Strategi Multiplikasi Kepemimpinan Transformasional untuk Menjangkau Generasi Z pada Era Disrupsi Digital Pasca Covid-19 di Indonesia

 

Multiplication Transformational Leadership Strategy to Reach Generation Z in the Post-Covid-19 Era of Digital Disruption in Indonesia

 

1)* Timothy Nathaniel Halim, 2)Nicodemus Widiutomo, 3)Jessica Martha, 4)Tumpahan Manik, 5)Rocky Nagoya, 6) Manlian Ronald A. Simanjuntak

1,2 Sekolah Tinggi Teologi Internasional Harvest. 3Universitas Katolik Parahyangan, 4Sekolah Tinggi Teologi LETS, 5Sekolah Tinggi Teologi Soteria, 6Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

 

*Email: 1) [email protected] 2) [email protected] 3) [email protected] 4)[email protected] 5)[email protected] 6)[email protected]

*Correspondence: 1) Timothy Nathaniel Halim

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i1.1338

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Dalam era disrupsi digital pasca Covid-19 di Indonesia, gereja dihadapkan dengan tantangan baru dalam menjangkau Generasi Z (Gen-Z). Di satu sisi, disrupsi digital mendukung adanya strategi penjangkauan yang lebih fleksibel dan adaptif sehingga memudahkan gereja membangun interaksi dengan Gen-Z. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa disrupsi digital dapat berpengaruh negatif terhadap upaya penjangkauan Gen-Z. Disrupsi digital dinilai dapat menghambat upaya gereja dalam menjangkau Gen-Z. Oleh karena itu, tulisan ini� mengidentifikasi strategi yang tepat untuk menjangkau Gen-Z pada era disrupsi digital pasca Covid-19 di Indonesia. Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, khususnya studi kasus terhadap literatur terkait. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menyimpulkan strategi multiplikasi pemimpin transformasional gereja dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk menjangkau Gen-Z. Pemimpin transformasional gereja memiliki peran penting dalam menginspirasi, membimbing, dan memotivasi Gen-Z untuk mempraktikkan nilai-nilai iman di tengah era disrupsi digital. Lima strategi yang bisa dilakukan, antara lain menciptakan budaya kepemimpinan yang kolaboratif dan penuh inspirasi, mengidentifikasi dan menggali potensi pemimpin muda, pengembangan dan pelatihan melalui pendekatan modern, pemberdayaan melalui praktik nyata, dan menyediakan sistem pendukung yang kuat.

 

Kata kunci: Pemimpin Transformasional, Gereja, Generasi Z, Disrupsi Digital, Indonesia

 

ABSTRACT

In the post-Covid-19 digital disruption era in Indonesia, the church faces new challenges in reaching Generation Z (Gen-Z). On one hand, digital disruption supports more flexible and adaptive outreach strategies, making it easier for churches to build interactions with Gen-Z. However, some studies indicate that digital disruption can negatively affect efforts to reach Gen-Z. Digital disruption is considered to hinder the church's efforts in reaching out to Gen-Z. Therefore, this article identifies appropriate strategies to reach Gen-Z in the post-Covid-19 digital disruption era in Indonesia. The authors employ qualitative research method, particularly case studies of relevant literature. Based on their research, the authors have come to the conclusion that the multiplication strategy of transformational church leaders can be an effective approach to reach Gen-Z. Transformational leaders in churches are instrumental in motivating and inspiring, guiding, and motivating Gen-Z to practice faith values amidst the digital disruption era. Five strategies that can be implemented include creating a collaborative and inspirational leadership culture, identifying and tapping into the potential of young leaders, development and training through modern approaches, empowerment through real-life practices, and providing a strong support system

 

Keywords: Transformational Leaders, Church, Generation Z, Digital Disruption, Indonesia

 

 


PENDAHULUAN

Era disrupsi digital yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 telah membawa perubahan signifikan terhadap struktur dan interaksi sosial di Indonesia, termasuk dalam konteks keagamaan. Dampak pandemi ini terasa luas, mempengaruhi cara organisasi dan institusi beroperasi, khususnya dalam lingkup kegiatan keagamaan. Dalam lingkungan gereja, perubahan ini menjadi sangat relevan, memaksa pemimpin gereja untuk memikirkan kembali strategi interaksi dan pengelolaan komunitas mereka. Tantangan kesehatan global yang ditimbulkan oleh Covid-19 tidak hanya mengubah dinamika sosial tetapi juga mempercepat adopsi teknologi digital, memungkinkan gereja untuk menjaga keterkaitan dengan jemaatnya melalui sarana digital. Ini termasuk pemanfaatan platform online untuk ibadah, pertemuan komunitas, dan kegiatan keagamaan lainnya, yang menunjukkan transisi ke model kepemimpinan yang lebih fleksibel dan adaptif.

Perubahan ini menuntut pemimpin gereja untuk mengembangkan pendekatan baru dalam kepemimpinan dan komunikasi, terutama dalam menjangkau Generasi Z (Gen-Z) yang merupakan digital native. Generasi ini memiliki karakteristik unik dan preferensi komunikasi yang berbeda, memerlukan metode pendekatan yang inovatif dan relevan secara digital. Dalam konteks ini, tantangan yang dihadapi tidak hanya terkait dengan bagaimana mengadaptasi teknologi digital dalam praktik keagamaan, tetapi juga bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan cara yang resonan dengan Gen-Z. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar tentang keefektifan model kepemimpinan yang ada dan memperlihatkan perlunya strategi baru untuk pengembangan dan multiplikasi pemimpin yang adaptif. Kepemimpinan di era digital tidak hanya menuntut pemahaman teknis tentang alat-alat digital, tetapi juga kemampuan untuk memimpin dengan empati dan kepekaan terhadap kebutuhan spiritual yang dinamis dalam masyarakat yang terus berubah.

