Perlindungan Hukum Pasien Fixed Orthodontic oleh
Dokter Gigi Umum Menurut UU No 17 Tahun 2023
Legal Protection of Fixed
Orthodontic Patients by General Dentists According to Law No. 17 of 2023
Chechilia Desi Plasenta
Program Pascasarjana
Universitas Islam Bandung Bandung, Indonesia
Email: [email protected]
Correspondence: Chechilia Desi Plasenta
DOI: 10.59141/comserva.v4i5.1891 |
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis kewenangan dokter gigi umum dalam memberikan perawatan
kesehatan gigi dalam konteks Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan. Selain itu, penelitian ini juga mengevaluasi perlindungan hukum
yang tersedia bagi pasien yang menjalani perawatan ortodontik tetap oleh
dokter gigi umum sesuai dengan undang-undang yang sama. Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengandalkan studi pustaka dan
analisis kualitatif terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun dokter gigi umum dapat melakukan
perawatan tertentu, perawatan ortodontik tetap berada di luar kewenangan
hukum mereka, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Selain itu, kurangnya
persetujuan pasien yang tepat dan kegagalan dalam memberikan rujukan yang
sesuai kepada spesialis ortodontik merupakan pelanggaran hukum yang dapat
merugikan pasien. Penelitian ini menekankan perlunya regulasi yang lebih
jelas dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk melindungi pasien dan
memastikan bahwa penyedia layanan kesehatan bekerja sesuai dengan batas
kewenangan mereka. Kata
kunci: Kewenangan Dokter Gigi
Umum, Perlindungan Hukum, Perawatan Ortodontik
Tetap |
|
ABSTRACT This research aims to analyze the authority of
general dentists in providing dental care under the context of Law No. 17 of
2023 concerning Health. It also evaluates the legal protection available to
patients undergoing fixed orthodontic treatment by general dentists in
relation to the same law. The research uses a normative juridical approach,
relying on literature review and qualitative analysis to assess both primary
and secondary legal materials. The results reveal that while general dentists
can perform certain dental treatments, fixed orthodontic care is beyond their
legal authority, as specified in the law. Additionally, the lack of proper
patient consent and the failure to provide appropriate referrals to
orthodontic specialists constitute legal violations that can harm patients.
The study highlights the need for clearer regulations and stricter
enforcement to protect patients and ensure that healthcare providers operate
within their legal scope of practice. Keywords: General Dentist Authority, Legal Protection, Fixed Orthodontic Treatment |
PENDAHULUAN
Fakta Global Permasalahan Kesehatan merupakan
bagian esensial dari kehidupan individu. Sebagai kebutuhan pokok manusia selain
sandang dan pangan, kesehatan memungkinkan seseorang menjalani aktivitas harian
dan memiliki kualitas hidup yang baik. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat
(1) menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, bertempat tinggal di
lingkungan yang sehat, dan memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan secara
komprehensif mencakup aspek fisik, mental, dan sosial, bukan hanya ketiadaan
penyakit (Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Pentingnya
kesehatan terlihat dari berbagai regulasi yang mengatur hak dan kewajiban
terkait pelayanan kesehatan di Indonesia.
Fakta Spesifik Permasalahan Salah satu bidang
kesehatan yang sering diabaikan adalah kesehatan gigi dan mulut. Meskipun sama
pentingnya dengan kesehatan lainnya, banyak masyarakat yang memandangnya bukan
sebagai prioritas. Di bidang kedokteran gigi, perawatan orthodonti, khususnya
pemasangan kawat gigi, menjadi tren yang terus meningkat. Maloklusi, yakni
ketidaksesuaian posisi gigi dan rahang, adalah salah satu kondisi yang
membutuhkan perawatan orthodonti (Damanik, 2023). Terdapat dua jenis perawatan
orthodonti, yakni kawat gigi lepasan dan kawat gigi cekat. Sayangnya,
masyarakat masih sering salah memilih penyedia layanan kesehatan untuk
perawatan orthodonti, seperti mempercayakan perawatan fixed orthodontic kepada
dokter gigi umum yang sebenarnya tidak berwenang (Sarifatamin, 2023).
Penelitian Relevan Beberapa penelitian sebelumnya
mendukung pentingnya batasan kewenangan antara dokter gigi umum dan spesialis
orthodonti. Jurnal ilmiah yang ditulis oleh Lilia Sarifatamin Damanik dkk
mengkaji kewenangan dokter gigi dalam tindakan medis sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Penelitian oleh Wayan Ardhana (2021)
membahas tentang perbedaan perawatan orthodontik antara dokter gigi umum dan
spesialis. Sementara itu, M. Nurdin dalam jurnalnya mengeksplorasi perlindungan
hukum bagi pasien korban malpraktek kedokteran (Nurdin, 2020).
Penelitian-penelitian ini menekankan pentingnya regulasi dan pemahaman tentang
kewenangan dalam praktik kedokteran (Damanik, 2023; Ardhana, 2021).
Urgensi Penelitian Urgensi penelitian ini sangat
relevan karena masih banyak masyarakat yang tidak menyadari risiko dari
tindakan perawatan kesehatan yang tidak dilakukan oleh tenaga profesional yang
berwenang (Damanik, 2023). Kurangnya pemahaman tentang batasan kewenangan
antara dokter gigi umum dan spesialis orthodonti dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan pasien, termasuk komplikasi serius seperti kerusakan
gigi dan disfungsi sendi rahang (Ardhana, 2021). Selain itu, kurangnya
kesadaran hukum di kalangan masyarakat dan tenaga medis memperparah situasi,
sehingga perlunya peningkatan pemahaman hukum dalam transaksi terapeutik
(Nurdin, 2020).
Novelty Penelitian ini memiliki kebaruan dengan
menyoroti aspek kewenangan dokter gigi umum dalam memberikan perawatan fixed
orthodontic dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya perlindungan
hukum bagi pasien yang dirugikan oleh tindakan malpraktik dalam perawatan
orthodonti (Nurdin, 2020). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan hukum kesehatan, terutama dalam konteks pelayanan
kesehatan gigi dan perlindungan hukum pasien.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kewenangan dokter gigi umum dalam memberikan pelayanan kesehatan
gigi serta perlindungan hukum bagi pasien yang melakukan perawatan fixed
orthodontic dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 (Damanik,
2023). Penelitian ini juga bertujuan untuk memperjelas batasan praktik dokter
gigi umum dan spesialis orthodonti dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan
yang optimal (Ardhana, 2021).
Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dari
penelitian ini adalah memberikan referensi bagi pengembangan ilmu hukum
kesehatan, terutama dalam konteks perlindungan hukum pasien dan praktik
pelayanan kesehatan gigi (Damanik, 2023). Secara praktis, penelitian ini
diharapkan memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait dalam merumuskan
regulasi yang lebih jelas mengenai praktik kedokteran gigi, meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab tenaga medis, serta memberi acuan bagi
pengembangan kebijakan yang lebih baik (Nurdin, 2020).
Implikasi Penelitian Penelitian ini memiliki
implikasi penting bagi praktik kedokteran gigi dan regulasi kesehatan di
Indonesia. Dengan adanya batasan yang jelas tentang kewenangan dokter gigi umum
dan spesialis orthodonti, diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan
kesehatan dan mengurangi risiko malpraktik (Ardhana, 2021). Selain itu,
penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya pemahaman hukum dalam praktik
kesehatan, baik di kalangan tenaga medis maupun masyarakat, untuk menciptakan
sistem kesehatan yang lebih adil dan bertanggung jawab (Damanik, 2023; Nurdin,
2020).
METODE
PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dengan menganalisisnya.
Metode penelitian bukan sekadar mengamati objek secara teliti, melainkan juga
menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan. Dalam penulisan tesis ini,
penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif karena menkaji
data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang relevan. Sifat penelitian ini
deskriptif analitis, menggambarkan perlindungan hukum pasien fixed orthodontic oleh dokter
gigi umum sesuai UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Data yang digunakan
adalah data sekunder, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang
terdiri dari undang-undang, teori hukum, serta karya ilmiah. Teknik pengumpulan
data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, dengan studi pustaka, buku,
artikel, dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Analisis data
menggunakan metode kualitatif normatif untuk memahami objek secara mendalam,
menganalisis bahan-bahan hukum, mendeskripsikan masalah, dan memberikan
evaluasi sehingga menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan persoalan
penelitian.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Praktik Dokter
Gigi Umum Yang Melakukan Perawatan Fixed Orthodontic
A. Posisi
Kasus Dokter Gigi Umum yang Melakukan Perawatan Fixed Orthodontic
Kasus pemasangan fixed
orthodontic oleh dokter gigi umum terjadi di Kota Padang. Seorang pasien
wanita mengaku melakukan pemasangan fixed orthodontic dengan dokter gigi
berinisial HY disalah satu klinik. Pada juni tahun 2008, pasien
melakukan pemasangan fixed orthodontic di klinik gigi. Pasien mengaku
ingin bagian depan giginya dimundurkan ke belakang agar terlihat rapi. Untuk
itu dilakukan pemasangan fixed orthodontic, karena berdasarkan informasi
di klinik tersebut dapat dilakukan pemasangan fixed orthodontic oleh
Dokter HY sebagai dokter yang bertugas di klinik tersebut.
Pasien kemudian membayar
sejumlah uang dengan maksud membayar jasa pemasangan fixed orthodontic biaya
sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah); Menurut keterangan Dokter HY, Dokter HY mengaku
bahwa setiap praktik yang telah dilakukan olehnya,
hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan sudah nampak perubahan perbaikan terhadap gigi
dari pasien-pasien yang sudah melakukan pemasangan fixed orthodonti, �sehingga pasien
menjadi tambah yakin untuk merawat gigi dengan Dokter HY.
Pada tahun
2010, setelah 2 (dua) tahun memasang fixed orthodontic (sekira tahun 2010), pasien merasa tidak ada perbaikan atas kondisi
giginya, bahkan sebaliknya, gigi bagian depan pasien menjadi tambah maju ke
depan dari biasanya sebelum dipasang fixed orthodontic dan gigi geraham pasien malah menjadi terbenam setelah di pasang fixed orthodontic dan untuk itu satu gigi
geraham kecil pertama bagian kiri pasien harus dicopot/dicabut, namun tidak ada
juga perbaikan; Pada tahun 2011, pasien mengaku masih melakukan kontrol
terakhir dengan Dokter HY dengan jumlah kontrol sebanyak 14 kali dengan biaya
kontrol per kunjungan sebesar Rp.120.000, biaya tambahan jika ada kawat yang
lepas sebesar Rp.20.000 dan biaya ganti kawat sebesar Rp.300.000.
Pasien menyadari
kondisi yang dialaminya tidak normal, maka pasien mendatangi dan melakukan
konsultasi dengan dokter gigi spesialis ortodontis dan dari hasil pemeriksaan
dokter gigi spesialis ortodontis, maka telah terjadi uncoreg pada gigi
pasien dan malpraktik, karena dokter gigi umum tidak dibenarkan
melakukan kerja-kerja ortodontis, sebagaimana yang dilakukan oleh Dokter HY
dengan membuka praktik gigi dan melakukan pemasangan fixed orthodontic pada gigi pasien; Bahwa akibat
kesalahan dalam penanganan gigi oleh Dokter HY tersebut, maka pasien sudah
berupaya menempuh jalur kekeluargaan dalam penyelesaian dan minta
pertanggungjawabannya, akan tidak ada perkembangan atau respon dari Dokter HY
sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita pasien akibat
kelalaian dan kesalahan (malpraktik) yang dilakukan oleh dokter HY.
Pasien mengalami kerugian
materil sebesar Rp. 82.530.000 atas biaya yang selama ini sudah pasien
keluargan untuk melakukan perawatan fixed orthodontic dengan Dokter HY,
serta kerugian immaterial karena terbuangnya waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengurus masalah ini yang bila dinilai dengan uang setara dengan Rp.100.000.000
(seratus juta rupiah); yang mana jika dijumlahkan total keruguan mencapai
Rp.182.530.000. Atas tindakan Dokter HY, pasien melaporkan Dokter
HY ke Pengadilan Negeri kota Padang dan pasien menuntut Dokter HY mengganti
kerugian.
B. Kasus Dokter Gigi Umum yang Melakukan
Perawatan Fixed Orthodontic yang Diselesaikan Melalui Pengadilan
1. Pertimbangan
dan Vonis Hakim Kasus Dokter Gigi Umum yang Melakukan Perawatan Fixed
Orthodontic di Pengadilan Negeri Padang
Berdasarkan fakta-fakta
hukum yang terungkap dalam persidangan, hakim memberikan beberapa pertimbangan
terkait perbuatan Dokter HY. Pertama, hakim menilai bahwa Dokter HY telah
melakukan perawatan fixed orthodontic di luar kewenangannya sebagai dokter gigi
umum, yang seharusnya hanya dilakukan oleh dokter gigi spesialis ortodonti.
