditinggalkan termasuk kepercayaan akan Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas atas hidup manusia. Menurut Prof. James Barr, pada masa kini, titik berat pertimbangan yang diambil oleh manusia dalam membuat suatu keputusan adalah berdasarkan situasi saat ini dan bukan atas pemikiran yang dihasilkan dari dua ribu tahun yang lalu atau lebih; Alkitab tidak dapat menggantikan manusia sebagai pembuat keputusan pada situasi terkini (Barr, 1973). Pandangan semacam ini mendegradasi otoritas Alkitab yang kebenarannya sudah tidak lagi dianggap absolut, sehingga tidak dapat menjadi acuan atau panduan mutlak bagi hidup manusia pada era pascamodernisme.

Salah satu karakteristik utama dari era pascamodernisme yaitu mengedepankan paham relativisme. Paham ini menekankan bahwa kebenaran itu bersifat subyektif, sehingga kebenaran dapat dianggap sebagai sesuatu hal yang relatif, termasuk kebenaran iman Kristen (yang mengacu pada isi dan otoritas Alkitab) dianggap sebagai hal yang relatif (S. I. Lumintang, 2010). Tidak ada kebenaran yang absolut dalam kehidupan manusia berdasarkan paham relativisme.

Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini berkonsentrasi pada paham relativisme yang dianggap relevan dengan era pascamodernisme saat ini, serta pada pengajaran dari Alkitab yang bertentangan dengan paham tersebut. Pembahasan dilakukan secara sistematis dengan terlebih dahulu memaparkan metode yang digunakan dalam penelitian, dilanjutkan dengan menjelaskan bagaimana paham relativisme mendegradasi otoritas Alkitab dalam hidup manusia saat ini, serta membahas pengajaran dari Alkitab yang dapat meneguhkan kepercayaan umat Tuhan akan otoritas Alkitab. Penulis kemudian memberikan kesimpulan dan saran yang diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga kepercayaan akan otoritas Alkitab di antara umat Tuhan pada masa ini.

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif eksplanatori. Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan menggunakan materi-materi tertulis yang relevan dengan tema penelitian sebagai sumber utama penelitian. Materi-materi tertulis tersebut terdiri dari buku termasuk Alkitab, jurnal, dan artikel daring dari sumber yang bereputasi baik.

Penulis menerapkan metode kualitatif karena metode ini tepat untuk digunakan pada penelitian ini yang fokus utamanya yaitu melakukan eksplorasi terhadap informasi-informasi yang bersumber dari materi-materi tertulis yang telah disebutkan sebelumnya, yang kemudian semua informasi itu digunakan oleh penulis untuk memberikan keterangan atau penjelasan terkait tema dan ruang lingkup penelitian (Leavy, 2023). Metode kualitatif dapat membantu penulis memperoleh pengertian yang baik terkait lingkup penelitian (Murdiyanto, 2020).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini, penulis menjelaskan paham relativisme yang diyakini banyak orang pada masa ini dan yang tidak memandang Alkitab sebagai otoritas tertinggi bagi manusia, serta membahas pengajaran dari Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas dan yang bertentangan dengan paham itu.

A.    Paham Relativisme

Menurut Pendeta (Emeritus) Henry Efferin, Ph.D., era pascamodernisme pada umumnya mempunyai empat ciri khas yaitu: 1) suatu peristiwa atau hal yang terjadi di dunia ini tidak memiliki arti secara intrinsik atas dirinya sendiri (penafsiran atas arti dari hal tersebut dilakukan secara terus-menerus); 2) penafsiran ini memerlukan penelitian dengan konteks yang sesuai, sementara manusia sebagai penafsir merupakan bagian atas konteks tersebut; 3) penafsiran terhadap sesuatu hal tidak tergantung dari faktor obyektif atas suatu teks beserta dengan penulisnya, melainkan tergantung dari faktor subyektif atau pandangan relatif (misalnya pandangan terkait konsep atau nilai tertentu) yang dimiliki oleh seorang penafsir; 4) bahasa yang dipakai dalam suatu penafsiran dapat dianggap relatif atau tidak netral karena bahasa tersebut dapat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu nilai atau ideologi dengan maksud dan tujuan tertentu (Efferin, 1999).

