Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Merek dan Pegiat Usaha Kecil dalam Menghadapi Tindakan �Trademark Bullying� pada Platrform E-Commerce Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia

Implementation of Legal Protection for Brand Owners and Small Business Activists in Facing �Trademark Bullying� Actions on E-Commerce Platforms Based on Positive Law in Indonesia

 

1)Mutiara Putri Adelia, 2)Rika Ratna Permata, 3)Tasya Safiranita Ramli

Universitas Padjadjaran, Indonesia

 

*Email: 1)mutiaraputriadelia@gmail.com, 2)permata_rika@yahoo.com, 3)tasya.safiranita@unpad.ac.id

*Correspondence: 1)Mutiara Putri Adelia

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i2.1358

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Dalam kemajuan teknologi saat ini, UMKM tidak hanya dilakukan secara konvensional melainkan menggunakan platform e-commerce. Membahas Platform E-Commerce secara konkret. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat secara global. Perubahan pelaksanaan UMKM yang melakukan layanan e-commerce dapat menimbulkan trademark bullying. Fenomena Trademark Bullying muncul ketika pemilik merek yang lebih besar atau yang memiliki hak atas merek terkenal berusaha menyalahgunakan sistem hukum merek dagang untuk menindas atau merugikan pemilik merek yang lebih kecil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi perlindungan hukum terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil dalam menghadapi tindakan trademark bullying pada platform e-commerce berdasarkan hukum positif di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan ini akan menekankan penelitian pada data-data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi perlindungan hukum bagi pemilik merek dagang dan pegiat usaha kecil yang menghadapi trademark bullying pada platform e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada, termasuk Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 2 Ayat (3) UU Merek dan Indikasi Geografis bertujuan memberikan kepastian hukum dan melindungi hak pemilik merek, tetapi praktik trademark bullying masih menjadi tantangan signifikan.

 

Kata kunci: Bullying; Merek; Perlindungan Hukum; UMKM

 

ABSTRACT

In today's technological advancements, MSMEs are carried out conventionally and using e-commerce platforms. Discuss E-Commerce Platforms concretely. Information and communication technology has changed people's behavior globally. Changes in the implementation of MSMEs that carry out e-commerce services can cause trademark bullying. Trademark Bullying arises when more prominent brand owners or those with rights to well-known brands abuse the trademark legal system to oppress or harm smaller brand owners. This study analyzes and evaluates the legal protection of brand owners and small business activists in dealing with trademark bullying on e-commerce platforms based on favorable laws in Indonesia. The research method used in this journal is a normative juridical research method. This approach will emphasize research on secondary data. The study results show that the implementation of legal protection for trademark owners and small business activists who face trademark bullying on e-commerce platforms in Indonesia is regulated by existing intellectual property laws and regulations, including the Constitutive System and the Declarative System. Article 1 Paragraph (1) and Article 2 Paragraph (3) of the Trademark and Geographical Indication Law aim to provide legal certainty and protect the rights of brand owners, but the practice of trademark bullying is still a significant challenge.

 

Keywords: Bullying; Legal Protection; MSMEs; Trademark

 

 


PENDAHULUAN

Hukum kekayaan intelektual tidak dapat menghentikan kemajuan pembangunan ekonomi. Pada era globalisasi saat ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, pengembangan kekayaan intelektual merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan, yang merupakan modal dari kekayaan intelektual. (Rohimah, 2021). Hak untuk memiliki kekayaan intelektual adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang atau badan hukum secara kolektif atas hasil kerja kreatifnya dalam mengolah akal dan pikiran, yang berarti mengolah ide dan gagasan menjadi produk fisi (Darwance et al., 2021). Perlindungan yang dimaksud bukan diberikan kepada benda sebagai hasil dari kreativitas; yang dilindungi adalah ide dan gagasan yang ada di balik pembuatan benda tersebut. Ide dan gagasan ini tidak dimiliki oleh semua orang. (Darwance et al., 2020)

Perlindungan kekayaan intelektual internasional dilandasi oleh perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dalam World Trade Organization (WTO). Meskipun TRIPs Agreement tidak mendefinisikan HKI, Pasal 1.2 menyatakan bahwa HKI termasuk: hak cipta dan hak terkait; merek dagang; indikasi geografis; desain industri; paten; tata letak (topografi) sirkuit terpadu; perlindungan informasi rahasia; dan pengendalian praktik usaha tidak sehat dalam perjalanan lisensi