Gultom menjelaskan bahwa kepemimpinan gembala jemaat yang �kekinian� sangat diperlukan untuk menjangkau Gen-Z. Pemimpin gereja memiliki tugas penting sebagai pembentuk motivasi dan konsistensi generasi digital. Oleh karena itu, pemimpin gereja perlu memiliki karakteristik �penerobos dalam ruang hybrid� untuk mengantisipasi pola digitalisasi yang cepat, virtual, dan fleksibel. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan pemimpin gereja untuk menjangkau Gen-Z, antara lain bertindak sebagai mentor dan pelatih yang peka dengan kehidupan rohani Gen-Z, sahabat yang menunjukkan kasih dan dapat dipercaya, serta pembimbing yang memberikan tuntunan sehingga Gen-Z menjadi berhasil. Pemimpin gereja pun perlu memastikan tiap Gen-Z memiliki hati melayani dan terbeban membangun gereja Tuhan (Gultom, 2023).

Lizardo dkk mengungkapkan bahwa kepemimpinan transformasional dibutuhkan untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin baru di generasi muda. Beberapa langkah yang dapat dilakukan pemimpin gereja untuk mempersiapkan para pemimpin baru di kalangan Gen-Z, antara lain membentuk kerangka kerja yang jelas, menghargai peran dan kewenangan masing-masing, serta membangun komunikasi secara terbuka. Selain itu, pemimpin gereja pun perlu menetapkan visi, misi, dan tujuan bersama-sama. Pemimpin gereja pun harus memastikan bahwa para Gen-Z di gerejanya benar-benar memahami visi, misi, dan tujuan tersebut. Para pemimpin gereja juga diharapkan dapat mengembangkan budaya kerja kolaboratif antara pemimpin dan anggota di gereja (Lizardo et al., 2024).

Sementara itu, Wijaya dkk mengungkapkan bahwa upaya gereja menjangkau Gen-Z membutuhkan strategi komunikasi kepemimpinan yang tepat. Salah satu strategi yang ditawarkan oleh Wijaya dkk adalah penyampaian pesan yang bersifat persuasif dalam menjangkau dan mencetak para pemimpin baru di kalangan Gen-Z. Strategi komunikasi persuasif dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pre-coaching, coaching, dan post-coaching. Dengan penerapan strategi komunikasi persuasif, para pemimpin gereja dapat membangun kedekatan dan keterbukaan dengan Gen-Z sehingga nantinya mereka menjadi pemimpin-pemimpin yang terbeban untuk menjangkau generasinya (Wijaya et al., 2023).

Berdasarkan literatur yang ada, penulis berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional relevan dalam menjangkau Gen-Z, khususnya dalam era disrupsi digital pasca Covid-19. Model kepemimpinan transformasional cocok dengan karakteristik Gen-Z karena menawarkan pendekatan yang berorientasi untuk membangun hubungan, memberdayakan, memberikan inspirasi, dan mengembangkan potensi Gen-Z. Melalui model kepemimpinan transformasional, pemimpin gereja mampu menginspirasi dan memotivasi Gen-Z untuk berkontribusi aktif dalam menjangkau generasinya. Selain itu, penulis juga meyakini bahwa model kepemimpinan transformasional dapat membantu gereja dalam menghadapi tantangan dan peluang yang muncul akibat disrupsi digital. Praktik model kepemimpinan transformasional akan membuat gereja lebih responsif dan inovatif dalam menghadapi perubahan

 

METODE

Tim peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang model kepemimpinan transformasional dalam menjangkau Gen-Z pada era disrupsi digital pasca Covid-19 di Indonesia. Creswell berpendapat bahwa penelitian kualitatif bergantung pada data yang diperoleh dari objek atau partisipan dalam cakupan yang luas. Metode ini memanfaatkan pertanyaan umum, mengumpulkan data yang terutama berupa kata-kata atau teks dari peserta, dan kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data tersebut dengan pendekatan yang subjektif (Creswell & Creswell, 2017).

Secara khusus, penulis menggunakan pendekatan studi kasus, yaitu pendekatan yang digunakan untuk penyusunan analisis secara mendalam terkait isu spesifik dengan berbagai metode pengumpulan data dalam rentang waktu tertentu.� Studi kasus yang dibahas dalam penelitian ini adalah model kepemimpinan transformasional gereja dalam menjangkau Gen-Z di era disrupsi digital pasca Covid-19 di Indonesia. Kemudian, penelitian ini difokuskan pada Gen-Z sebagai salah satu kelompok umur mayoritas di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kajian/studi literatur. Kajian literatur dipusatkan pada data sekunder, antara lain jurnal, buku, dan artikel berita yang diakses melalui internet.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Disrupsi Digital Pasca Covid-19 di Indonesia

Secara harfiah, disrupsi menggambarkan adanya fenomena perubahan atau lonjakan besar yang keluar dari pola sebelumnya sehingga menyebabkan perubahan dalam susunan/tatanan tertentu. Salah satu penyebab utama munculnya disrupsi adalah perkembangan teknologi digital yang terjadi dengan sangat pesat dan meluas ke seluruh penjuru dunia. Secara khusus, penyebab munculnya disrupsi digital adalah sebagai berikut. Pertama, perkembangan teknologi digital revolusi 4.0 dan kemunculan jaringan internet sehingga penggunanya dengan mudah mendapatkan berbagai informasi real-time dan tidak terbatas. Kedua, pebisnis model baru yang memiliki pengetahuan teknologi sehingga membawa perubahan besar pada operasional pasar. Ketiga, perilaku masyarakat yang semakin dimudahkan dengan adanya teknologi digital (Jabat & Pasaribu, 2023).

