tidak mendikotomikan ilmu agama dan pengetahuan lainnya karena hakikatnya semua ilmu
bersumber dari Allah.
Perspektif religius juga menyoroti masalah hukuman (punishment) dalam pendidikan.
Persepsi pendidikan Barat memandang suatu hukuman dirasa kurang efektif, karena kurang
berprikemanusiaan. Di sisi lain, Islam menilai suatu hukuman secara edukatif didalamnya tidak
mengandung unsur kezaliman (Posangi, 2019). Hukuman ini dilakukan hanya pada kondisi tertentu
dengan pertimbangan jika tidak dilaksanakan dapat berakibat rusaknya akhlak kepribadian dan
semakin meluas mempengaruhi peradaban manusia. Hal ini Nampak pada tahapan pendidikan sholat
sebagaimana tertuang dalam Hadits riwayat Abu Dawud yang artinya perintahkan anak-anakmu untuk
menjalankan shalat bila sudah berusia tujuh tahun. Pukullah (secara edukatif bukan untuk menyakiti)
bila mereka belum mengerjakan shalat padahal usia mereka sudah sepuluh tahun, dan kucilkan
mereka ditempat tidur masing-masing. Hadits tersebut mengandung unsur pendekatan humanistik
dikarenakan pendidikan sholat tersebut sudah sesuai dengan tahap perkembangan anak berupa
kemampuann menerima dan memproses suatu perintah (Ramli, 2015).
Hadits lain yang artinya, “Ali RA telah berkata: “Berbicaralah kepada suatu kaum sesuai
dengan kemampuan mereka. Adakah kalian suka jika seseorang akan berbuat dusta kepada Allah dan
Rasul-Nya (dikarenakan kurangnya pemahaman dari mereka?)” (Handayana, 2017). Hadits tersebut
memiliki sisi humanis terkait berbicara sesuai kapasitas kemampuan berfikirnya dan mengedepankan
toleransi terhadap potensi yang dimiliki lawan bicaranya. Contoh implementasinya adalah pendidik
berupaya menghindari pemakaian istilah-istilah yang dirasa sulit dipahami oleh peserta didik sekolah
dasar. Tahap perkembangan otak peserta didik sekolah dasar tidak bisa disamakan dengan
kemampuan peserta didik yang berada di jenjang sekolah menengah atas. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan bahwa seorang pendidik yang berpengalaman akan senantiasa memperhatikan kondisi
murid, tahapan perkembangan, pertumbuhan dan perbedaan personal serta membebaskan peserta
didik mempelajari sesuatu sesuai kapabilitasnya (Agus, 2019).
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 256 yang artinya “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam)” (Muzaki, 2019). Dan juga “Maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi: 29). Ayat-
ayat tersebut menunjukkan kehumasan berupa pemberian kebebasan tanpa ada paksaan sama sekali,
sesuai keinginan dan kebutuhannya. Pendidik tidak diperkenankan memaksakan kehendak, berperan
sebagai fasilitator yang membantu dan mengarahkan peserta didik agar dapat mengaktualisasikan
sesuai dengan potensi diri, keinginan, dan kemampuannya (Dewi, 2018). Hal ini ditegaskan pula oleh
(Ismail, 2010) dalam bukunya bahwa pembelajaran adalah proses interaksi dua arah yang bertujuan
agar pembelajaran berfokus pada kebutuhan dan kemampuan belajar yang dimiliki oleh peserta didik.
Ayat-ayat al-Quran lainnya yang juga identik dengan humanistik yaitu dalam QS. Al-
Baqarah: 286 artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Selanjutnya dalam surat al-Mu’minun ayat 62 artinya, “Kami tiada membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya, dan pada sisi kami ada kitab yang berbicara benar, dan mereka telah
dianiaya”. Ayat al-Qur’an tersebut memaparkan bahwa seseorang yang tidak akan dibebani melebihi
batas ambang kemampuannya sendiri. Berdasarkan kedua ayat tersebut sangat detail sekali membahas
kehumanistikan. Allah Maha Mengetahui atas kemampuan masing-masing hamba-Nya dan selalu
mengedepankan dan memberikan keleluasaan sesuai kapabilitas setiap individunya, serta tidak ada
pemaksaan kehendak di dalamnya.