Urgensi Perlindungan Hukum Reverse-Engineering Terhadap Kekayaan Intelektual Rahasia Dagang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang

 

The Urgency Of Legal Protection For Reverse-Engineering Against Intellectual Property In The Form Of Trade Secrets Based On Law Number 30 Of 2000 On Trade Secrets

 

1)* Alya Sabila Rusyana, 2)Eddy Damian, 3)Sudaryat

1,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia

 

*Email: 1)[email protected]

*Correspondence: 1)Alya Sabila Rusyana

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i3.1367

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Pasal 15 huruf (b) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (UU Rahasia Dagang) mengatur bahwa praktik rekayasa balik atau secara internasional dikenal sebagai reverse engineering dikecualikan dari pelanggaran atas rahasia dagang. Pengaturan dalam UU Rahasia Dagang yang menjadi dasar utama perlindungan hukum kekayaan intelektual rahasia dagang di Indonesia masih dirumuskan secara sederhana, ketika di sisi lain perkembangan kegiatan ekonomi semakin kompleks dan kemajuan inovasi dalam perdagangan tetap harus didukung. Seiring dengan itu, praktik reverse engineering rawan menjadi dalih bagi praktik bisnis yang bertentangan dan melukai hak kekayaan intelektual rahasia dagang yang datang dari pengaturannya yang masih sederhana dan dapat dimaknai secara luas. Melalui penelitian ini ditinjau mengenai adanya kebutuhan pembaharuan hukum dengan berlandaskan pada pendekatan teori dan prinsip-prinsip relevan sehingga tercipta pembangunan hukum yang dapat mengakomodir keseimbangan antara praktik bisnis yang jujur dan kemajuan dalam inovasi perdagangan.

 

Kata kunci: rahasia dagang, hukum hak kekayaan intelektual, reverse engineering, rekayasa ulang.

 

ABSTRACT

Article 15 letter (b) of Law Number 30 of 2000 concerning Trade Secrets (Trade Secret Law) stipulates that reverse engineering practices or internationally known as reverse engineering are exempt from violations of trade secrets. The provisions in the Trade Secret Law which are the main basis for the legal protection of trade secret intellectual property in Indonesia are still formulated simply, when on the other hand the development of economic activities is increasingly complex and the progress of innovation in trade must still be supported. Along with that, reverse engineering practices are prone to becoming an excuse for business practices that conflict with and harm trade secret intellectual property rights which come from its provisions which are still simple and can be interpreted broadly. Through this research, the need for legal reform is reviewed based on a theoretical approach and relevant principles so that legal development can be created that can accommodate a balance between honest business practices and progress in trade innovation.

 

Keywords: trade secrets, intellectual property law, reverse engineering, reengineering


 

PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (selanjutnya disebut UU Rahasia Dagang) berlaku sebagai dasar hukum perlindungan kekayaan intelektual rahasia dagang sebagai implementasi kewajiban Indonesia sehubungan dengan keanggotaan Indonesia dalam meratifikasi Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreements (TRIPs Agreement) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Marlyna, 2021). UU Rahasia Dagang yang terdiri atas 19 Pasal memberikan pengertian, mengatur terkait unsur-unsur rahasia dagang, jaminan perlindungan terhadap pemiliknya, sampai dengan bentuk-bentuk pelanggaran dan sanksi yang menyertainya. Rahasia dagang, sebagai salah satu kekayaan intelektual yang berkaitan erat dengan kegiatan ekonomi dan sifatnya yang relatif mudah dalam mendapatkan perlindungan, menjadikan rahasia dagang sebagai salah satu perlindungan kekayaan intelektual yang banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha.

Perlindungan terhadap informasi-informasi krusial suatu usaha sebagai rahasia dagang mendatangkan keuntungan signifikan Bagi pelaku usaha yang datang dari keunikan ataupun keunggulan usahanya dari para pesaingnya. Suatu perusahaan dapat memproduksi, mengolah, serta memasarkan produknya dengan metode-metode tertentu yang merupakan hasil kemampuan intelektualnya yang kemudian dianggap sebagai rahasia dagang usahanya. Namun bersamaan dengan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat potensi kecurangan dalam persaingan usaha yang erat kaitannya dengan pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang yang merugikan bagi pemilik rahasia dagang, yang datangnya dari perpindahan karyawan antar perusahaan ataupun penggunaan rahasia dagang secara mandiri untuk melakukan kegiatan komersial oleh mantan karyawan.

