Relevansi Penerapan Presidential Threshold Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia
The Relevance of the Implementation of the
Presidential Threshold in the Presidential Government System in Indonesia
1) Erfandi, 2)Akhmad
Fauzi
12 Universitas Nahdlatul
Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, Indonesia
Email: 1) [email protected], 2) [email protected]
Correspondence: Erfandi
DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2167 |
ABSTRAK Presidential
Threshold selama ini dimaknai sebagai syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik yang masuk ke Parlemen. Padahal dalam sistem pemerintahan presidensial
dengan pemilu serentak seperti Indonesia, keberadaan
presidential threshold seharusnya dimaknai sebagai syarat keterpilihan Presiden dan wakil
Presiden seperti halnya dibeberapa negara dengan
sistem presidensial seperti Brazil, Turki ataupun
Argentina. Dengan
pemilu yang dilaksanakan secara serentak antara pemilihan Presiden dengan
parlemen, sudah tidak lagi� relevan
jika perolehan suara partai politik di parlemen menjadi acuan untuk dapat
atau tidaknya mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Karena selain suara
partai politik belum ditentukan besaran perolahan porsentasenya juga secara
kelembagaan, posisi legislatif paralel dengan eksekutif. Sehingga tidak ada
hubungannya suara partai politik di parlemen dijadikan acuan untuk menentukan
pencalonan Presiden. Tentunya berbeda halnya dengan system pemerintahan
parlementer. Dalam sistem pemerintahan parlementer sangat wajar jika suara
parlemen dijadikan rujukan dalam pemerintahan, karena mayoritas kebijakan
pemerintahan dalam sistem parlementer ditentukan oleh parlemen sendiri. Kata
kunci:
Presidential Threshold; Sistem
Presidensial; Pemilu Serentak |
|
ABSTRACT The Presidential Threshold
has been interpreted as a threshold requirement for the candidacy of the
President and Vice President by political parties that enter Parliament. In
fact, in a presidential system of government with simultaneous elections like
Indonesia, the existence of a presidential threshold should be interpreted as
a condition for the election of the President and Vice President as is the
case in some countries with a presidential system such as Brazil, Turkey or
Argentina. With elections being held simultaneously between the presidential
election and the parliament, it is no longer relevant if the votes of
political parties in parliament are a reference for whether or not they can
nominate the President and Vice President. Because in addition to the votes
of political parties, the amount of processing of the percentage has not been
determined institutionally, the legislative position is parallel to the
executive. So it has nothing to do with the votes of
political parties in parliament being used as a reference to determine the
presidential candidacy. Of course, it is different with the parliamentary
system of government. In a parliamentary system of government, it is very
natural for parliamentary votes to be used as a reference in government,
because the majority of government policies in the parliamentary system are
determined by the parliament itself. Keywords: Presidential Threshold;
Presidential System; Simultaneous Elections |
PENDAHULUAN
Sistem
ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold merupakan
instrumen penting dalam sistem politik yang diterapkan di berbagai negara. Di
beberapa negara, seperti Brazil dan Ekuador, presidential threshold
dimaknai sebagai ambang batas untuk keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden,
di mana kandidat harus memperoleh setidaknya 50% plus satu suara untuk menang
dalam pemilu presiden (Shugart & Carey, 1992). Konsep ini bertujuan untuk
memperkuat legitimasi pemimpin yang terpilih dengan memastikan mereka mendapat
dukungan mayoritas dari pemilih. Di sisi lain, dalam praktik internasional,
perdebatan tentang ambang batas ini sering kali berkaitan dengan upaya
menyeimbangkan antara penguatan pemerintahan yang stabil dan sistem pemilu yang
lebih inklusif (Norris, 1997).