Merek merupakan salah satu jenis kekayaan intelektual yang dilindungi oleh KI. Merek memiliki peran penting dalam perkembangan investasi perdagangan barang atau jasa. Tujuan utama merek adalah memberikan informasi yang akurat kepada konsumen mengenai sumber dan/atau asal suatu produk yang dicarinya dengan mengidentifikasi merek sebagai tanda mudah untuk diidentifikasi, fungsi product identity dalam dunia perdagangan tersebut menghubungkan barang atau jasa dengan produsennya sebagai jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan sehingga merek diberi kelas-kelas tertentu yang sejenis (Mayana & Tisni Santika, 2021). Berdasarkan hukum positif di Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis memberikan perlindungan hukum kepada pemilik merek. Pelindungan hukum terhadap suatu hak diperlukan salah satunya agar dapat memberikan rasa aman bagi pemilik hak dalam melakukan pemanfaatan atas hak tersebut. Merek barang terkenal (Well Known Mark) diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 (1) b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Dalam perkembangannya, merek terkait erat dengan UMKM, sebagai contoh merek sering digunakan untuk berbagai kegiatan yang dilakukan oleh UMKM. Hal ini dapat membantu produk dan pengusaha menjadi lebih bernilai, termasuk memperoleh hak merek yang dipegang oleh UMKM. Peraturan Perundang-undangan No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mendefinisikan usaha kecil sebagai usaha ekonomi produktif yang independen atau berdiri sendiri yang dimiliki oleh individu atau kelompok, dan bukan sebagai cabang dari perusahaan utama. dimiliki, dikuasai, dan merupakan bagian langsung dan tidak langsung dari usaha menengah. Dengan meningkatnya perkembangan UMKM di Indonesia, membuka kesempatan lapangan kerja bagi masyarakat serta berdampak baik bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga UMKM menjadi salah satu faktor yang memiliki peranan besar dalam meningkatkan devisa negara. Revisi tambahan regulasi yang mengatur beserta pelindungan hukumnya. Revisi tambahan Membahas batasan usaha kecil.

Dalam kemajuan teknologi saat ini, UMKM tidak hanya dilakukan secara konvensional melainkan menggunakan platform e-commerce. Membahas Platform E-Commerce secara konkret. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat secara global. Perubahan pelaksanaan UMKM yang melakukan layanan e-commerce dapat menimbulkan trademark bullying. Fenomena Trademark Bullying muncul ketika pemilik merek yang lebih besar atau yang memiliki hak atas merek terkenal berusaha menyalahgunakan sistem hukum merek dagang untuk menindas atau merugikan pemilik merek yang lebih kecil. Sebagai contoh, perusahaan besar tersebut akan memberikan somasi dengan alasan yang tidak mendasar dan melebih-lebihkan dengan tujuan agar perusahaan yang lebih kecil melakukan pembatalan merek dagang miliknya atau membayar lisensi kepadanya.

Beberapa penyebab fenomena tindakan Trademark Bullying yaitu usaha perusahan besar dalam penegakan hak atas merek dengan cara mengintimidasi pihak lain, yang mana melawan individu atau perusahaan yang lebih kecil dan dianggap berbahaya bagi kekayaan intelektual pihak tersebut dan juga terdapat gugatan yang salah yaitu pemilik merek besar mungkin menuntut pemilik merek kecil karena alasan yang tidak adil atau tidak berdasar. Hal ini dapat berdampak terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil seperti biaya hukum yang tinggi, yang mana pemilik merek kecil seringkali tidak memiliki sumber daya keuangan untuk melawan tindakan hukum yang merugikan yang dapat mengancam kelangsungan usaha tersebut. Namun dari setiap kasus Trademark Bullying, masalah utama yang harus dihadapi adalah memutuskan terkait ancaman yang tidak dapat dibenarkan apakah merupakan ancaman yang tidak berdasar. Ancaman yang tidak berdasar ini karena tidak ada ketentuan Undang-Undang yang menyebutkan faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam merujuk gugatan pelanggaran sebagai intimidasi merek dagang. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai cara dan berdampak signifikan terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil pada lingkungan platform e-commerce di Indonesia.

Unsur-unsur Trademark Bullying yakni pelaku intimidasi merupakan perusahaan besar atau multinasional dan korban trademark bullying merupakan pelaku usaha kecil dengan isu yang diperdebatkan adalah penggunaan kata umum yang pemilik dagang anggap sebagai faktor penting mereknya, sementara bagi korban trademark bullying  kata umum tersebut seharusnya tidak dilindungi oleh hukum merek dagang, sehingga masyarakat bebas menggunakan kata umum tersebut (Permata et al., 2022). Dalam praktik, pelanggaran merek dagang dapat dilihat dalam beberapa kasus, seperti PT Multicom Persada Internasional dengan PT Data Citra Mandiri dan Amazon.com. Dalam kasus PT Multicom Persada Internasional dengan PT Data Citra Mandiri, PT Multicom Persada Internasional menggugat karena tidak menerima mereknya, yang dianggap dijiplak oleh Tergugat, PT Data Citra Mandiri. Pasalnya, penggugat menyatakan bahwa dia adalah pemegang hak atas pendaftaran merek I BOX, yang didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada 3 April 2000, dan Ditjen HKI mengeluarkan sertifikat merek pada 27 April 2001. Tergugat, di sisi lain, membantah tuduhan penggugat. Tergugat menyatakan bahwa sejak tahun 2009, merek milik tergugat telah terdaftar di Ditjen HKI dengan nama iBox dalam kelas 35. Terdapat perbedaan lainnya adalah tanda dan tata letak penulisan.

