Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap Produktifitas dan Pendapatan Padi Sawah

 

The Effect of People's Business Credit (KUR) on Rice Productivity and Income

 

1)* Rovel Stenny Edcar Ayal, 2) Wardis Girsang, 3) Jeter Donald Siwalette

123 Universitas Pattimura Ambon, Indonesia

 

Email: 1) [email protected], 2) [email protected], 3) [email protected]

*Correspondence: Rovel Stenny Edcar Ayal

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i6.1401

ABSTRAK

Petani diduga memiliki tingkat produksi dan produktifitas rendah karena tidak memiliki modal finansial untuk membeli input produksi agar digunakan dalam jumlah yang optimal pada lahan usahatani padi sawah. Oleh sebab itu kredit adalah solusi mengatasi penggunaan input yang rendah agar terjadi peningkatan produksi dan pendapatan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kredit terhadap penggunaan input produksi, produksi dan pendapatan petani dari padi sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani mengambil kredit tetapi tidak digunakan untuk padi sawah, sebab variabel kredit dan nilai kredit berbanding terbalik terhadap penggunaan input produksi benih dan pupuk, demikian pula produktifitas dan pendapatan dari padi sawah.

 

Kata kunci: Padi sawah, kredit, produktifitas, pendapatan

 

 

ABSTRACT

Farmers are suspected to have low production and productivity levels because they do not have the financial capital to purchase production inputs to be used in optimal quantities on the rice paddy farm. Therefore, credit is the solution to overcome the use of low inputs in order to increase production and income. The purpose of this study was to analyze the effect of credit on the use of production inputs, production and farmers' income from paddy rice. The results showed that farmers took credit but did not use it for paddy rice, because the variable credit and credit value were inversely proportional to the use of production inputs of seeds and fertilizers, as well as productivity and income from paddy rice.

 

Keywords: Paddy rice, credit, productivity, income.

 

 

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional merupakan upaya berkesinambungan melalui pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk (Prasetyo & Sutopo, 2020; Andayani & Fajar, 2022). Pendapatan per kapita ditentukan oleh jumlah penduduk, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi sering diasumsikan akan meningkatkan pendapatan per kapita (Nugroho & Anwar, 2021; Susilowati & Mahendra, 2019). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat juga diikuti pengangguran, kesenjangan, dan kemiskinan, khususnya di wilayah perdesaan dan pertanian (Sari & Widodo, 2020; Hidayat & Kurniawati, 2021). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dapat merupakan salah satu, tetapi bukan satu-satunya, untuk mengukur keberhasilan pembangunan (Saputra & Yuliani, 2019; Arifin et al., 2021). Prinsip dasar pembangunan nasional adalah pro-growth, pro-job, pro-poor, dan juga pro-sustainability yang disebut green economy atau blue economy (Rahmawati & Wibowo, 2022; Lestari & Pratama, 2023).

Pertanian dalam arti luas masih menjadi salah satu sektor penting dalam pembangunan nasional, karena lebih dari 42% tenaga kerja masih bekerja di sektor pertanian (Wijayanti & Hakim, 2021; Kartika & Sari, 2022). Pertanian berperan sebagai sumber devisa negara, penyedia bahan baku industri, dan ketahanan pangan, yang memerlukan pemanfaatan sumber daya secara efisien untuk meningkatkan produktivitas (Dewi & Setiawan, 2020; Febriani & Subekti, 2023). Sumber daya pertanian, seperti lahan, benih, pupuk, dan tenaga kerja, adalah elemen kunci yang perlu dialokasikan secara efisien untuk kelangsungan hidup manusia (Prasetya & Suhardi, 2021; Irawan & Nurhayati, 2022). Sektor ini penting bagi pendapatan petani dan ketahanan pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim atau climate-smart farming (Santoso & Firmansyah, 2020; Herlina & Sulastri, 2023).

Secara umum, keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh lingkungan tumbuh komoditas seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan (Rahayu & Pramesti, 2019; Wahyuni & Ardiansyah, 2022). Padi (Oryza sativa L) adalah salah satu komoditas utama di Indonesia yang produksinya menjadi kebutuhan pokok (Setiawan & Rahman, 2018; Lestari & Pratama, 2021). Menurut Badan Pusat Statistik (2021), produksi padi mengalami penurunan sebesar 233,91 ribu ton pada tahun 2021 dibandingkan 2020, sedangkan luas panen juga menurun sebesar 245,47 ribu hektar (Rahmawati & Widodo, 2021; Nugraha & Mulyadi, 2020).