Di
Indonesia, konsep presidential threshold diterapkan dengan cara yang
berbeda dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Di Indonesia, presidential
threshold ditetapkan sebagai ambang batas bagi partai politik atau gabungan
partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang menetapkan bahwa
hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20%
kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang
berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini menjadi
perdebatan, karena beberapa pihak menilai bahwa ketentuan tersebut membatasi
pilihan politik dan berpotensi memonopoli kekuasaan oleh partai-partai besar
(Harijanti & Lindsey, 2018).
Beberapa
penelitian menunjukkan dampak dari penerapan presidential threshold
terhadap dinamika politik di Indonesia. Harijanti dan Lindsey (2018) menyoroti
bahwa presidential threshold ini kerap dianggap sebagai alat yang
menghambat partisipasi politik partai-partai kecil dalam kontestasi politik
nasional. Sedangkan penelitian lain oleh Indrayana (2007) menyatakan bahwa
ketentuan ini dianggap sebagai salah satu faktor yang mengurangi keragaman
kandidat presiden dan mempersempit ruang politik. Selain itu, Gaffar (2019)
juga menemukan bahwa presidential threshold berperan penting dalam
menjaga stabilitas politik dengan membatasi munculnya terlalu banyak calon
presiden yang bisa menyebabkan fragmentasi politik.
Urgensi
dari penelitian ini adalah untuk memahami dampak presidential threshold
terhadap sistem pemerintahan presidensial di Indonesia serta mencari titik
keseimbangan antara memperkuat sistem pemerintahan yang stabil dengan tetap
memberikan kesempatan kepada partai-partai kecil untuk ikut berkompetisi dalam
pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh Hazan dan Rahat (2010), salah satu
tantangan besar dalam sistem demokrasi adalah bagaimana memastikan bahwa pemilu
mencerminkan aspirasi publik secara luas tanpa mengorbankan stabilitas politik.
Kebaruan
penelitian ini terletak pada analisis perbandingan antara penerapan presidential
threshold di Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki konsep
serupa namun dengan implementasi yang berbeda, seperti Brazil dan Ekuador.
Penelitian ini mencoba menawarkan perspektif baru tentang bagaimana ambang
batas pencalonan ini bisa diatur ulang untuk menciptakan keseimbangan antara
stabilitas politik dan inklusivitas demokratis (Norris, 1997; Shugart &
Carey, 1992).
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan presidential
threshold di Indonesia dalam konteks memperkuat sistem pemerintahan
presidensial, serta mengeksplorasi alternatif regulasi yang lebih inklusif
namun tetap mempertahankan stabilitas politik. Penelitian ini juga bertujuan
untuk mengidentifikasi dampak dari penerapan ambang batas ini terhadap dinamika
politik di Indonesia dan bagaimana aturan tersebut bisa diperbaiki (Harijanti
& Lindsey, 2018; Gaffar, 2019).
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi pembuat kebijakan di
Indonesia dalam merumuskan aturan-aturan yang lebih demokratis dan inklusif,
namun tetap menjaga stabilitas pemerintahan. Secara teoritis, penelitian ini
juga diharapkan bisa menjadi referensi penting bagi studi tentang sistem
pemerintahan presidensial dan pemilu di negara-negara demokrasi baru (Hazan
& Rahat, 2010).
Implikasi
dari penelitian ini mencakup rekomendasi untuk perubahan regulasi presidential
threshold di Indonesia agar lebih inklusif tanpa mengorbankan stabilitas
politik. Selain itu, penelitian ini juga berimplikasi pada penguatan literasi
politik di masyarakat, dengan menekankan pentingnya memahami dampak dari
regulasi pemilu terhadap proses demokrasi dan legitimasi pemerintahan
(Indrayana, 2007; Gaffar, 2019).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif, yang dikenal juga sebagai doctrinal research. Metode normatif
menitikberatkan pada kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta interpretasi yuridis yang digunakan untuk memahami aturan hukum secara
teoritis dan praktis. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan
pendekatan statute approach sebagai metode utama, yakni memfokuskan kajian pada
peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pemilihan umum, khususnya presidential
threshold dalam konteks pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji berbagai
undang-undang yang terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia, dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional tertinggi (Harijanti & Lindsey, 2018). Selain itu,
penelitian ini juga memeriksa beberapa undang-undang yang mengatur pelaksanaan
pemilu, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Analisis terhadap evolusi regulasi ini memberikan wawasan mengenai perkembangan
aturan presidential threshold di Indonesia serta implikasinya terhadap dinamika
politik nasional (Indrayana, 2007; Gaffar, 2019).
