Pencegahan Kasus
Klitih di Sekolah: Peran
dan Tantangan bagi Guru sebagai Agen Perubahan dan Pendukung Anak-anak
� Prevention of Klitih
Cases in Schools: The Role and Challenges for Teachers as Agents of Change and
Supporters of Children
1)* Titis Pandan Wangi Reformasi , 2) Oktiva
Anggraini
1,2 Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Indonesia
*Email: 1) [email protected]
*Correspondence: 1) Titis Pandan Wangi
Reformasi
DOI: 10.59141/comserva.v4i4.1400 |
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji peran dan tantangan yang dihadapi oleh guru dalam penanganan kasus klitih di lingkungan sekolah. Fenomena klitih, atau konflik antar-anak, seringkali menjadi isu yang memerlukan perhatian serius dalam konteks pendidikan. Studi ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana guru dapat berperan sebagai agen perubahan dan pendukung bagi anak-anak yang terlibat dalam kasus klitih. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan guru, observasi di lingkungan sekolah, dan analisis dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki peran yang krusial dalam menangani kasus klitih, termasuk mendeteksi potensi konflik, memberikan dukungan psikososial, dan mengelola situasi konflik secara efektif. Namun, mereka juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya, tekanan waktu, dan kurangnya pelatihan khusus dalam penanganan konflik. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi strategi
dan pendekatan yang efektif
yang dapat diterapkan
oleh guru untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam penanganan kasus klitih. Penelitian ini menghasilkan rekomendasi kebijakan dan praktik pendidikan untuk memperkuat peran guru sebagai agen perubahan dan pendukung anak-anak dalam mengatasi klitih. Kesimpulan dari penelitian ini menekankan pentingnya pembinaan keterampilan interpersonal guru, penguatan
kerjasama antara guru dan
orang tua, serta implementasi program pencegahan
dan intervensi yang holistik
di lingkungan sekolah. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi pada pemahaman lebih lanjut tentang peran guru dalam menangani kasus klitih dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung bagi anak-anak Kata kunci: guru,
klitih, sosiologi hukum |
ABSTRACT
This
research examines the role and challenges faced by teachers in handling cases
of peer conflict (klitih) in the school environment.
The phenomenon of klitih, or conflicts among
children, often becomes a serious issue that requires attention in the
educational context. This study aims to investigate how teachers can act as
agents of change and support for children involved in klitih
cases. The research employs qualitative methods, collecting data through
in-depth interviews with teachers, observations in the school environment, and
document analysis. The findings indicate that teachers play a crucial role in addressing
klitih cases, including detecting potential
conflicts, providing psychosocial support, and managing conflict situations
effectively. However, they also face various challenges, including limited
resources, time constraints, and a lack of specific training in conflict
resolution. Additionally, the research identifies effective strategies and
approaches that teachers can apply to enhance their abilities in handling klitih cases. The research generates policy recommendations
and educational practices to strengthen the role of teachers as agents of
change and support for children in addressing klitih.
The conclusions emphasize the importance of fostering teachers' interpersonal
skills, strengthening collaboration between teachers and parents, and
implementing holistic prevention and intervention programs in the school
environment. Thus, the research contributes to a deeper understanding of the
role of teachers in addressing klitih cases and
creating a safe and supportive learning environment for children
Keywords:
teacher, peer
conflict, sociology of law
PENDAHULUAN
Perilaku yang sering ditunjukkan oleh remaja, yang terkadang tidak sesuai
dengan norma etika dan masyarakat, masih diberikan pengertian. Ini dikaitkan
dengan fase peralihan yang dianggap sebagai masa mencari jati diri (Nurmala, 2020). Namun,
kurangnya panduan dan bimbingan mengakibatkan banyak remaja terjerumus dalam
perilaku yang bersifat negatif. Manifestasi perilaku negatif yang ditunjukkan
oleh remaja tidak hanya terbatas pada perilaku umum, melainkan juga mencakup
aspek kriminal. Salah satu bentuk perilaku negatif yang termasuk dalam kategori
masalah kriminal adalah klitih (Sulaiman, 2012). Kasus klitih
melibatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemuda dan anak di bawah
umur, yang pada umumnya masih menjadi pelajar. Menurut Kapolda Daerah Istimewa
Yogyakarta, kasus klitih bukan lagi dianggap sebagai tindakan kenakalan remaja
biasa, melainkan telah mencapai tingkat kriminalitas atau kejahatan karena
dapat mengakibatkan korban jiwa. Pernyataan Kapolda menegaskan bahwa klitih
bukan hanya bentuk kenakalan remaja konvensional, sehingga kasus klitih menjadi
perhatian bersama dari berbagai pihak, termasuk sekolah, orang tua, kepolisian,
dan pemerintah, untuk melakukan pencegahan (Sukirno, 2018).
