Pertanggungjawaban Pengembang Properti dalam Pembuatan Perjanjian Jual Beli
Bawah Tangan dan Notariil
� Property Developer's Responsibility in Making
Private and Notarial Sales and Purchase Agreements
1)* Pratikto 2)Iskandar
Muda, 3)Irwan Santosa
1,2,3 Universitas Yarsi, Indonesia
*Email: 1) [email protected] 2)[email protected],
3)[email protected], �
*Correspondence: 1) Pratikto
DOI: 10.59141/comserva.v4i3.1406 |
ABSTRAK Tempat tinggal sebagai kebutuhan dasar harus dipenuhi,
penyelenggaraan serta pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara sehingga masyarakat mempunyai tempat tinggal dan mempunyai rumah yang layak serta terjangkau. Namun dengan adanya keterbatasan dari pemerintah maka kemudian pemerintah menyerahkan kepada pihak swasta atau masyarakat
umum untuk menyediakan atau membangun perumahan bagi masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Salah satu perbuatan hukum yang berhubungan dengan program kepemilikan perumahan adalah adanya perjanjian jual beli perumahan.
Dalam praktiknya, perjanjian
jual beli perumahan dilakukan di bawah tangan dan secara notariil. Ketika terjadi wanprestasi maka ada tanggung
jawab yang harus dilakukan oleh pengembang dan perlindungan hukum kepada pihak pembeli. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, Data yang dipergunakan adalah data sekunder. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
tanggungjawab pengembang dalam pembuatan perjanjian jual beli di bawah tangan dan secara notariil serta perlindungan hukum terhadap pihak pembeli jika terjadi wanprestasi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa tanggung jawab pengembang dan perlindungan hukum terhadap pihak pembeli harus dilaksanakan walaupun perjanjian jual beli dilakukan secara di bawah tangan maupun secara notariil. Kata kunci: Tanggung Jawab, Perlindungan Hukum, Jual-Beli |
ABSTRACT
Housing as a basic need must be met, its implementation and fulfillment is the responsibility of the state so that
people have a place to live and have decent and affordable housing. However,
with the government's limitations, the government then leaves it to the private
sector or the general public to provide or build housing for the community in
order to meet their needs. One of the legal acts related to the housing
ownership program is the exitence of a housing sale
and purchase agreement. In practice, housing sale and purchase agreements are
carried out privately and notarially. When a default
occurs, there is responsibility that must be carried out by the developer and
legal protection for the buyer. This research uses an empirical juridical
approach. The data used is secondary data. The purpose of this research is to
determine the responsibility of developers in making private and notarial sales
and purchase agreements as well as legal protection for buyers in the event of
default. The results of this research show that the developer's responsibility
and legal protection for the buyer must be implemented even if the sale and
purchase agreement is made privately or notarially.
Keywords:
Responsibility,
Legal Protection, Buying and Selling
PENDAHULUAN
Masalah pemenuhan kebutuhan
perumahan serta kawasan permukiman telah hadir dan berkembang lebih dari ratusan tahun
yang lalu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menyebutkan bahwa pemenuhan akan kebutuhan tempat tinggal seperti perumahan serta kawasan permukiman
yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia pemenuhannya
menjadi suatu keharusan dan hal ini akan selalu
berkembang sesuai dengan kehidupan manusia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Pasal 28H ayat (1) Penyelenggaraan
perumahan serta kawasan permukiman menjadi tanggung jawab negara dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan warga. Idealnya rumah harus bisa dimiliki
oleh setiap keluarga, namun dengan adanya
keterbatasan dari pemerintah maka kemudian pemerintah menyerahkan kepada pihak swasta atau
masyarakat umum untuk menyediakan atau membangun perumahan serta kawasan permukiman bagi masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhannya (Sulistiyani, 2002).