Disrupsi digital dapat dianalogikan seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi, disrupsi digital membawa dampak baik berupa kemudahan bagi manusia. Di sisi lain, disrupsi digital ini akan membawa dampak buruk tidak diantisipasi dengan baik. Pandemi Covid-19 juga telah mempercepat adopsi teknologi digital di Indonesia. Akibat pembatasan fisik, masyarakat terpaksa mengandalkan solusi digital dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja secara daring, bekerja di rumah, hingga pendidikan jarak jauh. Perusahaan-perusahaan di Indonesia juga terpaksa beradaptasi dengan perubahan ini, dengan mempercepat transformasi digital mereka untuk tetap bersaing di pasar yang semakin kompetitif (Wyatt-Smith et al., n.d.).

Salah satu dampak terbesar dari disrupsi digital pasca Covid-19 adalah perubahan dalam pola konsumsi dan perilaku konsumen. Masyarakat Indonesia pun beralih ke pembelian secara daring untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang signifikan dalam sektor e-commerce. Selain itu, konsumen juga semakin mengutamakan produk dan layanan yang memprioritaskan kenyamanan dan keamanan, baik dalam konteks pembayaran digital maupun pengiriman barang. Industri-industri di Indonesia juga mengalami transformasi besar-besaran dalam era pasca Covid-19. Industri tradisional seperti perbankan, ritel, dan pendidikan telah terpaksa mengadopsi teknologi digital untuk tetap relevan dan bersaing. Di sisi lain, sektor-sektor baru seperti telemedicine, edtech, dan fintech telah muncul dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat (de Pablos, n.d.).

 

Perkembangan Gen-Z dalam era Disrupsi Digital Pasca Covid-19 di Indonesia

Gen-Z merujuk pada kelompok generasi yang lahir pada tahun 1997-2012. Mereka berkembang dalam masa ketika teknologi, internet, dan media sosial menjadi elemen penting dalam keseharian. Menurut Forbes, Gen-Z telah mencakup sepertiga populasi dunia. Jika jumlah penduduk dunia mencapai 7,4 miliar di tahun 2022, maka 2,56 miliar diantaranya termasuk dalam Gen-Z. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah Gen-Z telah mencapai 74,93 juta individu (27,94% dari total populasi penduduk Indonesia). Bahkan jika dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, Gen-Z mendominasi jumlah total penduduk di Indonesia. Artinya, Gen-Z dapat memiliki dampak signifikan terhadap dinamika sosial, budaya, dan ekonomi di Indonesia.

Menurut Francis dan Hoefel, terdapat empat karakteristik Gen-Z, antara lain sebagai berikut. Pertama, Gen-Z sering disebut sebagai identity nomads karena cenderung menguji hingga mengevaluasi berbagai cara untuk mengekspresikan dan membentuk identitas pribadi. Mereka menunjukkan keterbukaan dan ketertarikan terhadap isu-isu identitas, seperti ras, etnis, hingga hak asasi manusia. Mereka juga menerima perbedaan agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, karakteristik kedua yang Gen-Z miliki adalah inklusivitas. Mereka tidak membedakan antara pertemanan dalam dunia digital dan fisik, percaya bahwa kelompok dibentuk berdasarkan alasan/kepentingan tertentu, bukan karena latar belakang ekonomi, pendidikan, atau lainnya. Ketiga, Gen-Z menghargai dialog, mempraktikkan toleransi, dan mau menerima perbedaan. Mereka mau berinteraksi dengan kelompok yang memiliki nilai/keyakinan berbeda dengan tujuan mendapatkan pemahaman. Karakteristik terakhir, Gen-Z memiliki dorongan besar untuk mencari kebenaran. Mereka menikmati kemandirian dalam proses belajar dan pencarian kebenaran sehingga nantinya mereka dapat mengambil kendali atas keputusan yang dibuatnya (Francis & Hoefel, 2018).

Berdasarkan empat karakteristik tersebut, Gen-Z dapat diidentifikasi sebagai kelompok usia yang fleksibel, terbuka, toleran, dan berorientasi pada pencarian kebenaran. Mereka juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan tantangan di dunia modern.

Keempat karakteristik tersebut pun memiliki kaitan erat dengan disrupsi digital. Pertama, Gen-Z memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi sehingga mereka lebih siap menghadapi perkembangan teknologi baru dan platform digital yang terus berkembang. Kedua, Gen-Z lebih mudah menerima inovasi baru dalam dunia digital. Hal ini dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi. Ketiga, Gen-Z yang berorientasi terhadap pencarian kebenaran akan cenderung lebih kritis terhadap informasi yang mereka temukan dalam platform digital dan media sosial. Mereka juga lebih mahir dalam menyaring informasi untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam tentang masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat. Dengan demikian, karakteristik Gen-Z memberikan kontribusi signifikan dalam cara mereka merespons disrupsi digital. Kemampuan adaptasi, keterbukaan, dan orientasi terhadap pencarian kebenaran membantu mereka untuk menjadi bagian dari perkembangan digital yang cepat.