Kehadiran fenomena Klitih didasari oleh motivasi dan alasan subjektif,
seperti balas dendam, perasaan tidak suka, kekacauan di kalangan tertentu, atau
bahkan hanya sebagai bentuk mengisi waktu luang. Karena banyak pelaku Klitih
yang berasal dari kalangan remaja, tindakan ini dianggap sebagai Kenakalan
Remaja atau Juvenile Delinquency. Meskipun demikian, Klitih tidak dapat
disamakan dengan kenakalan remaja biasa, karena cenderung melibatkan upaya
untuk melukai fisik korban. Lebih lanjut, komunitas yang sering terlibat dalam
Klitih jarang melibatkan pencurian paksa barang atau harta milik orang lain,
karena aksi ini lebih ditujukan untuk memperoleh kepuasan saat korban sudah tak
berdaya dan kemudian ditinggalkan.
Tujuan utama dari aksi Klitih ini adalah untuk menunjukkan kekuatan atau
power dari komunitas tersebut, serta untuk mendapatkan pengakuan atas
eksistensinya. Faktor utama yang mendasari keberadaan Kenakalan Remaja berasal
dari berbagai pengaruh, termasuk lingkungan, teman sebaya, dan faktor personal
yang kompleks. Hal ini menjelaskan mengapa fenomena Klitih semakin terbuka dan
berkembang.
Eksistensi kejahatan Klitih menimbulkan kecemasan di masyarakat, dan oleh
karena itu, penegakan hukum menjadi sangat penting untuk menangani masalah ini.
Dalam konteks ini, undang-undang telah mengatur penegakan hukum bagi anak-anak
melalui Pasal 71 UU SPPA, yang mencakup pidana peringatan, pidana dengan
syarat, pelatihan kerja, pembinaan kelembagaan, dan penjara. Selain itu,
substansi UU SPPA juga mengatur sanksi tindakan bagi pelaku Klitih dan
kejahatan anarkisme oleh remaja.
Melihat problematika yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat,
diperlukan upaya penanganan sebagai implementasi dari kebijakan kriminal. Upaya
tersebut mencakup kebijakan dalam hukum pidana materiil, formal, dan
pelaksanaan hukum untuk mencapai kesejahteraan sosial. Ada dua pendekatan
penanganan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan penal dan non-penal.
Pendekatan penal melibatkan penanganan represif bagi pelaku tindak pidana,
sementara pendekatan non-penal fokus pada pencegahan potensi kejahatan.
Dalam konteks penanganan kejahatan Klitih, tiga langkah utama dapat
diambil: upaya pre-emtif untuk mencegah kejahatan dengan menanamkan nilai dan
norma baik kepada masyarakat, upaya preventif untuk menghilangkan kesempatan
terjadinya aksi kejahatan, dan upaya represif sebagai langkah penanggulangan
terhadap aksi kejahatan yang telah terjadi (Eko, 2022).
Klitih merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja yang menjadi sumber
ketakutan dalam masyarakat DI Yogyakarta belakangan ini. Fenomena kenakalan ini
tidak hanya terbatas pada tindakan perampasan seragam siswa di sekolah,
melainkan juga mencakup tindakan yang lebih serius, seperti pembunuhan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa para pelaku klitih memiliki latar belakang
permasalahan pribadi yang beragam. Namun, elemen yang paling mendasari perilaku
klitih ini adalah upaya mencari identitas diri. Hal ini dipicu oleh kurangnya
pengakuan, perhatian, dan kasih sayang dari berbagai pihak, termasuk orang tua,
sekolah, dan lingkungan sekitar. Akibatnya, mereka kesulitan untuk merasa damai
dengan diri sendiri dan menggantungkan identitas mereka pada kelompok klitih
sebagai cara untuk memperoleh pengakuan (Nur Inayah, Yusuf, & Khotibul
Umam, 2021).
