Implikasi Penggunaan Kata Umum dalam Pendaftaran Merek Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

 

� Implications of Using General Words in Trademark Registration Based on Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications

 

1)* Ricoriady Simamora, 2)Rika Ratna Permata, 3)Sudaryat

1,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia.

 

*Email: 1) [email protected]

*Correspondence: 1) Ricoriady Simamora

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i3.1407

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Merek sebagai salah satu rezim kekayaan intelektual digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan suatu produk yang ada di pasaran. Untuk dapat memperoleh pelindungan, suatu merek harus dilakukan pendaftaran. Dalam pendaftaran merek terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, salah satunya yaitu merek tersebut tidak boleh merupakan kata umum. Namun dalam faktanya banyak merek yang merupakan kata umum yang lolos pemeriksaan dan terdaftar sebagai merek. Hal tersebut menimbulkan permasalahan mengenai bagaimana kedudukan merek yang merupakan kata umum tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yang dilaksanakan dengan cara meneliti bahan pustaka berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merek yang merupakan kata umum tidak dapat untuk dimonopoli dan dikuasai secara perorangan karena merupakan public domain dan bertentangan dengan Pasal 20 huruf f UU MIG serta tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian TRIPs dan Paris Convention. Terkait dengan tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pendaftaran merek yang merupakan kata umum berdasarkan UU MIG yaitu dapat dilakukan pembatalan atau penghapusan merek.

 

Kata kunci: kata umum, merek, pendaftaran merek

 

ABSTRACT

A brand as one of the intellectual property regimes is used to identify and distinguish a product on the market. In order to obtain protection, a brand must be registered. In registering a brand, there are requirements that must be met, one of which is that the brand must not be a common word. However, in fact, many brands that are common words pass the examination and are registered as brands. This raises the problem of how the brand that is a common word is positioned. This research was conducted using a normative legal approach method or library legal research, which was carried out by examining library materials in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of the study indicate that a brand that is a common word cannot be monopolized and controlled individually because it is a public domain and is contrary to Article 20 letter f of the MIG Law and is not in accordance with the provisions of the TRIPs Agreement and the Paris Convention. Regarding the legal actions that can be taken against the registration of a brand that is a common word based on the MIG Law, the cancellation or deletion of the brand can be carried out

 

Keywords: common words, trademarks, trademark registration

 


PENDAHULUAN

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan suatu hak yang dimiliki oleh manusia untuk menikmati hasil kreativitas intelektualnya secara ekonomis (Sudaryat (et, 2010). Hasil dari intelektualitas yang bernilai ekonomi tersebut penting untuk dilindungi agar memberikan rasa keadilan bagi pemiliknya (Sinuraya, 2019). Kekayaan intelektual adalah suatu hak eksklusif yang diberikan oleh negara, artinya hak ini bersifat khusus dan hanya diberikan kepada kreator atas usahanya dalam membuat suatu kreasi. Hal tersebut karena dalam menciptakan suatu kekayaan intelektual diperlukan waktu, energi, dan biaya yang harus dikorbankan oleh kreator. Dengan pengorbanan tersebut juga kekayaan intelektual menjadi hal yang berharga dan bernilai, sehingga dalam dunia usaha kekayaan intelektual ini dapat dianggap sebagai aset Perusahaan (Hidayah, 2017).

Dalam kancah internasional, terdapat organisasi yang mengatur mengenai bidang kekayaan intelektual, yaitu World Intellectual Property Organization (WIPO) yang memberikan pengertian kekayaan intelektual sebagai kreasi yang berupa invensi, sastra dan karya seni, simbol, nama, gambar, dan desain yang dimanfaatkan dalam perdagangan. Di samping itu, terdapat pula perjanjian internasional yang mengatur mengenai kekayaan intelektual, salah satunya yaitu Perjanjian Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Menurut Perjanjian TRIPs, kekayaan intelektual meliputi hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, desain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu, dan informasi rahasia.