Di Indonesia, fenomena trademark bullying dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun UU ITE lebih berfokus pada kejahatan siber seperti penipuan, peretasan, dan pencemaran nama baik online, ada elemen-elemen dalam hukum ini yang dapat digunakan untuk melindungi pemilik merek dari tindakan trademark bullying di era digital. Revisi tambahan Membahas UU ITE secara konkret.  Perlindungan merek dagang tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi atau membatasi persaingan yang sah di era digital. Oleh karena itu, penting bagi sistem hukum Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara melindungi hak pemilik merek dan memastikan kebebasan dan inovasi dalam lingkungan digital yang terus berkembang.

 

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ialah yuridis normatif. Metode ini akan menekankan penelitian pada data sekunder, yang mencakup sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Sumber-sumber sekunder ini mencakup berbagai elemen, seperti literatur hukum, konvensi internasional, peraturan perundang-undangan, berita surat kabar, majalah, internet, dan dokumen resmi pemerintah. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menyelidiki, menganalisis, dan mengevaluasi perlindungan hukum terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil terhadap pelanggaran trademark pada platform e-commerce yang dilindungi oleh hukum positif di Indonesia.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hukum berkaitan erat dengan keadilan, wewenang, ketaatan, perintah, dan norma. Hukum dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi warga negara (Arliman. S, 2019). Perlindungan hukum merupakan perlindungan terhadap harkat dan martabat serta hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum sebagai kaidah atau seperangkat aturan yang dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Pemenuhan kebutuhan hidup di dalam masyarakat sangatlah penting dan menjadi hal yang sangat utama. Dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat sering menggunakan transaksi jual beli(Arliman. S, 2019)

E-commerce adalah transaksi yang dilakukan melalui internet, hasil dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perdagangan saat ini mencakup barang dan jasa. Dengan adanya e-commerce, metode perdagangan bukan lagi berbasis offline atau tatap muka, tetapi berbasis internet. 

Dengan hanya satu dimensi, transaksi e-commerce potensial dapat mencakup sebagian besar perdagangan secara keseluruhan. Struktur terbuka Internet dan kemudahan penggunaan memungkinkan sistem informasi dan komunikasi baru dan bentuk baru komunikasi untuk bisnis dan pelanggan. Hal ini memungkinkan penjual dan pembeli untuk berkumpul dengan cara yang lebih efisien, yang menghasilkan pasar baru dan peluang untuk mereorganisasi proses ekonomi. Selain itu, itu mengubah cara suatu produk disesuaikan, didistribusikan, dan dipertukarkan, serta cara bisnis dan pelanggan mencari dan mengkonsumsinya. (Fatmasari, 2023)

Salah satu bentuk seni intelektual yang dikenal sebagai merek digunakan untuk membedakan jenis dan jasa yang dibuat oleh suatu perusahaan dengan tujuan untuk menunjukkan berbagai rupa dan asal usul komponen yang tercantum. Tidak hanya bagi produsen, tetapi juga bagi konsumen, merek memiliki jiwa yang penting. Ini pasti akan membantu produsen membedakan produk mereka dari produk lain yang serupa. Konsumen melihat merek sebagai simbol gengsi. Merek perusahaan dapat menjadi aset yang sangat berharga dan bagian dari reputasinya. (Satyahadi & Disemadi, 2023)

Menurut UU Merek dan Indikasi Geografis, Pasal 1, Ayat (1), merek dapat didefinisikan sebagai gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, skema warna, format 2D dan/atau 3D, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih elemen ini secara grafis untuk membedakan barang atau jasa yang dibuat oleh individu atau organisasi.

Pada Pasal 2 Ayat 3 dijelaskan bahwa merek yang dilindungi dapat membedakan barang atau jasa yang diproduksi oleh individu atau badan hukum dari merek yang dilindungi yang terdiri dari gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, atau bahkan lebih dari elemen tersebut.

