Relevansi Penerapan Presidential Threshold Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia

 

The Relevance of the Implementation of the Presidential Threshold in the Presidential Government System in Indonesia

 

1) Erfandi, 2)Akhmad Fauzi

12 Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, Indonesia

 

Email: 1) [email protected], 2) [email protected]

Correspondence: Erfandi

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i5.2167

 

ABSTRAK

Presidential Threshold selama ini dimaknai sebagai syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik yang masuk ke Parlemen. Padahal dalam sistem pemerintahan presidensial dengan pemilu serentak seperti Indonesia, keberadaan presidential threshold seharusnya dimaknai sebagai syarat keterpilihan Presiden dan wakil Presiden seperti halnya dibeberapa negara dengan sistem presidensial seperti Brazil, Turki ataupun Argentina. Dengan pemilu yang dilaksanakan secara serentak antara pemilihan Presiden dengan parlemen, sudah tidak lagirelevan jika perolehan suara partai politik di parlemen menjadi acuan untuk dapat atau tidaknya mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Karena selain suara partai politik belum ditentukan besaran perolahan porsentasenya juga secara kelembagaan, posisi legislatif paralel dengan eksekutif. Sehingga tidak ada hubungannya suara partai politik di parlemen dijadikan acuan untuk menentukan pencalonan Presiden. Tentunya berbeda halnya dengan system pemerintahan parlementer. Dalam sistem pemerintahan parlementer sangat wajar jika suara parlemen dijadikan rujukan dalam pemerintahan, karena mayoritas kebijakan pemerintahan dalam sistem parlementer ditentukan oleh parlemen sendiri.

 

Kata kunci: Presidential Threshold; Sistem Presidensial; Pemilu Serentak

 

 

ABSTRACT

The Presidential Threshold has been interpreted as a threshold requirement for the candidacy of the President and Vice President by political parties that enter Parliament. In fact, in a presidential system of government with simultaneous elections like Indonesia, the existence of a presidential threshold should be interpreted as a condition for the election of the President and Vice President as is the case in some countries with a presidential system such as Brazil, Turkey or Argentina. With elections being held simultaneously between the presidential election and the parliament, it is no longer relevant if the votes of political parties in parliament are a reference for whether or not they can nominate the President and Vice President. Because in addition to the votes of political parties, the amount of processing of the percentage has not been determined institutionally, the legislative position is parallel to the executive. So it has nothing to do with the votes of political parties in parliament being used as a reference to determine the presidential candidacy. Of course, it is different with the parliamentary system of government. In a parliamentary system of government, it is very natural for parliamentary votes to be used as a reference in government, because the majority of government policies in the parliamentary system are determined by the parliament itself.

 

Keywords: Presidential Threshold; Presidential System; Simultaneous Elections

 

 

PENDAHULUAN

Sistem ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold merupakan instrumen penting dalam sistem politik yang diterapkan di berbagai negara. Di beberapa negara, seperti Brazil dan Ekuador, presidential threshold dimaknai sebagai ambang batas untuk keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden, di mana kandidat harus memperoleh setidaknya 50% plus satu suara untuk menang dalam pemilu presiden (Shugart & Carey, 1992). Konsep ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi pemimpin yang terpilih dengan memastikan mereka mendapat dukungan mayoritas dari pemilih. Di sisi lain, dalam praktik internasional, perdebatan tentang ambang batas ini sering kali berkaitan dengan upaya menyeimbangkan antara penguatan pemerintahan yang stabil dan sistem pemilu yang lebih inklusif (Norris, 1997).

Di Indonesia, konsep presidential threshold diterapkan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Di Indonesia, presidential threshold ditetapkan sebagai ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang menetapkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini menjadi perdebatan, karena beberapa pihak menilai bahwa ketentuan tersebut membatasi pilihan politik dan berpotensi memonopoli kekuasaan oleh partai-partai besar (Harijanti & Lindsey, 2018).

Beberapa penelitian menunjukkan dampak dari penerapan presidential threshold terhadap dinamika politik di Indonesia. Harijanti dan Lindsey (2018) menyoroti bahwa presidential threshold ini kerap dianggap sebagai alat yang menghambat partisipasi politik partai-partai kecil dalam kontestasi politik nasional. Sedangkan penelitian lain oleh Indrayana (2007) menyatakan bahwa ketentuan ini dianggap sebagai salah satu faktor yang mengurangi keragaman kandidat presiden dan mempersempit ruang politik. Selain itu, Gaffar (2019) juga menemukan bahwa presidential threshold berperan penting dalam menjaga stabilitas politik dengan membatasi munculnya terlalu banyak calon presiden yang bisa menyebabkan fragmentasi politik.