Berdasar hasil dari penelusuran,
penulis mendapati penelitian dalam bentuk tesis yang ditulis oleh Ika Afla Emalia (EMALIA, 2006) yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Kavling Siap Bangun di Perumahan Bukit Semarang Baru di Kota Semarang� menjelaskan tentang bagaimana pelaksanaan perjanjian jual beli kavling siap
bangun di Kota Semarang. Berbeda
dengan tesis yang ditulis Nancy W. Sitepu pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Pelaksanaan
Pengikatan Jual Beli Perumahan
Taman Budi Indah Medan (Studi Kasus pada PT Ira Widya
Utama Medan) menjelaskan mengenai
pelaksanaan pengikatan jual beli perumahan
dengan studi kasus di Medan. Kemudian penelitian dari Ahmad Ridha Jafar
(SYARI & ANWAR, n.d.) pada
Universitas Islam Negeri Yogyakarta, dengan judul Dualisme Perjanjian dalam Perikatan Jual Beli Tanah Kavling
pada PT. Berlian Mulia Abadi menjelaskan tentang dualisme perjanjian dalam perikatan jual beli tanah kavling
yang dilakukan oleh PT. Berlian Mulia Abadi. Perbedaan penelitian yang diusulkan oleh penulis dengan ketiga penelitian
yang disebutkan tadi lebih kepada pertanggungjawaban
pihak pengembang dalam pelaksanaan jual beli baik
secara bawah tangan maupun secara
notariil dan perlindungan terhadap konsumen jika terjadi wanprestasi.
Salah satu perbuatan
hukum yang berhubungan dengan program kepemilikan perumahan serta kawasan permukiman adalah tentang jual beli perumahan.
Pada Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, transaksi Jual beli diartikan sebagai �suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang yang dijanjikan� (Subekti & Tjitrosudibio, 1999). Perjanjian dalam proses jual beli harus
dilakukan demi terciptanya kepastian hukum atas jual beli
rumah, perumahan maupun kawasan permukiman. Melaksanakan suatu hubungan hukum untuk menjamin
suatu kepastian hukum atau kekuatan
dalam hal pembuktian dari suatu perbuatan hukum dapat dilakukan
dengan hubungan tertulis ataupun lisan. Perbuatan hukum tertulis lebih disarankan karena perbuatan hukum tersebut telah diatur dalam
peraturan-peraturan yang ada.
Perbuatan hukum tertulis dapat menjadi kekuatan dalam hal pembuktian
dan lebih terjamin kepastian hukumnya dibandingkan dengan suatu perbuatan hukum secara lisan
(Adriansa et al., 2022). Namun demikian, terhadap perjanjian yang dibuat dalam hal
kepastian hukum dan kekuatan hukum serta pembuktian nantinya, maka dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat
oleh kedua pihak di hadapan seorang notaris. Permasalahan yang selalu muncul adalah
perjanjian pengikatan jual beli itu
tidak diatur di dalam peraturan yang berkaitan dengan hak atas tanah,
hal ini mengakibatkan
kedudukan dan kekuatan hukum dari perjanjian
pengikatan jual beli terkadang akan dipertanyakan kembali ketika dilaksanakan jual beli hak atas
tanah atau bangunan. Pemerintah dan pihak swasta (pengembang)
membangun perumahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu perbuatan hukumnya adalah adanya jual beli
perumahan baik secara bawah tangan
maupun secara notarial (Marbun et al., 2023). Jika dikaitkan antara peraturan pemerintah mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan peraturan mengenai akta yang ditandatangani di bawah tangan serta peraturan
mengenai peralihan hak atas tanah
dengan jual beli yang memerlukan kepastian hukum, maka berpotensi terjadinya inektifitas hukum ketika terjadi
wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli baik
secara bawah tangan maupun notariil.
Masalah akan muncul ketika salah satu pihak baik pengembang
maupun konsumen sebagai pembeli melakukan tindakan yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Ketika hal itu terjadi, maka
bagaimana tanggung jawab pengembang dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak pembeli merupakan permasalahan yang harus diselesaikan. Berdasarkan uraian latar belakang
yang telah disebutkan, maka dirumuskan masalah yaitu bagaimana
pertanggungjawaban pengembang
properti dan perlindungan hukum konsumen dalam pembuatan perjanjian jual beli di bawah tangan
dan secara notariil ketika terjadi wanprestasi?
METODE
Artikel ini menggunakan metode penelitian jenis penelitian hukum. Yaitu suatu proses untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi (Parinduri et al., 2020). Hal ini sesuai dengan karakter
preskriptif dalam ilmu hukum. Hal ini sesuai dengan
karakter preskriptif dalam ilmu hukum.
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Kata dalam yuridis empiris
studies mencerminkan keterkaitan
antar konteks dimana hukum berada.
