Laporan Kasus : Tatalaksana Tetanus dengan Ventilasi Mekanik Jangka Panjang di Icu
� Case Report: Management of Tetanus with Long-Term
Mechanical Ventilation in ICU
1)* Nira Muniroh Almunawar, 2)Untung
Widodo
1,2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
*Email: 1) [email protected]
*Correspondence: 1) Nira
Muniroh Almunawar
DOI: 10.59141/comserva.v4i4.1414 |
ABSTRAK Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah yang disebabkan oleh bakteri gram positif bernama Clostridium tetani. Ini adalah
penyakit akut namun fatal, terutama bagi orang lanjut usia dan orang yang lemah. Meskipun angka kesakitan penyakit ini menurun seiring
dengan penyebaran vaksinasi di seluruh dunia, kebutuhan tatalaksana yang kompleks sering menyebabkan kematian. Penatalaksanaan dini dan memadai akan memperbaiki mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Seorang laki-laki berusia 61 tahun masuk di IGD RSUP Dr. Sardjito dengan keluhan kejang. Dia menderita disfagia selama 3 hari dan kaki kanannya terluka akibat pecahan kaca kotor seminggu
sebelumnya. Dia dalam kondisi
sadar penuh namun nyaris tidak dapat membuka
mulutnya. Anggota gerak dan dinding perutnya mengalami kekakuan otot secara berkala. Tekanan darah 187/112 mmHg, denyut nadi 121 bpm, frekuensi pernapasan 36 kali
per menit, dan SpO2 95% pada udara
ruangan. Hasil laboratorium
menunjukkan anemia 9,6 mg/dL, dan peningkatan PaCO2 65,7 mmHg, selebihnya
normal. Ia menjalani
debridement pada lukanya tersebut,
mendapat HTIG 3000 IU IM dan diintubasi
di IGD, kemudian dirawat
di ICU. Metronidazol 500mg/8 jam dan ceftriaxone 2g
setiap hari disuntikkan. Morfin dan diazepam masing-masing 0,5 mg/jam
dan 5mg/jam diberikan untuk pengendalian
kejang berkelanjutan. Pneumonia
muncul pada hari ke 5
yang menyebabkan syok septik. Antibiotik secara empiris ditingkatkan menjadi meropenem
2g/6 jam saat kultur dahak
diuji. Norepinefrin dan dobutamin diberikan karena ketidakstabilan hemodinamik. Trakeostomi dilatasi perkutan dilakukan pada hari ke 7. Hasil
uji mikroba menunjukkan
MRSA sensitif terhadap amikasin pada hari ke 10. Pasien ini dirawat
di ICU selama 35 hari dengan dukungan ventilasi mekanis selama 32 hari, kemudian dipindahkan ke HCU dengan dipasang selang trakeostomi. Debridemen segera sangat penting bagi pasien tetanus. Antibiotik memainkan peran penting. Metronidazol dipilih karena kemampuannya menembus area aerobik. Ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap Clostridium tetani yang memiliki
ekspresi transporter glutamat
neuroprotektif. Kombinasi
ini meningkatkan efek pemberantasan bakteri. Penatalaksanaan
tetanus di ICU terdiri dari
3 poin utama; (1) pemberantasan mikroba dengan debridemen luka dan antibiotik yang tepat, (2) netralisasi racun, dan (3) terapi suportif untuk kejang, ketidakstabilan hemodinamik,
dan infeksi sekunder. Trakeostomi dini harus dipertimbangkan karena diperkirakan akan memperpanjang perawatan intensif. Kata kunci: tetanus, perawatan intensif |
ABSTRACT
Tetanus is
preventable disease caused by gram positive stained bacteria named Clostridium
tetani. It�s an acute yet fatal disease, especially for elderly and debilitated
population. Although its morbidity decreased by the worldwide vaccination
spread, the fatality remains caused by complex and prolong care needed. Early
and adequate management improve its mortality and morbidity. A 61st
years old male was admitted to ER of Sardjito General
Hospital with convulsion. He had dysphagia for 3 days and his right foot
injured by dirty broken glass a week before. He barely opened his mouth yet was
fully awake. His limbs and abdominal wall had periodic muscle stiffness. Blood
pressure was 187/112 mmHg, pulse rate 121 bpm, respiratory rate 36 per minutes,
and SpO2 95% on room air. The laboratory finding showed anemia 9.6 mg/dL, and
PaCO2 65.7 mmHg, the rest remained normal. He underwent debridement of
suspected wound, got HTIG 3000 IU IM and was intubated at ER, then admitted to
ICU. Metronidazole 500mg/8hr and ceftriaxone 2g daily were injected. Morphine
and diazepam 0.5 mg/hr and 5mg/hr
respectively were administrated for continuous convulsion control. Pneumonia
was developed at day 5th causing septic shock, then antibiotic
empirically escalated to meropenem 2g/6hr while sputum culture was tested.