Ketidakmampuan remaja dalam menangani krisis identitasnya dapat
mengakibatkan perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial, termasuk
perilaku klitoris. Mayoritas pelaku Klitih berasal dari pelajar SMA, yang
mendapat perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor
pendidikan. Sekolah, yang merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas
pendidikan formal, memiliki potensi untuk membantu remaja dalam pembentukan
identitasnya. Guru Bimbingan dan Konseling berperan memberikan layanan bimbingan
dan konseling guna memastikan bahwa siswa memahami krisis identitas yang
dihadapi remaja. Namun, sayangnya, banyak sekolah masih kurang memiliki waktu
untuk memberikan arahan dalam pembelajaran dan pelayanan konseling kepada siswa
(Pitaloka, 2020).
METODE
Penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kepustakaan, memanfaatkan teori-teori yang relevan untuk memahami peran keamanan siber dalam mengatasi konten informasi negatif guna mencapai ketahanan
informasi nasional. Dengan menerapkan metode penelitian ini, diharapkan dapat menghasilkan ide-ide sebagai hasil dari analisis dan pengolahan data, dengan penekanan pada aspek kualitas sumber data. Arief Furchan
(1992), seorang peneliti terkemuka, menjelaskan dalam karyanya, "Pengantar Metode
Penelitian Kualitatif," bahwa
metode kualitatif adalah suatu proses penelitian yang menghasilkan data
deskriptif, seperti ucapan, tulisan, atau perilaku yang dapat diamati dari subjek
penelitian itu sendiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaku Klitih Menurut Undang-Undang
Penegakan hukuman terhadap anak diatur dalam
Pasal 71 UU SPPA, yang mencakup pidana
pokok seperti: a) peringatan, b) pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan), c) pelatihan kerja, d) pembinaan dalam kelembagaan, dan e) penjara.
Selain itu, terdapat pidana tambahan, seperti a) perampasan keuntungan dari tindak pidana, dan b) pemenuhan kewajiban adat. Dengan penjelasan
regulasi ini, ringannya kejahatan, kondisi personal anak, atau waktu kejadian
dapat menjadi dasar pertimbangan hakim untuk tidak memberlakukan
sanksi pidana, melainkan menerapkan tindakan tertentu yang mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanusiaan anak (Hartanto, 2022). Hakim dalam mengadili pelaku anak dapat menjatuhkan
pidana dengan syarat maksimal 2 tahun. Selanjutnya, hakim juga memiliki kewenangan untuk menetapkan pembinaan di luar lembaga sesuai dengan Pasal 71 Ayat (1) huruf b angka 1 UU SPPA. Pidana pembatasan kebebasan anak diatur dalam
Pasal 79 UU SPPA yang menyatakan bahwa
"Pidana pembatasan kebebasan diterapkan ketika Anak melakukan tindak pidana berat
atau tindak pidana dengan kekerasan,
tidak lebih dari setengah dari
pidana penjara maksimum yang dapat dijatuhkan terhadap orang dewasa." Berdasarkan pasal ini, anak
dapat dikenakan pidana penjara dan ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan durasi maksimal setengah dari hukuman
penjara yang dapat dikenakan pada orang dewasa. Apabila anak menjalani
setengah dari hukuman penjara tersebut dan menunjukkan perilaku baik, ia berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat. Selanjutnya, untuk tindak pidana yang dapat dihukum dengan
hukuman mati atau penjara seumur
hidup, hakim hanya dapat menjatuhkan pidana penjara maksimum 10 tahun, dan hukuman penjara merupakan langkah terakhir dari penegakan
hukum.