Pengaturan terkait pelanggaran terhadap rahasia dagang sejatinya telah diakomodir melalui Pasal 13 dan Pasal 14 UU Rahasia Dagang, bahwa yang dimaksud sebagai pelanggaran terhadap rahasia dagang adalah ketika seseorang dengan sengaja mengungkapkan rahasia dagang, mengingkari kesepakatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai kewajiban menjaga rahasia dagang serta dalam hal menguasai rahasia dagang memperoleh atau menguasai rahasia dagang milik orang lain dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut secara sederhana telah memberikan larangan yang berlaku terhadap pihak internal maupun eksternal suatu perusahaan, namun bunyi pasal selanjutnya, yaitu Pasal 15 huruf (b) membuka peluang bagi potensi pelanggaran rahasia dagang dengan justifikasi sebagai praktik rekayasa ulang atau reverse engineering.

Ketentuan yang masih sempit dalam UU Rahasia Dagang sehubungan dengan praktik reverse engineering yang dilakukan terhadap rahasia dagang milik orang lain menghadirkan potensi pengungkapan dan penggunaan rahasia dagang yang berbenturan dengan hak eksklusif pemilik rahasia dagang untuk menggunakan sendiri rahasia dagangnya dan mengadakan maupun melarang pihak lain untuk menggunakan rahasia dagangnya untuk kepentingan komersial. Oleh karenanya, melalui penelitian ini Peneliti bermaksud mengkaji dari sudut pandang teori dan prinsip yang kiranya dapat membuktikan kebutuhan pembaharuan hukum dan memberikan masukan sehubungan dengan hal tersebut.

 

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang mencakup pendekatan terhadap teori-teori serta perbandingan hukum. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan berlandaskan pada bahan kepustakaan atau data sekunder yang didapatkan baik melalui hukum primer, sekunder, maupun tersier (Soekanto, 2006). Dalam penelitian ini, yang menjadi bahan kepustakaan adalah undang-undang dan regulasi lainnya yang relevan dengan topik penelitian.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekayasa ulang atau secara internasional dikenal sebagai reverse engineering merupakan suatu praktik menganalisis dan mempelajari produk yang sudah ada di pasar untuk mengetahui apa itu, bagaimana cara pembuatannya, bagaimana cara kerjanya, sampai dengan apa kelebihan dan kekurangannya (R. M. Halligan & Piering, 2005). Pada dasarnya, reverse engineering merupakan praktik yang sah karena merupakan bagian dari kegiatan perkembangan inovasi dalam perdagangan dan mendukung penemuan independen.

Pasal 15 huruf (b) UU Rahasia Dagang mengatur keabsahan praktik reverse engineering sebagai berikut:

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dianggap pelanggaran Rahasia Dagang apabila:

1.       tindakan pengungkapan Rahasia Dagang atau penggunaan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat;

2.       tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.�

Pengaturan demikian menunjukkan bagaimana UU Rahasia Dagang mengecualikan praktik reverse engineering dari pelanggaran berupa pengungkapan atau pengingkaran terhadap kewajiban kerahasiaan sepanjang hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan. Ketentuan ini mengakui keabsahan praktik reverse engineering sebagaimana negara-negara anggota yang meratifikasi TRIPs Agreement mengakui demikian, namun di saat yang sama terjadi perlemahan terhadap kekuatan hak eksklusif pemilik rahasia dagang karena praktik reverse engineering diperkenankan tanpa adanya batasan yang cukup jelas dan pertimbangan sehubungan dengan siapa yang terlibat dalam praktik tersebut.

Rekayasa ulang atau reverse engineering melibatkan intensi yang disengaja untuk mempelajari suatu produk untuk menemukan dan mempelajari desain, konstruksi, serta mode operasi produk tersebut yang tidak tersedia untuk publik (Carmen Tamana Ungureanu dan Stefan Razvan Tataru, 2023). Praktik ini tidak dapat dipandang dengan luas pada setiap orang mungkin untuk melakukan pengembangan produk milik pesaingnya tanpa memperhatikan aspek-aspek seperti keterlibatan pihak-pihak yang terikat kewajiban kerahasiaan. Perluasan ketentuan terkait reverse engineering diperlukan sehubungan dengan hanya produk jadi yang digunakan dalam analisis tanpa adanya partisipasi dari orang-orang yang terpapar rahasia dagang baik ia sedang maupun telah lepas dari hubungan kerja sebelumnya dengan pemilik produk bersangkutan (N. Halligan, 1944). Seperti dalam penjelasan UU Rahasia Dagang saat ini, bahwa rekayasa ulang adalah tindakan analisis dan evaluasi terhadap produk yang sudah ada, sehingga aspek manusia sebagai subjek yang melakukan rekayasa ulang itu haruslah terlepas dari pengetahuan terkait rahasia dagang dibalik produk yang dilakukan rekayasa ulang.