Semua orang yang telah mendaftarkan merek dagang atau jasanya dan diakui oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (DJKI) memiliki hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk menggunakan merek tersebut sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Di Indonesia, pengaturan merek menggunakan prinsip first to file, yang berarti perlindungan hukum merek hanya diberikan kepada orang yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran. Negara tidak memberikan pendaftaran kepada merek yang serupa dengan merek yang telah diajukan sebelumnya(Asmara et al., 2019)

Menurut teori perlindungan hukum Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum preventif dan represif adalah dua jenis perlindungan hukum. Perlindungan hukum preventif berfungsi untuk mencegah masalah atau sengketa seperti plagiasi, pemalsuan, dan penggelapan karya keyakayaan intelektual. Berbeda dengan hal di atas, perlindungan hukum represif berfungsi sebagai cara untuk menyelesaikan kasus agar pelanggar hak kekayaan intelektual mendapat keadilan. (Indrawati & Prasetyo, 2023)

Menurut UU Merek dan Indikasi Geografis Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa �Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya�. Jangka waktu perlindungan hukum untuk merek yaitu dijelaskan pada pasal 35 (tiga puluh lima) yang artinya memiliki perlindungan hukum dengan jangkan sepuluh (10) tahun sejak tanggal penerimaan. Jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang sampai dan diajukan melalui via elektronik ataupun memalui non elektronik yaitu sebelum waktu berakhirnya yaitu 6 (enam) bulan tetapi jika sudah lebih dari 6 (bulan) akan dikenai biaaya perpanjangan. Perpanjangan perlindungan merek diberitahuakan melalui berita acara resmi sesuai pada pasal 39 (tiga puluh Sembilan).

Adapun perlindungan merek yang masih dalam perlindungan dijelaskan pada pasal 36 ( tiga puluh enam) yaitu merek berupa barang maupun jasa harus memiliki sertifikat merek yang masih berlaku atau masih dalam produksi dan masih diperdagangkan. Pada peraturan pasal 37 (tiga puluh tujuh ) Permohonan perlindungan dapat di tolak oleh oleh Direktorat Jendral apabila permohonan tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan sesuai pasal 35 dan pasal 36.

Pada dasarnya hak Merek pada dasarnya adalah hak eksklusifPerlindungan hukum atas Merek menjadi hal yang penting mengingat pesatnya perdagangan dunia saat ini apalagi ketika terhadap pelanggaran Trademark Bullying. Trademark bullying adalah praktik yang dilakukan oleh pemilik merek yang lebih besar atau lebih kuat secara finansial untuk menekan atau mengintimidasi pemilik merek yang lebih kecil atau pesaing yang menggunakan merek yang mirip atau serupa. Praktik ini dapat mencakup ancaman litigasi, tuntutan hukum, atau penggunaan sumber daya hukum secara agresif untuk melindungi dan memperluas monopoli merek mereka. (La, 2021). Fenomena trademark bullying menjadi semakin penting dalam era globalisasi dan ekonomi digital di mana merek memiliki nilai yang semakin besar dalam mengidentifikasi produk dan layanan. Pemilik merek besar sering kali menggunakan kekuatan ekonomi dan sumber daya hukum mereka untuk melindungi dominasi merek mereka dan menekan pesaing yang dianggap mengganggu.

Salah satu bentuk trademark bullying yang umum adalah surat peringatan yang dikirim kepada pemilik merek yang dianggap melanggar hak cipta atau hak merek. Surat ini sering kali berisi ancaman litigasi atau tuntutan ganti rugi yang tinggi, bahkan jika penggunaan merek yang disengketakan tidak menyebabkan kebingungan di antara konsumen atau tidak merugikan pemilik merek yang menuduh. Pemilik merek yang menerima surat peringatan semacam itu mungkin merasa terpaksa untuk menarik produk mereka dari pasar atau mengubah merek mereka secara drastis, meskipun penggunaannya dapat jauh berbeda dari merek yang dilindungi.

Sebagai contoh, Trademark bullying merujuk pada tindakan di mana pemilik merek besar atau memiliki kekuatan finansial menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan atau mengintimidasi pemilik merek kecil atau pesaing (Grinvald, 2023). Di Indonesia, fenomena ini sering terjadi meskipun belum ada istilah resmi dalam hukum yang secara khusus mengacu pada �trademark bullying.� Praktik ini mencakup pengiriman pemberitahuan penghentian penggunaan merek, ancaman litigasi, atau benar-benar mengajukan tuntutan yang seringkali tidak berdasar. Kasus trademark bullying dapat dilihat pada contoh sengketa antara PT Multicom Persada Internasional dengan PT Data Citra Mandiri, di mana PT Multicom menggunakan kekuatan finansialnya untuk menggugat PT Data Citra Mandiri atas dugaan pelanggaran merek.