Tindakan ini menyebabkan kerugian pada pasien, baik dari segi fisik maupun
psikologis. Selain itu, Dokter HY tidak memberikan informasi yang cukup dan
benar kepada pasien, yang dianggap tidak memahami risiko yang ada. Dokter HY
juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami pasien, serta tidak
menyimpan rekam medis yang menjadi kewajiban dan standar operasional prosedur
(SOP) dalam praktik medis, yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Atas kerugian yang diderita
oleh pasien, hakim memutuskan bahwa tindakan tersebut memenuhi kualifikasi
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai dengan Pasal 1365
KUHPerdata, karena menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil.
Pengadilan Negeri Padang dalam Putusan Nomor 130/Pdt.G/PN.Pdg, tanggal 12 Juni
2014, memutuskan untuk mengabulkan gugatan sebagian. Hakim menyatakan bahwa
penggugat telah memenuhi haknya sebagai pengguna layanan kesehatan sesuai
dengan SOP yang berlaku. Selain itu, hakim memutuskan untuk menghukum tergugat
membayar biaya perkara sebesar Rp426.000,00.
2. Pertimbangan
dan Vonis Hakim Kasus Dokter Gigi Umum yang Melakukan Perawatan Fixed
Orthodontic di Pengadilan Tinggi
Dalam tingkat banding,
Pengadilan Tinggi Padang melalui Putusan Nomor 171/PDT/2014/PT.PDG, tanggal 8
Januari 2015, menerima permohonan banding dari tergugat. Pengadilan Tinggi
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah memutuskan pada tingkat
pertama. Dengan demikian, hakim tingkat banding menegaskan kembali bahwa Dokter
HY bersalah dalam memberikan perawatan fixed orthodontic yang bukan merupakan
kewenangannya. Selain itu, hakim menghukum tergugat untuk membayar biaya
perkara di kedua tingkat peradilan sebesar Rp150.000,00.
3. Pertimbangan
dan Vonis Hakim Kasus Dokter Gigi Umum yang Melakukan Perawatan Fixed
Orthodontic di Mahkamah Agung
Ketika perkara ini diajukan
ke Mahkamah Agung melalui peninjauan kembali, Mahkamah Agung memutuskan untuk
menolak permohonan tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada kesalahan
atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan hukum dari putusan-putusan
sebelumnya, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Setelah membaca
dan meneliti memori dan kontra memori peninjauan kembali, Mahkamah Agung
menilai bahwa permohonan tidak beralasan untuk diterima. Oleh karena itu,
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali dan menghukum pemohon
untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2.500.000,00 dalam semua tingkat
peradilan.
4. Kasus
Dokter Gigi Umum yang Melakukan Perawatan Fixed Orthodontic yang Diselesaikan
Melalui Mediasi
Dalam kasus lain, seorang
pasien yang merasa tidak puas atas perawatan fixed orthodontic yang dilakukan
oleh dokter gigi umum akhirnya memilih penyelesaian melalui jalur mediasi.
Setelah dua tahun menjalani perawatan, pasien mengaku tidak ada perubahan yang
signifikan pada posisi giginya, dan bahkan mengalami gangguan fungsi mengunyah.
Dokter yang merawatnya tidak memberikan edukasi tentang kewenangan spesialis
ortodonti untuk perawatan tersebut, yang menyebabkan pasien merasa dirugikan.
Pasien kemudian mengajukan
keluhan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEGK). Setelah melalui
proses mediasi yang difasilitasi oleh organisasi profesi, pihak-pihak yang
bersengketa mencapai kesepakatan damai. Dokter yang bersangkutan bersedia memberikan
ganti rugi medis dan meminta maaf atas kerugian yang dialami pasien.
5. Pertimbangan
Organisasi Profesi
MKEKG pada PB PDGI mendapat
instruksi dari ketua untuk segera merespons kasus pengaduan ini. Ketua MKEKG
memanggil timnya untuk menyidangkan kasus tersebut dan menetapkan
langkah-langkah penyelesaian sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tim MKEKG
melakukan klarifikasi terhadap pengadu dan teradu, dan setelah itu, mereka
menentukan derajat kesalahan dari teradu. Kedua belah pihak kemudian
dipertemukan, dan setelah konfrontasi awal, akhirnya mereka sepakat untuk
menyelesaikan masalah melalui musyawarah keluarga. Dalam musyawarah tersebut,
baik pengadu maupun teradu saling meminta maaf dan menyadari bahwa kesalahan
bisa terjadi pada setiap manusia.
6. Sanksi
Organisasi profesi kemudian
memberikan sanksi peringatan lisan kepada dokter gigi yang bersangkutan selama
enam bulan. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ada perbaikan, maka sanksi
akan ditingkatkan menjadi peringatan tertulis, dan jika peringatan tertulis
sebanyak tiga kali tidak ditindaklanjuti, akan ada rekomendasi untuk pencabutan
izin praktik (SIP) dokter tersebut.
C. Analisis Perlindungan Hukum Pasien Yang
Melakukan Perawatan Fixed Orthodontic Oleh Dokter Gigi Umum Dihubungkan
Dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
1. Kewenangan
Dokter Gigi Umum Dalam Memberikan Pelayan Kesehatan Gigi Dihubungkan Dengan
Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pengertian wewenang menurut
H.D.Stoud adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum. Secara yuridis, wewenang
merupakan kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk
melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Dari penjelasan di atas
sangat jelas terlihat, wewenang merupakan kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat
hukum serta di dalam kewenangan terdapat hak dan kewajiban. Ketika seseorang
melimpahkan kewenangan, secara tidak langsung ia melimpahkan tanggung jawabnya
pula. Dengan demikian, kewenangan berjalan seiringan dengan tanggung jawab.
Oleh karena itu, siapapun yang dilimpahkan kewenangannya harus
mempertanggungjawabkan setiap tugas dan kewenangannya.
Menurut Supriadi yang
mengemukakan hukum kesehatan adalah kewenangan hukum yang dimiliki oleh seorang
tenaga kesehatan yaitu salah satunya dokter gigi umum dan dokter gigi spesialis
untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas dasar kewenangan inilah, seorang tenaga
kesehatan berhak melakukan praktik sesuai dengan bidangnya.[1] Kasus pemasangan fixed
orthodontic oleh dokter gigi umum yang diselesaikan pengadilan terjadi di
Kota Padang. Seorang pasien wanita mengaku melakukan pemasangan fixed
orthodontic dengan dokter gigi umum, pemasangan fixed orthodontic oleh
dokter gigi umum sebagai dokter yang bertugas di klinik tersebut. Berdasarkan
Pasal 274 dan 280 tentang kewenangan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
tentang Kesehatan, Pasal 274 menyatakan merujuk pasien ke tenaga medis atau
tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi yang sesuai, kemudian Pasal 280
menyatakan bahawa tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik harus
dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya.
Tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memiliki�lebih dari satu
jenjang Pendidikan memiliki kewenangan sesuai dengan lingkup dan tingkat
kompetensi dan kualifikasi tertinggi. Berdasarkan kasus, jika dilihat
berdasarkan kewenangan nya, kondisi gigi pasien pada kasus bukan kewenangan
seorang dokter umum, jika dilihat dari indikasi medis dan pertimbangan medis,
dokter gigi wajib merujuk pasien pada dokter gigi spesialis yang lebih
berkompeten. Berdasarkan Pasal 290 tentang pelimpahan wewenang pada Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa tenaga medis atau
tenaga kesehatan dapat
menerima dan melimpahan kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan. Tidak
hanya itu perilaku dokter gigi umum pada kasus yang telah dipaparkan tersebut
tidak sesuai dengan hak dan kewajiban dokter yang terdapat pada Pasal 274
tentang hak dan kewajiban dokter pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan dan� Pasal 291 tentang standar
profesi, pelayanan dan prosedur operasional pada Undang-Undang No. 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan. Perilaku profesional dalam standar profesi tercermin
dalam Standar Kompetensi Dokter Gigi Indonesia dimana dokter gigi harus
memperhatikan Profesionalisme mereka dalam melakukan praktik kedokteran gigi
sesuai dengan keahlian, tanggung jawab, kesejawatan, etika dan hukum yang
relevan.
Pada kasus selanjutnya,
ditemukan dokter gigi umum yang melakukan perawatan fixed orthodontic tidak pernah memberikan
informasi dan edukasi bahwa pemasangan fixed orthodontic �hanya dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi
spesialis ortodontik pada pasien nya. Tentunya perilaku dokter gigi umum
tersebut tidak sesuai dengan hak dan kewajiban pasien yang terdapat pada Pasal
267 tentang hak pasien pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
yang menyebutkan bahwa pasien memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan
dirinya serta mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai pelayanan kesehatan
yang diterimanya.
Kasus mengenai pemasangan fixed
orthodontic diatas yang dilakukan
oleh dokter gigi umum tidak sesuai dengan sikap profesional seperti yang
terdapat dalam Standar Kompetensi Dokter Gigi Indonesia. Dimana didalamnya
menyebutkan bahwa dalam menjalankan praktik kedokteran harus menerapkan etika
kedokteran gigi serta hukum yang berkaitan dengan praktik kedokteran gigi
secara profesional dan dalam melakukan pelayanan kesehatan gigi dan mulut harus
sesuai dengan kode etik. Selain standar profesi, yang merupakan bagian dari hak
dan kewajiban dokter gigi, dalam kasus ini dokter gigi umum tersebut tidak
memiliki rekam medis pasien, hal ini tentunya sangat bertentangan dengan Undang-Undang
No. 17 Tahun Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 777 dan 778 tentang rekam medis
yang menyatakan bahwa setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan�yang memberikan pelayanan kesehatan
perseorangan wajib
membuat rekam medis.
Seorang tenaga kesehatan
berhak mendapatkan gaji atau upah, imbalan jasa dan tunjangan kinerja yang
layak seperti yang tercantum dalam Pasal 273 Undang-Undang No. 17 Tahun Tahun
2023 tentang Kesehatan. Namun, disamping itu seorang tenaga medis dan tenaga
kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar profesi, standar
pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta sesuai
dengan kebutuhan pasien seperti yang tercantum dalam Pasal 274 Undang-Undang
No. 17 Tahun Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam kasus ini, apabila dilihat dari jenis-jenis
malpraktik menurut Muhamad Sadi Is dalam Buku Etika Hukum Kesehatan kasus perawatan fixed orthodontic oleh dokter gigi umum
tergolong ke dalam jenis malpraktik etik. Dengan adanya pelanggaran etik dan
penyalahgunaan wewenang dokter gigi, maka kasus ini dapat dilaporkan oleh
pasien kepada organisasi profesi, yaitu Pengurus Besar PDGI yang selanjutnya
akan ditindaklanjuti oleh PB PDGI kepada Majelis Kehorrmatan Etik Kedokteran
Gigi (MKEKG).
2. Perlindungan
Hukum Pasien yang Melakukan Perawatan Fixed Orthodontic oleh Dokter Gigi Umum Dihubungkan Dengan Undang-Undang
No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Menurut�Satijipto Raharjo,
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia
(HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Sedangkan�perlindungan hukum menurut Mochammad Isnaeni adalah teori perlindungan
hukum secara perdata, berdasarkan sumbernya perlindungan hukum dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu perlindungan hukum internal dan eksternal, perlindungan
hukum internal merupakan perlindungan hukum yang diciptakan melalui suatu
perjanjian yang dibuat oleh masing-masing pihak.
Perjanjian tersebut dibuat
dengan tujuan agar kepentingan para pihak terakomodir dengan dasar kesepakatan
bersama. Perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut akan terwujud apabila
kedudukan para pihak yang terikat dalam perjanjian sederajat sehingga seimbang.
Pada kasus yang telah
dipaparkan, perawatan fixed orthodontic tentunya ada hubungan hukum antara�dokter dengan pasien yang melahirkan
perjanjian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2023 Pasal 285 ayat 1 tentang Kesehatan, adalah tenaga medis dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan
yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya. Menurut hukum, hubungan
dokter dengan pasien merupakan suatu perikatan yang objeknya adalah berupa
pelayanan medis atau upaya penyembuhan. Istilah ini dikenal dengan istilah
transaksi terapeutik atau kontrak terapeutik. Perjanjian terapeutik atau
transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang
memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang
dimiliki oleh dokter tersebut.[2] Hubungan dokter dan pasien, hubungan
dokter dan rumah sakit dan hubungan pasien dengan rumah sakit, dilihat dari
hubungan hukumnya merupakan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam
melaksanakan pengobatan yang dikenal sebagai
perikatan (Verbentenis).
Pada umumnya perikatan
dalam pelayanan kesehatan mengacu pada perikatan usaha �(Inspanning verbentenis) yang merupakan upaya seoptimal mungkin untuk mencapai pelayanan
kesehatan bagi pasien yang diobati, namun pada kasus perawatan fixed
orthodontic umumnya pasien ingin melakukan perawatan ortodonti dengan
indikasi medis yaitu untuk mengoreksi susunan giginya yang dapat berdampak pada
kesehatan dan sistem pengunyahan, mengembalikan fungsi stomatognatik,
mengoreksi maloklusi dental atau skeletal sehingga secara langsung dan tidak
langsung baik pasien memiliki sebuah ekspektasi untuk menghilangkan indikasi
medis yang di deritanya dan dokter sebagai seorang tenaga medis memiliki
kompetensi untuk menyembuhkan maka dari itu bila dilihat dari hubungan hukum
antara pasien dan dokter dalam perawatam ortodonti mengacu pada perikatan hasil
(Resultaat verbentenis). Seorang pasien maupun tenaga medis yang merasa dirugikan
dikarenakan tugas dan wewenangnya
dilakukan oleh seseorang yang tidak ahli di dalam bidangnya wajib menuntut hak
dan kewajibannya. Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami
adanya landasan hukum
dalam transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien, mengetahui dan memahami hak dan
kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia
kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan.[3] Tenaga medis yang melakukan pelaksanaan
praktek yang mengakibatkan kerugian terhadap pasien tentunya dapat dikenakan
sanksi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 306 Ayat (1) Pelanggaran disiplin
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 Ayat
(3) diberikan sanksi disiplin berupa:
a.