Dari pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa manusia pada era pascamodernisme saat ini mempunyai kecenderungan untuk tidak menerima sesuatu hal sebagai kebenaran yang bersifat tetap dan universal, atau dengan kata lain, mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang dapat berlaku kapan saja dan bagi siapa saja. Kebenaran akan hal tertentu hanya berlaku bagi orang yang menganggap hal tersebut relevan dengan konteks atau keadaan dari kehidupan pribadinya dan juga sejalan dengan pandangan relatifnya. Pandangan inilah yang merupakan pemikiran utama dari paham relativisme, sebagaimana yang sempat disinggung sebelumnya di dalam bagian pendahuluan.

Sebenarnya sampai saat ini, belum ada satu definisi dari paham relativisme yang menjadi kesepakatan bersama di antara para ahli filsafat kontemporer. Namun, menurut Prof. Maria Baghramian dan Prof. J. Adam Carter, paham relativisme dapat dipahami dari pandangan umum penganut paham tersebut yang menolak atau kontra terhadap beberapa hal sebagai berikut: 1) absolutisme, yaitu pandangan bahwa setidaknya ada beberapa kebenaran atau nilai yang dapat diterapkan pada segala waktu, tempat, kerangka atau kondisi sosial dan budaya; 2) obyektivisme, yaitu pandangan bahwa kebenaran, norma atau nilai kognitif, etika dan estetika tidak tergantung pada penilaian dan kepercayaan atau pikiran seseorang; 3) monisme, yaitu pandangan bahwa tidak boleh ada lebih dari satu pendapat, penilaian, atau norma yang benar atas hal apa pun yang menjadi sumber perdebatan di antara manusia (penganut monisme tidak memberikan ruang terhadap pluralisme yang menghargai adanya perbedaan pendapat akan kebenaran atas sesuatu hal); 4) realisme, yaitu pandangan yang juga tidak mengakui adanya pluralisme dalam pemikiran terhadap suatu kebenaran karena penganut realisme percaya bahwa kebenaran itu bersifat tunggal dan obyektif (hal ini bertentangan dengan paham relativisme) (Baghramian & Carter, 2020).

Pemikiran pluralisme, yang menjadi bagian penting dari paham relativisme, pada umumnya diaplikasikan dalam konteks suatu komunitas sosial yang majemuk, yang di dalamnya terdapat berbagai perbedaan fundamental terutama dalam hal agama atau kepercayaan yang sudah mengakar dengan kuat dalam pribadi setiap individu yang berada dalam komunitas tersebut (Shandery, Paulus, & Haans, 2021). Sebagai contoh, kita mungkin sudah sering mendengar pernyataan �setiap agama itu pada dasarnya sama�. Pernyataan ini sebenarnya adalah pernyataan yang tidak masuk akal karena pada kenyataannya, masing-masing agama mengajarkan ritual dan kepercayaan yang berbeda-beda, bahkan Tuhan yang disembah oleh pemeluk agama yang satu bisa berbeda dengan pemeluk agama lainnya. Namun, untuk memelihara kerukunan dan toleransi antara sesama umat beragama yang berbeda, pemikiran pluralisme atau relativisme tersebut diterima oleh banyak orang saat ini.

Di Indonesia, para umat beragama bisa hidup secara berdampingan satu sama lain karena salah satu faktor utama yaitu adanya kesamaan pandangan bahwa semua pemeluk agama mempunyai kedudukan atau posisi yang sama di mata hukum negara. Masing-masing pemeluk agama memiliki kebebasan dalam mengimani dan menjalankan setiap perintah agama atau ajaran dari kitab sucinya. Secara tidak langsung, kondisi tersebut telah menempatkan seluruh ajaran agama termasuk kitab sucinya pada tingkatan yang sejajar atau setara. Hal ini tentunya bertentangan dengan posisi iman Kristen yang pada umumnya secara fundamental mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah satu-satunya, yang memiliki otoritas tertinggi dalam setiap aspek kehidupan manusia, dan oleh karena itu, Alkitab tidak dapat disetarakan dengan kitab suci dari berbagai agama lainnya. Ironisnya, sampai saat ini masih ada sebagian dari umat Kristen yang mempunyai pandangan bahwa ajaran dari setiap agama pada prinsipnya sama, sehingga mereka percaya bahwa semua orang, apa pun kepercayaannya, bisa masuk ke surga setelah meninggal dunia asalkan mereka melakukan perbuatan yang baik selama hidup di dunia ini (Shandery, Paulus, & Haans, 2021). Dengan demikian, mereka menolak otoritas Alkitab yang mengajarkan bahwa hanya iman kepada Tuhan Yesus, sang Juru Selamat dunia, yang dapat membawa manusia menuju keselamatan dan kehidupan kekal di surga.

