Implementasi Perlindungan
Hukum Terhadap Pemilik
Merek dan Pegiat Usaha Kecil dalam
Menghadapi Tindakan �Trademark Bullying� pada Platrform E-Commerce Berdasarkan
Hukum Positif di Indonesia
�
Implementation
of Legal Protection for Brand Owners and Small Business Activists in Facing
�Trademark Bullying� Actions on E-Commerce Platforms Based on Positive Law in
Indonesia
1)Mutiara
Putri Adelia, 2)Rika Ratna Permata, 3)Tasya
Safiranita Ramli
Universitas Padjadjaran, Indonesia
*Email: 1)mutiaraputriadelia@gmail.com, 2)permata_rika@yahoo.com, 3)tasya.safiranita@unpad.ac.id
*Correspondence: 1)Mutiara Putri Adelia
DOI: 10.59141/comserva.v4i2.1358 |
ABSTRAK Dalam kemajuan teknologi saat ini, UMKM tidak hanya dilakukan
secara konvensional melainkan menggunakan platform
e-commerce. Membahas Platform E-Commerce secara konkret. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat secara global. Perubahan pelaksanaan UMKM yang
melakukan layanan
e-commerce dapat menimbulkan
trademark bullying. Fenomena Trademark Bullying muncul ketika pemilik merek yang lebih besar atau
yang memiliki hak atas merek terkenal
berusaha menyalahgunakan sistem hukum merek dagang untuk menindas atau merugikan pemilik merek yang lebih kecil. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi perlindungan hukum terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil dalam
menghadapi tindakan
trademark bullying pada platform e-commerce berdasarkan
hukum positif di
Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan ini akan menekankan
penelitian pada data-data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa implementasi perlindungan hukum bagi pemilik merek dagang dan pegiat usaha kecil yang menghadapi trademark
bullying pada platform e-commerce di Indonesia diatur
oleh undang-undang dan peraturan
kekayaan intelektual yang
ada, termasuk Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Pasal 1 Ayat
(1) dan Pasal 2 Ayat (3) UU Merek dan Indikasi Geografis bertujuan memberikan kepastian hukum dan melindungi hak pemilik merek,
tetapi praktik trademark
bullying masih menjadi tantangan signifikan. Kata kunci: Bullying; Merek; Perlindungan Hukum; UMKM |
ABSTRACT
In today's
technological advancements, MSMEs are carried out conventionally and using
e-commerce platforms. Discuss E-Commerce Platforms concretely. Information and
communication technology has changed people's behavior globally. Changes in the
implementation of MSMEs that carry out e-commerce services can cause trademark
bullying. Trademark Bullying arises when more prominent brand owners or those
with rights to well-known brands abuse the trademark legal system to oppress or
harm smaller brand owners. This study analyzes and evaluates the legal
protection of brand owners and small business activists in dealing with
trademark bullying on e-commerce platforms based on favorable laws in
Indonesia. The research method used in this journal is a normative juridical
research method. This approach will emphasize research on secondary data. The
study results show that the implementation of legal protection for trademark
owners and small business activists who face trademark bullying on e-commerce
platforms in Indonesia is regulated by existing intellectual property laws and
regulations, including the Constitutive System and the Declarative System.
Article 1 Paragraph (1) and Article 2 Paragraph (3) of the Trademark and
Geographical Indication Law aim to provide legal certainty and protect the
rights of brand owners, but the practice of trademark bullying is still a
significant challenge.
Keywords:
Bullying;
Legal Protection; MSMEs; Trademark
PENDAHULUAN
Hukum
kekayaan intelektual tidak dapat menghentikan
kemajuan pembangunan ekonomi. Pada era globalisasi saat ini, dengan
berkembangnya teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, pengembangan kekayaan intelektual merupakan bagian penting dari pembangunan
ekonomi berbasis pengetahuan, yang merupakan modal
dari kekayaan intelektual.
Perlindungan kekayaan intelektual internasional dilandasi oleh perjanjian Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dalam
World Trade Organization (WTO). Meskipun TRIPs
Agreement tidak mendefinisikan
HKI, Pasal 1.2 menyatakan bahwa
HKI termasuk: hak cipta dan hak terkait;
merek dagang; indikasi geografis; desain industri; paten; tata letak (topografi) sirkuit terpadu; perlindungan informasi rahasia; dan pengendalian praktik usaha tidak
sehat dalam perjalanan lisensi.
Merek
merupakan salah satu jenis kekayaan intelektual yang dilindungi oleh
KI. Merek memiliki peran penting dalam perkembangan
investasi perdagangan barang atau jasa.