Maluku adalah salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan luas lahan sawah 21.114,5 ha yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir (Haryanto & Wulandari, 2022; Mufidah & Ramadhani, 2020). Lahan sawah di Maluku terutama berada di Pulau Seram dan Pulau Buru, yang berfungsi sebagai pusat produksi pangan (BPS, 2021; Sulistyo & Fauziah, 2019).

Produksi padi pada dasarnya dipengaruhi oleh luas panen dan produktivitas per hektar, yang merupakan hasil dari penerapan teknologi dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya seperti tenaga kerja dan modal (Nugroho & Purnomo, 2021; Susanto & Kurniawan, 2023). Tingkat produktivitas ini mencerminkan penerapan teknologi usahatani yang memaksimalkan hasil produksi sesuai harapan (Wicaksono & Hidayat, 2020; Arini & Putri, 2021).

Pembangunan pertanian tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi tetapi juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui perluasan lapangan kerja (Kusuma & Wulandari, 2022; Setiadi & Wahyuni, 2023). Kemampuan sektor pertanian dalam memberikan kontribusi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat sangat bergantung pada pendapatan usahatani dan surplus yang dihasilkan (Saputra & Lestari, 2020; Purnomo & Fauzan, 2023).

Penggunaan modal sangat penting dalam usaha pertanian, terutama untuk pengadaan sarana produksi dan biaya operasional yang efisien (Wijayanti & Putra, 2021; Surya & Mahendra, 2022). Salah satu kebijakan pemerintah untuk mendukung petani adalah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang memberikan modal dengan bunga rendah untuk mendukung usaha produktif (Kurniawan & Suryani, 2023; Sutrisno & Kusnadi, 2022).

 

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bank BRI KCP Unit Kairatu, Desa Waimital,�� Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat,Provinsi Maluku. Penelitian ini dimulai pada bulan Juli - September 2023.

Teknik Penentuan Sampel

Teknik startified random sampling adalah metode penetapan sampel dengan memilih beberapa sampel dari strata tertentu, yang dinilai sesuai dengan tujuan atau masalah penelitian dalam sebuah populasi (Nursalam, 2008). Sampel penelitian ini adalah petani padi sawah penerima dan bukan penerima KUR, oleh karena sulitnya mendapatkan daftar nama penerima KUR di desa maupun di lembaga keuangan, maka jumlah sampel adalah 40 petani, dimana21 orang pernah menerima KUR dan 20 orang tidak pernah menerima KUR. Jumlah penerima KUR diperoleh dari pengakuan responden, apakah pernah menerima KUR.Adapun kriteria responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah petani yang menjadi nasabah Bank BRI KCP Unit Kairatu yang sudah mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk usaha tani padi padi selama periode Juni 2018 Juni 2023.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini yaitu deskriptif kuantitatif, salah satujenis penelitian kuantitatif non eksperimen yang tergolong mudah. Penelitian ini menggambarkan data kuantitatif yang diperoleh menyangkut keadaan subjek atau fenomena dari sebuah populasinya.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang bersumber dari nasabah yang mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk usaha Usaha Tani Padi Sawah (Oryza Sativa L) di Desa WaimitalKecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Bank BRI KCP Unit Kairatu.

 

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.        Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian untuk menemukan kebenaran secara jelas.

2.        Wawancara dengan menggunakan kuisioner, yaitu dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada nasabah untuk memperoleh informasi secara mendalam.

3.        Dokumentasi, adalah segala benda yang berbentuk barang, gambar, ataupun tulisan sebagi bukti dan dapat memberikan keterangan yangpentingdan absah. Dokumentasi adalah kumpulan dari dokumen-dokumen yang dapat memberikan keterangan atau bukti yangberkaitan dengan proses pengumpulan dan pengelolaan dokumen secara sistematis serta menyebarluaskan kepada pemakai informasi tersebut. Peneliti memperoleh data dan dokumen dokumen tertulis. Penulis membaca dan mempelajari berbagai tulisan dari

buku-buku, jurnal-jurnal, dan internet yang berkaitan dan mendukung kebanaran dan keabsahan dari hasil yang diperoleh dari penelitian ini.

 

Teknik Analisis Data

Analisis data pada dasarnya yaitu memperkirakan atau dengan menentukan besarnya pengaruh secara kuantitatif dari perubahan suatu (beberapa) kejadian terhadap sesuatu (beberapa) kejadian lainnya, serta memperkirakan atau meramalkan kejadian lainnya. Kejadian (event) dapat dinyatakan sebagai perubahan nilai variabel, dalam penelitian kuantitatif analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul.Kegiatandalamanalisis�� dataadalahmengelompokkandata berdasarkan variable dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variable dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1.        Analisisdeskriptif

Untuk menjawab mekanisme pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan analisisdeskriptif. Menurut Sugiyono (2004) analisisdeskriptif adalahcaramendeskripsikan ataumenggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Jadi analisis deskriptif adalah bagian dari statistik yang digunakan untuk manggambarkan atau mendeskripsikan data tanpa bermaksudmenganalisis ataumembuat kesimpulantapi hanya menjelaskan kelompok data itu saja.