Metode penelitian yuridis empiris dapat diidentifikasi
melalui 2 (dua) hal yaitu pertama, studi yuridis empiris
melakukan studi tekstual terhadap peraturan perundang-undangan serta kebijakan secara kritis untuk
menjelaskan problematika filosofis, sosiologis serta yuridis dari
hukum tertulis. Dengan demikian diketahui apa makna
dan bagaimana implikasinya terhadap subyek hukum. Kedua, studi
yuridis empiris menggunakan berbagai metode �baru� hasil
penggabungan antara metode penelitian hukum dan ilmu sosial, seperti penelitian kualitatif yuridis empiris dan etnografi yuridis empiris. Metode yang dikembangkan
secara interdisipliner tersebut dapat menjelaskan fenomena hukum yang sangat luas seperti relasi kekuasaan dalam konteks sosial, budaya dan ekonomi dimana hukum berada.
Relevansi dengan penelitian ini adalah peneliti akan mengkaji dan menganalisis melalui kajian perundang-undangan terhadap persoalan yang ada. Penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan tujuan meneliti
dan mengkaji data sekunder
yang berkaitan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanggung Jawab Hukum Pengembang dalam Pelaksanaan Jual Beli di
Bawah Tangan dan Secara Notariil
Jika Terjadi Wanprestasi
Permasalahan perlindungan konsumen
sudah ada sejak sebelum dimulainya
transaksi, ketika transaksi dan setelah selesai transaksi. Perlindungan konsumen yang ada akan memunculkan
adanya hak dan kewajiban, yaitu hak dari konsumen
sebagai pembeli dan kewajiban atau tanggung jawab produsen atau pihak
pelaku usaha dalam memenuhi hak konsumen. Pasal 129 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan bahwa �dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
dan teratur�. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa semua
kriteria yang ada harus dipenuhi oleh pelaku usaha perumahan
dan kawasan permukiman. Kewajiban pelaku usaha muncul karena
adanya hak konsumen yang harus dipenuhi, pasal 7 huruf (d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, yaitu
�Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku�. Jaminan untuk menjaga mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan harus berdasarkan pada standar mutu yang berlaku dalam pembangunan
perumahan dan permukiman.
Hal ini mutlak pelaku usaha wajib
memenuhinya atau dalam hal ini
pihak pengembang perumahan yang membangun perumahan dan permukiman. Agar perumahan memenuhi standar mutu barang,
dalam penyelenggaraanya haruslah melewati berbagai tahapan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam penyelenggaraan perumahan harus meliputi perencanaan, pembangunan, pemanfaatan dan pengendalian perumahan.� Pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan perumahan yang harus terlebih dahulu dilakukan dalam pembangunan perumahan adalah merencanakan perumahan tersebut terlebih dahulu. Pada pasal 24 Huruf a menyebutkan �Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan untuk menciptakan rumah yang layak huni� dengan
tegas menyatakan bahwa perencanaan harus dilakukan sebelum dilakukannya pembangunan karena hal ini dimaksudkan
untuk membuat rumah yang layak huni. Menurut Pasal 25 dinyatakan �Perencanaan dan perancangan dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian dibidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan� kemudian di dalam pasal berikutnya
yakni pasal 26 hasil dari perencanaan
dan perancangan rumah diharuskan memenuhi persyaratan baik secara teknis, administratif, tata ruang, maupun ekologis. Ketika perencanaan dan perancangan perumahan dan kawasan permukiman telah selesai dilakukan, maka sesuai dengan
bunyi pasal 20 kemudian dilanjutkan dengan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman adalah bagian paling penting dalam proses penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman tentu menyangkut keselamatan bagi penghuni yang nanti tinggal didalamnya.
Pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman diatur pada
Pasal 32 bahwa pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus memenuhi syarat dan sesuai dengan ketentuan
yang telah disebutkan. Berdasarkan pasal-pasal diatas jelas mengatur
bahwa dalam penyelenggaraan perumahan yaitu bagaimana dan apa saja proses yang harus dilakukan oleh pengembang dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman adalah tanggung jawab dari pengembang perumahan.