Kasus trademark bullying di Indonesia, seperti yang tercermin dalam sengketa antara SONY Corporation dan SONY Arianto Kurniawan, memperlihatkan beberapa karakteristik yang mirip dengan praktik di negara lain, meskipun ada perbedaan dalam mekanisme penyelesaian hukumnya. Di Indonesia, trademark bullying terjadi ketika perusahaan besar menggunakan hak merek dagangnya untuk menekan pihak yang lebih kecil. Dalam kasus ini, SONY Corporation menggugat SONY Arianto Kurniawan atas penggunaan nama domain sony-ak.com, dengan klaim bahwa penggunaan tersebut melanggar merek dagang mereka dan menciptakan kesan yang salah kepada publik. Penggunaan surat penghentian dan penghentian (cease and desist) menjadi alat intimidasi yang efektif dalam kasus ini, di mana tekanan besar diberikan kepada individu atau usaha kecil yang seringkali tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan secara hukum.

Di Amerika Serikat, kasus trademark bullying seperti Tiffany & Co. vs. Costco Wholesale Corporation menunjukkan pola yang serupa, di mana perusahaan besar menggunakan kekuatan hukum untuk melindungi merek mereka. Dalam kasus ini, Tiffany & Co. menggugat Costco atas penjualan perhiasan "Tiffany Style" yang lebih murah, dan pengadilan memutuskan bahwa Costco telah melanggar merek dagang Tiffany & Co., berdasarkan Undang-Undang Lanham Act yang melarang penggunaan merek dagang yang membingungkan konsumen. Hukum di Amerika memberikan perlindungan yang luas bagi pemilik merek dagang, termasuk hak untuk mencegah penggunaan merek dagang yang mirip dan mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran.

Di India, contoh kasus trademark bullying dapat dilihat dalam sengketa antara Dabur India Ltd. dan Emami Ltd. Dabur menggugat Emami atas pelanggaran merek dagang terkait produk pasta gigi "Dabur Red Paste". Pengadilan memutuskan bahwa Emami telah melanggar merek dagang Dabur dengan menggunakan kemasan dan nama yang mirip. Kasus ini diatur oleh Undang-Undang Merek Dagang dan Desain India, 1999, yang melarang penggunaan merek dagang yang membingungkan konsumen dan memberikan hak kepada pemilik merek untuk mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran.

Penyelesaian hukum di Indonesia terhadap kasus trademark bullying diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menawarkan mekanisme penyelesaian melalui pengadilan atau alternatif seperti mediasi atau arbitrase. Namun, perlindungan terhadap korban trademark bullying belum eksplisit diatur, sehingga seringkali kasus dapat berlarut-larut dan memakan biaya besar bagi pihak yang lebih kecil. Sebaliknya, di Amerika dan India, undang-undang seperti Lanham Act dan Undang-Undang Merek Dagang dan Desain India secara jelas melarang penggunaan merek dagang yang membingungkan dan memberikan hak untuk mendapatkan ganti rugi, menawarkan perlindungan yang lebih kuat bagi pemilik merek dagang dari praktik bullying.

Praktik trademark bullying juga sering terjadi dalam konteks pendaftaran merek. Pemilik merek besar dapat mencoba mendaftarkan merek yang sangat mirip dengan merek yang sudah ada milik pesaing atau pemilik merek kecil dengan tujuan menghambat pertumbuhan dan ekspansi pesaing. Meskipun dalam banyak kasus pendaftaran tersebut dapat ditolak oleh kantor merek, prosesnya sering kali memakan waktu dan biaya bagi pemilik merek yang dituju. Selain itu, beberapa kasus trademark bullying terjadi dalam konteks litigasi. Pemilik merek besar seringkali memanfaatkan kekuatan finansial mereka untuk menggugat pemilik merek kecil atau pesaing di pengadilan, bahkan jika kasusnya cenderung lemah atau memiliki dasar yang tidak kuat. Proses litigasi seperti ini dapat menjadi sangat memakan biaya bagi pihak yang diserang dan seringkali berakhir dengan penyelesaian di luar pengadilan yang merugikan pihak yang diserang.

Perlindungan hukum atas merek menjadi sangat penting mengingat perdagangan global yang cepat saat ini. Karena mereka adalah pihak yang belum mendaftarkan hak atas merek, pemilik merek tidak dapat menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran merek jika terjadi pelanggaran merek. Tujuan penyelesaian kasus pelanggaran merek adalah untuk memastikan bahwa individu yang melakukan pelanggaran tidak lagi menggunakan merek apa pun yang menyerupai merek terkenal atau bahkan menghentikan proses produksi merek tersebu. (Indrawati & Prasetyo, 2023)

Perlindungan hukum merupakan upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi tabrakan antar-kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan merek di Indonesia, usaha kecil akan memiliki perlindungan hukum terhadap merek. Memiliki perlindungan hukum terhadap merek akan memberikan kepastian hukum untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai pihak yang memiliki hak terhadap produk tersebut. (Permata et al., 2022)

Pegiat usaha kecil adalah individu atau kelompok yang secara aktif terlibat dalam mendukung, mengembangkan, dan memajukan sektor usaha kecil. Mereka dapat berperan sebagai pelaku usaha kecil sendiri atau sebagai pendukung ekosistem usaha kecil melalui berbagai cara, seperti memberikan pelatihan, pendampingan, pembiayaan, atau advokasi kebijakan yang mendukung pertumbuhan dan keberlangsungan usaha kecil. Pegiat usaha kecil memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian karena usaha kecil memainkan peran kunci dalam menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan dukungan yang tepat dari para pegiat usaha kecil, pelaku usaha kecil dapat berkembang lebih baik dan lebih berkelanjutan.