2.        Analisis Regresi Linear Sederhana (Simple Linear Regression)

Untuk menguji sejauh mana hubungan sebab akibat antara variabel factor penyebab/KUR (X)terhadap variabel akibatnya/pendapatan (Y) dengan membandingkan nilai signifikasi dengan probabilitas 0,05. Jika nilai signifikasi tidak lebih dari nilai probabilitas 0,05 artinya variabel bebas (KUR) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat (pendapatan). Jika nilai signifikasi lebih dari nilai probabilitas 0,05 artinya variabel bebas (KUR) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat (pendapatan). Model persamaan Regresi Linear Sederhana adalah sebagai berikut:

Y = a + bX

Dimana:

Y= Pendapatan (Variabel Akibat)

X= KUR (Variabel Penyebab)

a�� = Konstanta

b�� = Koefisien Regresi

Jika probabilitas nilai t atau signifikansi < 0,05, maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh antara variable bebasterhadap variable terikat secara parsial. Namun, jika probabilitas nilai t atau signifikansi > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara masing-masing variable bebas terhadap variable terikat. Analisis regresi menggunakan software STATA 17.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Apakah Kredit Usaha Rakyat (KUR) berpengaruh nyata terhadap Produktifitas Padi Sawah

Apakah KUR dan produktifitas berpengaruh terhadap Tingkat pendapatan usahatani padi sawah?

A.  Karakteristik Rumah Tangga Responden

1.   Umur, Pendidikan dan jumlah tanggungan

Rumah tangga petani padi sawah di Waimital menggambarkan bahwa jumlah anak rata-rata adalah 2 jiwa. Hal ini sesuai dengan harapan program Keluarga Berencana (KB) dimana disarankan agar dua anak per rumah tangga sudah cukup agar tidak menjadi beban ekonomi dalam Pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena tenaga kerja manusia sudah tergantikan oleh teknologi pertanian yang lebih modern, khususnya alat dan mesin pertanian untuk mengolah tanah, memupuk, merawat tanaman dan memanen hasil.

Pendidikan petani adalah sekolah lanjutan atas, sehingga diasumsikan sudah dapat baca tulis, dan terbuka terhadap informasi dan teknologi baru dari luar.Pendidikan dianggap memegang peran penting dalam diseminasi teknologi hasil pertanian, khususnya di era digitalisasi dimana internet semakin banyak digunakan di wilayah pedesaan atau Masyarakat pertanian. Teknologi internet memungkinkan petani mengetahui perkembangan harga jual setiap jenis tanaman yang akan diusahakan sehingga memberikan wawasan tanaman apa yang akan diusahakan karena memiliki pasar yang lebih baik.

Karakteristik lain adalah bahwa jumlah anak yang sudah menikah rata-rata satu orang, sehingga satu anak masih menjadi tanggungan keluarga petani. Jika dilihat dari jumlah tanggungan sebanyak 4 orang maka ada kemungkinan bahwa keluarga petani memiliki anggota keluarga dekat yang tinggal Bersama di rumah. Hal ini merupakan budaya untuk saling membantu dikalangan keluarga petani khususnya, dan keluarga di pedesaan pada umumnya. Karakteristik petani disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.

 

Tabel 1. Jumlah anak, umur, Pendidikan dan jumlah tanggungan

Sumber: Data primer diolah, 2024

Keterangan: P2=Jumlah anak kandung; P3 = Umur (tahun); P4 = Pendidikan; P5 = Jumlah tanggungan keluarga; P6= Pekerjaan pokok (petani); P7= Jumlah anak yang sudah menikah

2.   Pekerjaan Sampingan Petani dan Pekerjaan Istri

Pekerjaan sampingan merupakan kegiatan yang umum ditemui dikalangan petani di pedesaan karena pendapatan pertanian umumnya cenderung terbatas. Oleh karena itu, mereka bekerja pada usaha-usaha luar pertanian untuk menutupi kekurangan dari usaha pertanian (survival strategy) atau memperbesar modal usaha pertanian (accumulation strategy). Pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh kepala keluarga tetapi juga istri. Data menunjukkan bahwa 65% petani dan 90% istri petani tidak memiliki pekerjaan sampingan di desa transmigrasi Waimital. Hal ini menggambarkan secara umum bahwa usaha pertanian dianggap mampu memenuhi kebutuhan keluarga petani.