Berdasarkan Pasal 151 dipertegas
dengan prinsip perlindungan konsumen dalam pasal 8 ayat
1 huruf f dan pasal 62 ayat 1 undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai mengenal dan menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability). Tanggung jawab tersebut adalah dengan memberikan ganti rugi atas
kerusakan atau kerugian pihak konsumen akibat adanya barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan antara kedua pihak.� Contractual liability (tanggung jawab yang didasarkan pada perjanjian) diatur dalam pasal
134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
yang menyatakan bahwa �Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria,
spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan�. Tidak terpenuhinya
ketentuan atau pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan
kriteria, spesifikasi, persyaratan, sarana, prasarana dan utilitas umum yang diperjanjikan menimbulkan banyak sekali sengketa antara pihak konsumen
dan pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam pasal 134, menjelaskan bahwa untuk memberikan perlindungan bagi pihak konsumen perumahan atas suatu perjanjian yang dilakukan dengan pelaku usaha, dalam
hal ini pengembang
perumahan. Kemudian adanya kepastian hukum bagi pihak
konsumen perumahan dan kawasan permukiman bahwa apa yang terdapat dalam perjanjian yang dilakukan harus sesuai dengan
barang dan/atau jasa yang diperjanjikan.
Wanprestasi terjadi ketika terdapat kerugian yang diderita kreditur, dan debitur �wajib� mengganti kerugian yang ditimbulkan tersebut. Proses terjadinya kerugian tersebut harus mempunyai hubungan atau adanya sebab-akibat
antara wanprestasi dengan kerugian yang ditimbulkan (Harahap, 1982). Pasal 1246 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan dan mengatur tentang kerugian apa saja
yang dapat dituntut kreditur. Pada pasal tersebut menjelaskan mengenai kerugian kerugian yang diderita oleh pihak kreditur dan keuntungan yang akan diperoleh pihak kreditur seandainya isi perjanjian terpenuhi. Ganti rugi yang diperhitungkan harus dalam bentuk uang, dan tidak disebutkan ganti rugi dengan
cara lain. Kreditur hanya dapat menuntut
sejumlah uang sebagai ganti rugi. Ganti rugi ketika terjadi
wanprestasi tidak ada kebebasan dalam
proses penggantiannya, hanya
bisa dalam bentuk uang sebagaimana tertuang dalam pasal 1239 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Hal ini berlaku pula pada kejadian wanprestasi jika kerugian yang ditimbulkan adalah kerugian non-ekonomis. Kerugian non-ekonomis dapat terjadi atau diderita
oleh kreditur, kerugian seperti ini sebagai
alat rehabilitasinya biasanya diganti dengan sesuatu yang bernilai uang. Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan
dilakukan secara damai yaitu penyelesaian
yang dilakukan oleh pelaku usaha dan pihak konsumen tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen oleh para pihak yang bersengketa. Terkait dengan sengketa yang diproses secara damai, dalam
penyelesaiannya kadang membutuhkan objek tertentu untuk mencapai perdamaian, misalnya dalam hal adanya penetapan
pemberian sesuatu sebagai ganti rugi
sesuai dengan bentuk dan jumlah kerugian yang dialami kedua belah pihak
(Kolopaking
& SH, 2021). Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
juga mengamanatkan �Penyelesaian
sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat�. Apabila dalam prosesnya
ternyata penyelesaian sengketa konsumen yang berdasar musyawarah mufakat tidak mendapatkan
titik temu dan hasil yang baik untuk kedua belah
pihak yakni konsumen dan pelaku usaha, maka dalam
pasal 148 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman diatur cara penyelesaian sengketa lainnya yang dapat dijadikan sebagai dasar penyelesaian
oleh pihak yang bersengketa
dalam hal ini yaitu konsumen
perumahan dan pelaku usaha, aturan tersebut
yaitu penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui langkah arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana. Pasal 149 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan pihak pengembang perumahan dan kawasan permukiman, jika dalam prosesnya konsumen merasa dirugikan maka dapat menggugat pihak pengembang perumahan dan kawasan permukiman, gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (1) atas pelanggaran
dapat dilakukan oleh orang perseorangan, badan hukum, masyarakat dan/atau pemerintah dan/atau instansi terkait.
Konsumen perumahan perseorangan,
badan hukum, masyarakat
dan/atau pemerintah dan/atau instansi apabila
merasa dirugikan dapat menggugat pengembang perumahan dan kawasan permukiman baik melalui peradilan
umum (litigasi) atau luar peradilan
(non litigasi), jika musyawarah yang telah dilakukan atau dijalani tidak menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang dihendaki. Penyelesaian sengketa menurut pasal 148 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dilakukan di luar pengadilan (non litigasi). Hal tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, hal ini dipertegas dengan pasal 3 huruf (a) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 tentang Penyelesaian
sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu BPSK dengan menggunakan mekanisme konsilidasi, mediasi, atau arbitrase.