Tujuan utama merek adalah memberikan informasi yang akurat kepada konsumen mengenai sumber dan/atau asal suatu
produk yang dicarinya dengan mengidentifikasi merek sebagai tanda
mudah untuk diidentifikasi, fungsi product
identity dalam dunia perdagangan
tersebut menghubungkan barang atau jasa
dengan produsennya sebagai jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan sehingga merek diberi kelas-kelas
tertentu yang sejenis
Dalam
perkembangannya, merek terkait erat dengan
UMKM, sebagai contoh merek sering digunakan
untuk berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
UMKM. Hal ini dapat membantu produk dan pengusaha menjadi lebih bernilai, termasuk memperoleh hak merek yang dipegang oleh UMKM. Peraturan
Perundang-undangan No. 20 tahun
2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah mendefinisikan
usaha kecil sebagai usaha ekonomi
produktif yang independen atau berdiri sendiri
yang dimiliki oleh individu
atau kelompok, dan bukan sebagai cabang
dari perusahaan utama. dimiliki, dikuasai, dan merupakan bagian langsung dan tidak langsung dari usaha menengah.
Dengan meningkatnya perkembangan UMKM di Indonesia, membuka
kesempatan lapangan kerja bagi masyarakat
serta berdampak baik bagi peningkatan
kualitas sumber daya manusia, sehingga
UMKM menjadi salah satu faktor yang memiliki peranan besar dalam
meningkatkan devisa negara.
Revisi tambahan regulasi yang mengatur beserta pelindungan hukumnya. Revisi tambahan Membahas batasan usaha kecil.
Dalam
kemajuan teknologi saat ini, UMKM tidak hanya dilakukan
secara konvensional melainkan menggunakan platform e-commerce.
Membahas Platform E-Commerce secara konkret. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat secara global. Perubahan pelaksanaan UMKM yang melakukan layanan e-commerce dapat menimbulkan trademark
bullying. Fenomena Trademark Bullying muncul ketika pemilik
merek yang lebih besar atau yang memiliki hak atas
merek terkenal berusaha menyalahgunakan sistem hukum merek
dagang untuk menindas atau merugikan
pemilik merek yang lebih kecil. Sebagai
contoh, perusahaan besar tersebut akan memberikan somasi dengan alasan
yang tidak mendasar dan melebih-lebihkan dengan tujuan agar perusahaan yang lebih kecil melakukan
pembatalan merek dagang miliknya atau membayar lisensi
kepadanya.
Beberapa penyebab fenomena tindakan Trademark
Bullying yaitu usaha perusahan besar dalam penegakan hak atas merek
dengan cara mengintimidasi pihak lain, yang mana melawan individu atau perusahaan
yang lebih kecil dan dianggap berbahaya bagi kekayaan intelektual
pihak tersebut dan juga terdapat gugatan yang salah yaitu pemilik merek
besar mungkin menuntut pemilik merek kecil karena
alasan yang tidak adil atau tidak
berdasar. Hal ini dapat berdampak terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil seperti
biaya hukum yang tinggi, yang mana pemilik merek kecil seringkali
tidak memiliki sumber daya keuangan
untuk melawan tindakan hukum yang merugikan yang dapat mengancam kelangsungan usaha tersebut. Namun dari setiap
kasus Trademark Bullying, masalah
utama yang harus dihadapi adalah memutuskan terkait ancaman yang tidak dapat dibenarkan apakah merupakan ancaman yang tidak berdasar. Ancaman yang tidak berdasar ini karena tidak
ada ketentuan Undang-Undang yang menyebutkan faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam merujuk gugatan pelanggaran sebagai intimidasi merek dagang. Hal ini dapat terjadi melalui
berbagai cara dan berdampak signifikan terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil pada lingkungan platform e-commerce di Indonesia.