Di sisi lain, secara umum, reverse engineering merupakan tindakan yang sah dalam rangka mendorong kemajuan inovasi dalam kegiatan ekonomi. Bagaimanapun, reverse engineering atau rekayasa balik yang dilakukan suatu pihak terhadap produk milik pihak lain yang telah tersedia di publik tidak melanggar keadilan dan kejujuran dalam kompetisi bisnis. Sebaliknya, dukungan terhadap kegiatan reverse engineering sejatinya mendukung perkembangan dan kemajuan inovasi, sama halnya dengan kegiatan penemuan mandiri (independent invention).

TRIPs Agreement dalam Pasal 39 ayat (2) mengatur bahwa orang yang memiliki kontrol atas suatu rahasia dagang hendaknya mencegah informasi yang dimaksud diungkapkan kepada, diperoleh oleh, atau digunakan oleh orang lain tanpa persetujuannya dengan cara yang bertentangan dengan praktik bisnis yang jujur (manner contrary to honest commercial practice) yang mencakup perkembangan dan kemajuan inovasi, sama halnya dengan kegiatan penemuan mandiri (independent invention). Dengan kata lain, ketika seseorang mendapatkan informasi tanpa izin atau melalui cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip bisnis yang jujur, tindakan itu dianggap melanggar (Effendy, 2014).

Keabsahan praktik rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan rahasia dagang milik orang lain tidak diatur maupun dijelaskan secara rigid mengenai sejauh mana suatu kegiatan produksi yang menggunakan produk milik orang lain sebagai acuannya dapat dianggap sebagai 'rekayasa ulang' dan dipisahkan dari pelanggaran atau pencurian rahasia dagang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU Rahasia Dagang. Setiap orang dilarang melanggar perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis karena adanya hubungan kepercayaan sehingga kewajiban kerahasiaan atas segala informasi dalam lingkungan pekerjaan melekat pada setiap pekerja yang bersangkutan, namun pemberian keleluasaan dengan hanya membatasi "semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan" kiranya menimbulkan kerancuan yang pada akhirnya tidak hanya berdampak pada pemilik rahasia dagang, namun terhadap jaminan kebebasan dalam perkembangan dan inovasi di bidang ekonomi.

Ketentuan dalam Pasal 15 huruf (b) UU Rahasia Dagang baru sebatas mengakui dan turut memperbolehkan praktik reverse engineering sebagai salah satu dari pengembangan independen sebagaimana juga diakui dan diatur di negara-negara peserta perjanjian TRIPS Agreement lainnya. Sedangkan esensi reverse engineering sebagai salah satu bentuk pengembangan independen yang mendukung kemajuan dan inovasi dalam perdagangan tidak diterangkan lebih lanjut melalui batasan-batasan sejauh mana praktik memproduksi ulang untuk kegiatan komersial itu berada dalam koridor "pengembangan lebih lanjut produk bersangkutan". Rekayasa ulang atas produk rahasia dagang milik orang lain diperkenankan sepanjang demi pengembangan produk yang bersangkutan tanpa menerangkan lebih jauh terkait rekayasa ulang itu sendiri serta dalam hal apa suatu kegiatan produksi yang memanfaatkan rahasia dagang milik orang lain tidak dapat dipandang sebagai "pengembangan lebih lanjut". Perluasan ketentuan terkait reverse engineering diperlukan untuk membangun batasan bahwa hanya produk jadi yang digunakan dalam analisis tanpa adanya partisipasi dari orang-orang yang terpapar rahasia dagang baik ia sedang maupun telah lepas dari hubungan kerja sebelumnya dengan pemilik produk bersangkutan.

Dengan mempertimbangkan hak eksklusif pemilik rahasia dagang yaitu hak untuk memonopoli rahasia dagangnya serta mengadakan lisensi maupun melarang pihak lain untuk mengungkapkan atau menggunakan rahasia dagangnya tanpa seizin darinya (Sinaga et al., 2024), penelitian ini berorientasi pada pembuktian adanya urgensi untuk mengadakan pembaharuan regulasi sehubungan dengan praktik reverse engineering dengan berlandaskan pada teori dan prinsip. Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hukum alam. Kerangka atau dasar pemikiran diberikannya perlindungan hukum kepada seorang individu terhadap ciptaannya tidak dapat dilepaskan dari Doktrin Hukum Alam yang menekankan faktor manusia dan penggunaan akal seperti yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law yang merupakan sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Damian, 2005).