Urgensi dari penelitian ini adalah untuk memahami dampak presidential threshold terhadap sistem pemerintahan presidensial di Indonesia serta mencari titik keseimbangan antara memperkuat sistem pemerintahan yang stabil dengan tetap memberikan kesempatan kepada partai-partai kecil untuk ikut berkompetisi dalam pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh Hazan dan Rahat (2010), salah satu tantangan besar dalam sistem demokrasi adalah bagaimana memastikan bahwa pemilu mencerminkan aspirasi publik secara luas tanpa mengorbankan stabilitas politik.

Kebaruan penelitian ini terletak pada analisis perbandingan antara penerapan presidential threshold di Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki konsep serupa namun dengan implementasi yang berbeda, seperti Brazil dan Ekuador. Penelitian ini mencoba menawarkan perspektif baru tentang bagaimana ambang batas pencalonan ini bisa diatur ulang untuk menciptakan keseimbangan antara stabilitas politik dan inklusivitas demokratis (Norris, 1997; Shugart & Carey, 1992).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan presidential threshold di Indonesia dalam konteks memperkuat sistem pemerintahan presidensial, serta mengeksplorasi alternatif regulasi yang lebih inklusif namun tetap mempertahankan stabilitas politik. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dari penerapan ambang batas ini terhadap dinamika politik di Indonesia dan bagaimana aturan tersebut bisa diperbaiki (Harijanti & Lindsey, 2018; Gaffar, 2019).

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi pembuat kebijakan di Indonesia dalam merumuskan aturan-aturan yang lebih demokratis dan inklusif, namun tetap menjaga stabilitas pemerintahan. Secara teoritis, penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi referensi penting bagi studi tentang sistem pemerintahan presidensial dan pemilu di negara-negara demokrasi baru (Hazan & Rahat, 2010).

Implikasi dari penelitian ini mencakup rekomendasi untuk perubahan regulasi presidential threshold di Indonesia agar lebih inklusif tanpa mengorbankan stabilitas politik. Selain itu, penelitian ini juga berimplikasi pada penguatan literasi politik di masyarakat, dengan menekankan pentingnya memahami dampak dari regulasi pemilu terhadap proses demokrasi dan legitimasi pemerintahan (Indrayana, 2007; Gaffar, 2019).

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang dikenal juga sebagai doctrinal research. Metode normatif menitikberatkan pada kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta interpretasi yuridis yang digunakan untuk memahami aturan hukum secara teoritis dan praktis. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan statute approach sebagai metode utama, yakni memfokuskan kajian pada peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pemilihan umum, khususnya presidential threshold dalam konteks pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji berbagai undang-undang yang terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional tertinggi (Harijanti & Lindsey, 2018). Selain itu, penelitian ini juga memeriksa beberapa undang-undang yang mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Analisis terhadap evolusi regulasi ini memberikan wawasan mengenai perkembangan aturan presidential threshold di Indonesia serta implikasinya terhadap dinamika politik nasional (Indrayana, 2007; Gaffar, 2019).

Selain mengkaji undang-undang, penelitian ini juga mempertimbangkan yurisprudensi, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021. Putusan ini sangat relevan dalam penelitian karena menjadi salah satu landasan hukum terkini dalam pembahasan presidential threshold. Mahkamah Konstitusi memegang peran penting dalam memastikan bahwa ketentuan dalam undang-undang mengenai ambang batas pencalonan presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 6A ayat (2) yang mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (MK RI, 2021).

Untuk memperoleh perspektif yang lebih luas dan komprehensif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan atau comparative approach (Zweigert & K�tz, 1998). Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan penerapan presidential threshold di Indonesia dengan beberapa negara lain, seperti Brazil, Ekuador, dan Argentina, yang juga menerapkan konsep ambang batas dalam pemilu presidennya. Di Brazil, misalnya, presidential threshold dimaknai sebagai ambang batas keterpilihan presiden, yakni calon harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk menang, berbeda dengan Indonesia di mana ambang batas ini diterapkan pada tahap pencalonan (Shugart & Carey, 1992; Norris, 1997).