Pasal 15 ayat 1 Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan bahwa
�Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis
maupun lisan melalui Sekretariat BPSK. Pengaduan konsumen dapat dilakukan di tempat BPSK yang terdekat dengan domisili konsumen�. Sedangkan pasal 15 ayat 3 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan
bahwa penyelesaian sengketa dapat diajukan oleh ahli waris. Pasal 48 Undang-Undang No.
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku (Nugroho, 2008). Sebagaimana terdapat
dalam ketentuan pasal 118 HIR, mengenai pengajuan gugatan perdata dapat dilakukan
melalui pengadilan negeri
dan diajukan ditempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat. Sedangkan dalam ketentuan pasal 148 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman
dan ditegaskan dalam pasal 23 jo. pasal 45 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa pihak konsumen
yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak
lagi mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri ditempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, tetapi sengketa pihak konsumen perumahan dengan pelaku usaha
dapat diajukan oleh pihak konsumen kepada pengadilan negeri ditempat kedudukan pihak konsumen sebagai penggugat. Dengan demikian pihak konsumen perumahan sebagai penggugat yang merasa dirugikan jika ingin menggugat pihak pengembang perumahan melalui peradilan umum, dapat mengajukan gugatan ditempat kedudukan konsumen.
Sengketa yang terjadi akibat
adanya wanprestasi antara pihak pengusaha
dan pihak konsumen selain dengan gugatan
perdata proses penyelesaiannya
dapat juga ditempuh melalui jalur pidana.
Hukum pidana bersama dengan instrumen hukum lainnya (primum remidium) dapat digunakan sebagai cara dalam penyelesaian
akibat adanya wanprestasi. Hal ini terdapat dalam pasal 61 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dinyatakan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang kemudian dipertegas dengan sanksi pidana yang diatur dalam pasal
151 Undang-Undang No. 1 tahun
2011 tentang Perumahan dan
Kawasan permukiman. Penyelesaian
sengketa konsumen yang ditempuh melalui jalur pidana dilakukan
karena setiap peraturan pasti memiliki sanksi pidana. Sanksi pidana diharapkan dapat membantu kepastian hukum terhadap perlindungan konsumen jika upaya
hukum yang lain sudah tidak lagi dapat
melindungi konsumen.
Tanggung jawab yang didasarkan
pada perjanjian (Contractual liability) yakni sebagai tanggung
jawab perdata atas dasar perjanjian
atau kontrak dari pelaku usaha
atas kerugian yang dialami konsumen akibat tindakan menggunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan oleh pelaku usaha dalam hal
ini pengembang perumahan. Tanggung jawab yang didasarkan pada perjanjian (Contractual liability) diatur dalam pasal
1243 KUHPerdata menyatakan bahwa penggantian biaya, ganti rugi,
dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan
apabila pengembang perumahan setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya, dalam pasal 134 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
yang menyatakan bahwa �Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria,
spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan�. Karena banyak sekali sengketa yang timbul antara konsumen
dan pengembang perumahan dari tidak dipenuhinya
ketentuan atau tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan. Jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini dibuat untuk
memberi perlindungan pada konsumen agar hunian perumahan yang telah dibeli sesuai dengan
apa yang telah diperjanjikan antara konsumen dan pelaku usaha (pengembang perumahan). Apabila pengembang perumahan tidak melaksanakan kewajiban membangun hunian terhadap dana konsumen maka pengembang
dapat dikenai sanksi yaitu ketika
pihak pengembang sudah menjanjikan namun tidak dibangun
atau kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum tidak
sesuai, maka dapat dikenai sanksi
administratif yang dapat berupa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 150 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011. Selain itu, pihak pengembang
yang bersangkutan juga dapat
dijerat pidana berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang
No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Penyelesaian sengketa konsumen adalah dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tanpa ada
yang merasa dirugikan. Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan dilakukan secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Maksud penyelesaian secara damai adalah
penyelesaian yang dilakukan
oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pengembang perumahan dan konsumen) tanpa melalui pengadilan (litigasi) atau badan penyelesaian sengketa konsumen. Disamping terkait dengan sengketa yang didamaikan, dalam penyelesaian sengketa terkadang membutuhkan objek tertentu untuk mencapai perdamaian, misalnya dalam hal pemberian ganti
rugi sesuai dengan bentuk-bentuk dan jumlah kerugian yang dialami. Adapun bentuk sanksi administratif terhadap pengembang perumahan yang tidak mengelola dana konsumen dengan baik ada
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Pemukiman Pasal 139.