Selain mengkaji undang-undang, penelitian ini juga
mempertimbangkan yurisprudensi, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
66/PUU-XIX/2021. Putusan ini sangat relevan dalam penelitian karena menjadi
salah satu landasan hukum terkini dalam pembahasan presidential threshold.
Mahkamah Konstitusi memegang peran penting dalam memastikan bahwa ketentuan
dalam undang-undang mengenai ambang batas pencalonan presiden tidak
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 6A ayat (2) yang mengatur
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (MK RI, 2021).
Untuk memperoleh perspektif yang lebih luas dan
komprehensif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan atau
comparative approach (Zweigert & K�tz, 1998). Pendekatan ini digunakan
untuk membandingkan penerapan presidential threshold di Indonesia dengan
beberapa negara lain, seperti Brazil, Ekuador, dan Argentina, yang juga
menerapkan konsep ambang batas dalam pemilu presidennya. Di Brazil, misalnya,
presidential threshold dimaknai sebagai ambang batas keterpilihan presiden,
yakni calon harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk menang, berbeda dengan
Indonesia di mana ambang batas ini diterapkan pada tahap pencalonan (Shugart
& Carey, 1992; Norris, 1997).
Dengan menggunakan comparative approach, penelitian ini
menganalisis bagaimana perbedaan penerapan ambang batas di negara-negara
tersebut berdampak pada sistem politik dan dinamika demokrasi mereka. Hal ini
memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari
penerapan presidential threshold di Indonesia, serta memberikan rekomendasi
kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam konteks demokrasi di Indonesia.
Metode ini juga melibatkan analisis dokumen, baik dalam
bentuk undang-undang, putusan pengadilan, maupun literatur akademis yang
relevan. Melalui metode normatif dan pendekatan perbandingan ini, penelitian
diharapkan dapat menghasilkan kajian yang mendalam dan komprehensif tentang
penerapan presidential threshold di Indonesia, serta memberikan kontribusi bagi
pengembangan hukum dan demokrasi di negara ini (Suryadi, 2019; Siregar, 2020).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan Presidential threshold di Indonesia atau yang
dikenal dengan ambang batas pencalonan presiden atau wakil presiden oleh partai
politik yang memiliki kursi di DPR RI banyak menimbulkan pro dan kontrak. Hal
ini terjadi karena berlakunya ketentuan mengenai presidential threshold hanya
dapat dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di parlemen sedangkan
bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di parlemen hanya sekedar menjadi
peserta pemilu yang keberadaannya seperti tidak memiliki makna dalam
perpolitikan nasional. Meskipun dalam undang-undang dasar negara republik
Indonesia 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai jumlah kursi DPR 20% dan
suara DPR 25% sebagai syarat untuk partai politik mengusung calon presidan dan
wakil presiden tesebut.
Di satu sisi konsep presidential threshold dibuat untuk
memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien dalam
negara kesatuan seperti Indonesia ini. Karena dengan pemberlakuan presidential
thresholad akan menciptakan stabilitas pemerintahan dengan lahirnya koalisi dan
oposisi. Konsep awalnya dengan pemberlakuan presidential threshold diharapkan
akan memberikan keseimbangan dalam perjalanan pemerintahan dalam satu periode.