Unsur-unsur Trademark Bullying yakni pelaku intimidasi
merupakan perusahaan besar atau multinasional
dan korban trademark bullying merupakan pelaku usaha kecil
dengan isu yang diperdebatkan adalah penggunaan kata umum yang pemilik dagang anggap sebagai faktor penting mereknya, sementara bagi korban trademark bullying kata umum tersebut seharusnya
tidak dilindungi oleh hukum merek dagang,
sehingga masyarakat bebas menggunakan kata umum tersebut
Di
Indonesia, fenomena trademark bullying dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun UU ITE lebih berfokus pada kejahatan siber seperti penipuan,
peretasan, dan pencemaran nama baik online, ada elemen-elemen dalam hukum ini
yang dapat digunakan untuk melindungi pemilik merek dari
tindakan trademark bullying di era digital. Revisi tambahan Membahas UU ITE secara konkret. Perlindungan merek dagang tidak
boleh digunakan sebagai alat untuk
mengintimidasi atau membatasi persaingan yang sah di era digital. Oleh karena itu, penting bagi
sistem hukum Indonesia untuk menjaga keseimbangan
antara melindungi hak pemilik merek
dan memastikan kebebasan
dan inovasi dalam lingkungan digital yang terus berkembang.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ialah yuridis normatif. Metode ini akan menekankan
penelitian pada data sekunder,
yang mencakup sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Sumber-sumber sekunder ini mencakup
berbagai elemen, seperti literatur hukum, konvensi internasional, peraturan perundang-undangan, berita surat kabar, majalah,
internet, dan dokumen resmi
pemerintah. Tujuan dari
strategi ini adalah untuk menyelidiki, menganalisis, dan mengevaluasi perlindungan hukum terhadap pemilik merek dan pegiat usaha kecil terhadap
pelanggaran trademark pada platform e-commerce
yang dilindungi oleh hukum positif di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hukum berkaitan erat dengan keadilan,
wewenang, ketaatan, perintah, dan norma. Hukum dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan bagi warga negara
E-commerce adalah transaksi
yang dilakukan melalui
internet, hasil dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perdagangan saat ini mencakup
barang dan jasa. Dengan adanya e-commerce, metode perdagangan bukan lagi berbasis
offline atau tatap muka, tetapi berbasis
internet.
Dengan hanya
satu dimensi, transaksi e-commerce potensial dapat mencakup sebagian besar perdagangan secara keseluruhan. Struktur terbuka Internet dan kemudahan penggunaan memungkinkan sistem informasi dan komunikasi baru dan bentuk baru komunikasi
untuk bisnis dan pelanggan. Hal ini memungkinkan penjual dan pembeli untuk berkumpul
dengan cara yang lebih efisien, yang menghasilkan pasar baru dan peluang untuk mereorganisasi
proses ekonomi. Selain itu,
itu mengubah cara suatu produk
disesuaikan, didistribusikan,
dan dipertukarkan, serta cara bisnis dan pelanggan mencari dan mengkonsumsinya.
Salah satu bentuk seni intelektual
yang dikenal sebagai merek digunakan untuk membedakan jenis dan jasa yang dibuat oleh suatu perusahaan dengan tujuan untuk menunjukkan
berbagai rupa dan asal usul komponen
yang tercantum. Tidak hanya
bagi produsen, tetapi juga bagi konsumen, merek memiliki jiwa yang penting. Ini pasti akan membantu produsen
membedakan produk mereka dari produk
lain yang serupa. Konsumen melihat merek sebagai
simbol gengsi. Merek perusahaan dapat menjadi aset yang sangat berharga dan bagian dari reputasinya.
Menurut UU Merek dan Indikasi Geografis, Pasal 1, Ayat
(1), merek dapat didefinisikan sebagai gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, skema
warna, format 2D dan/atau
3D, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih elemen
ini secara grafis untuk membedakan
barang atau jasa yang dibuat oleh individu atau organisasi.
Pada Pasal 2 Ayat 3 dijelaskan
bahwa merek yang dilindungi dapat membedakan barang atau jasa yang diproduksi oleh individu atau badan hukum dari merek yang dilindungi yang terdiri dari gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, atau bahkan
lebih dari elemen tersebut.
Semua orang yang telah mendaftarkan merek dagang atau
jasanya dan diakui oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (DJKI) memiliki hak atas
merek. Hak atas merek adalah hak
eksklusif yang diberikan
oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk menggunakan
merek tersebut sendiri atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Di Indonesia, pengaturan merek menggunakan prinsip first to file, yang berarti
perlindungan hukum merek hanya diberikan
kepada orang yang pertama
kali mengajukan permohonan pendaftaran. Negara tidak memberikan pendaftaran kepada merek yang serupa dengan merek
yang telah diajukan sebelumnya
Menurut teori
perlindungan hukum Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum preventif dan represif adalah dua jenis perlindungan hukum. Perlindungan hukum preventif berfungsi untuk mencegah masalah atau sengketa
seperti plagiasi, pemalsuan, dan penggelapan karya keyakayaan intelektual. Berbeda dengan hal di atas,
perlindungan hukum represif berfungsi sebagai cara untuk
menyelesaikan kasus agar pelanggar hak kekayaan
intelektual mendapat keadilan.
Menurut UU Merek dan Indikasi Geografis Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa �Hak atas Merek adalah hak eksklusif
yang diberikan oleh negara kepada
pemilik Merek yang terdaftar
untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak
lain untuk menggunakannya�.