Undang-Undang Merek No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak banyak membahas terkait dengan Merek pegiat usaha kecil di Indonesia. Penyebutan terkait dengan Merek pegiat usaha kecil tertuang di dalam konsideran huruf a UU Merek 2016 yang berisikanbahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, perlindungan konsumen, serta pelindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, dan industri dalam negeri;�.

Selanjutnya, untuk melindungi merek, usaha kecil di Indonesia diminta untuk mendaftarkan merek mereka. Ini dilakukan karena usaha kecil hanya dapat menerima perlindungan merek setelah mendaftarkan merek mereka. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

Biaya Registrasi Merek usaha kecil yang Lebih Murah Dibandingkan Merek Non-usaha kecil

Tidak mengherankan bahwa hanya ada sedikit pendaftar merek UMKM. Pemerintah, melalui Dirjen KI, terus mendorong peningkatan pendaftaran merek dari industri UMKM dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan pendaftar merek Non UMKM. Ini menunjukkan kepedulian pemerintah untuk meningkatkan bisnis UMKM dan menjaga kekayaan intelektual mereka

Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek terdaftar dilindungi selama sepuluh (10) tahun dari tanggal pendaftarannya. Jangka waktu dapat diperpanjang dengan biaya selama sepuluh tahun. Meskipun demikian, pemilik merek harus mengajukan perpanjangan 12 bulan sebelum masa berlaku merek tersebut berakhir. Masa berlaku merek akan diperpanjang hanya jika pemilik masih menggunakan merek tersebut dalam penjualan barang dan jasa.

Untuk membantu usaha kecil dan menengah (UMKM) dalam pendaftaran merek, Dirjen KI menawarkan harga registrasi yang lebih murah untuk UMKM dibandingkan dengan perusahaan umum. Perbandingan harga registrasi antara UMKM dan merek umum ditunjukkan di sini. Ini mencakup biaya untuk permohonan pendaftaran merek dan perlindungan merek kolektif terdaftar.

Pendaftaran Merek Kolektif Industri UMKM 

Pelaku UMKM di Indonesia sering memperjual belikan barang atau jasa yang sama oleh beberapa pelaku UMKM lainnya. Oleh karena itu, UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mendefinisikan merek kolektif sebagai merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan sifat, ciri umum, dan kualitas yang sama dan yang diperdagangkan oleh beberapa entitas atau badan hukum secara kolektif.

Artikel 7 bis Paris Convention for the Protection of Industrial Property Rights (1883/1967) mengatur merek kolektif. Negara anggota harus menerima pendaftaran merek kolektif yang dimiliki oleh asosiasi yang eksistensinya tidak bertentangan dengan negara hukum asal, meskipun asosiasi tersebut tidak memiliki perusahaan komersial atau industri di negara tersebut. Setiap negara memutuskan apakah merek kolektif dilindungi atau ditolak pendaftarannya jika bertentangan dengan kepentingan umum

Pasal 46 hingga 51 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis di Indonesia mengatur merek kolektif. Tujuan penggunaan merek kolektif adalah untuk membuat proses pendaftaran lebih mudah. Misalnya, jika sepuluh pengusaha bekerja sama untuk membuat jenis barang atau jasa tertentu, mereka harus mengajukan permintaan pendaftaran untuk melindungi setiap jenis barang atau jasa tersebut. Namun, karena semua barang atau jasa yang dibuat dan dipasarkan memiliki karakteristik yang sama, hanya satu merek dapat digunakan untuk semua jenis barang atau jasa tersebut. Dengan demikian, pengusaha, terutama UMKM, dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga dengan memproses permintaan merek.

Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah kepada usaha kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia adalah merek kolektif. Menurut bunyi pasal 1 angka 4, merek kolektif adalah merek yang digunakan oleh kelompok bisnis yang menjual barang dan jasa yang sama. Bisnis tidak perlu mendaftarkan atau membangun merek sendiri; sebaliknya, ini dapat dilakukan oleh berbagai individu atau badan usaha.

