Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru di Indonesia

 

� Challenges of Implementing Recognition of Customary Law in the New Criminal Code in Indonesia

 

1)* Milenia Ramadhani

Universitas Widya Mataram, Indonesia.

 

*Email: 1) [email protected]

*Correspondence: 1) Milenia Ramadhani

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i3.1394

 

 

 

 

 

ABSTRAK

KUHP Nasional atau KUHP Baru telah memberikan pengakuan terhadap hukum yang hidup (living law) sebagai asas legalitas materiil, sehingga selain melanggar perundangan, melanggar hukum adat juga dapat dipidanakan dengan ketentuan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi tantangan implementasi living law dalam KUHP baru agar dapat menjadi pedoman dan masukan para pemangku kepentingan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dipadukan dengan konsep dan teori sosial. Hasil penelitian menunjukan paling tidak ada 6 tantangan yang perlu disiapkan dalam implementasi KUHP baru terkait living law, yaitu 1) Perlu sesegera mungkin di bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah� yang mengatur terkait hukum yang hidup dalam masyarakat; 2)� Perlu pelibatan Lembaga adat� dalam pelaksanaan hukum adat; 3) Perlu diatur tentang hukum perselisihan antar adat; 4) Perlu adanya identifikasi hukum-hukum adat yang ada di Indonesia; 5) Perlu pembekalan hakim terhadap persoalan adat istiadat; 6) Perlu kepatuhan terhadap prinsip Hak Asasi Manusia, UUD NRI 1945 dan Pancasila

 

Kata kunci: Living law, Hukum Adat, KUHP Baru

 

ABSTRACT

The National Criminal Code or New Criminal Code has recognized living law as a principle of material legality, so that apart from violating legislation, violating customary law can also be punished with further provisions. This research aims to identify the challenges of implementing living law in the new Criminal Code so that it can serve as guidance and input for stakeholders. This research is normative research combined with social concepts and theories. The research results show that there are at least 6 challenges that need to be prepared in the implementation of the new Criminal Code related to living law, namely 1) It is necessary to form Government Regulations and Regional Regulations that regulate living law in society as soon as possible; 2) It is necessary to involve traditional institutions in the implementation of customary law; 3) It is necessary to regulate the law on disputes between customs; 4) There is a need to identify customary laws that exist in Indonesia; 5) It is necessary to equip judges regarding customs issues; 6) Compliance with the principles of Human Rights, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and Pancasila is required.

 

Keywords: Living law, Customary Law, New Criminal Code

 

 

 

 


 

PENDAHULUAN

Reformasi Kitab Undang-Undang Pudana (KUHP) telah berhasil dilakukan oleh Indonesia yang disyahkan pada Desember 2022 dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. KUHP baru ini mempunyai masa transisi selama 3 tahun, sehingga akan berlaku pada tanggal 2 januari tahun 2026 mendatang. Diketahui bahwa KUHP yang selama ini berlaku merupakan warisan Belanda yang berasal dari Wetboek uan Strafrechl uoor Nederlandsch-Indie dan berlaku sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Meskipun selama ini ada upaya penyesuaian baik berupa perubahan maupun pembaharuan sebanyak 10 kali, namun dirasa masih belum memenuhi misi perubahan mendasar dari KUHP yang dinginkan, yaitu misi dekolonialisasi, konsolidasi, demokratisasi, dan harmonisasi secara terkodifikasi dan menyeluruh. Misi tersebut membawa konsekuensi perubahan mendasar tentang filosofis, perspektif, konsep dan teori yang mendasarinya. Dalam konteks politik hukum pidana, Barda Nawawi Arief menyebut upaya reformasi ini untuk mengubah dan memperbarui hukum pidana agar sesuai dengan nilai-nilai sosial, politik, filosofis, dan budaya masyarakat Indonesia yang menjadi dasar kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, hukum pidana tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memerlukan pendekatan empiris, sosiologis, historis, dan integrasi dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional secara keseluruhan (Arief, 2011).