Jangka waktu perlindungan hukum untuk merek yaitu
dijelaskan pada pasal 35 (tiga puluh lima) yang artinya memiliki perlindungan hukum dengan jangkan sepuluh (10) tahun sejak tanggal penerimaan.
Jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang sampai dan diajukan melalui via elektronik ataupun memalui non elektronik yaitu sebelum waktu berakhirnya
yaitu 6 (enam) bulan tetapi jika
sudah lebih dari 6 (bulan) akan dikenai biaaya
perpanjangan. Perpanjangan perlindungan merek diberitahuakan melalui berita acara resmi sesuai pada pasal 39 (tiga puluh Sembilan).
Adapun perlindungan merek yang masih dalam perlindungan dijelaskan pada pasal 36 ( tiga puluh enam)
yaitu merek berupa barang maupun
jasa harus memiliki sertifikat merek yang masih berlaku atau masih
dalam produksi dan masih diperdagangkan. Pada peraturan pasal 37 (tiga puluh tujuh
) Permohonan perlindungan dapat di tolak oleh oleh Direktorat Jendral apabila permohonan tersebut tidak dapat memenuhi
ketentuan sesuai pasal 35 dan pasal 36.
Pada dasarnya hak Merek pada dasarnya adalah hak eksklusif.
Perlindungan hukum atas Merek menjadi hal yang penting mengingat pesatnya perdagangan dunia saat ini apalagi ketika
terhadap pelanggaran Trademark
Bullying. Trademark bullying adalah praktik yang dilakukan oleh pemilik merek yang lebih besar atau
lebih kuat secara finansial untuk menekan atau
mengintimidasi pemilik merek yang lebih kecil atau pesaing
yang menggunakan merek yang
mirip atau serupa. Praktik ini dapat mencakup
ancaman litigasi, tuntutan hukum, atau penggunaan sumber daya hukum
secara agresif untuk melindungi dan memperluas monopoli merek mereka.
Salah satu bentuk trademark bullying yang umum
adalah surat peringatan yang dikirim kepada pemilik merek yang dianggap melanggar hak cipta
atau hak merek. Surat ini sering kali berisi ancaman litigasi atau tuntutan ganti
rugi yang tinggi, bahkan jika penggunaan
merek yang disengketakan tidak menyebabkan kebingungan di antara konsumen atau tidak
merugikan pemilik merek yang menuduh. Pemilik merek yang menerima surat peringatan semacam itu mungkin merasa
terpaksa untuk menarik produk mereka dari pasar atau mengubah merek
mereka secara drastis, meskipun penggunaannya dapat jauh berbeda dari
merek yang dilindungi.
Sebagai contoh,
Trademark bullying merujuk pada tindakan di mana pemilik merek besar atau
memiliki kekuatan finansial menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan atau
mengintimidasi pemilik merek kecil atau
pesaing
Kasus trademark bullying di Indonesia, seperti yang tercermin dalam sengketa antara SONY Corporation dan SONY Arianto
Kurniawan, memperlihatkan beberapa
karakteristik yang mirip dengan praktik di negara lain, meskipun ada perbedaan
dalam mekanisme penyelesaian hukumnya. Di
Indonesia, trademark bullying terjadi ketika perusahaan besar menggunakan hak merek dagangnya
untuk menekan pihak yang lebih kecil. Dalam kasus ini, SONY Corporation menggugat
SONY Arianto Kurniawan atas
penggunaan nama domain
sony-ak.com, dengan klaim bahwa penggunaan tersebut melanggar merek dagang mereka
dan menciptakan kesan yang
salah kepada publik. Penggunaan surat penghentian dan penghentian
(cease and desist) menjadi alat
intimidasi yang efektif dalam kasus ini,
di mana tekanan besar diberikan kepada individu atau usaha
kecil yang seringkali tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan
secara hukum.
Di Amerika Serikat, kasus trademark bullying seperti
Tiffany & Co. vs. Costco Wholesale Corporation menunjukkan
pola yang serupa, di mana perusahaan besar menggunakan kekuatan hukum untuk melindungi
merek mereka. Dalam kasus ini, Tiffany & Co. menggugat Costco atas penjualan perhiasan "Tiffany
Style" yang lebih murah,
dan pengadilan memutuskan bahwa Costco telah melanggar merek dagang Tiffany & Co., berdasarkan
Undang-Undang Lanham Act yang melarang
penggunaan merek dagang yang membingungkan konsumen. Hukum di Amerika memberikan
perlindungan yang luas bagi pemilik merek
dagang, termasuk hak untuk mencegah
penggunaan merek dagang yang mirip dan mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran.