Teori hukum alam menjadi teori dasar dari pengakuan hak individu atas kemampuan akalnya, tidak terkecuali dalam konteks penciptaan metode pembuatan serta informasi-informasi lainnya yang sehubungan dengan produksi suatu barang yang kemudian menjadi produk dalam perdagangan yang diperjual belikan sehingga informasi terkait pembuatannya menjadi memiliki nilai ekonomi. Selain terpenuhinya unsur nilai ekonomis, teori hukum alam berlaku untuk mengakui eksistensi hak pemilik rahasia dagang sepanjang informasi yang dianggap sebagai rahasia dagang itu bersifat aktual dan potensial, tidak diketahui umum serta tidak dapat dipergunakan oleh orang lain yang tidak secara detail mengetahui informasi tersebut (Susilo, 2010).

Secara lebih spesifik, untuk mengerucutkan fokus penelitian dan membuktikan secara komprehensif mengenai kebutuhan hukum sehubungan dengan batasan bagi praktik reverse engineering untuk dapat dianggap sah tanpa bertabrakan dengan hak monopoli yang melekat pada pemilik rahasia dagang, Peneliti melalui studi terhadap beberapa literatur mendapatkan pemahaman bahwa pendekatan teori fiduciary relation dapat digunakan untuk memahami bahwa terdapat kewajiban kerahasiaan (fiduciary duty) yang melekat pada seorang pekerja sehubungan dengan pekerjaannya.

Fiduciary relation theory menekankan bahwa beberapa hubungan tertentu mencakup kewajiban penuh untuk menjaga kerahasiaan. Teori ini menitikberatkan pada adanya kewajiban menjaga rahasia timbul pada seseorang yang telah diberi kepercayaan oleh pemegang hak untuk menjaga kerahasiaan itu dan kewajiban ini secara otomatis timbul dengan berbagai alasan. Khususnya dalam hubungan kerja, ketika seseorang dilibatkan dalam pembangunan bisnis dan karenanya mendapatkan akses atas informasi-informasi tertentu, maka secara otomatis melekat kewajiban baginya untuk menjaga kerahasiaan (Mayana & Santika, 2020). Teori fiduciary relation berlandaskan pada kepercayaan. Aspek utama dalam penerapan teori ini ialah adanya hubungan kepercayaan diantara para pihak(Sivapuram V.L Thejaswini, 2024). Teori ini menjelaskan bahwa dengan atau tanpa perjanjian kerja maupun perjanjian kerahasiaan dibuat di antara pemilik usaha dengan karyawannya dengan secara spesifik menyebutkan informasi-informasi apa saja yang dianggap sebagai rahasia, teori fiduciary relation berlaku sebagai dasar kewajiban kerahasiaan tetap hadir karena suatu hubungan kepercayaan.

Selanjutnya, terkait perkembangan batasan-batasan yang perlu diaplikasikan dalam ketentuan reverse engineering, penting untuk Indonesia dapat mengaplikasikan batasan tertentu dengan menggunakan pendekatan misappropriation theory untuk memahami ketentuan mengenai pelanggaran rahasia dagang yang dapat diperluas mencakup sampai pada penyalahgunaan terhadap rahasia dagang. Teori penyalahgunaan rahasia dagang mengenal kepatutan cara perolehan serta pengungkapan rahasia dagang, dengan menggunakan teori ini, perlindungan hukum rahasia dagang dapat memberikan batasan terhadap praktik reverse engineering sehingga pihak-pihak yang sebelumnya merupakan bagian dari suatu usaha milik orang lain tidak dapat melakukan rekayasa ulang dengan cara-cara yang bertentangan dengan praktik bisnis yang jujur.

Salah satu negara yang telah mengaplikasikan teori ini dalam regulasi perlindungan rahasia dagang adalah Amerika Serikat, khususnya dalam Uniform Trade Secrets Act (UTSA). Penerapan teori misappropriation dalam UTSA dilakukan dengan menerapkan dua indikator dalam sebagai penentu adanya penyalahgunaan rahasia dagang. Pertama, misappropriation atau penyalahgunaan rahasia dagang terjadi apabila perolehan rahasia dagang dilakukan dengan cara yang tidak patut (improper means). Secara spesifik, UTSA melarang adanya "perolehan rahasia dagang milik orang lain, oleh seseorang yang mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa rahasia dagang tersebut diperoleh dengan cara yang tidak sah." (Openstax, 2014), perolehan secara tidak patut ini mencakup pencurian, penyuapan, penyamaran, pelanggaran terhadap kewajiban untuk menjaga kerahasiaan, atau spionase melalui sarana elektronik serta cara lainnya (Openstax, 2014).