KUHP baru memberikan perubahan yang mendasar terkait dengan tujuan untuk mengatur atau mengorganisir ulang (rekonstruksi atau reformulasi) struktur hukum pidana nasional menjadi lebih terpadu (Apriliani, 2023).� KUHP Baru yang diundangkan dengan UU No. 1 Tahun 2023, meskipun masih menghadapi beberapa kritik terkait rumusan beberapa pasal, namun telah mengakomodasi sejumlah pemikiran mendasar yang penting untuk memperbarui penegakan hukum pidana di Indonesia. Konsep-konsep yang menjadi antitesis dari paradigma klasik positivisme-formil menjadi bagian integral yang signifikan di dalamnya. Salah satu aspek penting dari beberapa pembaruan dalam KUHP Baru Indonesia adalah penyatuan hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum pidana nasional yang baru (Magala, 2023).

Beberapa penelitian sebelumnya melihat persoalan dan permasalahan jika living law diadopsi dalam hukum pidana sehingga dinilai belum sepenuhnya dapat diterapkan akibat dari banyaknya kekosongan hukum, aturan yang inkonsistensi, dan pemahaman masyarakat terhadap living law yang belum merata (Pawana, 2023).� Pengaturan hukum yang hidup saat ini masih berupa pengakuan atau akomodasi,� namun belum dapat memberikan kepastian yang rinci, sehingga masih memerlukan pengaturan yang sifatnya lex specialis (Irawan & Pura, 2023).�� Namun disisi lain rumusan hukum yang hidup dalam KUHP baru telah sesuai dengan konsep dan nilai-nilai hukum progresif, termasuk mendekonstruksi positivisme hukum dengan memperluas prinsip legalitas, menerapkan paradigma holistik, dan mereorientasi tujuan hukum ke arah keadilan substantive (Magala, 2023).� Oleh karena itu� akomodasi hukum adat dalam KUHP baru ini dipastikan akan menemui berbagai tantangan dalam implementasinya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang living law yang ada dalam KUHP baru dan menguraikan beberapa tantangan ke depan terkait dengan implementasi hukum adat dalam KUHP baru tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan melalui pencarian data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam analisis adalah yuridis-normatif dan kemudian dibahas juga dengan pendekatan sosiologis melalui teori-teori ilmu sosial yang relevan.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hukum yang berlaku di masyarakat (Living Law) dalam KUHP Baru

Hukum yang hidup di masyarakat (living law) menurut Eugene Ehrlich adalah� �The law that dominate life it self, even though it has not been printed in legal propositions� atau "hukum yang menguasai kehidupan itu sendiri, meskipun tidak tercetak dalam proposisi hukum." Pandangan ini dapat menerangkan bahwa hukum yang hidup merupakan hukum yang berpusat pada masyarakat, bukan pada negara. Oleh karena itu, hukum yang hidup dalam masyarakat tidak hanya mencakup hukum pidana adat, tetapi juga kebiasaan, kesusilaan, kesopanan, dan norma agama yang menjadi bagian dari hukum yang hidup dan eksis di masyarakat. Pendapat Soepomo juga menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat karena hukum tersebut lahir dan berkembang dari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan nyata suatu masyarakat. Hukum adat merupakan bagian dari living law yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Cicero yang menyatakan "ubi societas ibi ius," yang berarti bahwa di dalam setiap kehidupan masyarakat akan� selalu ditemui hukum yang mempunyai fungsi untuk mengatur perilaku atau tindakan anggota masyarakatnya (Fadlilah, 2022).

Living law sendiri mempunyai karakteristik, yaitu sebagai bentuk yang berarti diciptakan masyarakat berdasarkan budaya, sebagai sifat yang berarti muncul dari keyakinan, sebagai pembentuk yang berarti hukum merupakan salah satu aspek budaya yang hidup dan membentuk masyarakat. Karakteristik lain adalah sebagai tujuan yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, sebagai pemaksaan yaitu untuk memaksa orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan sebagai berlakuan yang berarti harus ditaati oleh masyarakat (Fadlilah & DK, 2022). Hukum adat, khususnya delik adat, dapat diartikan sebagai setiap gangguan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang menimbulkan reaksi adat. Delik adat memiliki empat unsur penting, yaitu: 1) Tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau pengurus adat; 2) Tindakan tersebut bertentangan dengan norma-norma hukum adat; 3) Tindakan tersebut dianggap menyebabkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat; dan 4)���� Tindakan tersebut memicu reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat. Untuk menilai keberadaan hukum adat, harus terdapat masyarakat adat atau Lembaga adat yang mewakilinya (Putri, 2021).

