Implikasi Penggunaan
Kata Umum dalam Pendaftaran
Merek Berdasarkan UU No. 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis
� Implications of Using General Words in Trademark
Registration Based on Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical
Indications
1)* Ricoriady Simamora, 2)Rika Ratna Permata, 3)Sudaryat
1,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia.
*Email: 1) [email protected]
*Correspondence: 1) Ricoriady Simamora
DOI: 10.59141/comserva.v4i3.1407 |
ABSTRAK Merek sebagai
salah satu rezim kekayaan intelektual digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan
suatu produk yang ada di pasaran. Untuk dapat memperoleh
pelindungan, suatu merek harus dilakukan
pendaftaran. Dalam pendaftaran
merek terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, salah satunya yaitu merek tersebut
tidak boleh merupakan kata umum. Namun dalam faktanya
banyak merek yang merupakan kata umum yang lolos pemeriksaan dan terdaftar sebagai merek. Hal tersebut menimbulkan permasalahan mengenai bagaimana kedudukan merek yang merupakan kata umum tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yang dilaksanakan dengan cara meneliti
bahan pustaka berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merek yang merupakan kata umum tidak dapat
untuk dimonopoli dan dikuasai secara perorangan karena merupakan public domain dan bertentangan
dengan Pasal 20 huruf f
UU MIG serta tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian TRIPs dan Paris Convention. Terkait dengan tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pendaftaran merek yang merupakan kata umum berdasarkan UU MIG yaitu dapat dilakukan
pembatalan atau penghapusan merek. Kata kunci: kata umum, merek, pendaftaran merek |
ABSTRACT
A brand as one of the
intellectual property regimes is used to identify and distinguish a product on
the market. In order to obtain protection, a brand must be registered. In
registering a brand, there are requirements that must be met, one of which is
that the brand must not be a common word. However, in fact, many brands that
are common words pass the examination and are registered as brands. This raises
the problem of how the brand that is a common word is positioned. This research
was conducted using a normative legal approach method or library legal
research, which was carried out by examining library materials in the form of
primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of the study indicate
that a brand that is a common word cannot be monopolized and controlled
individually because it is a public domain and is contrary to Article 20 letter
f of the MIG Law and is not in accordance with the provisions of the TRIPs
Agreement and the Paris Convention. Regarding the legal actions that can be
taken against the registration of a brand that is a common word based on the
MIG Law, the cancellation or deletion of the brand can be carried out
Keywords:
common
words, trademarks, trademark registration
PENDAHULUAN
Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan suatu hak yang dimiliki oleh manusia untuk menikmati
hasil kreativitas intelektualnya secara ekonomis (Sudaryat (et, 2010). Hasil dari
intelektualitas yang bernilai
ekonomi tersebut penting untuk dilindungi
agar memberikan rasa keadilan
bagi pemiliknya (Sinuraya, 2019). Kekayaan
intelektual adalah suatu hak eksklusif
yang diberikan oleh negara, artinya
hak ini bersifat
khusus dan hanya diberikan kepada kreator atas usahanya
dalam membuat suatu kreasi. Hal tersebut karena dalam menciptakan suatu kekayaan intelektual diperlukan waktu, energi, dan biaya yang harus dikorbankan oleh kreator. Dengan pengorbanan tersebut juga kekayaan intelektual menjadi hal yang berharga dan bernilai, sehingga dalam dunia usaha kekayaan intelektual ini dapat dianggap
sebagai aset Perusahaan (Hidayah, 2017).
Dalam
kancah internasional, terdapat organisasi yang mengatur mengenai bidang kekayaan intelektual, yaitu World
Intellectual Property Organization (WIPO) yang memberikan
pengertian kekayaan intelektual sebagai kreasi yang berupa invensi, sastra dan karya seni, simbol, nama,
gambar, dan desain yang dimanfaatkan dalam perdagangan. Di samping itu, terdapat pula perjanjian internasional yang mengatur mengenai kekayaan intelektual, salah satunya yaitu Perjanjian
Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Menurut Perjanjian TRIPs, kekayaan intelektual meliputi hak cipta,
merek dagang, indikasi geografis, desain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu,
dan informasi rahasia.
