Tinjauan Hukum atas Keputusan
Tata Usaha Negara Terhadap Kasus Pembebasan Lahan oleh Pemprov DKI Yang
Berlawanan dengan AAUPB dan Undang-Undang
� Legal Review of State Administrative Decisions
Regarding Land Acquisition Cases by the DKI Provincial Government Which
Contradict AAUPB and the Law
1)* The Mei Djoen, 2) Widyawati Boediningsih
1,2 Universitas Narotama Surabaya, Indonesia
*Email: [email protected]
*Correspondence: 1) The Mei Djoen
DOI: 10.59141/comserva.v4i4.1436 |
ABSTRAK Penelitian ini menganalisis tinjauan hukum atas keputusan tata usaha negara terkait kasus pembebasan lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
yang diduga bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AAUPB) dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Penelitian ini
menggunakan metode yuridis
normatif dengan pendekatan kasus dan perundang-undangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keputusan tata usaha negara
dalam kasus ini tidak hanya melanggar
beberapa prinsip AAUPB seperti prinsip kepastian hukum, akuntabilitas, dan transparansi,
tetapi juga bertentangan dengan undang-undang yang mengatur proses pembebasan lahan. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya penerapan AAUPB dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dalam setiap keputusan
tata usaha negara untuk menghindari
kerugian bagi masyarakat dan memastikan keadilan. Kata kunci: Keputusan Tata Usaha Negara, Pembebasan
Lahan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) |
ABSTRACT
This study analyzes
the legal review of the administrative decision related to the land acquisition
case conducted by the DKI Jakarta Provincial Government, which is suspected of
violating the General Principles of Good Governance (AAUPB) and the applicable
laws and regulations. This research employs a normative juridical method with a
case and legislation approach. The results indicate that the administrative
decision in this case not only violates several AAUPB principles, such as the
principles of legal certainty, accountability, and transparency, but also
contradicts the laws governing the land acquisition process. These findings
highlight the importance of implementing AAUPB and adhering to laws and
regulations in every administrative decision to avoid harm to the community and
ensure justice.
Keywords
: Administrative Decision, Land Acquisition, General Principles of Good
Governance (AAUPB)
�
PENDAHULUAN
Hukum administrasi Negara adalah seperangkat peraturan hukum yang
mengatur dan mengikat tentang bagaimana cara bekerjanya lembaga- lembaga atau
alat-alat administrasi Negara dalam memenuhi tugas, fungsi, wewenang masing-
masing, dan hubungan dengan lembaga atau alat perlengkapan Negara lain serta
hubungan dengan masyarakat dalam melayani warga negara (Darda Syahrizal, 2013). HAN sebagai
hubungan istimewa yang di adakan memungkinkan para pejabat administrasi Negara
melakukan tugas mereka yang khusus (Artayasa, 2019). Sehingga
dalam hal ini hukum administrasi negara memiliki dua aspek, yaitu pertama;
aturan-aturan hukum perlengkapan Negara itu melakukan tugasnya kedua;
aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara alat perlengkapan
administrasi Negara atau pemerintah dengan warga negaranya (Agutina, 2018). Adapun
beberapa Hal yang di atur dalam Hukum administrasi Negara menurut James Hart
yaitu:
a. Kewenangan
setiap pejabat HAN
b. Batas
kewenangan
c. Sanksi
bagi masyarakat yang melanggar HAN
d. Upaya
hukum yang dapat di tempuh Masyarakat
HAN dapat di jadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka
melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain
HAN memuat aturan Normatif tentang bagaimana pemerintahan di jalankan, terlebih
lagi bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi
Negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari
melakukan perbuatan yang salah menurut hukum (Sukowati, 2009).
Dalam konteks indonesia terdapat beraneka istilah untuk menyebut Hukum
Tata Usaha Negara (HTUN) di antaranya adalah Hukum Administrasi Negara (HAN),
Hukum Tata Pemerintahan (Administratief
recht) dan Hukum Tata Usaha Negara sendiri (Negara, n.d.).
Dengan di berlakukanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang No 9 Tahun
2004 yang mengalami perubahan ke-2 menjadi Undang-Undang No 51 tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang menerima, memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Di bentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan
sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga
tersebut bertujuan mengontrol secara yuridis tindakan pemerintahan yang di
nilai melanggar ketentuan administrasi ataupun perbuatan yang bertentangan
dengan hukum. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan segi hukum perlu di
bentuk peradilan TUN, oleh karena pembentukan peradilan TUN merupakan bagian
pembangunan hukum nasional yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap
hak-hak perseorangan dan juga sebagai lembaga penegegakan hukum administrasi
negara yang bercita-cita untuk mewujudkan suatu pemerintahaan yang baik (good governance) (Yuslim, 2022).