Pengaturan dalam KUHP baru terkait living law sendiri berdasarkan Pasal 2 yang memberikan akomodasi terhadap keberadaan hukum adat dalam pengaturan pidana. Pasal 12� Ayat (2) mengatur tentang perbuatan pidana dapat dinyatakan jika ada perbuatan bertentangan yang bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 66, Pasal 96, Pasal 97 dan Pasal 116 mengatur tentang pidana tambahan dapat berupa tentang kewajiban adat sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Pasal 120 mengatur tentang pidana tambahan yang dilakukan korporasi juga dapat melakukan pemenuhan kewajiban adat setempat. Pasal 597 dan Pasal 601 Ayat (1) menunjukan adanya ancaman pidana bagi yang melakukan perbuatan dilarang oleh hukum yang berlaku di masyarakat setempat, tidak hanya yang melanggar perundangan.

Dalam KUHP yang baru, Legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP lama tetap diakui, bersamaan dengan pengakuan keberadaan living law sebagai dasar pemidanaan yang diatur dalam Pasal 2 KUHP. Meskipun living law diakui, Prof. Harkristuti Harkrisnowo menegaskan bahwa hukum adat tidak secara otomatis berubah menjadi hukum pidana. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain hukum adat hanya berlaku di daerah tempat hukum tersebut hidup. Ketentuan dalam hukum adat tidak boleh diatur dalam KUHP untuk menghindari duplikasi. Hukum adat juga harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui oleh bangsa. Jika ada delik hukum adat yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka tidak boleh dilaksanakan. Hukum adat yang berlaku harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil penelitian empiris. Ancaman sanksi untuk tindak pidana adat dibatasi setara dengan denda kategori II dalam KUHP, yaitu Rp10 juta (Harkrisnowo, 2023).

Walaupun hukum progresif berseberangan dengan positivisme, dimana ia menolak premis-premis dasar yang menuntut semua pengaturan hukum melalui undang-undang. Hukum tetap dalam bentuk tertulis sebagai instrumen utama, tetapi bukan satu-satunya. Hukum progresif mendorong agar penegakan hukum tidak dilakukan secara kaku dengan hanya menggunakan logika undang-undang, melainkan juga mempertimbangkan realitas sosial masyarakat yang dinamis. Dalam hal ini, Prof. Tjip mengadopsi pemikiran Charles Sampford tentang konsep social melee, yang menunjukkan bahwa ketertiban dapat dicapai melalui proses-proses sosial tanpa mengutamakan pendekatan hukum yang kaku. Pendekatan ini dilakukan dengan cara 'berhukum dengan hati,' di mana aparat penegak hukum menjadi ujung tombak penegakan hukum progresif. Dengan demikian, akomodasi hukum yang hidup dalam KUHP memberikan legitimasi yang kuat bagi pengembangan penegakan hukum dengan karakter progresif dalam sistem hukum pidana Indonesia (Magala, 2023).