Peringatan tertulis;
b.
Kewajiban�mengikuti pendidikan atau
pelatihan�di penyelenggara�pendidikan di bidang Kesehatan atau Rumah Sakit Pendidikan terdekat yang memiliki kompetensi untuk melakukan pelatihan tersebut;
c.
Penonaktifan STR untuk sementara waktu;
dan/atau
d.
Rekomendasi�pencabutan�SIP.
M. Isnaeni berpendapat pada
dasarnya persoalan perlindungan hukum itu ditinjau dari sumbernya dapat
dibedakan menjadi dua yaitu perlindungan hukum eksternal dan perlindungan hukum
internal. Perlindungan hukum eksternal merupakan perlindungan hukum yang
diciptakan oleh pihak berwenang melalui pembentukan peraturan yang ditujukan
untuk kepentingan pihak yang lemah. Perlindungan hukum secara eksternal
dibentuk untuk mencegah ketidakadilan, kesewenang-wenang terhadap kepentingan
pihak lain, dan kerugian bagi pihak yang lemah.[4]� Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan Pasal 304 dalam Penegakan Disiplin Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan
menyebutkan:
a.
Dalam rangka mendukung profesionalitas Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan, perlu diterapkan penegakan disiplin profesi. Menteri
membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi.
b.
Majelis menentukan ada tidaknya pelanggaran
disiplin profesi yang dilakukan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
c.
Majelis dapat bersifat permanen atau ad hoc.
d.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi
majelis sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada kasus pasien sudah berupaya menempuh jalur kekeluargaan dalam
penyelesaian dan minta pertanggungjawabannya, akan tidak ada perkembangan atau
respon dari Dokter HY sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kerugian yang
diderita pasien akibat kelalaian dan kesalahan (malpraktik) yang dilakukan oleh
dokter HY. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang
No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan� Pasal 310 dalam
Penyelesaian Perselisihan� yang
menyebutkan dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan diduga melakukan kesalahan
dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada Pasien,
perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan terlebih dahulu
melalui alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Pada kasus, pasien mengalami kerugian materil sudah pasien keluargan untuk
melakukan perawatan fixed orthodontic dengan Dokter HY, serta kerugian
immaterial karena terbuangnya waktu, tenaga dan pikiran untuk mengurus masalah
ini. Atas tindakan Dokter HY, pasien melaporkan Dokter HY ke Pengadilan Negeri
kota Padang dan pasien menuntut Dokter HY mengganti kerugian. Seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan�
Pasal 305 Pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan atas
tindakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dalam memberikan Pelayanan
Kesehatan dapat mengadukan kepada majelis. Pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit harus memuat:
a. identitas pengadu;
b.
nama dan alamat tempat
praktik Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan waktu tindakan dilakukan;
c. alasan pengaduan.
���� Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telahh
melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum penyelesaian perselisihan mengutamakan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pasan 440 menyatakan bahwa:
1) Setiap tenaga
medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
2)
Jika kealpaan mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis
atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
����
Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan�
Pasal 308 Ayat 1 menyebutkan bahwa Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan
Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus
dimintakan rekomendasi dari majelis. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan� Ayat 2 menyebutkan
bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai pertanggungjawaban atas
tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang
merugikan Pasien secara perdata, harus dimintakan rekomendasi dari majelis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304. Ketentuan rekomendasi Majelis berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan:
a.
Rekomendasi dari majelis diberikan setelah Penyidik
Pegawai Negeri Sipil atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
mengajukan permohonan secara tertulis. Rekomendasi dari majelis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau
orang yang diberikan kuasa oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan mengajukan
permohonan secara tertulis atas gugatan yang diajukan oleh Pasien, keluarga
Pasien, atau orang yang diberikan kuasa oleh Pasien atau keluarga Pasien.
b. Rekomendasi� berupa rekomendasi dapat atau tidak dapat
dilakukan penyidikan karena pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
c.
Rekomendasi berupa rekomendasi pelaksanaan praktik
keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau
tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
d. Rekomendasi
diberikan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan diterima. Dalam hal majelis tidak memberikan rekomendasi dalam
jangka waktu 14 hari, majelis dianggap telah memberikan rekomendasi untuk dapat
dilakukan penyidikan atas tindak pidana.
e.
Ketentuan tidak berlaku untuk pemeriksaan Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas dugaan tindak
pidana yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan.
����
Kemudian berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 307 Putusan dari majelis
dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal:
a.
ditemukan bukti baru;
b.
kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau
c.
terdapat dugaan konflik
kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.
���� Tanggung jawab dalam setiap
tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien terdiri dari tanggung jawab etis,
tanggung jawab profesi dan tanggung jawab hukum. Dokter sebagai subyek hukum
mempunyai hak dan kewajiban, sehingga dalam setiap tindakan atau perbuatan
seorang dokter dalam pergaulan masyarakat dibedakan menjadi tindakan
sehari-hari yang tidak berkaitan dengan profesi dan tindakan yang berkaitan
dengan pelaksanaan profesi. Begitu pula dalam tanggung jawab hukum seorang
dokter, ada yang tidak berkaitan dengan profesi dan ada pula tanggung jawab
hukum yang berkaitan dengan profesinya. Berikut adalah bentuk
pertanggungjawaban hukum dokter dalam bidang hukum perdata:
a. Tanggung
Jawab Hukum Dokter karena Wanprestasi
���� Dalam bahasa hukum, wanprestasi adalah suatu
keadaan dimana seseorang
tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau
kontrak. Sedangkan bunyi dari Pasal 1239 KUHPerdata adalah sebagai berikut:[5]
"Tiap-tiap perikatan untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya, rugi dan bunga."
���� Menurut ilmu hukum perdata, seseorang
dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila:
a)
Tidak melakukan yang disanggupi akan dilakukan.
b)
Terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukan,
c)
Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai
dengan yang dijanjikan,
d)
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
b.