Norepinephrine and dobutamine were administered due to hemodynamic instability.
Percutaneous dilatation tracheostomy was executed by day 7th. The
result of microbial test showed amikacin sensitive MRSA by day 10th.
This patient stayed in ICU for 35 days with mechanical ventilation support for
32 days, then moved to HCU with tracheostomy tube placed. Immediate debridement
is crucial for tetanus patient. Antibiotics play important role. Metronidazole
is chosen due to its ability to penetrate aerobic area. Ceftriaxone is a
broad-spectrum antibiotic effective for Clostridium tetani which has
neuroprotective glutamate transporter expression. This combination improves the
effect of bacteria eradication. HTIG binds to unbound toxins, while bound
toxins will be degraded by 21-30 days. Supportive therapy is important during
that time. Spasm control with proper sedation and anticonvulsive agent should
be maintained; morphine and diazepam are a great combination that have role in
hemodynamic stability. ICU management of tetanus consist of 3 main point; (1)
microbial eradication with wound debridement and proper antibiotics, (2)
neutralization of toxins, and (3) supportive therapy for convulsion,
hemodynamic instability, and secondary infection. Early tracheostomy should be
considered due to predicted prolong intensive care.
Keywords:
tetanus,
intensive care.
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, yang menghasilkan neurotoksin kuat bernama tetanospasmin. Meskipun insidensi tetanus telah menurun secara
signifikan di negara-negara maju
berkat program imunisasi
yang luas, penyakit ini masih menjadi
masalah kesehatan di beberapa negara berkembang. Penyakit ini dapat
menimbulkan tantangan yang signifikan dalam manajemen klinis, terutama ketika pasien memerlukan
perawatan intensif di unit perawatan intensif (ICU).
Insidensi tetanus global tetap signifikan, dengan kasus yang lebih umum terjadi di negara-negara dengan cakupan imunisasi yang rendah. Menurut World Health Organization (WHO), tetanus masih menyebabkan ribuan kematian setiap tahun, terutama
di wilayah Asia Tenggara dan Afrika (WHO, 2019). Di negara-negara dengan cakupan vaksinasi yang baik, kasus tetanus cenderung terjadi pada populasi yang tidak divaksinasi atau yang tidak mendapatkan booster secara berkala, seperti orang dewasa yang lebih tua (CDC, 2021).
Manajemen
tetanus di ICU memerlukan pendekatan
multidisiplin yang melibatkan
dokter, perawat, ahli gizi, dan profesional kesehatan lainnya untuk memastikan penanganan yang komprehensif. Kasus tetanus yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan
komplikasi serius seperti disfungsi otonom, pneumonia aspirasi, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai patofisiologi tetanus serta pendekatan manajemen yang tepat sangat penting untuk meningkatkan prognosis pasien
(Thwaites & Yen, 2014)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 61 tahun datang
ke IGD rujukan dari RS tipe C dengan diagnosis tetanus dengan luka masuk
dari kaki kanan yang sudah tertutup kasa. Saat dirujuk badan pasien kaku dan tidak bisa membuka mulut� sejak
1 hari sebelumnya. Pasien sudah mengalami sulit menelan sejak
3 hari yang lalu. Pasien Riwayat tertusuk kaca saat mencari
sampah. Keluarga maupun pihak RS perujuk menyatakan tidak ada episode demam. Selama dirawat
pasien dimasukkan ke dalam ruangan isolasi gelap dan beberapa kali mengalami kejang sebelum akhirnya dirujuk. Luka di kaki pasien
sudah dibersihkan dan sudah mendapatkan
ATS dari RS perujuk.
Saat masuk IGD pasien dalam kondisi kejang, dengan pemeriksaan tanda vital TD
187/112, HR 121 x/mnt, RR 36 x/mnt,
SpO2 95% dengan udara bebas. Pasien tidak
berespon terhadap pemberian diazepam 20 mg, sehingga
dilakukan pelumpuhan dan intubasi untuk menjaga jalan napas. Pasien menjalani debridemen luka kaki di kamar operasi IGD dan kemudian menjalani perawatan di ICU pasca operasi.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit terdahulu disangkal. Riwayat penyakit kejang dalam keluarga disangkal.