Beberapa faktor yang menjadi latar belakang terjadinya klitih meliputi: a) Faktor internal: Terkait
dengan individu yang salah dalam mengimplementasikan konsep solidaritas.b) Faktor keluarga: Berhubungan dengan kurangnya perhatian dari keluarga, yang dapat menyebabkan remaja terbiasa dengan kekerasan.c) Faktor sekolah: Berkaitan dengan kehilangan kualitas pengajaran yang memadai di lingkungan sekolah.d) Faktor lingkungan: Dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk, mendorong timbulnya perilaku kekerasan. Lingkungan yang tidak kondusif dapat memperburuk perilaku seorang pelajar, terutama jika dia
bergaul dengan teman sebaya yang memiliki tingkat kenakalan yang sama. Saat ini, tren cara
berteman cenderung menuju pembentukan kelompok tertentu dengan latar belakang
dan tujuan tertentu, yang sering disebut sebagai gank (Hartanto, 2023).
Upaya Guru dalam Pencegahan Kasus Klitih
Menurut penelitian dari Pitaloka (2020) Perilaku klitih yang dilakukan oleh remaja tidak hanya
menyebabkan kerugian secara materi, tetapi juga kerugian non-materi. Masa depan remaja terletak pada risiko di sini, sehingga penanganan yang tepat diperlukan agar remaja tidak terjerumus
lebih dalam ke dalam semua
masalah yang ada. Dengan menerapkan metode konseling eksistensial, remaja dapat menggali potensinya, memahami diri sendiri, dan memahami perannya di dunia. Pendekatan eksistensial yang menyoroti kebebasan manusia untuk membuat
pilihan dan bertanggung jawab atas keputusan
mereka memberikan peluang bagi remaja
untuk membuat pilihan dan menetapkan keputusan dalam hidup mereka. Dengan
tetap menetapkan batasan, membantu remaja untuk fokus
pada penerimaan tanggung jawab pribadinya. Dengan demikian, remaja dapat mencari
makna dalam hidup, membentuk identitas pribadi, dan membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
Terjadinya kasus klitih
mendorong peran pendidikan di sektor nonformal,
informal, dan formal untuk bekerja
sama dalam membangun sistem pendidikan yang lebih baik sebagai solusi
bagi permasalahan yang terjadi, khususnya masalah kenakalan remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kasus-kasus yang terjadi dianggap sebagai masalah bersama yang tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah dan pendidikan formal,
melainkan juga tanggung jawab bersama untuk
mendidik dan membimbing generasi penerus bangsa agar tetap menjunjung tinggi norma-norma, harkat, dan martabat bangsa. Hal ini bertujuan agar generasi tersebut dapat menjadi agen perubahan
yang aktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Sebagai upaya mencapai
tujuan tersebut, dilakukan inovasi-inovasi sosial untuk menciptakan
transformasi sosial dalam Masyarakat (Julianto, 2019).
Upaya untuk menangani kejahatan klitih ini dapat
dilakukan melalui berbagai cara yang efektif dan dapat langsung menghibur remaja, yang emosinya masih tidak stabil.
Upaya ini dapat diambil dengan penyuluhan hukum yang efektif sesuai dengan kehidupan remaja, dengan berusaha berkolaborasi dengan tokoh masyarakat
yang saat ini populer di kalangan remaja sehingga apa yang disampaikan dan tujuan dari penyuluhan
hukum itu sendiri dapat masuk
ke hati remaja
untuk menghindari keinginan untuk melakukan klitih itu sendiri. Upaya lain yang dapat diambil adalah
melalui kontrol sosial dari masyarakat,
baik dari sekolah, keluarga, dan masyarakat umum. Pada dasarnya, kontrol sosial ini dapat
mengurangi keinginan untuk melakukan kejahatan ini. Upaya terakhir adalah menggunakan hukum pidana dengan tegas.
Di sini tidak bermaksud bahwa anak-anak akan dihukum untuk menakut-nakuti
mereka, melainkan lebih kepada pendidikan
bahwa kejahatan jalanan yang dilakukan oleh siapapun akan dihadapi
dengan hukum pidana yang ketat, dan siapa pun yang memiliki keinginan untuk melakukan kejahatan ini akan mendapatkan
sanksi yang nyata (Isnawan, 2023). Selain itu, salah satu langkah yang dapat diambil adalah
menggunakan media sosial sebagai alat untuk
menyampaikan informasi secara aktual dan cepat, di mana guru dapat memanfaatkan platform ini untuk memberikan wawasan kepada siswa terkait penanggulangan
kejahatan klitih. Peran
media sosial menjadi sangat
krusial dalam mengatasi kejahatan klitih, karena setiap individu dapat mengakses informasi tersebut tanpa dikenakan biaya. Guru, sebagai pengguna media sosial, dapat memanfaatkan keunggulan platform ini yang tidak terbatas oleh batasan ruang dan waktu.