Di India, contoh kasus trademark bullying dapat dilihat dalam sengketa
antara Dabur India Ltd. dan Emami Ltd. Dabur menggugat Emami atas pelanggaran merek dagang terkait produk pasta gigi "Dabur Red
Paste". Pengadilan memutuskan
bahwa Emami telah melanggar merek dagang Dabur dengan menggunakan kemasan dan nama yang mirip. Kasus ini diatur oleh Undang-Undang Merek Dagang dan
Desain India, 1999, yang melarang penggunaan
merek dagang yang membingungkan konsumen dan memberikan hak kepada pemilik merek untuk mendapatkan
ganti rugi atas pelanggaran.
Penyelesaian hukum
di Indonesia terhadap kasus
trademark bullying diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menawarkan mekanisme penyelesaian melalui pengadilan atau alternatif seperti mediasi atau arbitrase.
Namun, perlindungan terhadap korban trademark bullying belum
eksplisit diatur, sehingga seringkali kasus dapat berlarut-larut
dan memakan biaya besar bagi pihak
yang lebih kecil. Sebaliknya, di Amerika dan India, undang-undang
seperti Lanham Act dan Undang-Undang
Merek Dagang dan Desain India secara
jelas melarang penggunaan merek dagang yang membingungkan dan memberikan hak untuk mendapatkan ganti rugi, menawarkan
perlindungan yang lebih kuat bagi pemilik
merek dagang dari praktik bullying.
Praktik trademark bullying
juga sering terjadi dalam konteks pendaftaran
merek. Pemilik merek besar dapat
mencoba mendaftarkan merek yang sangat mirip dengan merek yang sudah ada milik
pesaing atau pemilik merek kecil
dengan tujuan menghambat pertumbuhan dan ekspansi pesaing. Meskipun dalam banyak kasus pendaftaran
tersebut dapat ditolak oleh kantor merek, prosesnya sering kali memakan waktu dan biaya bagi pemilik merek
yang dituju. Selain itu, beberapa kasus trademark
bullying terjadi dalam konteks litigasi. Pemilik merek besar
seringkali memanfaatkan kekuatan finansial mereka untuk menggugat
pemilik merek kecil atau pesaing
di pengadilan, bahkan jika kasusnya cenderung
lemah atau memiliki dasar yang tidak kuat. Proses litigasi seperti ini dapat menjadi
sangat memakan biaya bagi pihak yang diserang dan seringkali berakhir dengan penyelesaian di luar pengadilan yang merugikan pihak yang diserang.
Perlindungan hukum
atas merek menjadi sangat penting mengingat perdagangan global yang
cepat saat ini. Karena mereka adalah pihak yang belum mendaftarkan hak atas merek,
pemilik merek tidak dapat menempuh
jalur hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran merek jika terjadi
pelanggaran merek. Tujuan penyelesaian kasus pelanggaran merek adalah untuk memastikan
bahwa individu yang melakukan pelanggaran tidak lagi menggunakan
merek apa pun yang menyerupai merek terkenal atau bahkan
menghentikan proses produksi
merek tersebu.
Perlindungan hukum
merupakan upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi
tabrakan antar-kepentingan
dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Sesuai dengan peraturan
perundang-undangan merek di
Indonesia, usaha kecil akan memiliki perlindungan
hukum terhadap merek. Memiliki perlindungan hukum terhadap merek akan memberikan kepastian hukum untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai pihak yang memiliki hak terhadap produk
tersebut.
Pegiat usaha
kecil adalah individu atau kelompok
yang secara aktif terlibat dalam mendukung, mengembangkan, dan memajukan sektor usaha kecil. Mereka
dapat berperan sebagai pelaku usaha kecil sendiri
atau sebagai pendukung ekosistem usaha kecil melalui
berbagai cara, seperti memberikan pelatihan, pendampingan, pembiayaan, atau advokasi kebijakan yang mendukung pertumbuhan dan keberlangsungan usaha kecil. Pegiat usaha
kecil memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian karena usaha kecil
memainkan peran kunci dalam menciptakan
lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan dukungan yang tepat dari para pegiat usaha kecil, pelaku
usaha kecil dapat berkembang lebih baik dan lebih berkelanjutan.
Undang-Undang Merek No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak banyak membahas
terkait dengan Merek pegiat usaha kecil
di Indonesia. Penyebutan terkait
dengan Merek pegiat usaha kecil tertuang
di dalam konsideran huruf a UU Merek 2016 yang berisikan
�bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan
Merek dan Indikasi Geografis
menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, perlindungan konsumen, serta pelindungan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah, dan industri dalam negeri;�.