Merek merupakan salah satu rezim dalam kekayaan intelektual yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap suatu bisnis atau perdagangan. Seperti yang diketahui, saat ini teknologi sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga perdagangan pun mengalami kemajuan, yang mana kini kegiatan jual beli dapat dilakukan dimanapun dengan memanfaatkan media elektronik dan internet tanpa harus bertatap muka secara langsung. Hal tersebut senyatanya mengakibatkan merek menjadi sesuatu yang krusial bagi seseorang untuk membedakan suatu barang atau jasa yang satu dengan barang atau jasa yang lain (Rizkia & Fardiansyah, 2022).

Pengaturan mengenai merek di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam pendaftarannya, hak atas merek diberikan terhadap pihak yang pertama kali melakukan pendaftaran serta menunaikan persyaratan administratif dan substantif yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan (first to file system) (Yafet Yosafet Wilben Rissy, 2021). Hal tersebut mengakibatkan suatu merek tidak akan mendapat pelindungan apabila tidak mendaftarkannya pada negara, atau dikenal sebagai sistem konstitutif.

Berdasarkan UU Merek dan Indikasi Geografis, tidak semua merek dapat didaftarkan dan memperoleh hak atas merek. Pasal 20 UU Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan bahwa suatu merek tidak dapat didaftarkan apabila bertentangan dengan ideologi negara, hanya menyebutkan nama barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, mengandung elemen yang bisa menyesatkan masyarakat, mengandung keterangan yang tidak sesuai dengan sebenarnya, tidak mempunyai daya pembeda, dan merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum.

Dapat diketahui bahwa penggunaan kata umum dalam suatu merek tidak diperbolehkan dan menyebabkan merek tersebut menjadi tidak dapat didaftarkan. Kata umum merupakan kata yang memiliki makna mengenai hal-hal yang bersifat umum dan memiliki cakupan arti yang luas. Kata umum tidak dapat digunakan sebagai merek karena dapat menimbulkan kecurangan bagi para competitor (Husnah et al., 2021). Selain itu, penggunaan kata umum juga tidak diperbolehkan mengingat tidak adil untuk membiarkan monopoli sesuatu yang menjadi milik umum (public domain), karena berkaitan dengan hak masyarakat yang lebih luas (Rahmi Jened, 2013).

Merek yang merupakan kata umum akan merugikan bagi pihak lain karena kata tersebut menjadi eksklusif hanya untuk si pendaftar. Dengan kata lain, pihak lain tidak dapat menggunakan kata tersebut tanpa adanya izin dari si pemilik merek. Oleh karena itu, merek yang merupakan kata umum tidak dapat dimonopoli dan digunakan secara pribadi karena bersifat umum dan menjadi milik umum yang tidak dapat digunakan sebagai merek

 

METODE

Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yang dilaksanakan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Mamudji, 2018). Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam tulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penggambaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum (Ali, 2021), kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan tersebut yang berkaitan mengenai topik permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca dan menelaah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, seperti undang-undang, buku, dan lain sebagainya, sehingga diperoleh informasi yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif, yaitu didasarkan kepada norma hukum yang berlaku sebagai hukum positif dan penelitian dilakukan dengan analisis terhadap literatur-literatur, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan topik permasalahan yang dibahas.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan definisinya, merek secara garis besar digunakan sebagai tanda bagi suatu produk yang difungsikan untuk membedakan produk yang satu dengan produk lainnya. Merek menjadi hal yang penting karena merek dapat menimbulkan ciri khas suatu produk yang diingat oleh konsumen, sehingga dapat berpengaruh terhadap penjualan produk dan penghasilan dari perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Oleh karena itu, merek perlu untuk diberikan pelindungan guna mencegah terjadinya penyalahgunaan merek oleh pihak lain yang dapat merugikan si pemilik merek. Di Indonesia, pelindungan merek telah dimanifestasikan melalui pendaftaran merek yang diatur dalam UU No 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pendaftaran merek yang dilakukan harus memenuhi beberapa persyaratan guna mencegah terjadinya pendaftaran merek dengan itikad buruk dan pelanggaran merek. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah merek diatur pada UU Merek dan Indikasi Geografis. Berdasarkan Pasal 20 UU Merek dan Indikasi Geografis, suatu merek tidak bisa didaftarkan apabila bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; merek yang didaftar hanya menyebut barang atau jasa yang dimohonkan (deskriptif); dapat menyesatkan masyarakat; berisi mengenai keterangan yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya; tidak memiliki daya pembeda; dan merupakan nama dan/atau lambang milik umum. Persyaratan-persyaratan tersebut harus dipenuhi secara keseluruhannya agar dapat diterima dan mendapat pelindungan oleh hukum.