Dimana dalam menjalankan pemerintahannya seorang presiden akan diawasi dan
dikritik secara konstitusional oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden
di parlemen ataupun oleh masyarakat yang tidak mendukungnya. Sebaliknya
pemerintahan akan di berikan masukan yang konstruktif oleh koalisi baik di
parlemen ataupun oleh Masyarakat yang mendukungnya. Dampak lain dengan
pemberlakuan presidential threshold secara tidak langsung akan meningkatkan
kualitas calon Presiden dan wakil Presiden. Karena kandidat yang akan dipilih
oleh koalisi partai politik adalah kandidat yang benar-benar memiliki kualitas baik
secara electoral ataupun kualitas personal. Sehingga akan mengurangi
fregmentasi politik dengan menyaring para kandidat calon Presiden dan Wakil
Presiden terlalu banyak yang dapat mempersulit proses pemilihan.
Disi lain dengan pemberlakuan presidential threshold
dengan angka 20% justru akan berimplikasi terhadap minimnya calon Presiden dan
Wakil Presiden yang akan menjadi pilihan bagi Masyarakat Indonesia. Karena
dengan pemberlakuan porsentase yang masih tinggi terhadap presidential
threshold justru pasangan calon Presiden dan wakil Presiden hanya akan terjadi
2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Realitas ini akan memaksa
pemilih untuk dihadapkan pada pilihan dua pasang calon yang akan berakibat terjadinya
polarisasi dan keterbelahan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia. Sehingga perlu kiranya dipertimbangkan penerapan porsentase 20%
dalam presidential threshold ini. Selain itu dengan jumlah porsentase sampai
20% untuk dapat mencalonkan pasangan Presiden dan wakil Presiden juga akan
berdampak terhadap menguatnya politik dinasti sekaligus politik identitas di
Tengah-tengah Masyarakat. Dengan mekanisma one man one vote dalam
pemilihan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden secara tidak langsung akan
menguntungkan etnis yang paling banyak kuantitasnya di Indonesia sekaligus akan
menyulitkan calon presiden dan Wakil Presiden terpilih dari jalur independen.
Dengan pemberlakuan presidential threshold yang masih tinggi kandidat calon
Presiden dan wakil presiden akan dipaksa untuk berkoalisi dengan beberapa
partai politik dan ini akan berdampak pada alerginya pemilih untuk
berpartisipasi secara politik dalam pemilihan Presiden.
Pada esensinya, penerapan presidential threshold sudah
diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 6A ayat (3) yang menyatakan bahwa
�pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapatkan suara lebih dari lima
puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara dari setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, untuk dapat dilantik menjadi Presiden dan wakil
Presiden�
Secara konstitusional pengaturan mengenai keberadaan
presidential threshold dibuat sebagai syarat menjadi Presiden dan Wakil
Presiden, bukan sebagai syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil Presiden
sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Pelaksaan
presidential threshold di dalam sistem presidensial bukan baru digunakan di
Indonesia saja, akan tetapi di negara-negara yang mengantut sistem presidensial
pun memberlakukan presidential threshold juga diberlakukan bukan sebagai syarat
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. tetapi syarat untuk menjadi
presiden dan wakil presiden.
Pemilihan Presiden Brasil hamper sama
dengan negara Turki yang tidak mengenal presidential threshold sebagai syarat
untuk mencalonkan Presiden dan wakil presiden. Justru presidential threshold
yang terjadi di Brazil ataupun Turki adalah syarat untuk menjadi Presiden yang
harus mendapatkan dukungan dari rakyat dengan porsentase 50% plus 1. Apabila
pasangan calon tidak ada yang sampai pada persentase 50% plus satu maka
dilakukan pemilihan tahap kedua yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon yang
meraih suara terbanyak untuk kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon
presiden dan wakil Presiden sebagai peraih suara terbanyak. Dengan system
presidential threshold semacam ini, Brazil memastikan bahwa Presiden yang
terpilih mendapat dukungan lebih luas Masyarakat. Partai politik di Brazil juga
diberikan kewenangan secara penuh untuk mengatur dirinya sendiri, dan diberikan
kebebasan untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden di pemerintahan,
baik dari tingkat nasional sampai daerah sebagaimana diatur dalam Konstitusi
Brazil Bab V Pasal 17 tentang partai politik.