Merek
merupakan salah satu rezim dalam kekayaan
intelektual yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap suatu bisnis atau
perdagangan. Seperti yang diketahui, saat ini teknologi sedang
mengalami perkembangan yang
cukup pesat sehingga perdagangan pun mengalami kemajuan, yang mana kini kegiatan jual
beli dapat dilakukan dimanapun dengan memanfaatkan media elektronik dan internet tanpa harus bertatap muka secara langsung.
Hal tersebut senyatanya mengakibatkan merek menjadi sesuatu yang krusial bagi seseorang
untuk membedakan suatu barang atau
jasa yang satu dengan barang atau
jasa yang lain (Rizkia & Fardiansyah, 2022).
Pengaturan mengenai merek di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam pendaftarannya, hak atas merek
diberikan terhadap pihak yang pertama kali melakukan pendaftaran serta menunaikan persyaratan administratif dan substantif yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan (first to file system) (Yafet Yosafet Wilben Rissy, 2021). Hal tersebut
mengakibatkan suatu merek tidak akan
mendapat pelindungan apabila tidak mendaftarkannya
pada negara, atau dikenal sebagai sistem konstitutif.
Berdasarkan UU Merek dan Indikasi
Geografis, tidak semua merek dapat
didaftarkan dan memperoleh hak atas merek.
Pasal 20 UU Merek dan Indikasi Geografis
menjelaskan bahwa suatu merek tidak
dapat didaftarkan apabila bertentangan dengan ideologi negara, hanya menyebutkan nama barang atau
jasa yang dimohonkan pendaftarannya, mengandung elemen yang bisa menyesatkan masyarakat, mengandung keterangan yang tidak sesuai dengan
sebenarnya, tidak mempunyai daya pembeda, dan merupakan nama umum dan/atau
lambang milik umum.
Dapat
diketahui bahwa penggunaan kata umum dalam suatu merek
tidak diperbolehkan dan menyebabkan merek tersebut menjadi tidak dapat didaftarkan.
Kata umum merupakan kata
yang memiliki makna mengenai hal-hal yang bersifat umum dan memiliki cakupan arti yang luas. Kata umum tidak dapat digunakan
sebagai merek karena dapat menimbulkan
kecurangan bagi para competitor
(Husnah et al., 2021). Selain itu,
penggunaan kata umum juga tidak diperbolehkan mengingat tidak adil untuk membiarkan
monopoli sesuatu yang menjadi milik umum
(public domain), karena berkaitan
dengan hak masyarakat yang lebih luas (Rahmi Jened, 2013).
Merek
yang merupakan kata umum akan merugikan bagi pihak lain karena kata tersebut menjadi eksklusif hanya untuk si
pendaftar. Dengan kata
lain, pihak lain tidak dapat menggunakan kata tersebut tanpa adanya izin dari
si pemilik merek. Oleh karena itu, merek yang merupakan kata umum tidak dapat dimonopoli
dan digunakan secara pribadi karena bersifat umum dan menjadi milik umum
yang tidak dapat digunakan sebagai merek
METODE
Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yang dilaksanakan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder (Mamudji, 2018). Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam tulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penggambaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum (Ali, 2021), kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan tersebut yang berkaitan mengenai topik permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan
dilakukan dengan membaca dan menelaah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier, seperti undang-undang, buku, dan lain sebagainya, sehingga diperoleh informasi yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
normatif kualitatif, yaitu didasarkan kepada norma hukum yang berlaku sebagai hukum positif dan penelitian dilakukan dengan analisis terhadap literatur-literatur, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan topik permasalahan yang dibahas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan definisinya, merek secara garis besar digunakan sebagai tanda bagi
suatu produk yang difungsikan untuk membedakan produk yang satu dengan produk
lainnya. Merek menjadi hal yang penting karena merek dapat
menimbulkan ciri khas suatu produk
yang diingat oleh konsumen,
sehingga dapat berpengaruh terhadap penjualan produk dan penghasilan dari perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Oleh karena itu, merek
perlu untuk diberikan pelindungan guna mencegah terjadinya
penyalahgunaan merek oleh pihak lain yang dapat merugikan si pemilik
merek. Di Indonesia, pelindungan
merek telah dimanifestasikan melalui pendaftaran merek yang diatur dalam UU No 20 tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis.