Dengan menggunakan comparative approach, penelitian ini menganalisis bagaimana perbedaan penerapan ambang batas di negara-negara tersebut berdampak pada sistem politik dan dinamika demokrasi mereka. Hal ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari penerapan presidential threshold di Indonesia, serta memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam konteks demokrasi di Indonesia.

Metode ini juga melibatkan analisis dokumen, baik dalam bentuk undang-undang, putusan pengadilan, maupun literatur akademis yang relevan. Melalui metode normatif dan pendekatan perbandingan ini, penelitian diharapkan dapat menghasilkan kajian yang mendalam dan komprehensif tentang penerapan presidential threshold di Indonesia, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum dan demokrasi di negara ini (Suryadi, 2019; Siregar, 2020).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan Presidential threshold di Indonesia atau yang dikenal dengan ambang batas pencalonan presiden atau wakil presiden oleh partai politik yang memiliki kursi di DPR RI banyak menimbulkan pro dan kontrak. Hal ini terjadi karena berlakunya ketentuan mengenai presidential threshold hanya dapat dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di parlemen sedangkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di parlemen hanya sekedar menjadi peserta pemilu yang keberadaannya seperti tidak memiliki makna dalam perpolitikan nasional. Meskipun dalam undang-undang dasar negara republik Indonesia 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai jumlah kursi DPR 20% dan suara DPR 25% sebagai syarat untuk partai politik mengusung calon presidan dan wakil presiden tesebut.

Di satu sisi konsep presidential threshold dibuat untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien dalam negara kesatuan seperti Indonesia ini. Karena dengan pemberlakuan presidential thresholad akan menciptakan stabilitas pemerintahan dengan lahirnya koalisi dan oposisi. Konsep awalnya dengan pemberlakuan presidential threshold diharapkan akan memberikan keseimbangan dalam perjalanan pemerintahan dalam satu periode. Dimana dalam menjalankan pemerintahannya seorang presiden akan diawasi dan dikritik secara konstitusional oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden di parlemen ataupun oleh masyarakat yang tidak mendukungnya. Sebaliknya pemerintahan akan di berikan masukan yang konstruktif oleh koalisi baik di parlemen ataupun oleh Masyarakat yang mendukungnya. Dampak lain dengan pemberlakuan presidential threshold secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas calon Presiden dan wakil Presiden. Karena kandidat yang akan dipilih oleh koalisi partai politik adalah kandidat yang benar-benar memiliki kualitas baik secara electoral ataupun kualitas personal. Sehingga akan mengurangi fregmentasi politik dengan menyaring para kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden terlalu banyak yang dapat mempersulit proses pemilihan.

Disi lain dengan pemberlakuan presidential threshold dengan angka 20% justru akan berimplikasi terhadap minimnya calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjadi pilihan bagi Masyarakat Indonesia. Karena dengan pemberlakuan porsentase yang masih tinggi terhadap presidential threshold justru pasangan calon Presiden dan wakil Presiden hanya akan terjadi 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Realitas ini akan memaksa pemilih untuk dihadapkan pada pilihan dua pasang calon yang akan berakibat terjadinya polarisasi dan keterbelahan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Sehingga perlu kiranya dipertimbangkan penerapan porsentase 20% dalam presidential threshold ini. Selain itu dengan jumlah porsentase sampai 20% untuk dapat mencalonkan pasangan Presiden dan wakil Presiden juga akan berdampak terhadap menguatnya politik dinasti sekaligus politik identitas di Tengah-tengah Masyarakat. Dengan mekanisma one man one vote dalam pemilihan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden secara tidak langsung akan menguntungkan etnis yang paling banyak kuantitasnya di Indonesia sekaligus akan menyulitkan calon presiden dan Wakil Presiden terpilih dari jalur independen. Dengan pemberlakuan presidential threshold yang masih tinggi kandidat calon Presiden dan wakil presiden akan dipaksa untuk berkoalisi dengan beberapa partai politik dan ini akan berdampak pada alerginya pemilih untuk berpartisipasi secara politik dalam pemilihan Presiden.