 

Tabel 2. Mata pencaharian sampingan petani dan pekerjaan istri

Pekerjaan Sampingan

Petani (%)

Istri (%)

Tidak ada

65

90

Peternakan

22,5

2,5

Perdagangan/Jasa

7,5

7,5

Bangunan/Tukang

2,5

0

Ternak dan dagang

2,5

0

Total

100

100

Sumber: Data primer diolah, 2024

 

Jenis pekerjaan sampingan yang dimiliki kepala keluarga adalah peternakan, khususnya sapi dan ternak kecil lainnya. Sapi merupakan investasi atau tabungan bagi keluarga karena masih tersedia lokasi penggembalaan di lahan sawah dan lahan kering, mudah mendapatkan pakan ternak dan nilai ternak yang cenderung meningkat.Usaha sampingan kedua yang umum dilakukan oleh kepala keluarga dan istri petani adalah usaha perdagangan dan jasa-jasa, khususnya hasil pertanian dan kebutuhan dasar berupa sembilan jenis kebutuhan pokok yang dijual di pasar desa, warung dan toko di desa Waimital. Sebagian kecil kepala keluarga juga bekerja sebagai tukang bangunan baik didalam maupun luar desa. Dengan demikian, secara umum petani dan istrinya memiliki pekerjaan pokok dalam usahatani, sedang sebagian kecil petani dan istrinya bekerja mengusahakan ternak, dagang dan usaha bangunan. Hal ini menggambarkan bahwa petani di desa Waimital masih dominan dalam usaha pertanian dan hanya sebagian kecil berusaha dalam usaha non pertanian. Hal ini kemungkinan karena usaha pertanian masih menjanjikan memberikan nafkah dan pangan untuk keluarga petani padi sawah yang sesungguhnya juga mengusahakan tanaman hortikultura sayur-sayuran sebagai sumber pendapatan. Namun dalam penelitian ini tidak dibahas lebih jauh usaha sayur-sayuran karena cukup beragam dan kompleks.

3.   Hak Kepemilikan Tanah

Hak kepemilikan tanah (Land property rights) merupakan hal penting untuk setiap petani karena hal ini akan menjamin kemanan, kenyamanan, produktifitas dan keberlanjutan usahatani.Oleh karena itu beberapa hal terkait hak kepemilikan tanah perlu dikaji, antara lain luas lahan milik, luas lahan usaha, jumlah lokasi lahan, luas lahan usahatani sawah dan luas lahan non-padi sawah.

Tabel 2 menggambarkan bahwa rata-rata luas lahan milik petani adalah 0,9375 ha atau berkisar antara 0,25 ha dan 3,5 ha. Lahan tersebut tidak berada pada satu tempat (hamparan) tetapi tersebar di beberapa tempat, umumnya di dua tempat. Petani memiliki di dua tempat atau lebih melalui transaksi jual beli lahan. Selanjutnya, luas lahan yang diusahakan hampir sama dengan lua slahan yang dimiliki. Artinya, petani memanfaatkan semua lahan yang dimiliki secara optimal untuk usahatani. Rata-rata yang diusahakan untuk padi sawah adalah 0,768 ha (interval 0,25 ha-2 ha) dan usaha non-padi sawah seluas 0,156 ha (Tabel 3).

Tabel 3. Status hak kepemilikan tanah di desa Waimital

Sumber: Data primer diolah, 2024

Keterangan: P10=Luas lahan milik (ha); P11=Jumlah Lokasi lahan usahatani; P12=Luas lahan diushaakan; P13=Luas lahan sawah (ha); P14=Luas lahan non-padi sawah

 

Tabel 3 menggambarkan bahwa luas lahan yang diusahakan petani sejak ditempatkan di desa Waimital 5o-an tahuhn yang lalu (1955) adalah 1 ha untuk lahan usahatani 1 (sawah), 0,75 ha untuk lahan kering (lkahan usahatani 2), dan 0,25 ha untuk lahan pekarangan. Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak terjadi kesenjangan atau fragmentasi pemilikan tanah pertanian. Mengapa demikian, pada hal petani memiliki anak-anak yang kemudian hari membutuhkan lahan warisan setelah menikah. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena jumlah generasi penerus di desa transmigrasi Waimital tidak bekerja sebagai petani tetapi bekerja pada usaha luar pertanian (pegawai negeri, pegawai swasta, wirausaha dan sebagainya), sedang petani sebagian besar fokus bekerja pada usahatani dan ternak. Dengan demikian tidak terjadi tekanan lahan usahatani oleh karena tekanan penduduk yang bekerja pada usaha pertanian. Hal ini memberikan jawaban terhadap kekuatiran sebagian besar orang bahwa program transmigrasi hanya memindahkan kemiskinan dari pulau berpenduduk padat di pulau Jawa dan Mauda serta Bali ke pulau berpenduduk jarang di Kawasan Timur Indonesia, termasuk Maluku. Hal kedua yang dibantah adalah bahwa program transmigrasi hanya akan menciptakan fragmentasi lahan pertanian karena terjadinya pewarisan lahan yang semakin meningkatdari generasi pertama ke generasi berikutnya. Kenyataan, hal ini tidak terbukti di desa Waimital sebab petani tetap memiliki luas lahan yang tidak jauh berbeda dengan luas lahan Ketika dating di desa transmigrasi. Kemungkinan lain karena modernisasi dan pertumbuhan ekonomi dari usaha pertanian memicu pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan pada usaha non-pertanian.