Kedua, penyalahgunaan rahasia dagang terjadi ketika seseorang dengan mengungkapkan atau menggunakan rahasia dagang milik orang lain tanpa izin yang tersirat. Secara sederhana, UTSA melarang penggunaan rahasia dagang yang didapatkan melalui cara-cara yang tidak patut seperti yang telah disebutkan sebelumnya. UTSA pun mengecualikan penemuan secara independen, pengungkapan sendiri oleh pemilik rahasia dagang, dan reverse engineering dari pelanggaran atas rahasia dagang. Keberadaan regulasi terkait penyalahgunaan rahasia dagang yang mencakup cara perolehan suatu rahasia dagang memberikan perlindungan yang lebih jelas sehingga terdapat batasan yang dapat digunakan untuk mengukur apakah suatu praktik reverse engineering dilakukan sebagaimana esensi dari reverse engineering itu sendiri atau hanya sebagai dalih pembenaran dari perolehan dan penggunaan rahasia dagang milik orang lain secara tidak patut.

Disamping pendekatan secara teoritis sebagai fondasi dari mendapatkan jawaban dalam penelitian ini, berdasarkan hasil studi kepustakaan, Peneliti menemukan prinsip-prinsip terbaik yang kiranya dapat diterapkan bagi pembaharuan hukum rahasia dagang khususnya sehubungan dengan praktik reverse engineering. Prinsip kepemilikan kekayaan intelektual sebagai hak eksklusif sejalan dengan amanat dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik itu tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Artinya, untuk memenuhi tuntutan keadilan umum sebagaimana tujuan negara, tetap ada porsi terhadap kepentingan umum dalam pengakuan dan penghormatan hak milik seseorang dengan beberapa pertimbangan. Bahwa perlindungan terhadap hak seseorang merupakan kewajiban setiap orang, masyarakat, dan negara (pemerintah). Hak seseorang, khususnya hak milik, yang telah diakui dan dilindungi oleh negara harus dibatasi dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat demokratis melalui undang-undang guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan pemenuhan atas tuntutan keadilan. Pembatasan hak eksklusif pada pemegang hak kekayaan intelektual dilakukan dalam rangka mencegah perilaku penyalahgunaan hak atau penggunaan hak yang melebihi batas agar tidak merugikan kepentingan orang lain ataupun kepentingan umum (Nugroho, 2023).

Prinsip kepemilikan kekayaan intelektual sebagai hak eksklusif khususnya terhadap kekayaan intelektual rahasia dagang bicara terkait hak pemilik rahasia dagang untuk sepenuhnya menguasai penggunaan dan pemanfaatan informasi rahasia dagangnya serta berhak mencegah orang lain untuk menggunakan, mengungkapkan, atau mengambil keuntungan dari informasi tersebut. Prinsip ini menjadi dasar mengapa indikatorsemata-mata dilakukan demi pengembangan lebih lanjut produk bersangkutan� dan izin kebebasan melakukan reverse engineering terhadap produk milik orang lain berbenturan dengan perlindungan hak pemilik rahasia dagang. Informasi rahasia dagang dirancang melalui rangkaian proses yang rumit, mungkin melibatkan banyak proses diskusi dan percobaan untuk sampai pada suatu metode tertentu yang dapat digunakan dalam kegiatan produksi dan perdagangan serta dilindungi sebagai informasi rahasia demi mempertahankan nilai ekonominya. Izin kebebasan praktik reverse engineering tanpa indikator khusus, pertimbangan terkait siapa yang berperan dalam praktik tersebut, justru dapat berbenturan dengan prinsip kepemilikan sebagai hak eksklusif pemilik rahasia dagang. Pada akhirnya, praktik reverse engineering tidak dapat dipandang sebagai praktik yang �bersih� dan sejalan dengan prinsip-prinsip bisnis yang jujur.