Pada esensinya, penerapan presidential threshold sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 6A ayat (3) yang menyatakan bahwa �pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara dari setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, untuk dapat dilantik menjadi Presiden dan wakil Presiden�

Secara konstitusional pengaturan mengenai keberadaan presidential threshold dibuat sebagai syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden, bukan sebagai syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Pelaksaan presidential threshold di dalam sistem presidensial bukan baru digunakan di Indonesia saja, akan tetapi di negara-negara yang mengantut sistem presidensial pun memberlakukan presidential threshold juga diberlakukan bukan sebagai syarat untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. tetapi syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Pemilihan Presiden Brasil hamper sama dengan negara Turki yang tidak mengenal presidential threshold sebagai syarat untuk mencalonkan Presiden dan wakil presiden. Justru presidential threshold yang terjadi di Brazil ataupun Turki adalah syarat untuk menjadi Presiden yang harus mendapatkan dukungan dari rakyat dengan porsentase 50% plus 1. Apabila pasangan calon tidak ada yang sampai pada persentase 50% plus satu maka dilakukan pemilihan tahap kedua yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon yang meraih suara terbanyak untuk kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil Presiden sebagai peraih suara terbanyak. Dengan system presidential threshold semacam ini, Brazil memastikan bahwa Presiden yang terpilih mendapat dukungan lebih luas Masyarakat. Partai politik di Brazil juga diberikan kewenangan secara penuh untuk mengatur dirinya sendiri, dan diberikan kebebasan untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden di pemerintahan, baik dari tingkat nasional sampai daerah sebagaimana diatur dalam Konstitusi Brazil Bab V Pasal 17 tentang partai politik.

Demikian halnya dengan negara Ekuador yang melakukan pemilihan presiden secara langsung dan tidak mengatur terkait syarat untuk mencalonkan sebagai presiden. Ekuador sendiri memaknai presidential threshold sebagai syarat untuk menjadi Presiden dimana perolehan suara rakyat yang harus dimiliki oleh calon presiden 50% plus 1 atau juga bisa 45% selama memiliki perbedaan sekitar 10% dari saingan terkuat. Jika pasangan tidak ada yang mendapat perolehan suara 50% atau 45% dengan selisih 10% dari saingat terkuat maka akan dilakukan pemlihan putaran kedua, Dimana dalam putaran kedua ini akan ditetapkan sebagai pemenang presiden bagi pasangan yang memperoleh suara terbanyak.

Presidential Threshold dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia

Pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dipandang sebagai kelebihan dari sistem Presidensial dibandingkan dengan system parlementer. Namun dipihak lain akan membuka peluang terbentuknya pemerintahan yang terbelah (divided government) antara presiden dengan parlemen yang dikontrol oleh partai yang berbeda. Politik hukum pemberlakuan presidential threshold di Indonesia dimaknai sebagai perolehan suara dalam pemilu legislatif. Padahal jika dilihat dari aspek system pemerintahan presidensial, tidak ada korelasinya antara pemilihan presiden dengan perolehan suara dui parlemen yang menjadi basis cukup atau tidaknya partai politik yang ada di parlemen untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Lembaga eksekutif dan parlemen dalam sistem pesidensial merupakan dua institusi berbeda yang memiliki basis legistimasi yang berbeda pula. Sehingga tidaklah cukup relevan jika perolehan suara partai politik di parlemen dijadikan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam sistem pemrintahan Presidensial seperti Indonesia, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Hal ini menunjukan bahwa posisi eksekutif dan legislatif adalah posisi yang paralel sebagai lembaga negara. Karena posisi yang paralel semacam itu, maka untuk menjadi Presiden tidak harus bergantung kepada perolehan suara di parlemen. Tentunya hal ini berbeda dengan sistem parlementer dimana utuk membentuk pemerintahan memerlukan dukungan mayoritas dari parlemen.

Apalagi dalam pemilu Indonesia tahun 2019 dan tahun 2024 ini pelaksnaan Pemilu dilakukan serentak antara pemilihan Presiden dengan DPR RI, maka tidaklah menjadi relevan jika presidential threshold masih dimaknai sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden bukan syarat terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden. Karena konsep pemilu serentak sebenarnya dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial. Harapannya dengan pemilu serentak di tahun 2019 dan 2024 ini partai politik sebagai pengusung pasangan Presiden dan wakil Presiden akan solid dan memperoleh cottail effect dari pasangan calon Presiden yang didukung. Sehingga juga bisa berlanjut kepada koalisi di Parlemen. Bukan malah sebaliknya yang terjadi. Partai politik yang mendukung pasangan calon Presiden tertentu yang kalah masuk menjadi koalisi kepada pemerintahan Presiden yang menang. Dukungan yang solid pada pemilu akan memberikan nilai plus dalam membangun sistem pemerintahan yang efektif dan stabil.