Di ICU pasien mendapatkan tatalaksana inisial berupa ventilasi mekanis mode PSIMV RR
14 x/mnt, PC 12, PS 10, PEEP 5, FiO2 50%, injeksi HTIG 3000 IU IM, injeksi
ceftriaxone 1g/12 jam IV, injeksi metronidazole 500
mg/6 jam IV, morfin kontinyu
1 mg/jam IV, diazepam kontinyu 0.5 mg/jam IV, dan
omeprazole 40 mg/24 jam IV. Hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan gambaran kardiomegali tanpa adanya kelainan
pada pulmo.
Pada hari ke-5 pasien menunjukkan tanda infeksi sekunder
berupa demam dan peningkatan leukosit sehingga dilakukan kultur darah, sputum dan urin. Pemeriksaan x-foto thorax menunjukkan adanya perkembangan pneumonia di pulmo dextra (Gambar 2).
Pada hari ke-7 perawatan pasien mengalami penurunan kondisi dengan instabilitas hemodinamik, MAP mencapai 52 mmHg sehingga diberikan topangan hemodinamik dengan norepinephrine
mulai 0.05 mcg/kgBB/mnt titrasi naik. Pada hari ini dilakukan
ekskalasi antibiotik
meropenem 2g/8 jam IV. Hari ke-8 dilakukan
percutaneous dilatation tracheostomy (PDT).
Topangan hemodinamik terus meningkat hingga hari ke-10 perawatan, dengan dosis norepinephrine 0.2 mcg/kgBB/mnt dan dobutamine 5 mcg/kgBB/mnt untuk mempertahankan MAP >
65 mmHg. Morfin kontinyu dihentikan
dengan pertimbangan tersebut. Pada hari ini hasil kultur keluar dengan ditemukannya multy-drug resistance Staphylococcus aureus
(MRSA) yang sensitif terhadap
amikacin, maka meropenem dihentikan
dan diganti antibiotik
sesuai hasil kultur. Pasien mulai
mendapatkan terapi
fluconazole 200 mg/24 jam IV mulai hari ke-14 dengan pertimbangan pemberian antibiotik jangka panjang selama dirawat di RS.
Kondisi hemodinamik dan
parameter infeksi terus membaik, hingga topangan berhenti seluruhnya pada hari ke 22 perawatan. Kejang sudah tidak ditemukan sehingga diazepam kontinyu dihentikan pada hari ke-26 perawatan. Kesadaran pasien perlahan mulai kembali dan penyapihan
ventilator berjalan lancar
dan pasien stabil dengan bantuan T-piece pada hari ke-32 perawatan. Pasien dirawat di ICU selama 35 hari dan kemudian dipindahkan ke HCU dengan tracheostomy tube yang masih
terpasang.
Tabel 1. Hemodinamik
|
H0 |
H5 |
H7 |
H10 |
H14 |
H22 |
H26 |
H32 |
H35 |
HR |
122 |
128 |
136 |
134 |
138 |
125 |
102 |
98 |
94 |
TDS |
152 |
144 |
108 |
91 |
101 |
126 |
116 |
142 |
134 |
TDD |
92 |
81 |
63 |
52 |
50 |
54 |
62 |
64 |
65 |
MAP |
112 |
102 |
78 |
65 |
67 |
78 |
80 |
90 |
88 |
Suhu |
36.8 |
36.5 |
37.8 |
38.4 |
37.2 |
36.8 |
36.8 |
36.2 |
36.6 |
UOP |
0.8 |
1.1 |
0.3 |
0.5 |
0.7 |
1.2 |
1.0 |
0.9 |
1.2 |
MV |
PSIMV |
PSIMV |
PSIMV |
PSIMV |
PSIMV |
PSIMV |
PS |
T-pc |
NOC |
Tabel 2. Hasil Laboratorium
|
H0 |
H5 |
H7 |
H10 |
H14 |
H22 |
H26 |
H32 |
H35 |
DLO |
|||||||||
Hb |
9.6 |
10.2 |
9.2 |
8.8 |
9.0 |
9.8 |
9.7 |
|
10.2 |
Hmt |
30.3 |
30.6 |
27.5 |
26.2 |
27.2 |
30.0 |
29.4 |
|
30.8 |
AL |
11600 |
18260 |
21670 |
27520 |
13350 |
8450 |
6530 |
|
7320 |
AT (103) |
473 |
325 |
527 |
533 |
367 |
350 |
327 |
|
276 |
Kimia
darah |
|||||||||
Na |
137 |