Pendaftaran merek yang dilakukan harus memenuhi beberapa persyaratan guna mencegah terjadinya pendaftaran merek dengan itikad buruk
dan pelanggaran merek. Persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh sebuah merek diatur pada UU Merek dan Indikasi Geografis. Berdasarkan Pasal 20 UU Merek dan Indikasi
Geografis, suatu merek tidak bisa
didaftarkan apabila bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas,
agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; merek yang didaftar hanya menyebut barang atau jasa
yang dimohonkan (deskriptif);
dapat menyesatkan masyarakat; berisi mengenai keterangan yang tidak sesuai dengan
yang sebenarnya; tidak memiliki daya pembeda;
dan merupakan nama dan/atau lambang milik
umum. Persyaratan-persyaratan
tersebut harus dipenuhi secara keseluruhannya agar dapat diterima dan mendapat pelindungan oleh hukum.
Dalam meminimalisir
terjadinya pelanggaran merek, proses pendaftaran merek juga dilakukan dengan menempuh beberapa tahapan pemeriksaan yaitu pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan administratif dilakukan untuk memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan berkas-berkas pendaftaran seperti biodata pemohon, jenis barang/jasa yang dimohonkan pendaftarannya, kelas barang/jasa,
dan sebagainya. Sedangkan pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap suatu merek, apakah
merek tersebut telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam undang-undang atau tidak. Pemeriksaan
substantif dilakukan secara mendalam dan detail untuk mencegah terjadinya pelanggaran merek dan pelanggaran hak orang lain. Dalam pemeriksaan
substantif ini akan ditentukan apakah suatu merek
dapat diterima atau ditolak pendaftarannya
(Pritama &
Rahaditya, 2023).
Dengan banyaknya syarat-syarat yang harus dipenuhi dan tahapan pemeriksaan yang harus dilalui, seharusnya membuat merek-merek yang diterima pendaftarannya merupakan merek-merek yang telah sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Namun dalam kenyataanya
masih banyak merek-merek yang pendaftarannya diterima padahal merek tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini tentu menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang dapat
merugikan serta melanggar hak pihak
lain. Salah satu permasalahan yang timbul dan akan dianalisis yaitu diterimanya pendaftaran kata umum sebagai merek.
Kata merupakan
salah satu unsur yang dapat didaftarkan sebagai merek, namun tidak semua
kata bisa didaftarkan begitu saja. Tentunya
kata tersebut harus memiliki daya pembeda
yang kuat, juga tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moraltas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, serta kata tersebut tidak boleh merupakan kata umum. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan peraturan tertulis yang mengatur mengenai merek dan merupakan pedoman bagi pendaftaran
merek di Indonesia. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa kata umum tidak dapat didaftarkan
sebagai merek.
Kata-kata umum yang
berasosiasi dengan produk atau jasa
tidak akan bisa dilindungi sebagai merek, karena hal tersebut
akan mengakibatkan kecurangan bagi para kompetitor. Tanda yang telah menjadi milik umum
juga tidak dapat didaftarkan sebagai merek, seperti tanda tengkorak di atas dua tulang (tanda bahaya), tanda produk daur
ulang, tanda produk fragile (mudah pecah), tanda lalu
lintas (traffic light), dan tanda farmasi. Nama atau tanda milik
umum terdiri dari tanda atau
indikasi yang menunjukkan kebiasaan atau lumrah terkait dengan bahasa yang dikenal secara nasional atau internasional.
Tanda tersebut merupakan tanda yang bersifat umum dan telah menjadi public domain.
Kata umum dapat digunakan oleh setiap orang dan tidak bisa menjadi hak
eksklusif seseorang saja. Kata umum merupakan istilah yang menunjukkan sesuatu secara umum tanpa
perlu memperlihatkan sumber atau penciptanya,
sehingga setiap orang dapat menggunakan kata umum tanpa memerlukan
izin karena kata tersebut merupakan public
domain atau milik umum. Kata umum merupakan kata yang kerap digunakan oleh masyarakat yang dapat diterjemahkan sendiri oleh setiap orang atau yang dapat dimengerti secara alamiah oleh masyarakat luas.
Penggunaan kata umum sebagai merek dinilai
dapat menimbulkan kerugian dan permasalahan bagi pihak lain,
mengingat kata umum yang diterima pendaftarannya maka akan menimbulkan
hak eksklusif bagi si pendaftar
untuk memonopoli kata tersebut. Padahal kata umum tidak dapat
dikuasai kepemilikannya,
dan setiap orang berhak untuk menggunakan kata tersebut tanpa harus meminta izin
kepada pihak tertentu.