Adapun yang menjadi objek sengketa di PTUN adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (selanjutnya di sebut KTUN), yang di terbitkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara (selanjutnya di sebut Badan/Pejabat TUN). Sebagaimana di
sebutkan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Produk hukum dari Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan yang berupa
dokumen dokumen yang mengandung materi penetapan yang bersifat konkrit,
individual dan final dalam hukum administrasi di sebut dengan Keputusan (Beschikking), sedangkan dokumen dokumen
yang mengandung materi pengaturan yang bersifat umum disebut peraturan (Regeling).
Namun tidak jarang dalam prakteknya dengan di keluarkanya Keputusan Tata
Usaha Negara oleh Pejabat TUN sering sekali bertentangan atau merugikan
kepentingan masyarakat padahal dalam prinsipnya Keputusan TUN tidak lah boleh
mengurangi hak-hak warga negara Simanjuntak (Simanjuntak,
2021).
Setiap keputusan Badan/Pejabat TUN harus berdasarkan prinsip Negara Hukum, oleh
karena itu, keputusan tersebut tidak boleh melanggar hak-hak warga negara
terutama yang diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Pasal 28 D
ayat (1) yang menekankan terhadap adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil di dalam Norma dasar yaitu mengenai Hak Asasi
Manusia. Menurut pasal 53 ayat (2) Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, ada 2 hal yang di jadikan alasan untuk
mengajukan gugatan di PTUN3, yaitu:
1. Keputusan
Tata Usaha Negara yang di gugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
2. Keputusan
Tata Usaha Negara yang di gugat itu bertentangan dengan Asas- Asas Umum
Pemerintahan
Seiring berlakunya ketentuan asas-asas hukum penyelenggaraan
pemerintahan tersebut berkembang pula isu permasalahan seperti adanya oknum
aparat pejabat publik yang kurang transparan dan adil, bertindak
sewenang-wenang, diskriminatif, kurang cermat, memanipulasi kebijakan,
komersialis, dan kurang optimal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, termasuk
mempersulit warga masyarakat tertentu dalam suatu urusan pelayanan tertentu.
Isu ini merupakan salah satu hal yang paling sering terjadi dalam kegiatan pemerintahan
terutama dalam kegiatan Tata Usaha Negara yang tidak jarang dalam mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut sering sekali tidak berpedoman pada
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Rayhan & Wijaya, 2023).
Dalam hukum administrasi negara asas-asas umum pemerintahan yang baik
atau biasa di sebut Algemen beginselen
van berhorlijk bertur (belanda) atau principles
generauz du droit coutumier (perancis) merupakan patokan atau prinsip dasar
yang harus diikuti oleh seluruh Pejabat Tata Usaha Negara atau Aparatur
Pemerintahan dalam melakukan suatu tindakan hukum.
METODE
Penelitian
ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus dan perundang-undangan.
Metode yuridis normatif adalah pendekatan penelitian yang menekankan pada studi dokumen-dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan putusan pengadilan. Pendekatan ini bertujuan untuk menganalisis
norma-norma hukum yang berlaku
dan bagaimana norma-norma tersebut
diterapkan dalam praktik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara
Kemandirian
kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan Undang undang Dasar 1945 hasil
amandemen dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.10
Secara yuridisial akan berjalan lebih lancar apabila didukung administrasi
peradilan yang baik. Peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan mengenai sengketa tata usaha
negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dan
ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.11 Pengadilan Tata Usaha Negara selaku
kawal depan Mahkamah Agung (voorpost) di daerah mempunyai tugas pokok dan
fungsi menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan semua sengketa tata usaha
negara di wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, Secara umum kebijakan
yang dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dalam melaksanakan seluruh
kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan peradilan tingkat pertama yang
bersifat administrasi, keuangan dan organisasi.
Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk
menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU PTUN)12, Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk
menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau
sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat.
UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya
administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi
pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan
pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek
atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni,
Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak
dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN
dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah
diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan
mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa
yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang
digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum
acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan
perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara. Hakim berperan lebih aktif dalam
proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus
gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN
yang disengketakan.
Prosedur dan Proses Pengajuan Gugatan
Namun belakangan
ini banyak khalayak umum ketika menghadapi masalah mengenai pelanggaran yang
berkaitan dengan tata usaha Negara masih banyak yang belum mengetahui bagaimana
proses dan prosedur pengajuan gugatan ke pengadilan tata usaha Negara.
Beberapa
perundang-undangan terkait proses dan prosedur pengajuan gugatan di pengadilan
tata usaha negara yaitu:
1. Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986, diuraikan tentang pengertian pengertian yang berkaitan dengan
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut:
a. Tata Usaha Negara adalah
administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
b. Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
c. Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
1.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Gugatan Tata Usaha
Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
2.