Selanjutnya, untuk
melindungi merek, usaha kecil di Indonesia diminta untuk mendaftarkan
merek mereka. Ini dilakukan karena usaha kecil hanya
dapat menerima perlindungan merek setelah mendaftarkan merek mereka. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Biaya Registrasi
Merek usaha kecil yang Lebih Murah Dibandingkan
Merek Non-usaha kecil
Tidak mengherankan bahwa hanya ada
sedikit pendaftar merek UMKM. Pemerintah, melalui Dirjen KI, terus mendorong peningkatan pendaftaran merek dari industri
UMKM dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan
dengan pendaftar merek Non UMKM. Ini menunjukkan kepedulian pemerintah untuk meningkatkan bisnis UMKM dan menjaga kekayaan intelektual mereka.
Sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 UU No. 20 tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis, merek terdaftar dilindungi selama sepuluh (10) tahun dari tanggal
pendaftarannya. Jangka waktu dapat diperpanjang
dengan biaya selama sepuluh tahun. Meskipun demikian, pemilik merek harus mengajukan
perpanjangan 12 bulan sebelum masa berlaku merek tersebut berakhir. Masa berlaku merek akan diperpanjang
hanya jika pemilik masih menggunakan
merek tersebut dalam penjualan barang dan jasa.
Untuk membantu
usaha kecil dan menengah (UMKM) dalam pendaftaran merek, Dirjen KI menawarkan harga registrasi yang lebih murah untuk
UMKM dibandingkan dengan perusahaan umum. Perbandingan harga registrasi antara UMKM dan merek umum ditunjukkan
di sini. Ini mencakup biaya untuk permohonan
pendaftaran merek dan perlindungan merek kolektif terdaftar.
Pendaftaran Merek Kolektif Industri UMKM
Pelaku UMKM di Indonesia sering memperjual belikan barang atau jasa yang sama oleh beberapa pelaku UMKM lainnya. Oleh karena itu, UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mendefinisikan merek kolektif sebagai merek yang digunakan pada barang atau jasa
dengan sifat, ciri umum, dan kualitas yang sama dan yang diperdagangkan oleh beberapa entitas atau badan hukum secara kolektif.
Artikel 7 bis Paris Convention for the Protection of
Industrial Property Rights (1883/1967) mengatur merek kolektif. Negara anggota harus menerima
pendaftaran merek kolektif yang dimiliki oleh asosiasi yang eksistensinya tidak bertentangan dengan negara hukum asal, meskipun asosiasi tersebut tidak memiliki perusahaan komersial atau industri di negara tersebut. Setiap negara memutuskan apakah merek kolektif dilindungi atau ditolak pendaftarannya jika bertentangan dengan kepentingan umum.
Pasal 46 hingga 51 Undang Undang Nomor
20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis di
Indonesia mengatur merek kolektif. Tujuan penggunaan merek kolektif adalah untuk membuat
proses pendaftaran lebih mudah. Misalnya, jika sepuluh pengusaha
bekerja sama untuk membuat jenis
barang atau jasa tertentu, mereka harus mengajukan
permintaan pendaftaran untuk melindungi setiap jenis barang
atau jasa tersebut. Namun, karena semua barang
atau jasa yang dibuat dan dipasarkan memiliki karakteristik yang sama, hanya satu
merek dapat digunakan untuk semua jenis barang
atau jasa tersebut. Dengan demikian, pengusaha, terutama UMKM, dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga dengan memproses permintaan merek.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah kepada usaha kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia adalah
merek kolektif. Menurut bunyi pasal
1 angka 4, merek kolektif adalah merek yang digunakan oleh kelompok bisnis yang menjual barang dan jasa yang sama. Bisnis tidak perlu
mendaftarkan atau membangun merek sendiri; sebaliknya, ini dapat dilakukan
oleh berbagai individu atau badan usaha.
Di antaranya, elemen-elemen yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan merek di Indonesia diuraikan dan dibagi menjadi empat hal
berikut. Pertama, berhubungan dengan pendaftaran merek. Pemegang merek dapat mendaftarkan merek mereka di Kantor Merek,
yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Dengan pendaftaran
ini, Anda memiliki hak eksklusif untuk
menggunakan merek tersebut dalam perdagangan dan dasar hukum untuk menuntut
orang yang melanggar hak merek tersebut.
Kedua, Undang-Undang
Pelanggaran Merek Indonesia mengatur
pelanggaran merek dan memberikan hak kepada pemilik merek untuk melindungi
merek mereka dari penggunaan yang tidak sah atau
pemalsuan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 juga melindungi pemegang merek. Ketiga, hukum merek dikenakan
pada pemerintah dan lembaga
penegak hukum Indonesia. Pelanggaran merek dapat dihukum.