Prinsip kedua yaitu prinsip moralitas. Perlindungan hak kekayaan intelektual mengenal adanya prinsip moralitas yang menekankan pada etika dan tanggung jawab sosial dalam penciptaan dan penggunaan karya, atau yang disebut sebagai kejujuran intelektual. Kejujuran intelektual diterapkan melalui perlindungan, penggunaan, dan penciptaan hak kekayaan intelektual dengan tidak boleh menyembunyikan asal usul dari karya intelektual tersebut. Melihat pada pengertiannya, maka dapat dipahami bahwa prinsip moralitas menjunjung pengakuan mengenai asal usul suatu kekayaan intelektual.

Apabila dikaitkan dengan praktik reverse engineering, mungkin secara sederhana segala tindakan mengungkapkan rahasia dagang dengan jalan reverse engineering dapat dipandang bertentangan dengan prinsip ini. Namun pemahaman terhadap konsep reverse engineering sebagai penemuan dan penelitian mandiri dapat menjustifikasi praktik tersebut sebagai kebebasan dalam inovasi, namun tentunya hal tersebut harus dibarengi dengan pengaturan hukum yang memadai. Ketiadaan indikator untuk menilai suatu tindakan perolehan dan penggunaan rahasia dagang milik orang lain sebagai reverse engineering dan bukan sebagai pengungkapan yang tidak sah menjadikan perlindungan rahasia dagang di Indonesia tidak sejalan dengan prinsip kejujuran intelektual (Kurniawan et al., 2022).

Prinsip ketiga yang menjadi pertimbangan dalam pembaharuan adalah prinsip perlindungan ekonomi dan moral. Proses penciptaan suatu karya hasil dari kekayaan intelektual tentunya menghabiskan banyak waktu, kreativitas intelektual, fasilitas, sejumlah uang, serta dedikasi. Oleh karenanya, patut untuk suatu karya intelektual memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan pencipta atau penemu karya intelektual ini wajib dijamin oleh hukum untuk menerima manfaat ekonomi dari pemanfaatan karyanya. Selain itu, pencipta atau penemu wajib dilindungi hak moralnya, yaitu hak untuk diakui sebagai pencipta atau penemu atas suatu karya kekayaan intelektual Izin untuk secara bebas melakukan rekayasa ulang atas rahasia dagang milik orang lain dengan tanpa pengaturan lebih lanjut akan menghilangkan pengakuan terhadap pencipta rahasia dagang yang bersangkutan. Dengan demikian, praktik reverse engineering yang dengan serta-merta dilakukan tanpa adanya indikator mengenai batasan terhadapnya dapat menjadi bertentangan dengan prinsip hak kekayaan intelektual yang telah diakui secara universal ini (Kurniawan et al., 2022).

Ketiga prinsip tersebut perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Bagaimanapun, perlindungan terhadap rahasia dagang diakui dan dibangun kerangka hukum perlindungannya karena Indonesia turut mengakui rahasia dagang sebagai salah satu bentuk kekayaan intelektual. Penerapan prinsip kepemilikan kekayaan intelektual sebagai hak eksklusif merupakan salah satu bentuk dari tunduknya pengaturan hak kekayaan intelektual terhadap amanat dalam UUD 1945 dan kaidah-kaidah dalam TRIPS Agreement. Pemilik rahasia dagang dapat menciptakan karya intelektualnya yaitu berupa suatu informasi telah melalui rangkaian proses yang panjang. Setiap orang berhak atas apa yang telah ia ciptakan dan berhak melarang orang lain menggunakan apalagi memanfaatkan karya intelektualnya.

Prinsip kepemilikan menjunjung tinggi hak seseorang atas apa yang dimilikinya dan memahami bahwa terhadap setiap hak berlaku batasan yaitu hak orang lain. Setiap orang berhak saja untuk melakukan kegiatan reverse engineering tetapi hak pemilik rahasia dagang atas kekayaan intelektualnya dapat membatasi praktik tersebut, misalnya terkait cara rahasia dagang itu diperoleh, praktik reverse engineering dapat diatur dengan menekankan bahwa dianggap sebagai reverse engineering apabila perolehan rahasia dagang dilakukan dengan tanpa adanya pelanggaran terhadap kewajiban kerahasiaan. Kewajiban kerahasiaan yang melekat pada orang-orang yang terlibat langsung dalam suatu usaha merupakan bagian dari hak pemilik rahasia dagang dalam membatasi siapa yang dapat mengakses dan dalam hal apa saja rahasia dagangnya dapat digunakan.