Tanggung Jawab Perdata Dokter karena Perbuatan Melawan
Hukum (onrechtmatige daad)
����
Tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum dapat diajukan berdasarkan
pasal 1365 KUHPerdata. Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan
pada perikatan yang lahir karena perjanjian (wanprestasi), maka pada perbuatan
melawan hukum tidak harus didahului adanya perjanjian. �����
���� Unsur-unsur
yang dapat dipakai sebagai dasar pengajuan tuntutan perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut:[6]
a) Ada
perbuatan melawan hukum;
b) Ada
kerugian;
c)
Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum
dan kerugian;
d) Ada
kesalahan.
�����
Berdasarkan Yurisprudensi
1919, yang dimaksud dengan perbuatan
melawan hukum adalah tindakan atau kelalaian yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Melanggar hak orang lain;
b)
Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri;
c)
Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat
istiadat yang baik) atau kesusilaan yang baik;
d)
Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya
diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.[7]
���� Kasus perawatan fixed
orthodontic yang dilakukan oleh dokter gigi umum tidak sesuai dengan hak
dan kewajiban seorang dokter. Hal tersebut tergolong ke dalam malpraktik etik,
karena ketentuan pasal KODEKGI menjadi norma etik bagi dokter gigi yang harus
dipathi dalam menjalankan praktik kedokteran gigi. Pelanggaran etik dalam
KODEKGI salahsatunya adalah melakukan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
dengan kemampuan dan kewenangan. Pelanggaran etik terhadap pasal KODEKGI
melahirkan tanggung jawab etis. Dalam kasus dokter gigi umum yang melakukan
tindakan diluar kewenangannya dan merugikan pasien, maka pasien dapat
melaporkan atas kerugian yang mereka terima kepada organisasi profesi PDGI
(Persatuan Dokter Gigi Indonesia) dan MKEKG (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Gigi).
���� Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG) yang merupakan Badan Kelengkapan PDGI yang dibentuk secara khusus untuk melaksanakan tugas pembinaan, pengawasan, dan penilaian Etik Kedokteran Gigi dan status MKEKG dalam PDGI adalah sebagai badan otonom dengan maksud menjamin kenetralan sikap dan keputusannya, sehingga pengelolaan harus terpisah dari berbagai kelengkapan organisasi PDGI lainnya. Wewenang dari MKEKG adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan pertimbangan dan usul secara
lisan maupun tertulis, diminta maupun tidak diminta, tentang pelaksanaan Etik
Kedokteran Gigi kepada Pengurus PDGI.
2. Meninjau dan memutuskan kembali suatu
pertimbangan atau usul yang dinilai kurang tepat oleh pengurus PDGI dengan
memperhatikan pertimbangan pengurus PDGI.
3. Melaksanakan tugas bimbingan, pengawasan,
penilaian pelaksanaan Etik Kedokteran Gigi untuk seluruh Dokter Gigi yang
berada di wilayah kerjanya.
���� Apabila dokter gigi umum telah terbukti melakukan kesalahan dan melanggar kewenangannya, maka dapat dokter gigi umum tersebut dapat diberikan sanksi oleh Pengurus PDGI sesuai dengan keputusan sidang MKEKG. Sanksi tersebut dapat berupa:
a. Peringatan lisan selama 6 bulan.
b. Peringatan tertulis selama 6 bulan.
c. Penarikan rekomendasi PDGI untuk
mendapatkan SIP paling lama 12 bulan.
d. Sanksi peringatan lisan disampaikan
langsung kepada teradu dalam sidang MKEKG.
e. Sanksi peringatan tertulis disampaikan
secara langsung dalam siding MKEKG, diikuti dengan peringatan tertulisnya.
f. Dalam hal peringatan lisan telah
disampaikan tetapi tetap tidak ada perbaikan paling lama 6 bulan, dilanjutkan
dengan peringatan tertulis.
g. Peringatan tertulis dapat diberikan
sebanyak 3 kali.
h. Dalam hal peringatan tertulis telah diberikan
sebanyak 3 kali tetap belum ada perbaikan, diusulkan pencabutan rekomendasi
untuk memperoleh SIP.
i. Keputusan MKEKG yang telah diterima oleh
teradu ditindaklanjuti oleh PDGI.
���� Dalam tanggung jawab profesi,
kasus perawatan fixed orthodontic yang dilakukan oleh dokter gigi umum
tidak sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Gigi yang terdapat pada domain I
yaitu profesionalisme. Hal ini terkait dengan pendidikan, pengalaman dan
kualifikasi lain yang tidak sesuai dengan pendidikan dan pengalaman yang
dimiliki oleh dokter gigi spesialis ortodonti. Dokter gigi umum dalam kasus
tersebut menjalankan tugas profesinya sebagai dokter gigi umum tidak mempunyai
derajat pendidikan yang sesuai dengan keahliannya, dan dokter gigi umum
tersebut tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk melakukan perawatan fixed
orthodontic.
���� Kasus perawatan fixed
orthodontic yang dilakukan oleh dokter gigi umum telah melibatkan kerusakan
tulang dan gigi pasien, sehingga memerlukan peralatan perawatan yang mendukung
untuk melaksanakan praktiknya. Maka dari itu, dokter gigi umum dalam kasus
tersebut perlu bertanggung jawab secara profesi karena telah melanggar
profesionalisme seorang dokter. Tanggung jawab profesi dapat melahirkan sanksi,
yaitu sanksi disiplin profesi. Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh dokter
gigi umum dalam kasus tersebut yaitu dokter gigi umum dalam kasus perawatan fixed
orthodontic melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten dan tidak
merujuk pasien kepada dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai serta
dengan sengaja dokter gigi umum dalam kasus tersebut tidak membuat atau
menyimpan rekam medis sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
atau etika profesi.
���� Apabila kasus perawatan fixed orthodontic gigi yang dilakukan oleh dokter gigi umum, kemudian dilaporkan oleh pasien kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) karena adanya kerugian atas tindakan dokter gigi umum tersebut dalam menjalankan praktik kedokterannya, dan MKDKI memeriksa serta membuktikan bahwa dokter gigi umum bersalah, dokter gigi umum tersebut dapat dikenakan sanksi disiplin profesi yang bersifat mengikat dokter gigi. Sanksi berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis.
2. Rekomendasi pencabutan surat tanda
registrasi atau surat ijin praktik.
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institusi pendidikan kedokteran gigi.
���� Dalam tanggung jawab hukum,
perbuatan yang dilakukan oleh dokter gigi umum dalam kasus perawatan fixed
orthodontic tersebut harus bertanggung jawab dalam menjalanlan profesinya
karena telah melanggar hak dan kewajiban. Apabila dokter gigi umum tersebut
telah melanggar kewajiban hukum serta haknya yang timbul karena profesi yang
dijalankannya. Maka dokter gigi umum tersebut wajib untuk bertanggung jawab
terhadap hukum, dikatakan harus bertanggung jawab secara hukum karena dokter
gigi umum tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap diri orang lain yang
dilakukannya secara sengaja maupun tidak disengaja sesuai dengan hukum perdata
pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata.