Tantangan Implementasi Living Law dalam KUHP Baru

Tulisan ini berusahan untuk mengidentifikasi beberapa tantangan ke depan atas implementasi KUHP baru terutama terkait dengan pengakomodasian hukum yang hidup dalam masyarakat. Beberapa tantangan yang mampu diidentifikasi oleh penulis diantaranya:

Perlu sesegera mungkin di bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang mengatur terkait hukum yang hidup dalam masyarakat

Ketiadaan pengaturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah terkait hukum yang hidup sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No. 1 Tahun 2023 perlu segera diisi untuk mencegah kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam sistem hukum pidana Indonesia. Pengaturan ini harus dilakukan sejalan dengan lima misi KUHP baru, tanpa melakukan positivisasi terhadap hukum yang hidup. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah hanya boleh memberikan pengakuan kepada masyarakat hukum adat dan hak-haknya dalam menegakkan hukum yang hidup, tanpa mengambil alih penegakan hukum tersebut melalui aparat penegak hukum yang dipositivisasikan. Formulasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya reduksionisme terhadap hukum yang hidup, yang akan bertentangan dengan nilai-nilai progresivitas dan tujuan pengakuan living law/ hukum adat� dalam KUHP baru (Magala, 2023).

Peraturan Pemerintah (PP) yang perlu dibentuk terutama tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian PP ini dapat membatasi masalah-masalah hukum adat yang dapat menjadi hukum pidana. Kritreria dan tahapan penetapan hukum juga harus jelas dan detail untuk membatasi kewenangan aparatur atau pihak lain agar tidak sewenang-wenang. Pada intinya KUHP baru memerlukan aturan teknis dan operasional dalam penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai asas legalitas materiil. Pengaturan secara rinci dan berjenjang dengan PP dan Perda dapat menjadi panduan pelaksanaan KUHP Baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Banyaknya aturan-atauran yang tidak tertulis dalam masyarakat sebagai perwujudan kearifan lokal dan hukum adat akan dapat menjadi potensi masalah ke depan jika pengaturan pada tataran operasional dan teknis kurang detail. Oleh karena itu pembentukan PP harus melalui kajian hukum yang detail dan komprehensif terkait hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk hukum adat yang masih diakui di Indonesia. Sedangkan untuk Perda lebih spesifik mengatur tentang hukum yang hidup di daerah masing-masing dengan mendengarkan semua perwakilan suku atau masyarakat adat yang ada, tokoh adat serta masyarakat adat yang ada.

1.       Perlu pelibatan Lembaga adat dalam pelaksanaan hukum adat

Sebelum terbentuknya pemerintahan dan sistem peradilan modern seperti saat ini, Lembaga adat yang biasanya diketuai oleh kepala adat atau tokoh adat mempunyai peran yang tenting sebagai pengambil keputusan, khususnya juga sebagai pengadil masyarakat yang melanggar hukum adat di suatu daerah. Hal ini berarti tokoh adat dan Lembaga adat mempunyai fungsi penting dalam melestarikan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat juga tidak jarang sebagai pengadil yang memberikan sanksi adat pada pelanggar adat. Lembaga adat juga yang melahirkan norma atau nilai yang menjadi aturan bersama untuk menjaga kehidupan kelompok adat tertentu. Lembaga adat juga berperan sebagai penyelesai konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat adat, baik itu secara internal maupun eksternal dengan adat yang lain (Dasor, 2020). Selain itu Lembaga adat juga berperan penting dalam upaya pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat adat di suatu masyarakat. Pelestari berarti yang masih mempraktikan serta memegang nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur terkait hukum adat atau norma adat (Sonia & Sarwoprasodjo, 2020). Lembaga adat juga mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya pelanggaran adat atau konflik yang terjadi pada level masyarakat. Fungsi ini adalah fungsi preventif yang dapat mencegah perbuatan yang melanggar hukum atau melanggar adat (Dauh et al., 2020).

Oleh karena itu, implementasi living law di KUHP Baru harus melibatkan Lembaga adat yang ada di daerah masing-masing. Pendetailan terkait keterlibatan Lembaga adat ini harus dirumuskan dalam PP dan Perda yang dibentuk. Hal ini selain berfungsi memberikan kewenangan juga memberikan batasan-batasan agar tidak terjadi overlapping dengan Lembaga hukum yang lain. Pelibatan harus dilakukan sejak awal, terutama dalam proses pembentukan peraturan pemerintah maupun perda serta dalam implementasinya di lapangan.