Prinsip kejujuran kekayaan intelektual penting untuk ditegakkan, didukung dengan pemahaman terkait adanya disparitas antara rahasia dagang dan pengetahuan umum maupun keterampilan, dapat dipahami adanya relevansi antara kejujuran kekayaan intelektual dengan cara seseorang melakukan rekayasa ulang. Penerapan prinsip ini akan membawa pada pemahaman lebih luas bahwa praktik reverse engineering sangat dekat dengan ketidakjujuran intelektual, bahwa sangat terbuka lebar kemungkinan seseorang yang memiliki akses atas suatu informasi rahasia dagang dikemudian hari menggunakan rahasia dagang yang diketahuinya itu untuk kepentingan kegiatan komersialnya sendiri maupun bekerja sama dengan pelaku usaha lain.

Pemahaman terkait disparitas antara kemampuan dan pengetahuan umum seseorang dengan rahasia dagang menjadi faktor pendukung untuk menemukan adanya ketidakjujuran intelektual melalui pengungkapan rahasia dagang dengan melanggar kewajiban kerahasiaan. Prinsip kejujuran intelektual dapat menjadi alas bagi pembaharuan hukum reverse engineering sehingga regulasi keabsahan praktik tersebut dirancang dengan mempertimbangkan cara perolehan rahasia dagang yang digunakan suatu pihak dalam praktik reverse engineering.

Prinsip moralitas yang berkaitan dengan itikad baik membutuhkan kejujuran intelektual mengenai asal usul suatu karya, termasuk produk hasil dari pemikiran dan proses tertentu sehingga menciptakan informasi rahasia dagang. Prinsip moralitas yang sejatinya melekat pada hak kekayaan intelektual saat ini rasanya masih bertentangan dengan konsep reverse engineering yang secara sempit seolah-olah mengatur bahwa setiap orang dapat serta-merta melakukan reverse engineering dan menganggapnya sebagai produk baru tanpa melukai hak pemilik rahasia dagang (Rabbani & Suherman, 2023). Esensi dari rekayasa ulang sendiri pun tidak sama dengan keadaan dimana seseorang mempunyai pengetahuan mengenai rahasia dagang karena ia terlibat dalam suatu pekerjaan yang berlandaskan perjanjian atau kepercayaan dan di kemudian hari ia memanfaatkan pengetahuan itu untuk secara mandiri ataupun bekerjasama dengan pihak lain melakukan kegiatan komersial yang lebih besar. Reverse engineering merupakan suatu praktik di bidang perdagangan yang secara tertulis dibenarkan dalam berbagai regulasi nasional rahasia dagang dengan tujuan mendukung dan tidak menghambat kemajuan inovasi di suatu negara. Reverse engineering tidak disahkan untuk mendukung praktik-praktik curang dengan dalih pengembangan produk padahal yang dilakukan berorientasi pada keuntungan pribadi suatu pihak dengan mencurangi pemilik rahasia dagang. Cara suatu pihak memperoleh rahasia dagang milik orang lain sudah semestinya menjadi bagian dari regulasi kebebasan melakukan reverse engineering.

Sebagai salah satu kekayaan intelektual, terhadap rahasia dagang berlaku pula prinsip perlindungan hak ekonomi dan hak moral sebagaimana prinsip tersebut berlaku pada hak kekayaan intelektual lainnya. UU Rahasia Dagang sejauh ini telah mengatur mengenai lisensi terhadap rahasia dagang sehingga pihak selain pemilik rahasia dagang dapat menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang dalam batasan waktu dan syarat tertentu.

Ketentuan mengenai lisensi dan ketentuan terkait pelanggaran atas rahasia dagang sejatinya secara tidak langsung mengakui adanya perlindungan hak ekonomi dan hak moral pemilik rahasia dagang. Bahwa selama pemilik rahasia dagang dapat melindungi kerahasiaan rahasia dagangnya melalui upaya-upaya yang wajar sehingga informasi itu memiliki nilai ekonomi yang kompetitif, ia sepenuhnya menguasai hak ekonomi dan hak moral atas kekayaan intelektualnya. Dengan demikian, ia pun berhak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian lisensi.

Penerapan prinsip-prinsip di atas sebagai pertimbangan tolok ukur pembaharuan regulasi rahasia dagang sehubungan dengan praktik reverse engineering dapat menciptakan payung hukum yang bermanfaat baik bagi pemilik rahasia dagang maupun sebagai dukungan bagi kebebasan inovasi dalam perdagangan. Apabila regulasi praktik reverse engineering dapat dibangun dengan berlandaskan konstruksi teori dan prinsip-prinsip hak kekayaan intelektual, polemik perolehan dan penggunaan rahasia dagang dengan dalih reverse engineering dapat diminimalisir dan terdapat indikator yang cukup untuk menilai apakah kegiatan yang dimaksud telah melukai hak pemilik rahasia dagang atau merupakan praktik yang dikecualikan dari pelanggaran rahasia dagang. Bagaimanapun, sebagai negara yang berlandaskan pada hukum tertulis, pembaharuan hukum menjadi salah satu hal yang wajar untuk secara berkala dilakukan sehingga relevansi antara kemajuan masyarakat dan hukum tetap sejalan dengan tetap berlandaskan pertimbangan yang cermat.