Demikian halnya dengan negara Ekuador yang melakukan pemilihan presiden secara langsung dan
tidak mengatur terkait syarat untuk mencalonkan sebagai presiden. Ekuador
sendiri memaknai presidential threshold sebagai syarat untuk menjadi Presiden dimana
perolehan suara rakyat yang harus dimiliki oleh calon presiden 50% plus 1 atau
juga bisa 45% selama memiliki perbedaan sekitar 10% dari saingan terkuat. Jika
pasangan tidak ada yang mendapat perolehan suara 50% atau 45% dengan selisih
10% dari saingat terkuat maka akan dilakukan pemlihan putaran kedua, Dimana
dalam putaran kedua ini akan ditetapkan sebagai pemenang presiden bagi pasangan
yang memperoleh suara terbanyak.�
Presidential
Threshold dalam Sistem Pemerintahan
Presidensial di Indonesia
Pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dipandang sebagai kelebihan dari sistem
Presidensial dibandingkan dengan system parlementer. Namun dipihak lain akan
membuka peluang terbentuknya pemerintahan yang terbelah (divided government)
antara presiden dengan parlemen yang dikontrol oleh partai yang berbeda. Politik hukum
pemberlakuan presidential threshold di Indonesia dimaknai sebagai perolehan suara dalam pemilu legislatif. Padahal jika dilihat
dari aspek system pemerintahan presidensial, tidak ada korelasinya
antara pemilihan presiden dengan perolehan suara dui parlemen yang menjadi basis cukup atau tidaknya partai politik yang ada di parlemen untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Lembaga eksekutif dan parlemen dalam
sistem pesidensial merupakan dua institusi berbeda yang memiliki basis
legistimasi yang berbeda pula. Sehingga tidaklah cukup relevan jika perolehan
suara partai politik di parlemen dijadikan syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden.
Dalam sistem pemrintahan Presidensial seperti Indonesia, tidak ada lagi lembaga tertinggi
negara. Hal ini menunjukan bahwa posisi eksekutif dan legislatif adalah posisi
yang paralel sebagai lembaga negara. Karena posisi yang paralel semacam itu,
maka untuk menjadi Presiden tidak harus bergantung kepada perolehan suara di
parlemen. Tentunya hal ini berbeda dengan sistem parlementer dimana utuk
membentuk pemerintahan memerlukan dukungan mayoritas dari parlemen.
Apalagi dalam pemilu Indonesia tahun
2019 dan tahun 2024 ini pelaksnaan Pemilu dilakukan serentak antara pemilihan
Presiden dengan DPR RI, maka tidaklah menjadi relevan
jika presidential threshold masih dimaknai sebagai syarat pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden bukan syarat terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden. Karena
konsep pemilu serentak sebenarnya dilakukan untuk memperkuat sistem
presidensial. Harapannya dengan pemilu serentak di tahun 2019 dan 2024 ini
partai politik sebagai pengusung pasangan Presiden dan wakil Presiden akan
solid dan memperoleh cottail effect dari pasangan calon Presiden yang didukung.
Sehingga juga bisa berlanjut kepada koalisi di Parlemen. Bukan malah sebaliknya
yang terjadi. Partai politik yang mendukung pasangan calon Presiden tertentu
yang kalah masuk menjadi koalisi kepada pemerintahan Presiden yang menang.
Dukungan yang solid pada pemilu akan memberikan nilai plus dalam membangun
sistem pemerintahan yang efektif dan stabil.