 

Pemimpin Transformasional Gereja

Istilah �pemimpin gereja� diterjemahkan dari kata asli dalam Bahasa Yunani Perjanjian Baru, ἐπίσκοπος (ep�skopos), yang dapat berarti penilik jemaat atau seseorang yang bertugas untuk mengawasi orang lain dalam suatu gereja (Friberg, 2005). Penilik jemaat juga dapat diartikan sebagai manajer atas rumah Allah atau gereja lokal (Manala, 2010). Istilah tersebut, sebagai contoh, digunakan oleh Paulus saat menulis surat kepada semua jemaat dan para pemimpinnya di Filipi (Filipi 1:1).

Setidaknya ada enam komponen yang mendasari kepemimpinan atas suatu gereja, yaitu pengajaran, kepedulian, keteladanan, doa, visi, dan penginjilan. Pertama, pemimpin gereja wajib memahami Alkitab agar dapat memberikan pengajaran yang benar mengenai firman Tuhan kepada jemaat. Pengajaran tersebut perlu disampaikan dengan cara yang memungkinkan jemaat untuk dapat mengerti dan mengaplikasikan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari (Osborne, 2010). Kedua, pemimpin gereja harus memiliki kepedulian yang tulus terhadap kehidupan jemaat dan tidak mementingkan diri sendiri (Laniak, 2015). Ketiga, pemimpin gereja perlu memberikan keteladanan hidup kudus (sesuai dengan firman Tuhan) kepada jemaat dalam hal perkataan dan perbuatan (Goodrich, 2013). Keempat, pemimpin gereja wajib mempunyai komitmen waktu berdoa untuk membangun hubungan yang intim dengan Tuhan, sebagai sumber hikmat yang dapat membimbing pemimpin gereja untuk memimpin jemaat dengan baik sesuai dengan kehendak Tuhan (Spurgeon, 1893). Kelima, pemimpin gereja diharapkan menjadi seorang visioner yang mampu menginspirasi atau memotivasi jemaat untuk mencapai tujuan bersama yaitu memuliakan nama Tuhan dan memperluas Kerajaan-Nya di dunia (Tilstra, 2010). Keenam, untuk mencapai tujuan tersebut, pemimpin gereja harus memperlengkapi jemaat dengan baik agar dapat melaksanakan misi penginjilan sesuai dengan Amanat Agung (Liefeld, 2011).

Berkaitan dengan enam komponen dasar kepemimpinan gereja yang telah dibahas sebelumnya, dibutuhkan pemimpin gereja yang transformasional, yang tidak hanya mampu memimpin gereja atau jemaat dengan efektif, namun juga mampu membawa perubahan dalam kehidupan jemaat sehingga jemaat dapat hidup sesuai dengan kehendak dan visi dari Tuhan serta dapat menjalankan Amanat Agung (Gregory, 2019). Pemimpin transformasional gereja dikenal memiliki empat karakteristik utama yang menonjol. Pertama, mereka memiliki pengaruh ideal atau idealized influence, yang berarti mereka menjadi panutan yang kuat dan inspiratif bagi pengikutnya. Kedua, mereka menunjukkan motivasi inspirasional atau inspirational motivation, memotivasi komunitas mereka dengan visi yang menarik dan semangat yang tak tergoyahkan. Ketiga, mereka mengutamakan stimulasi intelektual atau intellectual stimulation, mendorong kreativitas dan inovasi melalui pemikiran yang terbuka. Terakhir, mereka menerapkan perhatian individual atau individualized consideration, memperhatikan setiap individu dengan memahami kebutuhan dan potensinya secara mendalam (Gregory, 2019). Dengan empat ciri utama tersebut, pemimpin transformasional diharapkan mampu memimpin gereja dalam melakukan misi penginjilan atau penjangkauan dan pemuridan kepada berbagai kalangan termasuk Gen-Z dengan cara yang relevan sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun empat ciri utama dari pemimpin transformasional gereja adalah sebagai berikut.

Ciri pertama, idealized influence, ditunjukkan dari faktor karisma yang dimiliki oleh pemimpin gereja, yang membuat para jemaat yang dipimpinnya menjadi tertarik dan hormat kepadanya. Karisma tersebut terlihat dari karakter yang ditunjukkan oleh pemimpin (Fryar, 2007). Dengan kata lain, pemimpin dapat menjadi teladan yang baik bagi jemaatnya. Keteladanan dari pemimpin dapat menimbulkan rasa percaya dan komitmen yang kuat dari para jemaat untuk mencapai visi bersama berdasarkan firman Tuhan dan untuk melaksanakan Amanat Agung.

Ciri kedua, inspirational motivation, dinyatakan melalui kemampuan pemimpin gereja dalam memberikan inspirasi kepada para jemaat untuk memiliki visi yang jauh lebih besar daripada sekedar visi atau kepentingan pribadi jemaat masing-masing (Fryar, 2007). Visi besar tersebut akan memberikan makna pada kehidupan para jemaat sebagai pengikut Kristus yang dipanggil untuk melayani orang lain, dan akan memotivasi mereka untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki agar dapat menghasilkan dampak positif bagi banyak orang.