Dalam meminimalisir terjadinya pelanggaran merek, proses pendaftaran merek juga dilakukan dengan menempuh beberapa tahapan pemeriksaan yaitu pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan administratif dilakukan untuk memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan berkas-berkas pendaftaran seperti biodata pemohon, jenis barang/jasa yang dimohonkan pendaftarannya, kelas barang/jasa, dan sebagainya. Sedangkan pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap suatu merek, apakah merek tersebut telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam undang-undang atau tidak. Pemeriksaan substantif dilakukan secara mendalam dan detail untuk mencegah terjadinya pelanggaran merek dan pelanggaran hak orang lain. Dalam pemeriksaan substantif ini akan ditentukan apakah suatu merek dapat diterima atau ditolak pendaftarannya (Pritama & Rahaditya, 2023).

Dengan banyaknya syarat-syarat yang harus dipenuhi dan tahapan pemeriksaan yang harus dilalui, seharusnya membuat merek-merek yang diterima pendaftarannya merupakan merek-merek yang telah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Namun dalam kenyataanya masih banyak merek-merek yang pendaftarannya diterima padahal merek tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan-permasalahan yang dapat merugikan serta melanggar hak pihak lain. Salah satu permasalahan yang timbul dan akan dianalisis yaitu diterimanya pendaftaran kata umum sebagai merek.

Kata merupakan salah satu unsur yang dapat didaftarkan sebagai merek, namun tidak semua kata bisa didaftarkan begitu saja. Tentunya kata tersebut harus memiliki daya pembeda yang kuat, juga tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moraltas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, serta kata tersebut tidak boleh merupakan kata umum. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan peraturan tertulis yang mengatur mengenai merek dan merupakan pedoman bagi pendaftaran merek di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kata umum tidak dapat didaftarkan sebagai merek.

Kata-kata umum yang berasosiasi dengan produk atau jasa tidak akan bisa dilindungi sebagai merek, karena hal tersebut akan mengakibatkan kecurangan bagi para kompetitor. Tanda yang telah menjadi milik umum juga tidak dapat didaftarkan sebagai merek, seperti tanda tengkorak di atas dua tulang (tanda bahaya), tanda produk daur ulang, tanda produk fragile (mudah pecah), tanda lalu lintas (traffic light), dan tanda farmasi. Nama atau tanda milik umum terdiri dari tanda atau indikasi yang menunjukkan kebiasaan atau lumrah terkait dengan bahasa yang dikenal secara nasional atau internasional. Tanda tersebut merupakan tanda yang bersifat umum dan telah menjadi public domain.

Kata umum dapat digunakan oleh setiap orang dan tidak bisa menjadi hak eksklusif seseorang saja. Kata umum merupakan istilah yang menunjukkan sesuatu secara umum tanpa perlu memperlihatkan sumber atau penciptanya, sehingga setiap orang dapat menggunakan kata umum tanpa memerlukan izin karena kata tersebut merupakan public domain atau milik umum. Kata umum merupakan kata yang kerap digunakan oleh masyarakat yang dapat diterjemahkan sendiri oleh setiap orang atau yang dapat dimengerti secara alamiah oleh masyarakat luas.

Penggunaan kata umum sebagai merek dinilai dapat menimbulkan kerugian dan permasalahan bagi pihak lain, mengingat kata umum yang diterima pendaftarannya maka akan menimbulkan hak eksklusif bagi si pendaftar untuk memonopoli kata tersebut. Padahal kata umum tidak dapat dikuasai kepemilikannya, dan setiap orang berhak untuk menggunakan kata tersebut tanpa harus meminta izin kepada pihak tertentu.