���� Tanggung jawab hukum yang
didapat oleh dokter gigi umum dalam kasus perawatan fixed orthodontic
adalah tanggung jawab hukum perdata secara wanprestasi dan perbuatan melawan
hukum. Tanggung jawab hukum perdata karena wanprestasi timbul karena dokter
gigi umum dalam kasus perawatan fixed orthodontic tidak memenuhi
kewajibannya sebagai seorang dokter gigi umum yang didasarkan pada suatu
perjanjian atau kontrak. Kasus perawatan fixed orthodontic memperlihatkan
bahwa dokter gigi umum tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang dokter gigi
dalam memberikan surat rujukan, rekam medis dan dokter gigi umum dalam kasus
perawatan fixed orthodontic telah menyebabkan kerugian terhadap pasien
yaitu pasien mengalami kerusakan gigi dan tulang sehingga fungsi stomatogatik
(sistem pengunyahan) tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dokter gigi umum
dalam kasus telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai dokter gigi umum,
karena dokter gigi umum tersebut dalam perawatan fixed orthodontic
mengakibatkan kerusakan tulang dan gigi yang hanya boleh dilakukan oleh dokter
gigi spesialis ortodonti.
���� Maka dari itu, pasien dapat
mengajukan gugatan yang berkaitan dengan wanprestasi karena kerugian yang
dialami berupa gugatan genti rugi. Penyelesaian wanprestasi terdapat pada
KUHPerdata pasal 1239, yang menjelaskan apabila dokter gigi umum dalam perawatan
fixed orthodontic gigi tidak memenuhi kewajibannya maka dalam
penyelesaiannya wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
���� Dalam kasus perawatan fixed
orthodontic yang dilakukan oleh dokter gigi umum dapat dikenakan tanggung
jawab hukum perdata karena perbuatan melawan hukum. Berdasarkan yurisprudensi
1919, yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah tindakan atau kelalaian
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Berlawanan dengan sikap hati-hati yang
seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang
lain.
b. Melanggar hak orang lain.
c. Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik) atau kesusilaan yang baik.
d. Bertentangan dengan kewajiban hukum diri
sendiri.
���� Kasus perawatan fixed
orthodontic yang dilakukan oleh dokter gigi umum dapat dikatakan sebagai tindakan
perbuatan melawan hukum. Sesuai dengan yurisprudensi 1919, yaitu melanggar hak
orang lain yang merupakan hak pasien dan bertentangan dengan kewajiban dokter
secara hukum baik Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan maupun
KODEKGI. Dokter gigi umum dalam pemaparan kasus pengadilan dapat dituntut oleh
pasien dengan tuntutan perbuatan melawan hukum dan keahlian dengan perawatan
yang diberikan tidak sesuai dengan standar profesi, lalai dalam menjalankan
kewajiban profesionanya dan menimbulkan kerugian pada pasien.
���� Sanksi tidak hanya diberikan
oleh PDGI melalui MKEKG sebagai sanksi etis, akan tetapi sanksi juga dapat
diberikan oleh MKDKI sebagai sanksi disiplin. Selain adanya sanksi etis dan
sanksi disiplin, sanksi hukum juga dapat berlaku apabila dokter gigi umum dalam
kasus perawatan fixed orthodontic tersebut telah sengaja melakukan
pelanggaran ketentuan pidana atau melakukan perbuatan melawan hukum, dengan
hukuman sebagai berikut:
a. Dipidana dengan pidana kurungan paling
lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
KESIMPULAN
Dokter gigi
umum yang melakukan praktik perawatan fixed
orthodontic tidak memiliki kewenangan,
baik atributif yang diperoleh dari peraturan pemerintah maupun non-atributif, sesuai
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, di mana dokter
gigi umum tidak memenuhi hak dan kewajibannya dalam melakukan perawatan tersebut. Perlindungan hukum bagi pasien yang menjalani perawatan ini juga tidak
sesuai dengan perlindungan hukum eksternal maupun internal, di mana perjanjian
antara dokter dan pasien dianggap tidak sah karena tidak memenuhi syarat
perjanjian. Oleh karena itu, saran bagi dokter dan dokter gigi adalah untuk
selalu bersikap profesional, melaksanakan tindakan medis sesuai kewenangan dan
standar profesi, serta mengutamakan keselamatan pasien sesuai dengan pedoman
yang berlaku. Pasien juga harus memahami hak dan kewajiban mereka serta memilih
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kewenangan dokter atau dokter gigi. Bagi
organisasi medis, penting untuk memperketat kewenangan masing-masing profesi
serta secara rutin melakukan inspeksi berkala terhadap fasilitas kesehatan dan
menegakkan sanksi atas pelanggaran medis.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali,
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicialprudence), termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), 2009.
Anny Isfandyarie, Tanggung Jawah Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku
1.
Ateng Syafruddin. Menuju
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab., Universitas
Parahyangan Bandung, 2000.
Bahder Jihan Nasution, Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter,
Rineka Cipta, Jakarta, 2013,
Bhekti Suryani. 2013. Panduan Yuridis Penyelenggaraan
Kedokteran. Niaga Swadaya. Praktik Yogyakarta.
D. Veronika Komalawati, Penerapan Informed Consent Dalam Trasaksi
Terapeutik: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Dr. Salim HS, Penerapan
Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT Grafindo Persada, Vol. 1,
2013
Dumilah Ayuningtiyas. 2014. Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik.
Jakarta: Rajawali Pers��
F. Tengker, Bab-Bab Hukum Kesehatan, Penerbit Nova, Bandung, 1989.
F. Tengker, Pelayanan Kesehatan dan Pendemokrasian: Seri Hukum
dan Manajemen Kesehatan, Penerbit Nova, Bandung, 1999.
Fred Almeln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,
Jakarta, 1999.
Fuady, Munir, �Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktek Dokter�,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta, 1991.
Guwandi, J, �Informed Consent &
Informed Refusal�, 4 th edition, FKUI, Jakarta,
2006.
Hatta G.R. 2009. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana
Pelayanan Kesehatan. Jakarta : UI-Press.
HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2010,� Hoofdstukken Van Administratief Recht, Vugas�Gravenhage,
Dikutip dari Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali
Prees, Jakarta.
Ide, Alexandra, 2012, Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan,
Grasia Book Publisher, Yogyakarta.
Indroharto, 2002. Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara.
Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Indrohato. 1994. Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik. Citra
Aditya Bakti: Bandung.