Ciri ketiga, intellectual stimulation, dibuktikan dengan kemampuan pemimpin gereja dalam mendorong pemikiran kreatif dan ide inovatif yang dapat memperluas pendekatan atau cara untuk melakukan misi penginjilan (Gregory, 2019). Sebagai contoh, penginjilan dapat dilakukan dengan memanfaatkan media sosial atau teknologi lain yang berkembang di Indonesia pada era disrupsi digital pasca Covid-19. Selain itu, intellectual stimulation juga dapat ditunjukkan melalui pendekatan yang diambil pemimpin gereja dalam memberikan pengajaran kepada jemaat. Dalam pengajarannya, pemimpin transformasional membantu jemaat untuk tidak hanya tahu kebenaran firman, tetapi juga memahami aplikasi firman pada kehidupan jemaat sehari-hari.

Ciri keempat, individualized consideration, diperlihatkan dari kasih dan kepedulian pemimpin gereja terhadap kebutuhan individu setiap jemaat. Pemimpin gereja tidak hanya menjadi pendengar yang baik bagi para jemaat, namun juga bertindak sebagai konselor untuk membantu mereka mencari solusi dalam memenuhi kebutuhan hidup termasuk kebutuhan dalam hal fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual. Kasih yang ditunjukkan kepada jemaat membantu pemimpin gereja untuk secara efektif membawa transformasi dalam hidup mereka.

Empat ciri utama yang telah dibahas sebelumnya, membuat pemimpin transformasional dapat diterima oleh berbagai kalangan termasuk Gen-Z. Hal ini karena seorang pemimpin transformasional memimpin sebagai teladan yang dapat dipercaya oleh anggotanya. Ia mampu memotivasi anggotanya untuk memaksimalkan potensi agar dapat menjadi berkat bagi orang lain. Ia menghargai ide-ide kreatif para anggotanya, dan memimpin mereka dengan dasar kasih.

 

Multiplikasi Pemimpin Transformasional Gereja

Kepemimpinan transformasional dalam konteks gereja memang melampaui tugas tradisional, seperti memimpin upacara keagamaan. Ini berkaitan dengan penciptaan perubahan yang positif dan berkelanjutan dalam kehidupan anggota komunitas serta lingkungan di sekitarnya. Pemimpin transformasional, dengan kemampuan mereka untuk memperluas jangkauan gereja dan memberikan dampak yang lebih signifikan, menunjukkan pentingnya visi, inspirasi, dan motivasi dalam mendorong perubahan. Mereka menekankan pertumbuhan spiritual dan keterlibatan komunitas dalam aktivitas gereja, mendukung inovasi dan menantang status quo untuk menumbuhkan lingkungan yang memungkinkan anggota komunitas meraih potensi penuhnya, baik secara individual maupun kolektif. Melalui pendekatan kepemimpinan transformasional, gereja tidak hanya menjadi tempat beribadah tetapi juga pusat pertumbuhan, pembelajaran, dan aksi sosial yang mendorong anggota komunitasnya untuk menjadi agen perubahan positif di dalam dan di luar dinding gereja (Murrell & Murrell, 2016).

Dalam menciptakan pemimpin transformasional untuk gereja, langkah awal yang krusial adalah mengenali individu-individu dengan kemampuan dan potensi kepemimpinan yang bisa membawa perubahan signifikan. Ini mencakup mencari mereka yang tidak hanya unggul dalam organisasi tetapi juga memiliki dedikasi untuk melayani dan visi yang jelas dalam menciptakan dampak positif. Pemimpin transformasional seringkali ditemukan melalui keterlibatan dalam berbagai kegiatan gereja, seperti pelayanan, grup kecil, atau proyek sosial, menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional seringkali berakar dari pelayanan (Murrell & Murrell, 2016).

Proses pengenalan ini tidak hanya tentang menemukan bakat tersembunyi, tetapi juga tentang menginspirasi dan memupuk semangat untuk melayani dalam hati setiap individu. Seperti yang diungkapkan oleh Steve Murrell dalam The Multiplication Challenge, pentingnya melayani sebagai landasan kepemimpinan merupakan suatu nilai yang tidak terpisahkan dari pengembangan kepemimpinan itu sendiri, menunjukkan bagaimana sikap melayani dapat membentuk dasar yang kuat untuk kepemimpinan yang efektif (Murrell & Murrell, 2016). Melalui partisipasi aktif dalam kegiatan komunitas dan gereja, potensi pemimpin bisa dikenali berdasarkan dedikasi, empati, dan kemauan mereka untuk berkontribusi lebih jauh. Dengan demikian, gereja tidak hanya memperkaya basis pemimpinnya tetapi juga menanamkan nilai-nilai inti yang memfasilitasi pertumbuhan kepemimpinan transformasional.

Setelah mengidentifikasi individu dengan potensi kepemimpinan, fase pengembangan menjadi kunci untuk mengasah kemampuan mereka menjadi pemimpin yang efektif. Proses ini melibatkan serangkaian pelatihan yang dirancang untuk memperdalam pemahaman mereka tentang nilai-nilai inti gereja, teologi dasar, serta mengembangkan keterampilan praktis esensial seperti kepemimpinan situasional, komunikasi yang efektif, dan teknik manajemen konflik. Workshop kepemimpinan dan sesi mentoring dengan pemimpin yang sudah berpengalaman menjadi platform berharga, memberikan wawasan praktis dan peluang untuk belajar dari kasus nyata. Maxwell menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang menghargai dan memperkuat produktivitas sebagai bagian dari pengembangan pemimpin, memastikan bahwa penghargaan diberikan kepada mereka yang produktif, yang pada gilirannya akan merasa diberdayakan (Maxwell, 2020). Melalui interaksi ini, calon pemimpin dapat mengeksplorasi berbagai aspek kepemimpinan dan memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ini dalam konteks gerejawi mereka.