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
3.
Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang- undang
Nomor 9 Tahun 2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.13\
4.
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan,
dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan
untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002)
2.
Subyek Peradilan Tata Usaha Negara Subyek dalam Peradilan Tata Usaha
Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:
a.
Penggugat Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa
pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah:
b.
Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN);
c.
Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
d.
Tergugat Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana
diuraikan dalam pengertian tergugat diatas adalah jabatan yang ada pada Badan
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN
e.
berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan
kepadanya.
f.
Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang
digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut. Misalnya; Gubernur
sehingga tidak akan menjadi masalah ketika terjadi pergantian orang pada
jabatan tersebut. Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan,
sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan
menjadi:
g.
Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala
eksekutif.
h.
Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu
urusan pemerintahan.
i.
Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
j.
Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan
pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
k.
Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
(Soetami, 1998).
3.
Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Yang
menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang
berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam kasus ini yang merupakan obyek sengketa adalah pembebasan lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI untuk pembangunan Inlet Sudetan Kali Ciliwung sebagai akses air masuk menuju Kanal Banjir Timur.
SIMPULAN
Keputusan Tata Usaha Negara Nomor 2779 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Nomor 81 Tahun 2014 Tentang Penetapan
Lokasi untuk Pembangunan Inlet Sudetan Kali Ciliwung Menuju Kanal Banjir Timur
di Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Kota Administrasi Jakarta Timur
yang di tandatangani oleh Gubernur Basuki T. Purnama adalah telah cacat
prosedural karenatidak sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang
berlaku terkait Hak Asasi Manusia yang ada, dan juga tidak sesuai dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terutama asas kepastian hukum, dan
keterbukaan karena dalam hal ini jelas bahwa keputusan yang di buat oleh
Gubernur DKI Jakarta telah mengabaikan Hak Asasi Manusia yang di atur tegas dalam
Undang-Undang terlebih lagi tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat
setempat sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara Nomor UU No 9 Tahun 1986 Tentang PTUN yang telahmengalami dua kali
perubahan menjadi UU Nomor 9 Tahun 2004 dan UU Nomor 51 Tahun 2009 dan atau
Pasal 1 angka 17 Jo. Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung pada putusan
Nomor 267K/TUN/2016 dalam mengabulkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 2779 Tahun
2015 tidak sesuai dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) tentang
Kekuasaan Kehakiman dimana hakim tidak menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga
menimbulkan terjadinya penggusuran bagi warga bidara cina akibat
terlaksananyaSK nomor 2779 tahun 2015 yang jelas tidak mengikuti prosedural
yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Agutina,
E. (2018). Kewenangan Wakil Menteri di Indonesia Ditinjau dari Hukum
Administrasi Negara. Jurnal Hukum Media Bhakti.
Artayasa,
I. N. (2019). Kedudukan Hukum Administrasi Negara Dalam Ilmu Hukum. Jurnal
Ilmiah Cakrawarti, 2(1), 30�36.
Darda
Syahrizal, S. H. (2013). Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata
Usaha Negara. MediaPressindo.
Negara, H.
T. U. (n.d.). Hukum Tata Usaha Negara.
Rayhan, A.,
& Wijaya, S. K. (2023). Efektifitas Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Menyelesaikan Putusan Sengketa Tata Usaha Negara. Jurnal Peradaban Hukum,
1(1), 61�80.
Simanjuntak,
E. (2021). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi &
Refleksi. Sinar Grafika.
Soetami, A.
S. (1998). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Sukowati,
P. (2009). Hukum administrasi negara dalam konteks pemerintahaan di Indonesia. Jurnal
Hukum Ekonomi & Bisnis, 7, 25�34.
Yuslim, S.
H. (2022). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Sinar Grafika.
Bachsan Mustafa, Sistem
Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2001
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ,2001
Harahap, Zairin. Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008.
Hendrik Salmon, Eksistenti
Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 2001
Petrus R.G. Sinaga. Sertifikat
Hak Atas Tanah dan Implikasi Terhadap Kepastian Kepemilikan Tanah. Vol.II/No.
7 Agustus 2014. Petrus-R.G.Sinaga.ac.id.
Putusan PTUN JAKARTA Nomor 59/G/2016/PTUN-JKT Tanggal
25 April 2016 � Galuh Radiah, dkk ; gubernur provinsi daerah khusus ibukota
jakarta
Putusan PTUN JAKARTA Nomor 267_k-tun_2016 Tanggal 25
April 2016 � Galuh Radiah, dkk ; gubernur provinsi daerah khusus ibukota
jakarta
Siti Soetami ;
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung : Refika Aditama, 2005
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Wijayanti,
Sri. Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas
Tanah Sebagai Bukti Hak kepemilikan Tanah, Vol.16. 2010.
|
|