2.       Perlu diatur tentang hukum perselisihan antar adat

Peluang terjadinya perselisihan atau pelanggaran hukum adat juga terjadi pada pada antar kelompok adat yang berbeda. Jika hal ini terjadi maka diperlukan juga upaya penyelesaian perselisihan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu perlu juga pengaturan baik itu dalam PP maupun Perda hukum yag hidup dalam masyarakat untuk mengaturnya dengan detail. Kejadian ini sering terjadi pada masyarakat adat yang berbatasan dengan masyarakat adat yang lain. Interaksi antar adat ini seringkali menimbulkan perselisihan yang mendasari banyak kekerasan antar suku atau masyarakat adat. Jika terjadi dalam kelompok-kelompok adat yang dinaungi oleh hukum adat dan Lembaga adat yang sama, hal ini akan mudah diselesaikan. Namun jika di perselisihan itu melibatkan Lembaga adat yang berbeda, maka akan menjadi sulit dalam penyelesaiannya.

Lembaga yang lebih besar seperti Forum komunikasi antar adat seperti yang ada di beberapa daerah, misal di Kota Medan Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai jalan mempertemukan perbedaan antar adat. Forum ini dapat menjadi ruang diskusi sampai dengan ruang penyelesaian perselisihan antar adat. Tidak mudah melakukanya, namun hal ini perlu diatur agar dapat menyelesaiakan perselisihan yang terjadi antar masyarakat adat. Oleh karena itu kelembagaan ini juga perlu dipikirkan dalam proses penyusunan PP atau Perda yang terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai perwujudan KUHP baru.

3.       Perlu adanya identifikasi hukum-hukum adat yang ada di Indonesia

Setiap wilayah di Indonesia memiliki kearifan lokal dan bentuk-bentuk hukum adat yang sudah ada bahkan jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia. Penelitian Snouck Hurgronje pada tahun 1891-1892 berhasil mengidentifikasi 19 wilayah hukum adat di seluruh Nusantara (Aridi & Permana, 2022).� Dalam rangka untuk mempersiapkan implementasi KUHP baru dalam kaitanya dengan hukum yang hidup dimasyarakat, maka perlu adanya pemetaan wilayah hukum adat terbaru di Indonesia. Pemetaan terbaru dapat menggunakan dasar pemetaan lama, namun lebih diperdetail dan diperluas, juga dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan hukum yang hidup di masyarakat.� Hal ini mengingat karena perkembangan yang signifikan pada masyarakat Indonesia saat ini. Pemetaan ini diharapkan dapat memberikan petunjuk tentang berapa wilayah hukum adat yang ada, apa saja, dan mana yang perlu atau memadai jika dilakukan positivisasi dalam hukum pidana melalui PP atau perda yang akan dibuat.

Hukum adat sifatnya dinamis dan berkembang meskipun dalam jangka waktu yang relatif lama. Oleh karena itu pemetaan wilayah hukum adat perlu dilakukan lagi untuk melihat dinamikanya dan peluang menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam KUHP yang baru. Jika wilayah hukum adat sudah terpetakan maka identifikasi hukum-hukum adat yang ada dalam masing-masing wilayah adat dan sub wilayah adat dapat lebih mudah dilakukan.

4.       Perlu pembekalan pada hakim terhadap persoalan adat istiadat

Pemahaman terkait budaya, adat-istiadat, kearifan lokal dan hukum adat yang menjadi latar belakang suatu masyarakat sangat penting bagi hakim yang menagani perkara, terlebih jika perkara tersebut terkait dengan hukum adat masyarakat setempat. Hal ini dapat membentuk kemampuan hakim dalam menemukan ruang keadilan subtantif baik secara hukum positif maupun hukum adat. Pengetahuan tentang adat istiadat memungkinkan hakim memahami konteks budaya dan sosial di mana hukum adat diterapkan. Ini penting untuk memberikan putusan yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat adat.engan memahami adat istiadat, hakim dapat memberikan putusan yang tidak hanya legal tetapi juga adil secara substansial. Ini berarti putusan yang sejalan dengan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat adat itu sendiri.