Teologi pada era pascamodernisme banyak dilandaskan bukan atas obyek kebenaran, melainkan atas kebenaran dari sudut pandang subyek yang bersifat relatif dan cenderung mendukung pemikiran pluralisme yang membenarkan pengajaran dari berbagai agama yang berbeda, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Teologi semacam ini dapat menghancurkan pandangan teologis fundamental yang telah diabsahkan oleh gereja secara umum dan juga dapat menyebabkan terjadinya banyak perbedaan pandangan di kalangan umat Kristen, terutama dalam hal doktrin, tata cara ibadah, serta peraturan gereja (R. B. Lumintang, 2010).

Perbedaan doktrin yang terjadi di kalangan sesama umat Kristen dapat terlihat dari banyaknya sinode gereja yang ada di Indonesia. Ketidaksepakatan mengenai ajaran-ajaran yang tertulis di dalam Alkitab menyebabkan komunitas umat Kristen tertentu berpisah dari komunitas umat Kristen yang lain dan membentuk suatu sinode gereja yang baru. Hal yang kemudian disayangkan adalah pertentangan doktrin seperti itu dapat memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan para jemaat gereja. Saat ini, para jemaat dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai media melalui internet, yang memungkinkan mereka untuk mengamati pertentangan atau perdebatan secara terbuka yang dilakukan oleh banyak pemimpin gereja terkait perbedaan doktrin yang ada. Hal ini mengakibatkan para jemaat menjadi apatis dan cenderung antipati terhadap Kekristenan, serta kurang tertarik pada perkara rohani (Shandery, Paulus, & Haans, 2021). Pada akhirnya, mereka tidak lagi mempercayai otoritas Alkitab dalam hidup mereka. Mereka cenderung menerima paham relativisme dan menganggap seluruh agama sama.

B.     Otoritas dan Ajaran Alkitab dalam Menyikapi Paham Relativisme

Pada bagian ini, ajaran dari Alkitab akan dibahas untuk menyikapi paham relativisme yang dianut oleh banyak orang pada era pascamodernisme saat ini, dan juga untuk meneguhkan keyakinan kita sebagai umat Tuhan akan kebenaran bahwa Alkitab memiliki otoritas tertinggi dalam hidup manusia.

Walaupun ada pandangan yang tidak menerima suatu pembenaran atau kesaksian diri sendiri atas status kebenaran dari dirinya, namun ajaran Alkitab mengenai kebenaran dan otoritasnya sendiri tetap dapat diakui. Menurut Dr. Arnold Tindas, hal ini karena Alkitab bukanlah �diri sendiri�, tetapi merupakan gabungan dari 66 kitab Perjanjian Lama dan Baru yang ditulis puluhan orang ribuan tahun lamanya; Alkitab tidak ditulis berdasarkan rekayasa dari orang tertentu, melainkan ditulis dengan adanya tuntunan secara Ilahi dalam periode waktu yang lama bagi semua penulisnya (Tindas, 2005).