Mengacu pada teori Determinisme
Teknologi yang diusulkan
oleh McLuhan, kehadiran media sosial
seperti Instagram, Facebook, dan Twitter dapat mempermudah dan mempercepat akses informasi. Guru, sebagai fasilitator pendidikan, dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan
kewaspadaan siswa terhadap bentuk-bentuk kejahatan, membagikan informasi yang relevan, dan mengajak siswa untuk berpartisipasi dalam kelompok media sosial yang didirikan untuk tujuan mendapatkan
informasi lebih cepat dan efisien.
Konsep Determinisme Teknologi
mendasari ide bahwa perubahan dalam cara berkomunikasi, termasuk melalui media sosial, dapat membentuk
identitas manusia. Guru dapat memanfaatkan teknologi untuk membentuk pemikiran, perilaku, dan tindakan siswa, serta mengarahkan
mereka menuju perilaku yang positif. Dengan memahami dan menggunakan media sosial dengan bijak, guru dapat menjadi bagian
dari gerakan massif dalam menyebarkan informasi yang berpengaruh untuk meminimalisir fenomena kejahatan jalanan, seperti klitih, di kalangan siswa (Alwiantara &
Mahendra P., 2022).
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh Syafira, Tasya
Zuraira, Nuria Tri Utami, Chairunnisa Sagala, Aldi Bayu Anggara (2023) dapat disimpulkan
bahwa dalam era teknologi saat ini, guru dapat menggunakan berbagai bentuk penguatan khususnya dapat dilakukan pada saat pembelajaran khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Penguatan ini sangat relevan mengingat arus informasi yang begitu cepat dan peserta didik dituntut
untuk menguasai beragam informasi dan pengetahuan. Keahlian membaca menjadi keterampilan kunci dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar membaca kata-kata, melainkan juga memahami makna tersurat dan tersirat dari kalimat,
paragraf, dan keseluruhan teks sebagai satu
kesatuan. Guru dapat menerapkan strategi penguatan secara individual dan kelompok dengan variasi dalam penggunaannya. Pendekatan ini berdampak langsung pada peserta didik, mendorong keterlibatan aktif, dan merangsang inovasi. Terkait dengan fenomena klitih, penggunaan penguatan ini dapat
membantu menciptakan lingkungan belajar yang positif, membimbing siswa dalam memahami
informasi dengan lebih baik, dan memberikan dukungan pada perkembangan mereka.
Kasus-kasus Penting Klitih di Yogyakarta
Kasus klitih mulai mencuat sekitar tahun 2007-2009 di Yogyakarta ketika
pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan untuk melarang tawuran di kalangan pelajar. Dampak dari kebijakan ini adalah rasa bosan di kalangan pelajar yang kehilangan kegiatan untuk mengisi waktu luang
mereka. Sebagai alternatif, banyak pelajar mencari kegiatan lain seperti mengendarai sepeda motor dan melakukan perjalanan keliling kota mencari
"musuh" secara acak, yang seringkali sesama pelajar (Pratama et al.,
2023).
Seiring berjalannya waktu, fenomena klitih berkembang menjadi bentuk kenakalan remaja yang kemudian bertransformasi menjadi tindakan kriminalitas. Klitih kemudian diidentifikasi sebagai geng sekolah
atau kelompok remaja yang terlibat dalam serangan dan kekerasan. Tindakan kekerasan tersebut bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok dan menjadi anggota geng atau
kelompok tersebut.
Salah satu penyebab munculnya klitih adalah adanya
kelompok remaja yang memiliki kesamaan hobi dan kegiatan. Meskipun merasa nyaman dan cocok dalam kelompok tersebut, pengaruh dari lingkungan sebaya dapat berujung
pada perilaku negatif, seperti kenakalan, penyalahgunaan narkoba, dan pergaulan bebas. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa kondisi rumah tangga
yang tidak harmonis, kekerasan dalam rumah tangga, atau
ketiadaan sosok panutan dapat menjadi
faktor pendorong perilaku agresif dan ketidakmampuan remaja mengontrol emosinya.