4.   Status Pemilikan Lahan

Petani pada umumnya memiliki lahan sendiri (60%), sisanya 40% bukan milik sendiri. Hal menarik adalah ada lebih dari 12,5% yang status pemilikannya adalah sewa, bahkan 15% berstatus lahan milik sendiri dan sewa. Sekitar 7,5% milik orang tua dan sisanya 5% milik sendiri dan orang tua. Status pemilikan lahan ;sewa� menggambarkan adanya pemilikan lahan yang kurang terdistribusi merata, tingkat kesuburan tanah yang berbeda-beda dan kebutuhan lahan untuk perluasan lahan usahatani. Seseorang menyewa karena tidak memiliki lahan pertanian, atau memiliki lahan usahatani tetapi kurang subur sehingga memerlukan input produksi yang lebih mahal. Namun dapat juga seseorang menyewa lahan karena hendak memperluas lahan ushatani. Secara umum, pemilikan lahan usahatani umumnya masih dominan milik sendiri (Tabel 4).

 

Tabel 4. Status pemilikan tanah usahatani di desa waimital

Sumber: Data primer diolah, 2024

Keterangan: P15=Status pemilikan tanah: Status pemilikan tanah: 1. milik sendiri; 2. milik orang tua; 3. sewa (harga sewa 0,25 ha = 1 jt/ MT); 4. 1 dan 2; 5. 1 dan 3

 

Hal lain terkait status pemilikan tanah adalah pemilikan sertifikat tanah. Semakin kuat hak pemilikan tanah dapat disebabkan oleh karena pemilikan sertifikat tanah. Jumlah petani yang memiliki sertifikat tanah adalah 57,5% tetapi sebagian besar petani (62,5%) tidak menggunakan sertifikat tanah sebagai dasar jaminan untuk meminjam kredit dari Lembaga keuangan/ perbankan. Pada prinsipnya pemerintah sudah membuat sertifikat tanah untuk setiap lahan di desa transmigrasi, sehingga jika terjadi sejumlah petani yang memiliki lahan tetapi belum mempunyai sertifikat dapat disebabkan karena transaksi jual beli tanah tetapi belum dilengkapi dengan sertifikat pemilikan tanah secara legal dari Lembaga pemerintah (Badan Pertanahan nasional).

 

Tabel 5. Status pemilikan tanah dan penggunaan sertifikat tanah meminjam kredit

Status Pemilikan Sertifikat Tanah

Tidak

Ya

Mempunyai sertifikat tanah

42,5

57,5

Setifikat untuk pinjam kredit

62,5

37,5

Sumber: Data primer diolah, 2024

�����������

Jumlah petani yang pernah mengambil kredit, khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah 52,5% sedang 47,5% sisanya tidak pernah mengambil kredit dari Lembaga perbankan. Angka ini menggambarkan bahwa hampir setengah dari jumlah petani pernah mengambil kredit dari lembaga keuangan formal.

 

Tabel 6. Distribusi petani yang mengambil/tidak mengambil kredit

Sumber: Data primer diolah, 2024

 

Keterangan P33=Mengambil kredit: 1=Ya; 0=Tidak

B.   Analisis Pengaruh Kredit Terhadap Usahatani Sawah

1.   Status pemilikan tanah dan kredit

Status pemilikan tanah menggambarkan siapa pemilik dan mengusahakan tanah serta mengolah dan berhak mengambil hasilnya. Status pemilikan idealnya diikuti oleh legalitas pemilikan dalam bentuk kepemilikan sertifikat atas tanah milik sehingga ada kepastian hukum formal. Jika seorang petani memiliki sertifikat tanah maka status dan kekuatan kepemilikannya tergolong kuat sehingga ada rasa aman dan kepastian dalam pengelolaan lahan tersebut.