132 |
138 |
145 |
142 |
135 |
138 |
|
137 |
K |
4.7 |
4.2 |
4.5 |
5.1 |
4.8 |
4.5 |
4.2 |
|
4.4 |
Cl |
94 |
92 |
94 |
113 |
101 |
103 |
98 |
|
100 |
BUN |
28 |
29 |
52 |
78 |
53 |
38 |
|
|
31 |
Cre |
0.69 |
0.72 |
1.88 |
2.73 |
1.62 |
1.01 |
|
|
0.98 |
SGOT |
53 |
|
|
67 |
59 |
|
|
|
|
SGPT |
48 |
|
|
103 |
62 |
|
|
|
|
Alb |
3.16 |
|
|
|
2.92 |
|
|
|
|
PCT |
0.371 |
7.8 |
21.8 |
56.1 |
5.82 |
0.76 |
0.58 |
|
|
Studi
Koagulasi |
|||||||||
PPT/K |
11.4/11 |
|
14.5/13 |
|
|
|
|
|
|
APTT/K |
31.2/30.3 |
|
35.6/33 |
|
|
|
|
|
|
INR |
1.04 |
|
1.21 |
|
|
|
|
|
|
BGA |
|||||||||
pH |
7.405 |
7.21 |
7.25 |
7.22 |
7.34 |
7.38 |
7.4 |
7.392 |
7.41 |
PO2 |
97.8 |
102.6 |
98.8 |
100.8 |
98.6 |
97.8 |
88.5 |
92.7 |
89.1 |
PCO2 |
65.7 |
36.4 |
26.5 |
25.4 |
40.2 |
42.6 |
40.5 |
38.8 |
39.2 |
HCO3- |
40.2 |
20.1 |
18.7 |
16.5 |
20.6 |
26.4 |
25,4 |
26.2 |
25.7 |
SO2 |
98.5 |
99.2 |
99.5 |
98.7 |
99.2 |
98.5 |
99.6 |
99.8 |
99.6 |
BE |
13.43 |
-4.2 |
-6.7 |
-12.3 |
-1.6 |
2.3 |
1.2 |
0.9 |
1.1 |
Laktat |
|
1.8 |
2.6 |
2.8 |
0.8 |
|
|
|
|
Gambar 2 Perkembangan X-foto Thorax
Gambar 3 Hasil EKG; gambaran sinus takikardia tanpa disertai gambaran iskemia
PEMBAHASAN
Pasien terdiagnosis
tetanus dengan melihat riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik, di mana adanya trismus dan
kejang yang terjadi dalam kondisi sadar.
Berdasarkan skor
Dakar, pasien memiliki nilai skor 3, yaitu
masa inkubasi kurang dari 7 hari, adanya
spasme, dan mengalami gangguan hemodinamik berupa takikardi dengan HR >120 x/mnt. dengan nilai prediksi
mortalitas sebesar 10-20%
(Tabel 3).
Tabel
3. Skor Dakar; Prognosis Mortalitas Pasien Tetanus
Tatalaksana awal tetanus adalah netralisasi toksin yang belum berikatan dengan reseptor, dengan pemberian human anti-tetanus immunoglobulin (HTIG). Dosis yang dianjutkan sebesar 500 IU sebagai profilaksis, atau 3000-10000 IU jika manifestasi kerja
tetanospasmin sudah muncul. Pasien
mendapatkan 3000 IU dengan melihat adanya trismus dan kejang sebagai manifestasi aktivitas
tetanospasmin. Pemberian hanya
diberikan sekali, karena waktu paruhnya
yang panjang, yaitu 25-30 hari. Toksin yang sudah berikatan dengan reseptor memerlukan waktu 14-21 hari untuk terdegradasi dalam tubuh.
Setelah mengatasi toksin, maka diperlukan upaya untuk menghilangkan bakteri dan spora penyebab, yaitu dengan debridemen luka yang dicurigai menjadi tempat masuknya bakteri dan pemberian antibiotik. Meskipun pasien sudah dilakukan pembersihan luka di RS sebelumnya, kondisi luka masih
tampak kurang baik, maka diputuskan
untuk melakukan tindakan debridemen ulang di IGD. Ceftriaxone merupakan
antibiotik pilihan untuk kuman C.tetani
karena memiliki efek neuroproteksi dengan meningkatkan ekspresi transporter glutamate. Kombinasu
dengan metronidazole bertujuan
untuk penetrasi terhadap jaringan nekrotik. Penicillin G
juga dapat diberikan, namun peril dipertimbangkan sifatnya yang merupakan antagonis GABA di system saraf pusat (SSP) sehingga dapat memicu spasme.