Berdasarkan analisis diatas, maka
diperlukan merekonstruksi politik hukum pemberlakuan Presidential Threshold di
Indonesia yang masih diposisikan sebagai syarat pencalonan Presiden dan wakil
Presiden berdasarkan jumlah porsentase perolehan suara partai
politik di parlemen yang seharusnya sudah dimaknai sebagai syarat terpilihnya
calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sebagaimana sudah diatur dalam
konstitusi.
Terlepas dari problematika
presidential threshold pada Pemilu serentak tahun 2024 ini, yang pasti
keberadaan presidential threshold menjadi salah satu instrument untuk
mengontrol keberadaan partai politik di Indonesia. Tak jarang juga menjadi
sarana untuk mempertahankan kekuasaan dengan menyandera ketum partai politik
yang ada. Memang benar keberadaan partai politik merupakan syarat dari negara
yang demokratis bahkan termasuk pilar dari demokrasi modern. Namun dengan
pemilu serentak dengan pemberlakuan presidential threshold justru partai
politik tidak lagi memperjuangkan ideologi dan visi misi tetapi lebih kepada
kalkulasi kekuasaan dengan mempertimbangkan posisi sebagai koalisi
pemerintahan.
KESIMPULAN
Penerapan presidential threshold dalam sistem
pemerintahan presidensial di Indonesia yang didasarkan pada perolehan suara
partai politik di parlemen sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden sudah tidak relevan lagi, terutama dalam konteks pemilu serentak.
Dalam sistem presidensial yang ideal, seperti yang diterapkan di negara-negara
lain, presidential threshold lebih dimaknai sebagai syarat keterpilihan
Presiden, bukan pencalonan. Oleh karena itu, rekonstruksi politik hukum
terhadap presidential threshold diperlukan agar sejalan dengan konstitusi dan
memperkuat sistem presidensial. Pemerintah dan pembuat undang-undang harus
mempertimbangkan pengaturan ulang presidential threshold untuk mencerminkan
prinsip-prinsip sistem presidensial yang lebih efektif, dengan mengedepankan
syarat keterpilihan daripada syarat pencalonan.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia.
Fatmawati, E. (2015). Pemilu dan demokrasi: Perspektif
politik Indonesia. Pustaka Pelajar.
Gaffar, A. (2019). Politik Indonesia: Transisi menuju
demokrasi. Gadjah Mada University Press.
Harijanti, S. D., & Lindsey, T. (2018). Indonesian
constitutional reform 1999-2002: An evaluation of constitution-making in
transition. Cambridge University Press.
Hazan,
R. Y., & Rahat, G. (2010). Democracy within parties: Candidate selection
methods and their political consequences. Oxford University Press.
Indrayana,
D. (2007). Indonesian constitutional reform 1999-2002 and beyond. Kompas
Gramedia.
MK RI. (2021). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
66/PUU-XIX/2021.
Norris,
P. (1997). Choosing electoral systems: Proportional, majoritarian, and mixed
systems. International Political Science Review, 18(3), 297-312.
Prasetyo,
A. (2020). Stabilitas politik
dan demokrasi: Studi pada pemilihan
presiden Indonesia. Jurnal Ilmu
Politik, 10(2), 123-136.
Rahman, M. T. (2021). Dinamika pemilu dan ambang batas
presiden di Indonesia. Penerbit Erlangga.
Shugart,
M. S., & Carey, J. M. (1992). Presidents and assemblies: Constitutional
design and electoral dynamics. Cambridge University Press.
Siregar,
E. (2020). Kajian perbandingan sistem
pemilu presiden di Amerika
Latin dan Indonesia. Jurnal Hukum Tata Negara, 15(1), 45-60.
Suryadi,
D. (2019). Hukum pemilu di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 12(2), 67-81.
Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 6A (5).
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Wibowo,
B. (2020). Perdebatan hukum
tentang presidential threshold di Indonesia. Jurnal
Hukum Konstitusi, 12(3), 98-115.
Zweigert,
K., & K�tz, H. (1998). An introduction to
comparative law. Oxford University Press.
� 2022 by
the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and
conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).