Analisa hukum menggunakan konsep ekonomi menjadi sangat penting untuk menjembatani antara keadilan, tanggung jawab dan kepastian hukum. Menurut Maria Soetopo Conboy, Economic
Analysis of Law (EAL) adalah aplikasi/perangkat dari teori ekonomi untuk
mengevaluasi proses, formasi,
struktur, dan dampak peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan terhadap masyarakat. Esensi EAL adalah dampak dari putusan/kebijakan yang dilakukan hari ini untuk
kedepannya dan tujuan EAL adalah untuk kesejahteraan
masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD NRI Tahun
1945 (Irma
Reisalinda Ayuningsih, 2023). Besarnya pengaruh
EAL dalam pembuatan kebijakan tidak lepas dari fakta
bahwa metode ini memungkinkan keadilan untuk diwujudkan secara lebih konkrit dan terukur. Sebab, penerapannya membuat persoalan mengenai keadilan tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang bersifat normatif � filosofis. Melainkan secara empiris, substantif dan konkrit karena adanya nilai efisiensi
yang menjadi parameter dasarnya.
Oleh karena itu, penerapannya diharapkan dapat memastikan agar setiap kebijakan yang diambil adalah sejalan dengan tujuan negara yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 (Tim
Pusat Analisa Kebijakan Hukum dan Ekonomi, 2020).
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pembeli dalam
Perjanjian Jual Beli di Bawah Tangan dan Notariil
Kepastian merupakan suatu ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama
untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari
hukum. Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan
M. Otto yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu
mensyaratkan 1) tersedia aturan-aturan hukum
yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh
kekuasaan negara; 2) bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; 3) bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; 4) bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan 5)
bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan (Simbolon &
Sh, 2022). Kelima syarat tersebut
menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika
substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum
yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic
legal certainly), yaitu mensyaratkan
adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,
bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat
dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak
identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan (Asikin, 2012). Lon Fuller dalam bukunya
the Morality of Law (Fuller, 1971) mengajukan
8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan
gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan
kata lain harus terdapat kepastian hukum. Pendapat ini dapat
dikatakan bahwa harus ada kepastian
antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan. Teori kepastian hukum dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas
di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu
ketentuan hukum. Hukum yang
satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif
sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat
hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan,
yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya
masyarakat yang ada (Khadafi et
al., 2023).
Hubungan bisnis antara pengembang dan konsumen diharapkan menjadi sautu hubungan bisnis yang saling menguntungkan dan mmasyarakat sebagai konsumen mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah.
Pada kenyataannya di lapangan,
hanya pelaku usaha atau pihak
pengembang saja dari bisnis jual
beli rumah bisa memperoleh keuntungan. Padahal antara pihak pengembang
maupun pihak konsumen harusnya mempunyai atau diperlakukan dengan kedudukan yang sama dalam proses transaksi jual beli perumahan
dan kawasan permukiman. Sebagai contoh Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB) Perumahan dan kawasan permukiman, dilakukan terlebih dahulu dibandingkan dengan pembuatan perjanjian lainnya ketika proses jual beli perumahan
dan kawasan permukiman.
Oleh karena itu perlu adanya perangkat
hukum yang bisa melindungi dan mengatur segala kepentingan konsumen dengan tetap tidak mengabaikan
kepentingan pihak pengembang atau pelaku usaha sehingga
kedua kepentingan akan terakomodir dalam perangkat hukum yang dibuat tersebut. Amanat pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat disebutkan bahwa �kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia� telah jelas menyatakan bahwa masyarakat dalam hal ini
konsumen dilindungi oleh undang-undang. Akan tetapi mengenai perlindungan konsumen dalam peraturan perundang-undangan merupakan hal baru
di Indonesia. Hal ini muncul
akibat adanya kebutuhan masyarakat dengan hukum yang akan melindungi dan memberikan rasa aman sesuai amanat undang-undang.