Keempat, Perlindungan
merek global tersedia.
Indonesia telah berpartisipasi
dalam beberapa perjanjian internasional yang mengatur hak merek,
salah satunya adalah Perjanjian TRIPS, yang diawasi
oleh Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO). Pemegang merek
Indonesia dapat melindungi merek mereka di pasar global dengan cara ini.
Dengan demikian, bukan hanya mendapatkan
perlindungan merek secara nasional, tetapi juga melindungi pemegang hak merek
dalam proses impor dan ekspor yang berkaitan dengan merek tersebut
dari penyalahgunaan dan pemalsuan merek.
Selain langkah-langkah yang telah diambil untuk
memastikan kualitas dan keamanan merek, ada beberapa masalah
yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap pemegang merek. Pertama, pemalsuan merek masih merupakan masalah yang signifikan di
Indonesia. Produk palsu dengan merek palsu
dapat merugikan pelanggan dan merusak reputasi merek.
Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten terkait dengan banyaknya pemalsuan merek. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum merek Indonesia seringkali tidak konsisten, terutama dalam kasus kecil. Ini dapat menyebabkan perlindungan merek menjadi kurang efektif. Selain itu, karena penegak hukum tidak memiliki
kepercayaan masyarakat terhadap mereka, penegak hukum kadang-kadang
melihat pelanggaran merek sebagai hal
kecil, terutama jika dilakukan oleh pegiat usaha kecil,
meskipun pelanggaran merek tersebut sangat merugikan bagi para pelaku usaha.
Kesadaran hukum
rendah. Banyak pelaku ekonomi kreatif, terutama usaha kecil dan menengah, tidak memahami sepenuhnya tentang perlindungan hukum merek. Selain itu, mereka menganggap pendaftaran merek membutuhkan banyak waktu dan uang, dan mereka kadang-kadang menyepelekan informasi yang terkait dengan merek tersebut.
Akibatnya, masih ada sedikit kesadaran
bagi para pelaku ekonomi kreatif dalam mendaftarkan merek mereka.
Pemalsuan (counterfeiting), pembajakan (piracy), dan pelecehan
merek merupakan masalah utama dalam
perlindungan merek. Industri ilegal yang sangat menguntungkan dikenal sebagai pemalsuan merek. Produk palsu
sering meniru merek dengan sangat tepat, sehingga sulit dibedakan dari produk asli.
Pelanggan yang membeli produk palsu ini
mungkin merasa mereka mendapatkan barang asli, tetapi
seringkali mereka menerima barang berkualitas rendah atau bahkan berbahaya.
Pemalsuan juga dapat merusak reputasi merek dan membuat konsumen tidak percaya pada produk asli. Penuntut pelaku pemalsuan sering beroperasi di luar yurisdiksi negara pemegang merek, sehingga penyitaan produk palsu dan penuntutan mereka dapat menjadi tugas
yang sulit.
Perdagangan elektronik,
juga dikenal sebagai
e-commerce, adalah sumber tantangan besar dalam melindungi merek. Perdagangan online yang berkembang pesat telah menciptakan platform baru bagi penjual
barang palsu. Pemasaran produk palsu secara online cepat dan efektif, dan seringkali sulit untuk mengidentifikasi pelakunya. Pemegang merek harus berusaha
keras untuk mengawasi dan melaporkan barang palsu yang dijual secara online; ini membutuhkan banyak usaha dan sumber daya.
Perlindungan hukum
terhadap merek dagang pegiat usaha
kecill dalam menghadapi trademark bullying merek
dagang pada platform e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada. Undang-undang ini mengakui dua sistem perlindungan: Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Sistem Konstitutif, sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang Merek No. 20 tahun
2016, memerlukan pendaftaran
merek dagang untuk perlindungan hukum. Sistem ini,
sering dikenal sebagai sistem first to file,
memastikan kepastian hukum dengan memberikan
pengakuan dan perlindungan hanya untuk merek
dagang terdaftar. Kegagalan untuk mendaftar berarti kurangnya pengakuan dan perlindungan hukum, menempatkan pemilik merek dagang, termasuk
usaha kecil, pada risiko pelanggaran.
Berdasarikan uraian
analisis diatas, implementasi perlindungan hukum bagi pemilik
merek dagang dan pegiat usaha kecil
dalam menghadapi perundungan merek dagang pada platform e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada. Undang-undang ini mengakui dua sistem perlindungan: Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Namun, penerapan Sistem Konstitutif menimbulkan tantangan, terutama bagi usaha kecil
dan menengah (UKM), karena memerlukan pendaftaran merek dagang untuk
perlindungan hukum. Sementara hukum memperlakukan semua pihak secara setara,
ia gagal mencapai keadilan, terutama untuk UKM, karena kesenjangan yang melekat dalam kekuatan
dan sumber daya ekonomi..