 

SIMPULAN

Berdasarkan uraian dari studi dan analisis kepustakaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: 1. Pengaturan terkait pengecualian praktikreverse engineering dari pelanggaran terhadap rahasia dagang dalam hukum positif Indonesia masih terlalu sempit. Pasal 15 huruf (b) hanya mengizinkan reverse engineering untukkepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan�, yang mana indikator tersebut sulit diterapkan karena reverse engineering adalah praktik yang dilakukan dengan cara mempelajari produk pihak lain. Akibatnya, reverse engineering dapat digunakan sebagai dalih untuk praktik yang melanggar hak pemilik rahasia dagang, termasuk penggunaan dan pemberian lisensi. 2. Terbukti adanya urgensi melakukan pembaharuan terhadap UU Rahasia Dagang sehubungan dengan praktik reverse engineering. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan analisis terhadap teori dan prinsip yang Peneliti bawa dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa regulasi reverse engineering dapat dilakukan dengan memperluas cakupan pelanggaran rahasia dagang dan/atau pembangunan indikator yang rigid dengan fokus utama pada cara perolehan rahasia dagang sehingga praktik reverse engineering memiliki konstruksi yang jelas.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Carmen Tamana Ungureanu dan Stefan Razvan Tataru. (2023). The Legality of Reverse Engineering or How to Legally Decipher Trade Secrets. Legal Perspective on the Internet.

 

Damian, E. (2005). Plagiat dan Pembajakan sebagai Pelanggaran Hukum Hak Cipta. Indonesian J. Int�l L., 3, 195.

 

Effendy, T. (2014). Rahasia Dagang Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual. Al-Adl: Jurnal Hukum, 6(12).

 

Halligan, N. (1944). Patristic Schools in the Summa. The Thomist: A Speculative Quarterly Review, 7(3), 271�322.

 

Halligan, R. M., & Piering, S. T. (2005). Trade Secrets and Interference with Contracts. ABA Sec. Intell. Prop. L. Ann. Rep., 1.

 

Kurniawan, F., Taufiqurrohman, M. M., & Nugraha, X. (2022). Legal Protection of Trade Secrets over the Potential Disposal of Trade Secrets Under the Re-Engineering Precautions. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 16(2), 267�282.

 

Marlyna, H. (2021). Buku" Pengantar (Akta) Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual: Untuk Notaris dan Konsultan Hukum.

 

Mayana, R. F., & Santika, T. (2020). Pengembangan Produk Indikasi Geografis Dalam Konteks Sharing Economy Di Era Disrupsi Digital. Litigasi, 21(1), 128�146.

 

Nugroho, S. (2023). Limitations On The Exclusive Rights Of Intellectual Property Right Holders (Social Justice Perspective). Al-Adl: Jurnal Hukum, 15(2), 404�422.

 

Openstax. (2014). Introduction to Intellectual Property: 5.5 Misappropriation of Trade Secrets. https://openstax.org/books/introduction-intellectual-property/pages/5-5-misappropriation-of- trade-secrets

 

Rabbani, R. F., & Suherman, S. (2023). Urgensi Pengaturan Confidentiality Agreement Sebagai Optimalisasi Perlindungan Kerahasiaan Informasi Bernilai Ekonomi. Jurnal USM Law Review, 6(3), 1020�1039.

 

Sinaga, R. N., Irawan, C., & Rosari, W. N. (2024). Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Kredit Menurut Peraturan Pemerintah Tentang Ekonomi Kreatif. Causa: Jurnal Hukum Dan Kewarganegaraan, 3(1), 1�10.

 

Sivapuram V.L Thejaswini. (2024). Protection of Trade Secrets in Light of Business Laws, How Can the Existing Conflict be Eased. De Jure Nexus Law Journal.

 

Soekanto, S. (2006). Pengantar penelitian hukum. (No Title).

 

Susilo, T. B. P. A. B. (2010). Laporan Akhir Tim Analisa dan Evaluasi (AE) Tentang Rahasia Dagang (UU Nomor 30 Tahun 2000). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.

 

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).