Dengan terdaftarnya kata umum tersebut sebagai
merek, tentu membuat pihak lain tidak dapat lagi
menggunakan kata umum tersebut tanpa adanya izin dari
si pemilik merek. Pihak lain yang menggunakan kata umum tersebut dapat saja digugat oleh si pemilik merek
kata umum karena menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan dan menyebabkan ketidakadilan dalam penggunaan kata umum.
Apabila melihat dalam praktik dan kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, kata umum dapat didaftarkan
apabila dipadukan dengan kata lainnya sehingga dapat menimbulkan ciri khusus dan daya pembeda yang bisa digunakan untuk membedakan produk tersebut dengan produk lainnya. Daya pembeda merupakan hal utama dalam
pendaftaran merek. Dengan begitu kata umum dapat didaftarkan
sebagai merek apabila memiliki daya pembeda. Daya pembeda tersebut dapat diperoleh dengan memadukan kata umum dengan kata lain yang unik.
Kata umum yang hanya berdiri sendiri
dan telah diketahui secara umum oleh masyarakat tidak dapat didaftarkan sebagai merek dan tidak dapat dikuasai
kepemilikannya. Berbeda halnya dengan kata deskriptif. Dalam praktiknya,
kata deskriptif yang hanya menjelaskan mengenai produk yang dimohonkan pendaftarannya masih dapat diterima sebagai merek apabila
telah terbangun secondary
meaning dalam merek tersebut. Secondary meaning ini
dapat digunakan sebagai daya pembeda
yang bisa diperoleh dari pengakuan konsumen dalam penggunaannya di masyarakat. Namun apabila belum
terbangun secondary meaning pada kata deskriptif tersebut, maka kata itu dikategorikan
sebagai kata umum yang tidak boleh didaftarkan
sebagai merek.
Hal yang sangat perlu
diperhatikan dalam pendaftaran merek yaitu adanya daya
pembeda, sebagaimana fungsi utama dari
merek yaitu untuk membedakan barang/jasa yang satu dengan barang/jasa yang lainnya. Kata umum yang digunakan sebagai merek dianggap
tidak memiliki daya pembeda atau
daya pembedanya sangat lemah, karena kata umum tidak memiliki
kekhasan dan tidak ada ciri khusus
yang ada dalam kata umum yang dapat digunakan sebagai pembeda (Wibowo & Hadi,
2017). Dengan tidak adanya daya
pembeda, suatu merek tidak dapat
digunakan untuk mengidentifikasi barang sehingga tidak tercapai fungsi merek yang seharusnya.
Merujuk kepada Perjanjian TRIPs yang menjadi standar minimum pada pembentukan aturan dalam UU Merek dan Indikasi Geografis, penggunaan kata umum tidak diatur secara
eksplisit. Perjanjian TRIPs
pada dasarnya menekankan bahwa tanda yang dapat dijadikan merek harus dapat
membedakan barang dan jasa dari satu
usaha dengan usaha lain (Verdianti, 2020). Adanya daya pembeda dan ciri khas dari suatu
merek menjadi hal yang sangat penting untuk dapat diterima
pendaftarannya. Seperti
yang telah diketahui sebelumnya bahwa kata umum tidak memilik
ciri khas dan daya pembeda yang kuat, sehingga pendaftaran kata umum menurut perjanjian TRIPs seharusnya tidak dapat diterima.
Begitu juga halnya dalam Paris Convention yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 15
Tahun 1997. Paris Convention menyatakan bahwa suatu merek tidak
dapat diterima pendaftarannya apabila merek tersebut tidak memiliki daya pembeda atau
telah menjadi kebiasaan dalam bahasa saat ini
(Dondokambey &
Rahaditya, 2023). Artinya kata yang telah diketahui oleh masyarakat atau kata yang digunakan secara umum dalam berbahasa
di masyarakat digolongkan sebagai kata umum yang tidak dapat diterima
pendaftarannya sebagai merek.