SIMPULAN
Implementasi perlindungan hukum bagi pemilik
merek dagang dan pegiat usaha kecil
yang menghadapi trademark bullying pada platform
e-commerce di Indonesia diatur oleh undang-undang dan peraturan kekayaan intelektual yang ada, termasuk Sistem
Konstitutif dan Sistem Deklaratif. Namun, penerapan Sistem Konstitutif menghadirkan tantangan bagi UKM karena memerlukan pendaftaran merek dagang untuk perlindungan hukum, membuat mereka rentan terhadap
intimidasi oleh perusahaan besar. Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 2 Ayat (3) UU Merek dan Indikasi Geografis bertujuan memberikan kepastian hukum dan melindungi hak pemilik merek, tetapi praktik trademark bullying
masih menjadi tantangan signifikan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan India memiliki undang-undang yang lebih tegas dalam melarang
penggunaan merek dagang yang membingungkan dan memberikan perlindungan hukum yang komprehensif. Untuk meningkatkan perlindungan di
Indonesia, diperlukan penegakan
hukum yang lebih konsisten dan dukungan khusus bagi usaha
kecil dalam mendaftarkan dan mempertahankan merek mereka, dengan
harapan regulasi dapat lebih eksplisit
dalam melindungi pegiat usaha kecil
dan mencegah praktik-praktik
merugikan, sehingga tercipta persaingan usaha yang lebih adil..
DAFTAR PUSTAKA
Arliman. S, L. (2019). MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM
YANG BAIK DI NEGARA HUKUM INDONESIA. Dialogia
Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 1�20. https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1831
Asmara, A., Rahayu, S. W.,
& Bintang, S. (2019). Studi Kasus Penerapan Prinsip Pendaftaran First To File Pada Pembatalan Merek Cap
Mawar. Syiah Kuala Law Journal, 3(2), 184�201. https://doi.org/10.24815/sklj.v3i2.11899
Darwance, D., Yokotani, Y., & Anggita, W. (2021). Politik
Hukum Kewenangan Pemerintah
Daerah dalam Pengaturan
Hak Kekayaan Intelektual. Journal
of Political Issues, 2(2), 124�134. https://doi.org/10.33019/jpi.v2i2.40
Darwance, D., Yokotani Yokotani,
& Wenni Anggita.
(2020). Dasar-Dasar Pemikiran Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual. PROGRESIF:
Jurnal Hukum, 14(2), 193�208.
Fatmasari, E. D. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP DATA PRIBADI PENGGUNA LAYANAN PINJAMAN ONLINE. Jaksa :
Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Politik,
1(4), 90�99. https://doi.org/10.51903/jaksa.v1i4.1405
Grinvald, L. C. (2023). Revisiting the viability
of shaming trademark bullies*. In Research Handbook on the Law and
Economics of Trademark Law (pp. 140�152). Edward Elgar Publishing. https://doi.org/10.4337/9781786430472.00015
Indrawati, S., & Prasetyo,
W. T. (2023). Perlindungan Hukum Produk
Usaha Kecil melalui Pendaftaran
Merek (Studi Produk Usaha Kecil di Kecamatan Purworejo). Amnesti: Jurnal Hukum, 5(1), 151�159.
https://doi.org/10.37729/amnesti.v5i1.4174
La, Quynh. (2021). ully No More: Why Trademark Owners Engage in Trademark
Overreach and How to Prevent It. Wash. L. Rev, 96.
Mayana, R. F., & Tisni Santika. (2021). ukum
merek: perkembangan aktual pelindungan merek dalam konteks
ekonomi kreatif di era disrupsi digital.
Permata, R. R., Ramli, T. S.,
& Priowirjanto, E. S. (2022). Identifying,
Preventing and Overcoming Trademark Bullying in Indonesia. Journal of
Intellectual Property Rights, 27(6). https://doi.org/10.56042/jipr.v27i6.57066
Rohimah, R. (2021). KNOWLEDGE-BASED ECONOMY AS
HUMAN CAPITAL INVESTMENT TO DRIVE THE NATION�S ECONOMIC GROWTH. Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 4(1),
29�46. https://doi.org/10.34005/tahdzib.v4i1.1303
Satyahadi, D., & Disemadi,
H. S. (2023). PERLINDUNGAN MEREK PRODUK UMKM: KONSTRUKSI HUKUM & PERAN
PEMERINTAH. Jurnal Yustisiabel, 7(1),
65. https://doi.org/10.32529/yustisiabel.v7i1.2137
|
|