Pada era pascamodernisme saat ini, banyak orang, khususnya penganut paham relativisme, yang hidupnya diombangambingkan dengan berbagai hal karena bagi mereka, tidak ada satu hal pun di dunia yang dapat dianggap sebagai kebenaran yang absolut. Namun sebenarnya, kebenaran absolut dapat ditemukan di dalam Alkitab, yang menjelaskan bahwa Allah adalah kebenaran yang mutlak; ketidakberubahan Allah menunjukkan keabsolutan-Nya, sebagaimana dituliskan di dalam Keluaran 3:14 �� AKU ADALAH AKU �� yang menyatakan ketidakbergantungan Allah pada hal lain (Bavinck, Indra, & Tjulianto, 2012). Kebenaran absolut ini mengarahkan kita pada pengakuan bahwa ada Allah yang berotoritas atau berdaulat yang menciptakan langit dan bumi ini. Selain itu, Alkitab juga menuliskan perkataan Tuhan Yesus di dalam kitab Yohanes 14:6 �� Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.� Tuhan Yesus menegaskan bahwa melalui-Nya kita dapat mempunyai akses kepada Allah karena Ia adalah Anak Allah, dan Ia juga dapat menuntun manusia menemukan hasrat terdalamnya yaitu mengetahui kebenaran dalam hidup (Aquinas et al, 2010). Perkataan Tuhan Yesus ini terdengar sederhana namun tegas menyatakan bahwa tidak ada kebenaran di luar Kristus, yang menunjukkan kemutlakan dan finalitas Kristus. Finalitas Kristus adalah kebenaran absolut bukan karena ajaran-ajaran-Nya yang bermoral tinggi atau pengetahuan-Nya tentang Allah (sekalipun hal itu benar), tetapi didasarkan pada fakta kematian dan kebangkitan-Nya untuk memperdamaikan orang berdosa dengan Allah (Siburian, 2004). Namun, kemutlakan dan finalitas Kristus ini sering kali dikritik pada era pascamodernisme saat ini sebagai dasar eksklusivisme orang-orang Kristen. Padahal, teologi dan iman Kristen tidak mengajarkan eksklusivisme sosial, melainkan sebaliknya, Alkitab mengajarkan hukum kedua pada Hukum Terutama di dalam Matius 22:39 yaitu �� Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.� Orang Kristen wajib mengasihi sesama (tidak boleh eksklusif dalam kehidupan sosial), namun bukan berarti dapat berkompromi dalam hal teologi seperti yang digaungkan oleh pemikiran pluralisme, yang menganggap semua agama pada dasarnya adalah sama karena ada keselamatan dalam semua agama (R. B. Lumintang, 2010). Orang Kristen seharusnya tidak berkompromi atas iman percayanya, namun bertoleransi seperti yang Tuhan Yesus ajarkan pada perumpamaan orang Samaria yang murah hati dalam Lukas 10:25-37, karena sikap menghargai dan tidak membenci sesama menjadi salah satu wujud dari Kekristenan.

Selanjutnya, Kekristenan juga mengajarkan bahwa Alkitab diwahyukan sendiri oleh Allah. Prof. B. B. Warfield membahas tulisan Rasul Petrus pada 2 Petrus 1:20-21 dengan jelas bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci berasal dari Tuhan, ditulis oleh manusia namun tidak dihasilkan oleh kehendak manusia, melainkan penulis berbicara atas nama Allah melalui tuntunan Roh Kudus. Teks Alkitab ini menegaskan bahwa isi Alkitab itu benar dan bersumber dari Allah (Ryrie, 1999). Kebenaran Alkitab juga dapat dibuktikan dari kesatuan kebenaran yang tertulis di dalam Alkitab, yang tidak saling bertentangan satu sama lain dari awal Perjanjian Lama sampai akhir Perjanjian Baru. Walaupun para penulisnya berbeda-beda latar belakang dan gaya penulisan, tetapi tulisan dalam Alkitab menunjukkan bahwa hanya ada satu pengarang yaitu Roh Kudus; dengan kata lain, Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk buku yaitu Alkitab (Sproul, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran Alkitab selain bersifat absolut, juga bersifat obyektif, tidak berdasarkan tafsiran subyektif manusia. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, paham relativisme mempercayai bahwa kebenaran itu bersifat subyektif, akibatnya, pandangan akan kebenaran Alkitab yang absolut ditolak karena tidak sesuai dengan pandangan relatif individu-individu tertentu (R. B. Lumintang, 2010). Ketika kebenaran didasari oleh cara pandang masing-masing individu sendiri, setiap orang akan merasa benar dan mempertahankan kebenarannya masing-masing, seperti yang tertulis dalam Roma 1:18-22 �Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. � Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.� Hal ini sangatlah berbahaya karena dapat membuat kebenaran yang sesungguhnya menjadi tidak dikenal lagi.