Di antaranya, elemen-elemen yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan merek di Indonesia diuraikan dan dibagi menjadi empat hal berikut. Pertama, berhubungan dengan pendaftaran merek. Pemegang merek dapat mendaftarkan merek mereka di Kantor Merek, yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dengan pendaftaran ini, Anda memiliki hak eksklusif untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan dan dasar hukum untuk menuntut orang yang melanggar hak merek tersebut

Kedua, Undang-Undang Pelanggaran Merek Indonesia mengatur pelanggaran merek dan memberikan hak kepada pemilik merek untuk melindungi merek mereka dari penggunaan yang tidak sah atau pemalsuan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 juga melindungi pemegang merek. Ketiga, hukum merek dikenakan pada pemerintah dan lembaga penegak hukum Indonesia. Pelanggaran merek dapat dihukum

Keempat, Perlindungan merek global tersedia. Indonesia telah berpartisipasi dalam beberapa perjanjian internasional yang mengatur hak merek, salah satunya adalah Perjanjian TRIPS, yang diawasi oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemegang merek Indonesia dapat melindungi merek mereka di pasar global dengan cara ini. Dengan demikian, bukan hanya mendapatkan perlindungan merek secara nasional, tetapi juga melindungi pemegang hak merek dalam proses impor dan ekspor yang berkaitan dengan merek tersebut dari penyalahgunaan dan pemalsuan merek.

Selain langkah-langkah yang telah diambil untuk memastikan kualitas dan keamanan merek, ada beberapa masalah yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap pemegang merek. Pertama, pemalsuan merek masih merupakan masalah yang signifikan di Indonesia. Produk palsu dengan merek palsu dapat merugikan pelanggan dan merusak reputasi merek

Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten terkait dengan banyaknya pemalsuan merek. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum merek Indonesia seringkali tidak konsisten, terutama dalam kasus kecil. Ini dapat menyebabkan perlindungan merek menjadi kurang efektif. Selain itu, karena penegak hukum tidak memiliki kepercayaan masyarakat terhadap mereka, penegak hukum kadang-kadang melihat pelanggaran merek sebagai hal kecil, terutama jika dilakukan oleh pegiat usaha kecil, meskipun pelanggaran merek tersebut sangat merugikan bagi para pelaku usaha.

Kesadaran hukum rendah. Banyak pelaku ekonomi kreatif, terutama usaha kecil dan menengah, tidak memahami sepenuhnya tentang perlindungan hukum merek. Selain itu, mereka menganggap pendaftaran merek membutuhkan banyak waktu dan uang, dan mereka kadang-kadang menyepelekan informasi yang terkait dengan merek tersebut. Akibatnya, masih ada sedikit kesadaran bagi para pelaku ekonomi kreatif dalam mendaftarkan merek mereka.

Pemalsuan (counterfeiting), pembajakan (piracy), dan pelecehan merek merupakan masalah utama dalam perlindungan merek. Industri ilegal yang sangat menguntungkan dikenal sebagai pemalsuan merek. Produk palsu sering meniru merek dengan sangat tepat, sehingga sulit dibedakan dari produk asli. Pelanggan yang membeli produk palsu ini mungkin merasa mereka mendapatkan barang asli, tetapi seringkali mereka menerima barang berkualitas rendah atau bahkan berbahaya. Pemalsuan juga dapat merusak reputasi merek dan membuat konsumen tidak percaya pada produk asli. Penuntut pelaku pemalsuan sering beroperasi di luar yurisdiksi negara pemegang merek, sehingga penyitaan produk palsu dan penuntutan mereka dapat menjadi tugas yang sulit.

Perdagangan elektronik, juga dikenal sebagai e-commerce, adalah sumber tantangan besar dalam melindungi merek. Perdagangan online yang berkembang pesat telah menciptakan platform baru bagi penjual barang palsu. Pemasaran produk palsu secara online cepat dan efektif, dan seringkali sulit untuk mengidentifikasi pelakunya. Pemegang merek harus berusaha keras untuk mengawasi dan melaporkan barang palsu yang dijual secara online; ini membutuhkan banyak usaha dan sumber daya

Perlindungan hukum terhadap merek dagang pegiat usaha kecill dalam menghadapi trademark bullying merek dagang pada platform e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada. Undang-undang ini mengakui dua sistem perlindungan: Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Sistem Konstitutif, sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang Merek No. 20 tahun 2016, memerlukan pendaftaran merek dagang untuk perlindungan hukum. Sistem ini, sering dikenal sebagai sistem first to file, memastikan kepastian hukum dengan memberikan pengakuan dan perlindungan hanya untuk merek dagang terdaftar. Kegagalan untuk mendaftar berarti kurangnya pengakuan dan perlindungan hukum, menempatkan pemilik merek dagang, termasuk usaha kecil, pada risiko pelanggaran.