Berdasarkan analisis diatas, maka diperlukan merekonstruksi politik hukum pemberlakuan Presidential Threshold di Indonesia yang masih diposisikan sebagai syarat pencalonan Presiden dan wakil Presiden berdasarkan jumlah porsentase perolehan suara partai politik di parlemen yang seharusnya sudah dimaknai sebagai syarat terpilihnya calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sebagaimana sudah diatur dalam konstitusi.

Terlepas dari problematika presidential threshold pada Pemilu serentak tahun 2024 ini, yang pasti keberadaan presidential threshold menjadi salah satu instrument untuk mengontrol keberadaan partai politik di Indonesia. Tak jarang juga menjadi sarana untuk mempertahankan kekuasaan dengan menyandera ketum partai politik yang ada. Memang benar keberadaan partai politik merupakan syarat dari negara yang demokratis bahkan termasuk pilar dari demokrasi modern. Namun dengan pemilu serentak dengan pemberlakuan presidential threshold justru partai politik tidak lagi memperjuangkan ideologi dan visi misi tetapi lebih kepada kalkulasi kekuasaan dengan mempertimbangkan posisi sebagai koalisi pemerintahan.

 

KESIMPULAN

Penerapan presidential threshold dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia yang didasarkan pada perolehan suara partai politik di parlemen sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak relevan lagi, terutama dalam konteks pemilu serentak. Dalam sistem presidensial yang ideal, seperti yang diterapkan di negara-negara lain, presidential threshold lebih dimaknai sebagai syarat keterpilihan Presiden, bukan pencalonan. Oleh karena itu, rekonstruksi politik hukum terhadap presidential threshold diperlukan agar sejalan dengan konstitusi dan memperkuat sistem presidensial. Pemerintah dan pembuat undang-undang harus mempertimbangkan pengaturan ulang presidential threshold untuk mencerminkan prinsip-prinsip sistem presidensial yang lebih efektif, dengan mengedepankan syarat keterpilihan daripada syarat pencalonan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia.

Fatmawati, E. (2015). Pemilu dan demokrasi: Perspektif politik Indonesia. Pustaka Pelajar.

Gaffar, A. (2019). Politik Indonesia: Transisi menuju demokrasi. Gadjah Mada University Press.

Harijanti, S. D., & Lindsey, T. (2018). Indonesian constitutional reform 1999-2002: An evaluation of constitution-making in transition. Cambridge University Press.

Hazan, R. Y., & Rahat, G. (2010). Democracy within parties: Candidate selection methods and their political consequences. Oxford University Press.

Indrayana, D. (2007). Indonesian constitutional reform 1999-2002 and beyond. Kompas Gramedia.

MK RI. (2021). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021.

Norris, P. (1997). Choosing electoral systems: Proportional, majoritarian, and mixed systems. International Political Science Review, 18(3), 297-312.

Prasetyo, A. (2020). Stabilitas politik dan demokrasi: Studi pada pemilihan presiden Indonesia. Jurnal Ilmu Politik, 10(2), 123-136.

Rahman, M. T. (2021). Dinamika pemilu dan ambang batas presiden di Indonesia. Penerbit Erlangga.

Shugart, M. S., & Carey, J. M. (1992). Presidents and assemblies: Constitutional design and electoral dynamics. Cambridge University Press.

Siregar, E. (2020). Kajian perbandingan sistem pemilu presiden di Amerika Latin dan Indonesia. Jurnal Hukum Tata Negara, 15(1), 45-60.

Suryadi, D. (2019). Hukum pemilu di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 12(2), 67-81.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A (5).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Wibowo, B. (2020). Perdebatan hukum tentang presidential threshold di Indonesia. Jurnal Hukum Konstitusi, 12(3), 98-115.

Zweigert, K., & K�tz, H. (1998). An introduction to comparative law. Oxford University Press.

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).