Dengan terdaftarnya kata umum tersebut sebagai merek, tentu membuat pihak lain tidak dapat lagi menggunakan kata umum tersebut tanpa adanya izin dari si pemilik merek. Pihak lain yang menggunakan kata umum tersebut dapat saja digugat oleh si pemilik merek kata umum karena menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan dan menyebabkan ketidakadilan dalam penggunaan kata umum.

Apabila melihat dalam praktik dan kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, kata umum dapat didaftarkan apabila dipadukan dengan kata lainnya sehingga dapat menimbulkan ciri khusus dan daya pembeda yang bisa digunakan untuk membedakan produk tersebut dengan produk lainnya. Daya pembeda merupakan hal utama dalam pendaftaran merek. Dengan begitu kata umum dapat didaftarkan sebagai merek apabila memiliki daya pembeda. Daya pembeda tersebut dapat diperoleh dengan memadukan kata umum dengan kata lain yang unik.

Kata umum yang hanya berdiri sendiri dan telah diketahui secara umum oleh masyarakat tidak dapat didaftarkan sebagai merek dan tidak dapat dikuasai kepemilikannya. Berbeda halnya dengan kata deskriptif. Dalam praktiknya, kata deskriptif yang hanya menjelaskan mengenai produk yang dimohonkan pendaftarannya masih dapat diterima sebagai merek apabila telah terbangun secondary meaning dalam merek tersebut. Secondary meaning ini dapat digunakan sebagai daya pembeda yang bisa diperoleh dari pengakuan konsumen dalam penggunaannya di masyarakat. Namun apabila belum terbangun secondary meaning pada kata deskriptif tersebut, maka kata itu dikategorikan sebagai kata umum yang tidak boleh didaftarkan sebagai merek.

Hal yang sangat perlu diperhatikan dalam pendaftaran merek yaitu adanya daya pembeda, sebagaimana fungsi utama dari merek yaitu untuk membedakan barang/jasa yang satu dengan barang/jasa yang lainnya. Kata umum yang digunakan sebagai merek dianggap tidak memiliki daya pembeda atau daya pembedanya sangat lemah, karena kata umum tidak memiliki kekhasan dan tidak ada ciri khusus yang ada dalam kata umum yang dapat digunakan sebagai pembeda (Wibowo & Hadi, 2017). Dengan tidak adanya daya pembeda, suatu merek tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi barang sehingga tidak tercapai fungsi merek yang seharusnya.

Merujuk kepada Perjanjian TRIPs yang menjadi standar minimum pada pembentukan aturan dalam UU Merek dan Indikasi Geografis, penggunaan kata umum tidak diatur secara eksplisit. Perjanjian TRIPs pada dasarnya menekankan bahwa tanda yang dapat dijadikan merek harus dapat membedakan barang dan jasa dari satu usaha dengan usaha lain (Verdianti, 2020). Adanya daya pembeda dan ciri khas dari suatu merek menjadi hal yang sangat penting untuk dapat diterima pendaftarannya. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa kata umum tidak memilik ciri khas dan daya pembeda yang kuat, sehingga pendaftaran kata umum menurut perjanjian TRIPs seharusnya tidak dapat diterima.

Begitu juga halnya dalam Paris Convention yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997. Paris Convention menyatakan bahwa suatu merek tidak dapat diterima pendaftarannya apabila merek tersebut tidak memiliki daya pembeda atau telah menjadi kebiasaan dalam bahasa saat ini (Dondokambey & Rahaditya, 2023). Artinya kata yang telah diketahui oleh masyarakat atau kata yang digunakan secara umum dalam berbahasa di masyarakat digolongkan sebagai kata umum yang tidak dapat diterima pendaftarannya sebagai merek.

Berdasarkan hal di atas, pendaftaran kata umum sebagai merek tentu tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Pada UU Merek dan Indikasi Geografis telah dinyatakan bahwa kata umum tidak dapat didaftarkan sebagai merek, namun pada kenyataanya masih banyak merek yang merupakan kata umum yang diterima pendaftarannya. Hal ini menyebabkan norma yang terdapat dalam Pasal 20 huruf f UU MIG tersebut tidak dipatuhi dan menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat. Dengan diterimanya pendaftaran merek yang merupakan kata umum menyebabkan norma hukum tertulis yang terdapat dalam UU MIG tidak dijalankan dengan baik, yang mana hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang menyatakan bahwa hukum (peraturan perundang-undangan) harus dapat dijalankan dengan baik dan konsisten.