Menurut laporan Harian Jogja Tribunnews
pada tanggal 16 Oktober 2017, Kabid
Humas Polda DIY, AKBP Yuliyanto, mengungkapkan
bahwa sepanjang tahun 2016 terdapat 43 kasus klitih, dengan
rincian 21 kasus di Sleman,
15 kasus di Bantul, 4 kasus
di Gunung Kidul, 2 kasus di Kota Jogja, dan 1 kasus
di Kulonprogo. Sementara itu, hingga bulan
Maret 2017, tercatat 22 kasus
klitih di wilayah DIY menurut
data kepolisian. Secara lebih terperinci, Harian Solopos yang terbit pada tanggal 23 Maret 2017 menyampaikan
informasi dari Pendamping Kemasyarakatan (PK)
Balai Permasyarakatan (Bapas)
Kelas I DIY, Dasih. Pada tahun 2016, sebanyak 234 anak dilaporkan sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan, pada tahun 2017 hingga bulan Maret, jumlah anak yang terlibat dalam kejahatan turun menjadi 54 anak (Pratiwi, 2018).
Selain itu, berdasarkan data dari Seksi Statistik Ketahanan Nasional dan Bidang Statistik (2015) kejadian klitih di Yogyakarta juga telah didokumentasikan dan beberapa insiden diketahui terjadi, fenomena klitih ini semakin
menarik perhatian karena adanya peningkatan
kasus kriminalitas di
Yogyakarta. Pada tahun 2012, tercatat
6.780 kasus kriminal oleh
Polda DIY, dan pada tahun 2013 jumlah
kasus kriminalitas turun menjadi 6.513. Kemudian, pada tahun 2014, tercatat peningkatan jumlah kasus kriminal
sebesar 193,98% (Putra &
Suryadinata, 2020).
Kasus selanjutnya kembali terjadi insiden Klitih di Yogyakarta yang menelan
korban. Seorang remaja, Dafa Adzin Albasith
(18), meninggal setelah diserang dengan benda tajam pada Minggu (3/4/2022) dini hari. Aksi kejahatan jalanan ini melibatkan
seorang anggota DPRD Kebumen dan terjadi di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta. Korban, yang berasal dari Kebumen
dan merupakan siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, menjadi
korban penyerangan saat sedang mencari makan sahur bersama
temannya pada pukul 02.10 WIB.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Kombes
Pol Ade Ary Syam Indriadi, peristiwa dimulai ketika Dafa bersama
kawannya mengejar kelompok pelaku yang sebelumnya mengejek mereka dengan dua motor. Saat dikejar, kelompok pelaku memutar balik dan menyerang. Motor pertama korban berhasil lolos tanpa terkena serangan,
namun sayangnya motor kedua, yang dikendarai Dafa, terkena serangan
menggunakan senjata tajam, yakni gir
motor dan tali, yang menyebabkan
luka di wajah Dafa. Korban, yang berada di boncengan di motor kedua, mengalami luka serius dan dilarikan ke rumah sakit
Hardjolukito. Meskipun mendapatkan tindakan medis, sayangnya, Dafa tidak berhasil
selamat dan dinyatakan meninggal dunia setelah tiba di rumah sakit
(Gee & Riyani,
2023).
SIMPULAN
Berdasarkan pernyataan
di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Dalam upaya pencegahan kasus klitih di sekolah, guru memiliki peran sentral sebagai agen perubahan dan pendukung anak-anak. Melalui peran mereka,
guru dapat membentuk lingkungan belajar yang aman dan mendukung, serta mengatasi tantangan yang muncul. Pentingnya pencegahan kasus klitih tidak
hanya melibatkan penanganan langsung terhadap perilaku, tetapi juga pembentukan nilai-nilai positif dan peningkatan keterlibatan sosial di kalangan pelajar.
Guru perlu aktif melibatkan diri dalam pemberian
bimbingan dan konseling kepada siswa untuk
membantu mereka mengatasi krisis identitas dan menghindari perilaku menyimpang. Penguatan nilai-nilai positif, seperti kerja sama, toleransi,
dan empati, dapat membangun fondasi yang kuat untuk mencegah
kasus klitih. Selain itu, guru dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk
menyampaikan informasi dan membangun kesadaran terhadap bahaya klitih.