Pentingnya pembinaan ini tidak hanya terletak pada transfer pengetahuan atau keterampilan, tetapi juga dalam pembentukan karakter dan kebijaksanaan yang diperlukan untuk memimpin dengan integritas. Menyadari kompleksitas yang seringkali menyertai peran kepemimpinan dalam lingkungan gereja, program pengembangan ini dirancang untuk menantang dan mendukung calon pemimpin dalam perjalanan pribadi mereka untuk menjadi pemimpin yang dapat menginspirasi dan memobilisasi orang lain menuju tujuan yang lebih tinggi. Dengan fokus pada pengembangan holistik ini, gereja berinvestasi dalam menciptakan generasi pemimpin yang tidak hanya kompeten dalam hal teknis tetapi juga kaya akan kearifan dan kepekaan rohani. Memahami bahwa "kepemimpinan lebih banyak ditangkap daripada diajarkan" menekankan pentingnya contoh dan mentorship dalam proses ini (Maxwell, 2020).

Membangun budaya pelayanan dan kepemimpinan yang kuat dalam gereja menuntut lebih dari sekadar verbalisasi nilai-nilai; ia memerlukan demonstrasi dan praktik konstan dari nilai-nilai tersebut dalam setiap aspek kehidupan gerejawi. Ini mencakup dari cara pengajaran dan ibadah, hingga kegiatan sosial dan layanan komunitas, di mana kerendahan hati, empati, dan pelayanan bukan hanya diajarkan tapi juga dihidupi oleh setiap anggota. Melalui pendekatan ini, gereja tidak hanya menjadi rumah bagi iman yang kuat, tapi juga untuk pertumbuhan pribadi dan komunal yang berkesinambungan. Keberhasilan ini didukung oleh pemahaman bahwa "setiap orang yang ingin belajar kepemimpinan harus memimpin" dan bahwa "memimpin bukanlah latihan teoretis" (Maxwell, 2020).

Untuk memperkuat budaya ini, gereja perlu menawarkan pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada pengembangan keterampilan interpersonal, pengambilan keputusan berbasis nilai, dan manajemen konflik, yang semuanya penting dalam kepemimpinan transformasional. Menurut Steve dan William Murrell dalam The Multiplication Challenge, inti dari kepemimpinan adalah kerendahan hati dan pelayanan, menggarisbawahi pentingnya menempatkan kebutuhan orang lain di atas kepentingan pribadi (Murrell & Murrell, 2016). Dengan memberikan anggota alat, pengetahuan, dan kepercayaan untuk memimpin, gereja memfasilitasi lingkungan di mana pelayanan dan kepemimpinan menjadi respons alami terhadap panggilan iman, memungkinkan komunitas untuk berkembang secara dinamis seiring dengan meningkatnya jumlah pemimpin yang siap dan mampu untuk melayani.

Pemimpin yang telah melalui proses pengembangan membutuhkan arena untuk menerapkan pembelajaran mereka, yang terbaik dilakukan melalui tindakan nyata dalam masyarakat. Proyek-proyek layanan komunitas atau kepemimpinan dalam kelompok-kelompok kecil menawarkan kesempatan sempurna untuk ini, memungkinkan mereka untuk mempraktikkan keterampilan kepemimpinan dan pengambilan keputusan dalam situasi kehidupan nyata. Kesempatan seperti ini tidak hanya memperkuat keterampilan dan kepercayaan diri mereka tetapi juga memberikan kesempatan untuk membuat perbedaan yang berarti. Dengan setiap tantangan yang diatasi dan setiap keberhasilan yang dicapai, pemimpin ini semakin memperdalam komitmen mereka terhadap pelayanan dan memperkuat kemampuan mereka untuk menginspirasi hingga memotivasi banyak orang. Inisiatif-inisiatif ini menjadi bukti nyata dari teori yang dipelajari, mengkonfirmasi keefektifan pengajaran dan pentingnya aplikasi praktis dalam pengembangan kepemimpinan yang autentik dan berdampak.

Dalam pembentukan pemimpin, evaluasi dan refleksi yang rutin menjadi kunci untuk pembelajaran dan pertumbuhan yang berkesinambungan. Proses ini mengharuskan para pemimpin dan mentor untuk secara teratur mengevaluasi kemajuan, sambil mengidentifikasi peluang untuk perbaikan dan pengembangan keahlian lebih lanjut. Pengakuan atas pencapaian memotivasi dan memperkuat komitmen, sedangkan umpan balik konstruktif dari komunitas memastikan inisiatif kepemimpinan tetap relevan dan bermanfaat bagi kebutuhan komunal. Dialog terbuka antara pemimpin, mentor, dan anggota komunitas membantu menciptakan lingkungan yang dinamis dan adaptif, di mana kepemimpinan bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan tantangan yang dihadapi (Maxwell, 2020).

Mengembangkan pemimpin transformasional di gereja bukan hanya tugas para pemimpin saat ini, melainkan tanggung jawab bersama yang melibatkan seluruh anggota komunitas. Ini memerlukan pemahaman bahwa kepemimpinan bukan hanya posisi, tetapi perjalanan untuk terus bertumbuh dan memberi dampak (Murrell & Murrell, 2016). Melalui komitmen bersama, gereja dapat menjadi lingkungan yang subur untuk pengembangan pemimpin yang tidak hanya menginspirasi perubahan spiritual tetapi juga mendorong aksi nyata yang berdampak pada komunitas dan dunia sekitar.