Obat-obatan yang meningkatkan
neurotransmiter GABA terbukti
efektif mengendalikan kejang pada pasien tetanus. Pasien mendapatkan terapi diazepam kontinyu sebagai antikonvulsan. MgSO4 dapat digunakan untuk mengurangi gangguan otonom sekaligus mengendalikan kekakuan otot pada pasien yang tidak memerlukan ventilasi mekanik. Blokade neuromuscular bisa digunakan
apabila obat pengontrol kejang yang lain masih belum bisa mengatasi kejang yang terjadi, namun harus dipertimbangan segi ekonomisnya.
Pasien mengalami kejang yang tidak berespon terhadap diazepam 20 mg, sehingga
dilakukan pelumpuhan dan pemasangan pipa endotrakeal untuk
menjaga jalan napas, dan pasien dibantu dengan ventilasi mekanik karena pemberian sedasi dalam untuk mencegah kejang berulang. Trakeostomi dini disarankan pada pasien ini untuk mencegah terjadinya pneumonia akibat bantuan ventilasi mekanik jangka panjang, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tetanospasmin
yang sudah berikatan luas dengan reseptor baru akan terdegradasi dalam jangka lama. Pada tahap awal support penuh ventilasi mekanik diperlukan untuk mengistirahatkan
otot-otot bantu pernapasan. Setelah fase kejang teratasi,
ventilasi mekanik dapat mulai disapih
untuk melatih otot-otot pernapasan kembali.
Disfungsi otonom pada pasien tetanus adalah hilangnya inhibisi refleks otonom secara berlebihan,
seringkali bermanifestasi sebagai hipertensi disertai takikardi, diaphoresis,
dan kadang justru mengalami hipotensi hingga henti jantung.
Sedasi yang efektif mengurangi efek disfungsi otonom pada sebagian besar kasus. Kombinasi α dan
β bloker dapar digunakan untuk overeaktivitas simpatis. Pemberian α-2
agonis dapat menimbulkan efek pengendalian� disfungsi
otnom dan sedasi yang cukup baik, namun
perlu berhati-hati pada pasien
dengan hipotensi. Pasien mendapatkan morfin kontinyu 1 mg/jam untuk bersinergi dengan diazepam menimbulkan efek sedasi sekaligus analgetic, selain itu dengan dosis 10-20 mcg/kgBB/jam juga dapat menurunkan kinerja tetanospasmin dengan mengganti defisiensi opioid
endogen
SIMPULAN
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Meskipun angka kejadiannya sudah menurun dengan penggalakan vaksinasi, namun infeksinya dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Tatalaksana tetanus
memerlukan kerjasama multidisiplin yang solid, dengan sasaran meliputi:
1.
Eradikasi bakteri penyebab dengan debridemen luka dan pemberian antibiotik
2.
Netralisasi toksin dengan HTIG
3.
Perawatans suportif sampai toksin yang terikat dengan reseptor di jaringan terdegradasi sempurna
Kemunculan spasme otot pada pasien tetanus mengindikasikan perlunya perawatan intensif, karena berpotensi mengalami progresivitas perburukan dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew D. Bersten, Jonathan M. Handy. Oh�s Intensive Care Manual 8th.
2019. Elsevier.
Atkinson, W., Wolfe, S., & Hamborsky, J. (Eds.). (2011). Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Diseases. Public Health Foundation.
Brauner et al in Changes in severe accidental tetanus mortality in the ICU
during two decades in Brazil Intensive Care Med 2002 28:930�935 DOI
10.1007/s00134-002-1332-4.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021). Tetanus.
Retrieved from https://www.cdc.gov/tetanus/index.html
Farrar, J. J., Yen, L. M., Cook, T., Fairweather, N., Binh, N., Parry, J.,
& Parry, C. M. (2000). Tetanus. Journal
of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 69(3), 292-301.
Jaya dkk. 2018. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit , Anesthesia & Critical care, vol 36.
Karnad� et al in Intensive Care�
Management of Severe Tetanus , Indian Journal of Critical Care Medicine
(2021): 10.5005/jp-journals-10071-23829.
Thwaites, C. L., & Yen, L. M. (2014). Tetanus. Lancet, 383(9918), 1247-1259.
World Health Organization (WHO). (2019). Tetanus. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tetanus
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021). Tetanus.
Retrieved from https://www.cdc.gov/tetanus/index.html
Farrar, J. J., Yen, L. M., Cook, T., Fairweather, N., Binh, N., Parry, J.,
& Parry, C. M. (2000). Tetanus. Journal
of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 69(3), 292-301.
Thwaites, C. L., & Yen, L. M. (2014). Tetanus. Lancet, 383(9918), 1247-1259.
Thwaites L , MD��� Tetanus in
UpToDate https://www.uptodate.com/contents/tetanus� 2022.
World Health Organization (WHO). (2019). Tetanus. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tetanus