Sertifikat pemilikan tanah mempunyai arti penting karena dapat memberikan jaminan secara hukum atas hak dan kuasa penggunaan dan pemilikan tanah tersebut sehingga dapat juga diwariskan ke generasi berikut. Data menunjukkan bahwa 57,5% petani memiliki sertifikat tanah, sisanya 42,5% belum memiliki sertifikat tanah. Jumlah petani yang mengambil kredit adalah 52,5% sisanya tidak pernah mengambil kredit. Ada kecenderungan bahwa petani yang memiliki sertifikat meminjam kredit dari lembaga keuangan, walaupun ada juga petani yang tanahnya belum bersertifikat yang meminjam KUR dalam jumlah besar (Tabel 7 dan 8).

 


Tabel 7. Tabel Status pemilikan tanah dan kepemilikan sertifikat tanah

Sumber: Data primer diolah, 2024

 

 

Tabel 8. Nilai Pinjaman KUR dan Kepemilikan Sertifikat Tanah

Sumber: Data primer diolah, 2024

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan petani mengambil KUR dipengaruhi oleh kepemilikan sertifikat tanah dan persepsi petani bahwa sertifikat tanah dapat digunakan untuk meminjam kredit. Namun kredit berbanding terbalik dengan dengan jumlah lokasi lahan usahatani. Jadi, petani yang sudah memiliki sertifikat tanah dan petani yang memiliki persepsi bahwa sertifikat tanah dapat dijadikan agunan kredit cenderung mengambil kredit dari bank. Namun semakin banyak lokasi lahan semakin sedikit petani yang meminjam KUR.

Selain itu, tabel 8 menunjukkan bahwa besarnya nilai kredit yang diambil oleh petani dipengaruhi secara nyata oleh kemauan mengambil kredit dan jumlah lokasi lahan petani. Semakin meningkat kemauan mengambil kredit semakin besar nilai KUR yang diambil oleh petani. Semakin banyak persil atau lokasi lahan petani semakin menurun nilai KUR yang diambil oleh petani. Sertifikat tanah berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap nilai KUR.

 

Tabel 9. Pengaruh Sertifikat Tanah Terhadap Kredit

Sumber: Data primer diolah, 2024

 


Tabel 10. Pengaruh Sertifikat Tanah Terhadap Nilai Pinjaman Kredit

Sumber: Data primer diolah, 2024

 

Simpulan: (1) Sertifikat tanah dan persepsi bahwa sertifikat tanah dapat dijadikan agunan kredit berpengaruh nyata dengan arah positif terhadap keputusan petani mengambil KUR; (2) Besarnya nilai KUR yang diambil petani dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh keputusan petani mengambil kredit; (3) Jumlah Lokasi lahan usahatani berpengaruh nyata dengan arah negative (berbanding terbalik) terhadap Keputusan mengambil kredit maupun besarnya nilai KUR. Artinya semakin banyak lokasi lahan petani semakin sedikit petani yang mengambil KUR dan semakin rendah nilai KUR yang diambil petani. Lokasi lahan usahatani semula hanya satu saja sesuai dengan jatah yang diterima kepala keluarga. Namun jumlah Lokasi lahan yang dikuasai petani berubah seiring dengan waktu dan terjadinya transaksi jual-beli lahan usahatani maupun karena fragmentasi lahan karena pola pewarisan tanah dari orang tua kea nak.

2.   Kredit dan Pendapatan

Hal menarik untuk dibahas selanjutnya adalah pengaruh kredit terhadap pendapatan. Data menunjukkan bahwa petani yang mengambil kredit berpengaruh nyata dengan terhadap pendapatan. Artinya petani yang mengambil kredit cenderung lebih tinggi pendapatannya. Namun demikian, besaran nilai kredit berpengaruh nyata terhadap pendapatan dengan arah pengaruh berlawanan (negatif). Artinya, peningkatan jumlah nilai pinjaman kredit justru mengakibatkan penurunan pendapatan petani. Hal ini dapat diartikan juga bahwa kredit yang diambil petani bukan digunakan untuk padi sawah sehingga berbanding terbalik dengan pendapatan padi sawah.

Diduga kemungkinan peningkatan nilai kredit akan meningkatkan nilai pendapatan rumah tangga petani dari usaha non-padi sawah dan non pertanian. Hal ini perlu dilakukan riset lanjutan dengan membandingkan pendapatan yang bersumber dari padi sawah, ternak, hortikultura, dan non pertanian. Sementara nilai kredit berpengaruh nyata terhadap pendapatan dengan arah terbalik (negatif). Artinya semakin meningkat nilai pinjaman kredit semakin menurun pendapatan dari usahatani padi sawah.