Dalam proses ini, sangat penting untuk menerapkan prinsip-prinsip pembinaan, pelatihan, dan pemberdayaan yang memungkinkan setiap anggota merasa diberdayakan untuk mengambil peran kepemimpinan. Hal ini menciptakan budaya di mana multiplikasi pemimpin dianggap sebagai bagian integral dari misi gereja, memastikan bahwa visi untuk transformasi tidak hanya dipegang oleh sedikit orang tetapi dibagi dan dipertanggungjawabkan oleh banyak pemimpin yang terus bertambah. Melalui kerjasama ini, gereja dapat memastikan kelanjutan dan pertumbuhan kepemimpinan transformasional yang berkelanjutan (Murrell & Murrell, 2016).

Gereja tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi atau sebagai tempat untuk menarik perhatian orang, memberikan pelayanan sosial, atau sekadar mempromosikan kebersamaan. Lebih dari itu, gereja dipanggil untuk secara aktif terlibat dalam proses pembentukan murid-murid yang matang. Mereka menegaskan pentingnya sebuah model pembinaan yang berakar pada hubungan personal yang mengalir dari kasih yang menjadi landasan utamanya. Untuk mencapai transformasi ini, lima rekomendasi perubahan utama diajukan, termasuk penanganan potensi konflik yang mungkin timbul, penekanan pada pembentukan murid-murid yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan, serta pengadopsian model hubungan yang ditunjukkan Yesus dalam pelayanan-Nya.

Dengan demikian, mereka yakin bahwa gereja yang mempraktikkan perubahan ini akan mampu lebih efektif dalam memenuhi panggilannya untuk membentuk murid-murid yang mampu membangun dan membimbing generasi berikutnya, dan akhirnya menciptakan dampak yang signifikan dalam masyarakat. Melalui fokus ini, gereja tidak berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tetapi juga menjadi pusat pembinaan iman yang kuat dan pendorong perubahan yang positif di dalam dan di luar lingkungan gereja itu sendiri (Putman & Harrington, 2013).

Gereja yang berkembang pesat memiliki budaya unik yang menjadi landasan kokoh bagi perkembangannya. Budaya ini bukan sekadar kebiasaan atau tradisi, melainkan cerminan dari nilai-nilai inti yang dianut dan dipraktikkan oleh seluruh jemaat. Berikut beberapa elemen kunci yang mencirikan budaya gereja yang mendukung pertumbuhan. Yesus Kristus diakui sebagai pusat dan sumber kekuatan dalam gereja, melahirkan rasa cinta dan ketaatan di hati jemaat. Proses pemuridan dilakukan secara berkelanjutan untuk mendewasaakan iman para jemaat. Injil tentang keselamatan melalui Yesus Kristus menjadi inti dari semua pengajaran dan kegiatan gereja.� Alkitab dihormati sebagai sumber kebenaran dan hikmat yang tidak tergoyahkan. Setiap orang percaya memiliki peran penting untuk dimainkan dalam tubuh Kristus. Elemen-elemen ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan rohani dan numerik gereja. Budaya gereja yang sehat ini tidak hanya bermanfaat bagi gereja itu sendiri, tetapi juga bagi komunitas di sekitarnya.

Lebih lanjut, untuk mewujudkan budaya multiplikasi pemimpin ini, gereja perlu merangkul teknologi dan metode baru dalam program pembinaan dan pelatihan mereka. Mengakui era disrupsi digital, seperti yang dijelaskan oleh Westerman, Bonnet, dan McAfee (2014) (Westerman et al., 2014) gereja harus beradaptasi dengan perubahan cara orang berkomunikasi dan berinteraksi. Ini berarti mengintegrasikan alat digital dalam metode pembinaan, memanfaatkan platform media sosial untuk pelatihan kepemimpinan, dan mendorong pemimpin untuk menjadi inovatif dalam pendekatan mereka untuk menjangkau dan melibatkan anggota komunitas, terutama Generasi Z yang digital native. Melalui pendekatan yang adaptif dan responsif ini, gereja tidak hanya memperkaya pengalaman kepemimpinan bagi anggotanya tetapi juga menjamin bahwa visi transformasional mereka tetap relevan dan resonan di tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat.

 

Rekomendasi Strategi Multiplikasi Pemimpin Transformasional Gereja untuk Menjangkau Generasi Z di Indonesia

Di tengah era disrupsi yang terus berubah, menyiapkan pemimpin muda, khususnya dari Generasi Z, menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak di Indonesia. Untuk mencapai hal ini, pendekatan tradisional dalam mengembangkan pemimpin perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik unik Generasi Z. Proses ini tidak hanya melibatkan transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter, pengembangan spiritualitas, dan pemberdayaan untuk memimpin dengan integritas serta inovasi. Strategi berikut dirancang untuk menggali dan menumbuhkan potensi kepemimpinan di kalangan Generasi Z, memastikan mereka siap menghadapi tantangan dengan penuh keberanian dan visi yang jelas.

1.       Menciptakan Budaya Kepemimpinan yang Kolaboratif dan Penuh Inspirasi

Untuk menarik Generasi Z, penting untuk membangun terbentuknya lingkungan yang inklusif, dimana setiap individu akan merasa dihargai dan memiliki ruang untuk berkembang. Hal ini dapat dicapai dengan menetapkan dan mempraktikkan nilai-nilai kepemimpinan yang berakar pada prinsip inklusivitas, kreativitas, dan inovasi.