Telah diketahui bahwa pendaftaran merek yang merupakan kata umum merupakan pelanggaran atas Pasal 20 huruf f UU MIG. Terhadap merek yang melakukan pelanggaran atas pasal tersebut dapat dilakukan tindakan hukum berupa gugatan pembatalan merek ataupun penghapusan merek. Pembatalan merek dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Di sisi lain, apabila Menteri menemukan adanya pelanggaran merek sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 72 Ayat 7 UU MIG, maka Menteri atas prakarsanya sendiri dapat melakukan penghapusan merek tanpa adanya gugatan dari pihak lain.

Pembatalan atau penghapusan merek terdaftar akan menyebabkan merek tersebut dicoret dari Daftar Umum Merek. Dalam hal ini, merek terdaftar yang merupakan kata umum telah hilang perlindungan hukumnya. Hak atas merek yang sudah dibatalkan atau dihapus tersebut akan kembali menjadi hak yang bebas, sehingga kata umum tersebut kembali menjadi public domain yang penggunaanya dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa memerlukan izin dari siapa pun.

 

SIMPULAN

Praktik pendaftaran merek yang merupakan kata umum tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu bertentangan dengan Pasal 20 huruf f UU MIG dan juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian TRIPs dan Paris Convention. Kata umum merupakan public domain yang tidak dapat didaftarkan sebagai merek dan tidak boleh untuk dimonopoli oleh seseorang karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan merugikan masyarakat. Di samping itu, kata umum yang digunakan sebagai merek juga tidak memenuhi persyaratan daya pembeda karena kata umum tidak memiliki kekhasan dan tidak ada ciri khusus yang ada dalam kata umum yang dapat digunakan sebagai pembeda, sehingga tidak tercapai fungsi merek yang seharusnya yaitu untuk mengidentifikasi suatu barang dengan barang lainnya.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Z. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.

 

Dondokambey, V. J., & Rahaditya, R. (2023). Analisis Yuridis Penggunaan Kata Umum �Dynasty� Pada Merek Yang Telah Terdaftar. Innovative: Journal Of Social Science Research, 3(2), 7293�7301.

 

Hidayah, K. (2017). Hukum hak kekayaan intelektual. Setara Press.

 

Husnah, S., Yuliana, Y., & Ratnawati, R. (2021). Manajemen alur proses produksi udang windu beku dengan metode Individual Quick Frozen di PT. Madsumaya Indo Seafood, Gresik. Agrokompleks, 21(1), 40�47.

 

Mamudji, S. S. dan S. (2018). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik). Cet 2. Rajawali Pers. Depok.

 

Pritama, N., & Rahaditya, R. (2023). Urgensi Pemeriksaan Substantif Sengketa Merek KasoMax dengan Merek Kaso dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Merek. UNES Law Review, 6(1), 3172�3178.

 

Rahmi Jened, S. H. (2013). Hukum Merek: Trademark Law. Prenada Media.

 

Rizkia, N. D., & Fardiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Penerbit Widina.

 

Sinuraya, S. D. (2019). Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Deepublish.

 

Sudaryat (et,� al. (2010). Hak Kekayaan Intelektual (Oase Media).

 

Verdianti, A. (2020). Program Tobacco Plain Packaging Australia Ditinjau dari Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Trips) Agreement.

 

Wibowo, A., & Hadi, H. (2017). Penerapan Prinsip Itikad Baik dan Daya Pembeda dalam Pendaftaran Merek Dagang yang Bersifat Keterangan Barang (Descriptive Trademark) Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Privat Law, 3(1), 164801.

 

Yafet Yosafet Wilben Rissy. (2021). Hukum Merek dan Indikasi Geografis Internasional dan Nasional (Indonesia) (Griya Medi).

 

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).