Rasul Paulus mengingatkan melalui 2 Timotius 3:16 �Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.� bahwa seluruh isi Alkitab adalah Firman Allah, yang tidak terdapat kesalahan di dalamnya (sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian pendahuluan), sehingga Alkitab mempunyai otoritas dalam hidup manusia, dan menjadi panduan bagi umat Tuhan untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari, dahulu, sekarang dan selamanya.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis menyimpulkan bahwa Alkitab memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan manusia sejak dahulu, sekarang, dan selamanya. Kesimpulan ini didasari oleh kebenaran dari pengajaran Alkitab itu sendiri. Kebenaran Alkitab dapat dibuktikan dari kesatuan kebenaran dari seluruh 66 kitab dalam Alkitab yang tidak saling bertentangan satu sama lain, meskipun ditulis oleh puluhan orang dengan latar belakang dan gaya penulisan yang berbeda-beda selama ribuan tahun lamanya. Berdasarkan 2 Timotius 3:16 dan 2 Petrus 1:20-21, Alkitab diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus, sehingga isinya bukan dari kehendak manusia, melainkan merupakan pewahyuan dari Allah secara langsung. Yesus, sebagai Firman yang menjadi manusia (Yohanes 1:14), menyatakan bahwa Ia adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yohanes 14:6). Pernyataan tersebut menolak paham relativisme yang menganggap bahwa kebenaran itu relatif. Gereja perlu waspada terhadap paham menyesatkan di era pascamodernisme saat ini, dan untuk menjaga keyakinan jemaat akan otoritas Alkitab, gereja disarankan untuk mempersiapkan materi khusus tentang otoritas Alkitab dalam khotbah dan kelas pemahaman Alkitab, serta memanfaatkan teknologi untuk memfasilitasi pengajaran dan pemonitoran jemaat secara daring. Dengan pengajaran yang baik, diharapkan para jemaat dapat terus memegang teguh keyakinan bahwa Alkitab adalah kebenaran absolut yang memiliki otoritas tertinggi dalam hidup manusia dan merupakan pedoman untuk hidup sesuai kehendak Allah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aquinas, T., Larcher, F., Weisheipl, J. A., Keating, D., & Levering, M. (2010). Commentary on the Gospel of John: Chapters 13-21. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.

Baghramian, M., & Carter, J. A. (2020). Relativism. https://plato.stanford.edu/entries/relativism/ #:~:text=Relativism%2C%20roughly%20put%2C%20is%20the,context%20giving%20rise%20to%20them

Barr, J. (1973). The Bible in the Modern World. London: SCM Press Ltd.

Bavinck, H., Indra, I. G., & Tjulianto, I. (2012). Dogmatika Reformed Jilid 2: Allah dan Penciptaan. Surabaya: Momentum.

Efferin, H. (1999). Pascamodernisme dan Keyakinan Injili. Jurnal Pelita Zaman, 14(1).

Leavy, P. (2023). Research Design: Quantitative, Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-Based Participatory Research Approaches (2nd ed.). New York: The Guilford Press.

Lukito, D. L. (2001). Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi. Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 2(2): 149-157.

Lumintang, R. B. (2010). Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed. Batu: Departemen Literatur YPPII.

Lumintang, S. I. (2010). Keunikan Theologia Kristen di Tengah Kepalsuan. Batu: Departemen Literatur YPPII.

McGregor, S. L. T. (2015). Postmodernism and Home Economics: Revitalizing the Conversation. https://publications.kon.org/archives/forum/19-1/mcgregor5.html

Merriam-Webster. (2024). Authority. https://www.merriam-webster.com/dictionary/authority

Murdiyanto, E. (2020). Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi disertai Contoh Proposal. Yogyakarta: LP2M UPN �Veteran� Yogyakarta Press.

Newbigin, L. (1996). Truth and Authority in Modernity. Valley Forge: Trinity Press International.

Ryrie, C. C. (1999). Basic Theology: A Popular Systematic Guide to Understanding Biblical Truth. Chicago: Moody Publishers.

Shandery, T., Paulus, Y., & Haans, A. L. J. (2021). Pola Pengembalaan dalam Menangkal Paham Relativisme Berdasarkan 1 Timotius 4:13. SCRIPTA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kontekstual, 12(2): 81-93.

Siburian, T. (2004). Kerangka Teologi Religionum Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dengan Agama-Agama Lain. Bandung: STT Bandung.

Sproul, R. C. (2002). Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Tanudjaja, R., Penerjemah). Malang: Departemen Literatur SAAT.

Tindas, A. (2005). Inerrancy: Ketaksalahan Alkitab. Jakarta: Harvest International Theological Seminary.

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the author. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).