Pengetahuan tentang adat istiadat membantu hakim menghormati dan mengakui eksistensi hukum lokal yang telah ada jauh sebelum hukum nasional terbentuk. Ini memperkuat legitimasi sistem peradilan di mata masyarakat adat. Putusan yang tidak mempertimbangkan adat istiadat dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik di masyarakat. Pengetahuan yang baik tentang adat istiadat membantu hakim dalam memberikan putusan yang diterima dan dipatuhi oleh masyarakat, sehingga mencegah konflik sosial. Pengetahuan tentang adat istiadat memungkinkan hakim untuk mengakomodasi kepentingan dan hak-hak masyarakat adat dalam proses peradilan. Ini penting untuk memastikan bahwa hukum yang hidup di masyarakat adat tetap dihormati dan dilindungi.Hakim dapat memastikan bahwa putusan yang melibatkan adat istiadat tetap selaras dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan internasional, seperti hak asasi manusia dan konstitusi. Ini mengurangi risiko ketidakadilan dalam penegakan hukum.

5.       Perlu kepatuhan terhadap prinsip Hak Asasi Manusia, UUD NRI 1945 dan Pancasila.

Pasal 2 (Ayat2) KUHP baru sudah membatasi bahwa hukum yang hidup harus sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila, UUD NRI 1945 dan HAM. Pancasila dan UUD NRI 1945 telah menggariskan nilai luhur yang sempurna sebagai hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, maka sewajarnya jika aturan dibawahnya, termasuk hukum yang berlaku di masyarakat tidak bertentangan. Nilai luhur Pancasila tercermin dalam 5 Sila Pancasila, misalnya pada sila pertama adalah religiusitas, kebebasan beragama dan toleransi; pada sila ke-2 adalah kemanusiaan, keadilan dan keberadapan; sila ke-3 nilai nasionalisme, persatuan dan gotong royong; sila ke-4 nilai demokrasi, musyawarah dan kebijaksanaan; sila ke-5 mempunyai nilai kesetaraan, keadilan, kesetaraan dan keberlanjutan (Sirait et al., 2023).

Kepatuhan terhadap Hak Asasi Manusia berarti bahwa hukum yang berlaku di masyarakat tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti kesetaraan, universal, hak-hak dalam kehidupan, kebebasan, keadilan, serta bermartabat. Pada dasarnya antara prinsip Hak Asasi Manusia dengan Pancasila sudah selaras dan harmoni sehingga pemenuhan terhadap nilai-nilai Pancasila termasuk juga memenuhi prinsip Hak asasi manusia (Husna & Najicha, 2023).

 

SIMPULAN

KUHP baru telah mengakomodasi asas legalitas materiil dari hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagai bagian dari sistem pidana Indonesia. Hal ini berarti hukum yang hidup dapat menjadi sumber hukum tindak pidana, dimana pelanggaran terhadap hukum adat dapat dipidanakan. Dalam konteks Indonesia, hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum adat yang bersumber dari kearifan lokal, adat istiadat dan budaya Indonesia. Bukti diakomodasinya living law dalam KUHP baru adalah adanya pasal-pasal yang berhubungan dengan living law atau hukum adat. Mengingat kebaruannya, maka dalam penyusunan dan pelaksanaanya akan timbul polemik dan perdebatan terkait living law dalam KUHP tersebut.

Banyak ahli hukum yang menganalisis beberapa tantangan implementasi living law dalam KUHP baru ini. Tulisan ini mempu mengidentifikasi 6 tantangan hukum yang hidup dalam masyarakat ini agar dapat dilaksanakan sesuai cita-cita penyusunan KUHP yang baru serta mampu mewujudkan keadilan subtantif dan sosial. Tantangan tersebut adalah 1) Perlu sesegera mungkin di bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah� yang mengatur terkait hukum yang hidup dalam masyarakat; 2)� Perlu pelibatan Lembaga adat� dalam pelaksanaan hukum adat; 3) Perlu diatur tentang hukum perselisihan antar adat; 4) Perlu adanya identifikasi hukum-hukum adat yang ada di Indonesia; 5) Perlu pembekalan hakim terhadap persoalan adat istiadat; 6) Perlu kepatuhan terhadap prinsip Hak Asasi Manusia, UUD NRI 1945 dan Pancasila.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Apriliani, I. R. (2023). Formulasi Sistem Pemidanaan Dan Bentuk Pidana Dalam KUHP Baru. Universitas Pancasakti Tegal. https://repository.upstegal.ac.id/6519/