Meskipun guru memiliki peran yang sangat penting, mereka juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Kurangnya waktu untuk memberikan
bimbingan dan konseling, serta kebutuhan untuk mengatasi isu-isu kompleks seperti ketidakharmonisan rumah tangga, merupakan
beberapa tantangan yang harus diatasi. Oleh karena itu, kerjasama
antara guru, orang tua, dan
pihak terkait lainnya menjadi krusial dalam menciptakan
lingkungan yang mendukung pencegahan kasus klitih.
Secara keseluruhan,
upaya pencegahan kasus klitih memerlukan
pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan peran dan kerjasama yang kuat, guru dapat menjadi pionir
perubahan positif di sekolah, menciptakan lingkungan yang aman, mendukung pertumbuhan identitas positif remaja, dan mengurangi kemungkinan terjadinya klitih di kalangan pelajar.
DAFTAR PUSTAKA
Alwiantara,
D., & Mahendra P., A. I. (2022). The Role of Social Media in Addressing The
Klitih Phenomenon in Sleman Regency. Daengku: Journal of Humanities and
Social Sciences Innovation, 3(1), 35�41.
https://doi.org/10.35877/454ri.daengku1385
Gee,
E., & Riyani, R. M. (2023). Antisipasi Klitih Sebagai Salah Satu Bentuk
Kenakalan Remaja. Inter Komunika: Jurnal Komunikasi, 7(1), 82.
https://doi.org/10.33376/ik.v7i1.1805
Hartanto.
(2022). Klitih Sebagai Bentuk Kejahatan Disertai Kekerasan (Extraordinary
Juvenile Deliquency). Jurnal Riset Dan Kajian Hukum Hak Asasi Manusia, 1(1),
14�23.
Hartanto.
(2023). Reflections on Sociology of Law in Law Enforcement in society Refleksi
Sosiologi Hukum dalam Penegakan Hukum di Masyarakat. Journal of Legal and
Cultural Analytics (JLCA), 2(1), 11�24.
Isnawan,
F. (2023). Law Number 11 / 2012 on the juvenile criminal justice system in
overcoming street crime �Klitih� in Yogyakarta City. Mahkamah: Jurnal Kajian
Ilmu Hukum Dan Hukum Islam, 8(11), 1�16.
Julianto,
A. (2019). Kolaborasi Pendidikan Nonformal, Informal, dan Formal dalam
Pendidikan Pemuda di Daerah Istimewa Yogyakarta. Diklus: Jurnal Pendidikan
Luar Sekolah, 3(1), 14�22.
https://doi.org/10.21831/diklus.v3i1.24644
Nurmala,
I. (2020). Mewujudkan remaja sehat fisik, mental dan sosial:(Model
Intervensi Health Educator for Youth). Airlangga University Press.
Pitaloka,
S. (2020). Desain Bimbingan dan Konseling Tujuan Hidup Remaja Pelaku Klitih
Melalui Metode Konseling Eksistensial. JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa,
4(1), 18. https://doi.org/10.31100/jurkam.v4i1.501
Pratama,
R., Sumantri, S. H., & Widodo, P. (2023). Peran Polres Magelang pada
Penanganan Kasus Klitih Dalam Menjaga Keamanan Nasional. Jurnal
Kewarganegaraan, 7(1), 501�511.
Pratiwi,
Y. A. (2018). Rasa Bersalah pada Remaja Pelaku Klitih. Jurnal Riset
Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling, 4, 298�308.
Putra,
A., & Suryadinata, S. (2020). Menelaah Fenomena Klitih di Yogyakarta Dalam
Perspektif Tindakan Sosial dan Perubahan Sosial Max Weber. Asketik, 4(1),
1�21. https://doi.org/10.30762/ask.v4i1.2123
Sulaiman,
U. (2012). Perilaku menyimpang remaja dalam perspektif sosiologi.
Alauddin University Press.
Syafira,
Tasya Zuraira, Nuria Tri Utami, Chairunnisa Sagala, Aldi Bayu Anggara, I. N.
(2023). Evaluasi Implementasi Program Penguatan Pendidikan Pada Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia. Pendis(Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 4(1),
1�14.