Berdasarkan hal di atas, pendaftaran kata umum sebagai merek
tentu tidak sesuai dengan peraturan
yang ada. Pada UU Merek dan Indikasi
Geografis telah dinyatakan bahwa kata umum tidak dapat
didaftarkan sebagai merek, namun pada kenyataanya masih banyak merek yang merupakan kata umum yang diterima pendaftarannya. Hal ini menyebabkan norma yang terdapat dalam Pasal 20 huruf f UU MIG tersebut tidak dipatuhi dan menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat. Dengan diterimanya pendaftaran merek yang merupakan kata umum menyebabkan norma hukum tertulis yang terdapat dalam UU MIG tidak dijalankan dengan baik, yang mana hal ini bertentangan dengan asas kepastian
hukum yang menyatakan bahwa hukum (peraturan
perundang-undangan) harus dapat dijalankan dengan baik dan konsisten.
Telah diketahui bahwa pendaftaran merek yang merupakan kata umum merupakan pelanggaran atas Pasal 20 huruf f UU MIG. Terhadap merek yang melakukan pelanggaran atas pasal tersebut dapat dilakukan tindakan hukum berupa gugatan pembatalan merek ataupun penghapusan merek. Pembatalan merek dapat dilakukan
oleh pihak ketiga yang berkepentingan dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
Di sisi lain, apabila
Menteri menemukan adanya pelanggaran merek sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 72 Ayat 7 UU MIG, maka
Menteri atas prakarsanya sendiri dapat melakukan
penghapusan merek tanpa adanya gugatan
dari pihak lain.
Pembatalan atau penghapusan
merek terdaftar akan menyebabkan merek tersebut dicoret dari Daftar Umum Merek.
Dalam hal ini, merek terdaftar yang merupakan kata umum telah hilang perlindungan
hukumnya. Hak atas merek yang sudah dibatalkan atau dihapus tersebut akan kembali menjadi
hak yang bebas, sehingga kata umum tersebut kembali menjadi public domain yang penggunaanya
dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa memerlukan izin dari siapa pun.
SIMPULAN
Praktik pendaftaran
merek yang merupakan kata umum tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu bertentangan dengan Pasal 20 huruf f UU MIG
dan juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian TRIPs dan Paris
Convention. Kata umum merupakan
public domain yang tidak dapat
didaftarkan sebagai merek dan tidak boleh untuk dimonopoli
oleh seseorang karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan merugikan masyarakat. Di samping itu, kata umum yang digunakan sebagai merek juga tidak memenuhi persyaratan daya pembeda karena
kata umum tidak memiliki kekhasan dan tidak ada ciri
khusus yang ada dalam kata umum yang dapat digunakan sebagai pembeda, sehingga tidak tercapai fungsi merek yang seharusnya yaitu untuk mengidentifikasi
suatu barang dengan barang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Z. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.
Dondokambey,
V. J., & Rahaditya, R. (2023). Analisis Yuridis Penggunaan Kata Umum
�Dynasty� Pada Merek Yang Telah Terdaftar. Innovative: Journal Of Social
Science Research, 3(2), 7293�7301.
Hidayah,
K. (2017). Hukum hak kekayaan intelektual. Setara Press.
Husnah,
S., Yuliana, Y., & Ratnawati, R. (2021). Manajemen alur proses produksi
udang windu beku dengan metode Individual Quick Frozen di PT. Madsumaya Indo
Seafood, Gresik. Agrokompleks, 21(1), 40�47.
Mamudji,
S. S. dan S. (2018). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan
Praktik). Cet 2. Rajawali Pers. Depok.
Pritama,
N., & Rahaditya, R. (2023). Urgensi Pemeriksaan Substantif Sengketa Merek
KasoMax dengan Merek Kaso dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Merek. UNES
Law Review, 6(1), 3172�3178.
Rahmi
Jened, S. H. (2013). Hukum Merek: Trademark Law. Prenada Media.
Rizkia,
N. D., & Fardiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual Suatu
Pengantar. Penerbit Widina.
Sinuraya,
S. D. (2019). Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Deepublish.
Sudaryat
(et,� al. (2010). Hak Kekayaan
Intelektual (Oase Media).
Verdianti,
A. (2020). Program Tobacco Plain Packaging Australia Ditinjau dari Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (Trips) Agreement.
Wibowo,
A., & Hadi, H. (2017). Penerapan Prinsip Itikad Baik dan Daya Pembeda dalam
Pendaftaran Merek Dagang yang Bersifat Keterangan Barang (Descriptive
Trademark) Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Privat
Law, 3(1), 164801.
Yafet
Yosafet Wilben Rissy. (2021). Hukum Merek dan Indikasi Geografis
Internasional dan Nasional (Indonesia) (Griya Medi).