 

Aridi, A., & Permana, Y. S. (2022). Kedudukan Hukum Adat Dalam Penguatan Pelestarian Nilai-Nilai Adat Dalam Yurisprudensi. Jurnal Ilmu Hukum The Juris, 6(2), 352�362. http://ejournal.stih-awanglong.ac.id/index.php/juris/article/view/602

 

Arief, B. N. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).

 

Dasor, Y. W. (2020). Revitalisasi Peran Lembaga Adat dalam Penanganan Konflik Sosial: Studi di Manggarai Nusa Tenggara Timur. Sosio Konsepsia: Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 9(3), 213�228. https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/SosioKonsepsia/article/view/1859

 

Dauh, I. P. A. A., Sukadana, I. K., & Widyantara, I. M. M. (2020). Peran Pranata Adat Dalam Pencegahan Konflik Antara Kelompok Masyarakat Adat. Jurnal Preferensi Hukum, 1(1), 133�138. https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum/article/view/1996

 

Fadlilah, M. N., & DK, A. A. (2022). Tinjauan Yuridis Mengenai Pertentangan Hukum Yang Hidup dalam Masyarakat dalam Pasal 2 pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Asas Legalitas. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 4(2), 505�514. https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almanhaj/article/view/1790

 

Harkrisnowo, H. (2023). Membumikan KUHP dalam Kancah Nasional. https://www.hukumonline.com/berita/a/beragam-perubahan-signifikan-dalam-kuhp-baru-lt647f0ac6d6a99/

 

Husna, S. K. I., & Najicha, F. U. (2023). Pancasila dan Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Civic Education: Media Kajian Pancasila Dan Kewarganegaraan, 7(2), 104�112. https://doi.org/10.36412/jce.v7i2.7869

 

Irawan, A., & Pura, M. H. (2023). Analisis Yuridis Ketentuan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 7(1), 59�74. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v7i1.6453

 

Magala, A. S. (2023). Akomodasi Hukum Yang Hidup Dalam Kuhp Baru Indonesia Menurut Perspektif Hukum Progresif. Spektrum Hukum, 20(2), 115�127. http://dx.doi.org/10.56444/sh.v20i2.4345

 

Pawana, S. C. (2023). Polemik Atas Konsep" Hukum Yang Hidup" Dalam Pembaharuan KUHP di Indonesia. JUDICATUM: Jurnal Dimensi Catra Hukum, 1(1), 51�62. https://doi.org/10.35326/judicatum.v1i1.4045

 

Putri, N. S. (2021). MEMIKIRKAN KEMBALI UNSUR �HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT� DALAM PASAL 2 RKUHP DITINJAU PERSPEKTIF ASAS LEGALITAS. Indonesia Criminal Law Review, 1(1), 5. https://scholarhub.ui.ac.id/iclr/vol1/iss1/5/

 

Sirait, G., Alexander, I. J., & Mahulae, S. H. R. (2023). Sosialisasi Penanaman Nilai-Nilai Luhur Pancasila Dalam Meningkatkan Karakter Siswa. Pengembangan Penelitian Pengabdian Jurnal Indonesia (P3JI), 1(3), 104�108. https://jurnal.migascentral.com/index.php/p3ji/article/view/58

 

Sonia, T., & Sarwoprasodjo, S. (2020). Peran lembaga adat dalam pelestarian budaya masyarakat adat kampung naga, desa neglasari, kecamatan salawu, tasikmalaya. Jurnal Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 4(1), 113�124. https://doi.org/10.29244/jskpm.4.1.113-124

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).