Kesepakatan antara pelaku usaha sebagai pihak
pengembang dan pihak pembeli dalam hal
ini konsumen dari perumahan akan dituangkan melalui suatu kesepakatan
pengikatan atau perjanjian yang disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) atau nama lainnya bisa disebutkan
seperti Perjanjian Akad Jual Beli, Perjanjian Pendahuluan Pembelian, dan sebagainya. Perjanjian ini merupakan kesepakatan
awal antara pelaku usaha sebagai
pihak pengembang dan konsumen selaku pihak pembeli, yang di dalamnya akan tertulis
poin-poin yang berkaitan dengan perjanjian dari kedua belah
pihak. PPJB pada kenyataannya
sudah disusun secara sepihak dari pelaku usaha
sebagai pihak pengembang sehiingga memungkinkan lagi pihak konsumen ikut serta dalam
penyusunan PPJB atau terlibat dalam perundingan dan negosiasi untuk menentukan suatu kesepakatan.
Perjanjian sepihak dimaksudkan
agar lebih praktis dan hemat waktu dalam
pembuatannya tanpa menunggu kesepakatan dari semua pihak
yang terkait dalam perjanjian itu. Pada prakteknya bahkan akan disediakan formulir secara standar yang dijadikan sebagai perjanjian baku (standard contract) yang lebih
praktis. Dalam Undang-undang
No. 8 tahun 1999 terdapat
liability yang artinya disamakan
dengan tanggung jawab.
Masalah perlindungan konsumen di
Indonesia baru mulai sekitar tahun 1970-an, dengan ditandai oleh lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada bulan Mei tahun
1973. Perkembangan di bidang
perlindungan terhadap konsumen, baru dirasakan ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan diundangkan
pada tanggal 20 April 1999. Adanya Undang-Undang nomor 7 Tahun 1994 menjadikan Indonesia wajib taat dengan
standar hukum yang berlaku di dunia internasional
dan diterima luas oleh
negara-negara anggota WTO. Salah satunya
adalah harusnya ada eksistensi UUPK. Dengan adanya UUPK ini maka para pelaku
usaha, dalam hal ini para pihak
pengembang (developer) dikemudian
hari tidak lagi menerapkan model perjanjian baku (standard
contract) yang pada penerapannya memang banyak merugikan
pihak konsumen. Pengembang (developer) dari
perumahan dan kawasan permukiman harus bisa bertanggung jawab terhadap berbagai tuntuan klaim kerugian dari pihak konsumen
jika kemudian terjadi wanprestasi dalam kontrak yang sudah disepakati bersama-sama.
Teori perlindungan hukum dipergunakan untuk menganalisis permasalahan terhadap pembeli yang melakukan jual beli hak atas
tanah dan perumahan yang dilakukan secara bawah tangan. Suatu
perlindungan hukum hendaknya didapat oleh semua subjek hukum
tanpa perbedaan apapun. Sebagaimana tertuang pada salah satu pasal dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yakni Pasal 27 ayat
(1).
Perlindungan hukum hadir memberikan suatu kepastian yang mengatur terhadap suatu pemenuhan hak-hak para pihak bilamana salah satu pihak melakukan
wanprestasi atau tidak tepat janji
dalam perjanjian yang sudah diikat dalam
bentuk pengikatan jual beli sangat tergantung kepada kekuatan dari perjanjian
pengikatan jual beli yang dibuat, yaitu jika dibuat
dengan akta di bawah tangan maka
perlindungannya sesuai perlindungan terhadap Akta di bawah tangan.
Sedangkan dalam akta jual beli
yang dibuat dihadapan notaris maka dengan
sendirinya aktanya menjadi akta notaris
sehingga kekuatan perlindungannya sesuai dengan perlindungan terhadap Akta Otentik.
Dalam menangani masalah seperti wanprestasi tersebut dapat pula dilakukan perlindungan hukum secara preventif
maupun represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan pada pemerintah sebelum adanya terjadi pelanggaran yang tercantum pada suatu aturan sehungga
membuat batasan dalam melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi perlindungan hukum represif adalah suatu bentuk
terhadap suatu perbuatan yang mana kepada sanksi pemenjaraan, ganti rugi, dan denda (Rajagukguk et
al., 2021).