Lili Rasyidi, �Filsafat Hukum, (Bandung : Remadja Karya,
1988).
Muhamad Sadi Is, Op
Cit.
Nila Ismani, 2001. Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika,
Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2014. Pengantar
Ilmu Hukum Edisi Revisi cet-ke 6.
Kencana Pranadamedia Group. Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,
2009.
Philipus M. Hadjon,
1997, Tentang Wewenang, Yuridika, Volume No.5 & 6, Tahun XII, September-Desember.
Prajudi Admosudirjo, 1998. Hukum
Administrasi Negara cet.9. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Safitri Hariayani, 2005, Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian
Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta.
Salim HS, Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000).
Seodikno Mertokusumo, 1986. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
Soekidjo Notoatmodjo, Etika & Hukum Kesehatan, Rineka Cipta,
Jakarta, 2010.
Stout HD, 2004. de Betekenissen van
de wet, dalam Irfan Fachruddin Pengawasan
Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung.
Subekti. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum
Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002.
Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter, Pustaka
Harapan, Jakarta, 1989.
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Madar Maju, Bandung, 2000.
William W. Howard dan
Alex L. Parks, The Dentist and The Law, The Mosby Company, St. Louis,
1973.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2003).
Bertens K, Aborsi sebagai Masalah Etika, PT
Gramedia Widiasarana Indonesia Jakarta, 2002.
Biben A, Bentuk Informed
Consent Dalam Praktek
Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran
Unpad RSHS, Bandung 2005.
Ajat Rukajat, Pendekatan Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Deepublish Publisher,
2018.
Bureau of Labor Statistics, �What dentist Do?� US Department of Labor, Occupational Outlook Handbook.
United States Departmen of Labor,
Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, 2014, Nudha Medika, Yogyakarta. Jan Michiel Otto, Moralitas
Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir,
PT
J. Guwandi, Dugaan
Malpraktek Medik &
Draft RPP: �Perjanjian Terapetik antara Dokter dan Pasien, (Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).
T. D. Foster, Buku Ajar Ortodonsi,
Ed. 3, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Laura Mitchell, An Introduction to Orthodontist, (New
York: Oxford University, 2007).
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005).
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, ed. 4, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2008. Memahami Kepastian dalam Hukum
Moyers, op. cit.,
Muhammad Sadi Is, Etika dan Hukum Kesehatan (Jakarta: Kencana, 2017).
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,
Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris Cetakan IV, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007).
Neni Sri Imaniyati dan Panji
Adam Agus Putra,
Hukum Bisnis Dilengkapi Dengan Kajian Hukum Bisnis Syariah, PT
Refika Aditama, Bandung 2017
Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002. Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien,
Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Phillipus M. Hadjon., Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1987), PSPDG UMY, 2012.
Purwanto Agustino, Kode Etik Kedokteran Gigi, KODEKGI, Dedicated for molar, Pustaka Publisher, Jakarta,
2010.
Revika Aditama, Bandung,
2006.
Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2000).
Soekidio Notoadmodjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Rieneka Cipta. Jakarta. Sulandjari H.
Buku ajar ortodonsia IKGOI.
Yogyakarta
Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, Penelitian
Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 1985.
Rina J Suryanegara, Memperbaiki dan
Memperindah Posisi Gigi Anak, (Jakarta : Merentas Generasi Sehat. 2000).
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik: Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien (Suatu Tinjauan
Yuridis), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002).
Wahyu Sasongko, Op.Cit.,
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Alawiyah T . Komplikasi dan Resiko yang Berhubungan dengan Perawatan Ortodonti. J Ilmiah Widya 2017.
Amir Ilyas 2014.
Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medik di Rumah Sakit. Yogyakarta:
Republik Institute.
Anwar, A. I., 2014. Hubungan antara status kesehatan gigi dengan
kualitas hidup pada manula di Kecamatan Malili, Luwu Timur. Dentofasial.
Ayu Kristin Rahmawati, Sarsintorini Putra, �Tanggungjawan Dokter Gigi
Umum Dalam Perawatan Ortodonti Cekat� Universitas 17 Agustus 1945 Semarang,
Semarang, Indonesia, https://journal.empatpilarcendikia.id/index.php/chi
Brontowasisto. 2003. Peranan Rekam Medis Dalam Mendukung Kebijaksanaan
Pemerintah Dala Kaitan Rumah Sakit Sebagai Unit Swadaya. Jurnal Seminar
Nasional dalam Konggres dan Rakernas I-IIIPORMIKI.
Dasuki, Kompetensi Tambahan Dokter Gigi dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum dan Etika Kesehatan, Vol 1,
No. 2.
Demmajannang T, Erwansyah E. Gambaran
Indeks Bolton pada Pasien yang Dirawat dengan Piranti Ortodontik Lepasan di
Rumah Sakit Gigi Mulut Universitas Hasanuddin. Sci. 2013 Oct 30.
Lilia Sarifatamin Damanik,
Kewenangan Dokter Gigi Umum atas Tindakan
Medis Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan,
Vol. 5, Maret 2024.
Maria Theresia Geme, "Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum
Adat dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada� Provinsi Nusa
Tenggara Timur, disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang, 2012.
Merdian Almatsien, Antisipasi
Kesiapan tenaga Kesehatan dan Profesi Kedokteran dalam Rangka Pemberlakuaan UU
No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (Kontoversi VUPK dalam Pelayanan
Medis), Makalah Ketua Umum PB IDI, Simposium, Problema dan Solisi Praktik
Kedokteran, Padang, 2000.
Rusdi Zein, Tanggung Jawab Dokter dan Rumah Sakit dalam Rangka
Perlindungan Pasien sebagai Konsumen, PERHUKI SUMBAR, Padang, 2000.
Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal. 2004.
Susilowati. Prevalensi Maloklusi Gigi
Anterior pada Siswa Sekolah Dasar (Penelitian Pendahuluan di SD 6 Maccora
Walihe, Sidrap): Makassar
Dent J. 2016.
[1] Negara Hukum, "Hukum Tata Negara: Wewenang"
http://www.negarahukum.com/hukum/wewenang.html,
[2] J.
Guwandi, Dugaan
Malpraktek Medik & Draft RPP: �Perjanjian Terapetik antara Dokter dan
Pasien, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006) hal. 139
[3] Titik Triwulan Tutik
dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2011, hlm 5.
[4] Moch. Isnaeni, (2016), Pengantar
Hukum Jaminan Kebendaan, Surabaya: PT. Revka Petra Media, hlm. 159.
[5] Subekti. 2001. Pokok-Pokok
Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa
[6] Nurbani,
Erlis Septiana, Perbandingan Hukum perdata, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014
[7] Salim HS, Hukum Perdata
Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.