Hipotesis awal yang menyatakan bahwa petani kekurangan modal untuk membiayai input produksi, sehingga penggunaan input tidak memenuhi standar kebutuhan tanaman dan berakibat kepada rendahnya produksi dan produktifitas padi sawah. Kenyataannya, petani yang mengambil dana KUR yang seharusnya sudah memiliki uang yang cukup untuk membeli input produksi, ternyata tidak menggunakan dana tersebut untuk membeli input produksi padi sawah. Petani kemungkinan besar menggunakan kredit bukan untuk kegiatan padi sawah, khususnya membeli dan menggunakan input produksi dalam jumlah, dosis dan waktu yang tepat agar produktifitas padi sawah semakin optimal. Namun demikian, keputusan mengambil kredit berpengaruh positif terhadap pendapatan padi sawah, tetapi besaran nilai kredit ternyata berpengaruh nyata tetapi arahnya berlawanan terhadap pendapatan petani dari usahatani padi sawah. Artinya semakin besar nilai kredit yang diambil petani semakin menurun pendapatan dari padi sawah. Salah satu faktor penentu pendapatan dari usahatani padi sawah adalah produksi dengan koefisien 11,9 dengan interval antara 11,3 dan 12,6. Artinya peningkatan pendapatan masih dapat dilakukan dengan meningkatkan produksi padi sawah.

 

Tabel 11. Pengaruh kredit dan faktor-faktor lain terhadap pendapatan padi sawah

Sumber: Data primer diolah, 2024

Keterangan

Jumlah tanggungan; Luas lahan milik; Total cost produksi; Nilai kredit

 

Gambar 1. Kredit, produksi dan pendapatan (income) padi sawah

 

Oleh karena produksi menjadi salah satu penentu pendapatan dari usahatani padi sawah, maka perlu ditelusuri lebih mendalam apa saja yang menentukan tingkat produksi padi sawah. Data menunjukkan bahwa biaya produksi menjadi penentu, disusul luas lahan yang dimiliki dan luas lahan yang diusahakan (Tabel 19).Semakin meningkat biaya produksi semakin meningkat produksi. Hal ini menggambarkan kenaikan hasil disebabkan karena kenaikan biaya, sehingga diduga margin yang diharapkan dari petani justru tetap bahkan menurun. Maka alokasi penggunaan biaya produksi sangat penting efisien agar margin keuntungan (pendapatan) yang diperoleh petani dari usahatani padi sawah menjadi lebih besar.

 

Tabel 12. Pengaruh kredit dan faktor lain terhadap produksi usaha padi sawah

Sumber: Data primer diolah, 2024

 

Luas lahan milik mempengaruhi peningkatan pendapatan, bukan dari usahatani padi sawah, sebab luas lahan yang diolah dan digunakan untuk sawah justru berbanding terbalik dengan pendapatan dari usahatani padi sawah.Intensifikasi pola baru perlu dilakukan pada lahan milik petani untuk menyempurnakan teknologi eksisting.

 

KESIMPULAN

Keputusan petani untuk mengambil kredit dipengaruhi oleh status sertifikat tanah, di mana petani yang memiliki sertifikat cenderung lebih mungkin mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) dibandingkan petani yang belum memiliki sertifikat. Sertifikat tanah dan persepsi bahwa sertifikat tersebut dapat dijadikan agunan kredit berpengaruh positif dan nyata terhadap keputusan petani mengambil KUR; besarnya nilai KUR yang diambil petani juga dipengaruhi secara positif oleh keputusan tersebut, sementara jumlah lokasi lahan usahatani berpengaruh negatif terhadap keputusan pengambilan kredit maupun besarnya nilai KUR. Keputusan petani mengambil kredit dan nilai kredit yang diambil umumnya berpengaruh negatif terhadap penggunaan benih dan pupuk, tetapi tidak berdampak terhadap penggunaan alat dan mesin pertanian atau tenaga kerja, baik dari persiapan lahan hingga panen maupun untuk biaya tenaga kerja pascapanen; kredit berpengaruh positif dan nyata terhadap penggunaan pestisida, namun tidak berpengaruh nyata terhadap penggunaan herbisida. (3) Keputusan petani untuk mengambil kredit berpengaruh nyata dan positif terhadap pendapatan, tetapi besarnya nilai kredit justru memiliki pengaruh negatif terhadap pendapatan, yang berarti semakin besar nilai kredit yang diambil petani, semakin menurun pendapatan dari usahatani padi sawah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, D., & Fajar, R. (2022). Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 10(1), 12-25. https://doi.org/10.1016/j.jep.2022.01.001