SIMPULAN
Perjanjian Jual Beli antara konsumen dan pengembang memunculkan tanggung jawab dan hak bagi masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Berbagai peraturan yang ada digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan
perjanjian jual beli. Namun dalam
pelaksanaannya tetap ada potensi wanprestasi,
hal ini dapat
terjadi jika pihak pelaksana dalam hal ini
pengembang tidak melaksanakan kewajibannya atau masyarakat sebagai konsumen tidak mendapatkan haknya sesuai dengan
perjanjian yang telah dibuat dan disepakati. Sanksi administratif dan sanksi pidana ketika
terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli antara pengembang
dan konsumen merupakan konsekuensi bagi pengembang.
Perlindungan hukum
terhadap masyarakat sebagai pihak pembeli
dalam pengikatan jual beli yang dikelola pengembang adalah sebuah keharusan
karena didasarkan pada kepastian hukum yang diatur dalam norma hukum perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak berwenang sehingga aturan itu memiliki aspek
yuridis yang dapat menjamin akan adanya
kepastian hukum yang berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Perlindungan hukum saat terjadi sengketa
yang mempermasalahkan tentang
jual-beli, maka perjanjian jual beli di bawah tangan
pun tetap dapat dijadikan suatu alat bukti, meski
kekuatan pembuktiannya adalah lemah. karena
meskipun dibuat secara dibawah tangan, perjanjian jual beli tersebut
sudah memenuhi syarat-syarat perjanjian dan asas perjanjian yang diatur dalam hukum
perdata, sehingga perjanjian tersebut dapat menjadi sebuah
alat bukti.
DAFTAR PUSTAKA
Adriansa,
M. Z., Dewi, I. G. S., & Priyono, E. A. A. (2022). Kekuatan Hukum
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Dibuat Dibawah Tangan. PROGRESIF:
Jurnal Hukum, 16(2), 130�148.
Asikin,
Z. (2012). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
EMALIA,
I. K. A. A. (2006). Pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kapling Siap
Bangun Di Perumahan Bukit Semarang Baru Di Kota Semarang. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Harahap,
M. Y. (1982). Segi-segi hukum perjanjian. (No Title).
Irma
Reisalinda Ayuningsih. (2023). Mengenal Economic Analysis of Law
(Artikel DJ).
Khadafi,
M., Muda, I., & Santosa, I. (2023). Implementasi Hukum Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa Dilaksanakan Notaris Terhadap Pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan Melalui Aplikasi Go-AML Berdasarkan Peraturan PPATK Nomor 3 Tahun
2021. Jurnal Hukum Dan HAM Wara Sains, 2(09), 739�751.
Kolopaking,
I. A. D. A., & SH, M. H. (2021). Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian
Sengketa Kontrak Melalui Arbitase. Penerbit Alumni.
Marbun,
L. D., Ginting, B., & Sukarja, D. (2023). Tanggung Jawab Hukum Pengembang
Rumah Susun Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanpa Sertifikat Laik Fungsi
Kepada Konsumen Berdasarkan Hukum Positif Indonesia. Recht Studiosum Law
Review, 2(2), 63�80.
Nugroho,
S. A. (2008). Proses penyelesaian sengketa konsumen ditinjau dari hukum
acara serta kendala implementasinya.
Parinduri,
L., Hasdiana, S., Purba, P. B., Sudarso, A., Marzuki, I., Armus, R., Rozaini,
N., Purba, B., Purba, S., & Ahdiyat, M. (2020). Manajemen Operasional:
Teori dan Strategi. Yayasan Kita Menulis.
Rajagukguk,
J. P., Zuliah, A., & Dewi, A. T. (2021). Akibat Hukum Jual Beli Atas Tanah
Dengan Sertifikat Hak Milik Dalam Akta Di Bawah Tangan. Warta Dharmawangsa,
15(2), 200�208.
Simbolon,
N. Y., & Sh, M. (2022). Pengantar Ilmu Hukum. Pengantar Ilmu Hukum, 87.
Subekti,
R., & Tjitrosudibio, R. (1999). Kitab undang-undang hukum perdata.
Sulistiyani,
A. T. (2002). Problema dan Kebijakan Perumahan di Perkotaan. Jurnal Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik, 5(3), 327�344.
SYARI,
D. D. A. N. D. K. F., & ANWAR, D. R. H. S. (n.d.). Dualisme Perjanjian
Dalam Perikatan Jual Beli Tanah Kavling Pada Pt. Berlian Mulia Abadi.