Berdasarikan uraian analisis diatas, implementasi perlindungan hukum bagi pemilik merek dagang dan pegiat usaha kecil dalam menghadapi perundungan merek dagang pada platform e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada. Undang-undang ini mengakui dua sistem perlindungan: Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Namun, penerapan Sistem Konstitutif menimbulkan tantangan, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM), karena memerlukan pendaftaran merek dagang untuk perlindungan hukum. Sementara hukum memperlakukan semua pihak secara setara, ia gagal mencapai keadilan, terutama untuk UKM, karena kesenjangan yang melekat dalam kekuatan dan sumber daya ekonomi..

 

SIMPULAN

Implementasi perlindungan hukum bagi pemilik merek dagang dan pegiat usaha kecil yang menghadapi trademark bullying pada platform e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada, termasuk Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Namun, penerapan Sistem Konstitutif menghadirkan tantangan bagi UKM karena memerlukan pendaftaran merek dagang untuk perlindungan hukum, membuat mereka rentan terhadap intimidasi oleh perusahaan besar. Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 2 Ayat (3) UU Merek dan Indikasi Geografis bertujuan memberikan kepastian hukum dan melindungi hak pemilik merek, tetapi praktik trademark bullying masih menjadi tantangan signifikan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan India memiliki undang-undang yang lebih tegas dalam melarang penggunaan merek dagang yang membingungkan dan memberikan perlindungan hukum yang komprehensif. Untuk meningkatkan perlindungan di Indonesia, diperlukan penegakan hukum yang lebih konsisten dan dukungan khusus bagi usaha kecil dalam mendaftarkan dan mempertahankan merek mereka, dengan harapan regulasi dapat lebih eksplisit dalam melindungi pegiat usaha kecil dan mencegah praktik-praktik merugikan, sehingga tercipta persaingan usaha yang lebih adil..

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arliman. S, L. (2019). MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BAIK DI NEGARA HUKUM INDONESIA. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 1�20. https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1831

 

Asmara, A., Rahayu, S. W., & Bintang, S. (2019). Studi Kasus Penerapan Prinsip Pendaftaran First To File Pada Pembatalan Merek Cap Mawar. Syiah Kuala Law Journal, 3(2), 184�201. https://doi.org/10.24815/sklj.v3i2.11899

 

Darwance, D., Yokotani, Y., & Anggita, W. (2021). Politik Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual. Journal of Political Issues, 2(2), 124�134. https://doi.org/10.33019/jpi.v2i2.40

 

Darwance, D., Yokotani Yokotani, & Wenni Anggita. (2020). Dasar-Dasar Pemikiran Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. PROGRESIF: Jurnal Hukum, 14(2), 193�208.

 

Fatmasari, E. D. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DATA PRIBADI PENGGUNA LAYANAN PINJAMAN ONLINE. Jaksa : Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Politik, 1(4), 90�99. https://doi.org/10.51903/jaksa.v1i4.1405

 

Grinvald, L. C. (2023). Revisiting the viability of shaming trademark bullies*. In Research Handbook on the Law and Economics of Trademark Law (pp. 140�152). Edward Elgar Publishing. https://doi.org/10.4337/9781786430472.00015

 

Indrawati, S., & Prasetyo, W. T. (2023). Perlindungan Hukum Produk Usaha Kecil melalui Pendaftaran Merek (Studi Produk Usaha Kecil di Kecamatan Purworejo). Amnesti: Jurnal Hukum, 5(1), 151�159. https://doi.org/10.37729/amnesti.v5i1.4174

 

La, Quynh. (2021). ully No More: Why Trademark Owners Engage in Trademark Overreach and How to Prevent It. Wash. L. Rev, 96.

 

Mayana, R. F., & Tisni Santika. (2021). ukum merek: perkembangan aktual pelindungan merek dalam konteks ekonomi kreatif di era disrupsi digital.

 

Permata, R. R., Ramli, T. S., & Priowirjanto, E. S. (2022). Identifying, Preventing and Overcoming Trademark Bullying in Indonesia. Journal of Intellectual Property Rights, 27(6). https://doi.org/10.56042/jipr.v27i6.57066

 

Rohimah, R. (2021). KNOWLEDGE-BASED ECONOMY AS HUMAN CAPITAL INVESTMENT TO DRIVE THE NATION�S ECONOMIC GROWTH. Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 4(1), 29�46. https://doi.org/10.34005/tahdzib.v4i1.1303

 

Satyahadi, D., & Disemadi, H. S. (2023). PERLINDUNGAN MEREK PRODUK UMKM: KONSTRUKSI HUKUM & PERAN PEMERINTAH. Jurnal Yustisiabel, 7(1), 65. https://doi.org/10.32529/yustisiabel.v7i1.2137

 

 

� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).