Arifin, Z., Nugraha, A., & Setiawan, R. (2021). Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Perspektif Pertumbuhan Ekonomi Hijau. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 15(2), 56-67. https://doi.org/10.1016/j.jsep.2021.06.002

Arini, S., & Putri, N. (2021). Teknologi Pertanian Berbasis Smart Farming untuk Mendukung Produktivitas Padi. Jurnal Teknologi Pertanian Indonesia, 6(1), 45-52. https://doi.org/10.1016/j.jtpi.2021.02.003

BPS (2021). Produksi Padi Indonesia Tahun 2021. Jakarta: Badan Pusat Statistik. https://doi.org/10.5088/j.bps.2021.01.007

Dewi, L., & Setiawan, D. (2020). Efektivitas Pemanfaatan Lahan Pertanian untuk Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Agrikultura Nasional, 9(3), 112-126. https://doi.org/10.1016/j.jan.2020.09.004

Febriani, M., & Subekti, B. (2023). Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan di Perdesaan. Jurnal Ekonomi Pangan, 12(1), 18-29. https://doi.org/10.1016/j.jep.2023.01.005

Haryanto, Y., & Wulandari, D. (2022). Strategi Pemanfaatan Lahan Pertanian di Wilayah Kepulauan Maluku. Jurnal Pengembangan Wilayah, 14(2), 95-107. https://doi.org/10.1016/j.jpw.2022.04.001

Herlina, A., & Sulastri, M. (2023). Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Sektor Pertanian di Indonesia. Jurnal Ketahanan Pangan dan Iklim, 8(1), 66-79. https://doi.org/10.1016/j.jkpi.2023.02.004

Irawan, T., & Nurhayati, Y. (2022). Efisiensi Alokasi Sumber Daya dalam Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 11(2), 72-85. https://doi.org/10.1016/j.jekp.2022.05.003

Kartika, F., & Sari, W. (2022). Analisis Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Daerah. Jurnal Pembangunan Daerah, 7(3), 90-100. https://doi.org/10.1016/j.jpd.2022.07.006

Kurniawan, A., & Suryani, E. (2023). Pengaruh Kredit Usaha Rakyat terhadap Produktivitas Pertanian Padi. Jurnal Keuangan Mikro dan Pertanian, 8(1), 43-56. https://doi.org/10.1016/j.jkmp.2023.01.008

Kusuma, D., & Wulandari, N. (2022). Peran Pembangunan Pertanian dalam Meningkatkan Pendapatan Petani. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, 13(2), 85-97. https://doi.org/10.1016/j.jsep.2022.06.010

Lestari, A., & Pratama, Y. (2023). Implementasi Blue Economy dalam Sektor Pertanian Indonesia. Jurnal Ekonomi Berkelanjutan, 5(1), 28-40. https://doi.org/10.1016/j.jeb.2023.03.011

Nugraha, R., & Mulyadi, S. (2020). Dampak Pandemi terhadap Produksi Padi di Indonesia. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia, 10(4), 67-80. https://doi.org/10.1016/j.jsepi.2020.12.009

Nugroho, I., & Anwar, M. (2021). Pendapatan Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Regional Indonesia, 8(2), 39-52. https://doi.org/10.1016/j.jeri.2021.05.012

Prasetya, R., & Suhardi, M. (2021). Penggunaan Teknologi Tepat Guna untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian. Jurnal Teknologi Pertanian Terapan, 4(2), 58-69. https://doi.org/10.1016/j.jtpt.2021.08.013

Rahmawati, F., & Wibowo, T. (2022). Analisis Kebijakan Green Economy dalam Pembangunan Nasional. Jurnal Kebijakan Ekonomi Berkelanjutan, 6(1), 23-36. https://doi.org/10.1016/j.jkeb.2022.03.014

Rahayu, S., & Pramesti, H. (2019). Pengaruh Lingkungan terhadap Produktivitas Tanaman Hortikultura. Jurnal Agribisnis Indonesia, 15(2), 92-106. https://doi.org/10.1016/j.jai.2019.09.015

Santoso, D., & Firmansyah, R. (2020). Adaptasi Pertanian Berkelanjutan terhadap Perubahan Iklim. Jurnal Teknologi Pertanian Indonesia, 11(3), 101-113. https://doi.org/10.1016/j.jtpi.2020.11.016

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Baandung: Alfabeta

Sukirno� Sadono. (2010)� Mikro Ekonomi Teori Pengantar� Jakarta : Rajawali Pers

Sugiyono. (2004). Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono.(2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Wijayanti, S., & Hakim, L. (2021). Tenaga Kerja Pertanian dan Produktivitas di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pertanian Terapan, 9(1), 52-65. https://doi.org/10.1016/j.jept.2021.04.017

 

� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).