2.       Mengidentifikasi dan Menggali Potensi Pemimpin Muda

Pemimpin masa depan bisa datang dari mana saja. Menggunakan alat penilaian untuk menemukan bakat tersembunyi di antara Generasi Z dan mengembangkan program orientasi yang menyampaikan visi, misi, serta harapan akan peran mereka sebagai pemimpin masa depan merupakan langkah awal yang krusial.

3.    Pengembangan dan Pelatihan Melalui Pendekatan Modern

Pelatihan pemimpin Generasi Z harus mencakup sesi mentoring dan coaching yang relevan dengan realitas mereka, serta workshop yang menekankan pada pengembangan keterampilan praktis, adaptasi teknologi, dan pemahaman teologis yang benar serta relevan.

4.    Pemberdayaan Melalui Praktik Nyata

Generasi Z cenderung belajar lebih baik melalui praktik. Menugaskan mereka dengan tanggung jawab yang konkret dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dapat mendorong inisiatif dan pertumbuhan kepemimpinan yang nyata.

5.    Menyediakan Sistem Pendukung yang Kuat

Jaringan dukungan yang kuat, baik internal maupun eksternal, sangat penting untuk pertumbuhan pemimpin muda. Ini termasuk menyediakan platform untuk berbagi pengalaman, serta sistem evaluasi dan feedback yang memungkinkan mereka untuk terus meningkatkan kemampuan mereka.

Dengan mengadaptasi dan menerapkan strategi ini, kita dapat mengembangkan pemimpin-pemimpin transformasional yang tidak hanya siap menghadapi tantangan masa depan dengan keberanian dan integritas, tapi juga mampu menginspirasi dan memimpin generasi selanjutnya dalam menghadapi era disrupsi digital di Indonesia.

 

 

SIMPULAN

Disrupsi digital dapat berpengaruh positif dan negatif bagi manusia, termasuk gereja. Disrupsi digital memungkinkan adanya strategi penjangkauan yang lebih fleksibel dan adaptif, yang seharusnya memudahkan interaksi dan keterlibatan dengan Gen-Z. Tetapi, disrupsi digital juga dapat memiliki dampak negatif yang mungkin menghambat upaya penjangkauan Gen-Z. Oleh sebab itu, para pemimpin gereja perlu mempersiapkan strategi multiplikasi pemimpin yang relevan dengan karakter Gen-Z sebagai kelompok usia tertinggi di Indonesia pada era disrupsi digital saat ini. Model kepemimpinan transformasional dapat menjadi rekomendasi dalam multiplikasi pemimpin. Strategi multiplikasi pemimpin transformasional gereja yang dapat dilakukan, antara lain (1) Membangun budaya kepemimpinan yang inklusif dan menginspirasi, (2) Mengidentifikasi dan menarik pemimpin potensial, (3) Pengembangan dan pelatihan pemimpin, (4) Melipatgandakan pemimpin melalui delegasi dan pemberdayaan, serta (5) Membangun dan memelihara sistem pendukung yang kuat

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.

 

de Pablos, P. O. (n.d.). Digital Transformation for Business and Society.

 

Francis, T., & Hoefel, F. (2018). True Gen�: Generation Z and its implications for companies. McKinsey & Company, 12, 1�10.

 

Friberg, T. (2005). Analytical lexicon of the Greek new testament (Vol. 4). Trafford Publishing.

 

Fryar, J. L. (2007). Jesus as leader in Mark�s gospel: Reflecting on the place of transformational leadership in developing leaders of leaders in the church today. Lutheran Theological Journal, 41(3), 157.

 

Goodrich, J. K. (2013). Overseers as Stewards and the Qualifications for Leadership in the Pastoral Epistles. Zeitschrift F�r Die Neutestamentliche Wissenschaft Und Die Kunde Der �lteren Kirche, 104(1), 77�97.

 

Gregory, T. (2019). Transformational pastoral leadership. Journal of Biblical Perspectives in Leadership, 9(1), 56�75.

 

Gultom, J. M. P. (2023). Strategi Gembala Jemaat Dalam Pembangunan Motivasi Dan Konsistensi Spiritual Generasi �Z.� Jurnal Gamaliel: Teologi Praktika, 5(1), 45�62.

 

Jabat, D. E. B., & Pasaribu, H. H. S. (2023). DISRUPSI DIGITALISASI. SKYLANDSEA PROFESIONAL Jurnal Ekonomi, Bisnis Dan Teknologi, 3(2), 110�112.

 

Laniak, T. S. (2015). Shepherds after my own heart: Pastoral traditions and leadership in the Bible (Vol. 20). InterVarsity Press.

 

Liefeld, W. L. (2011). 1 and 2 Timothy, Titus. Zondervan Academic.

 

Lizardo, J., Chendralisan, L. H. S., & Sumakul, N. M. (2024). Sinergitas Pemimpin Gereja Menuju Kepemimpinan Transformatif di Era Disruptif. JURNAL TERUNA BHAKTI, 6(2), 142�153.

 

Manala, M. J. (2010). A triad of pastoral leadership for congregational health and well-being: Leader, manager and servant in a shared and equipping ministry. HTS Teologiese Studies/Theological Studies, 66(2).

 

Maxwell, J. C. (2020). The leader�s greatest return workbook: Attracting, developing, and multiplying leaders. HarperCollins Leadership.

 

Murrell, S., & Murrell, W. (2016). The Multiplication Challenge: A Strategy to Solve Your Leadership Shortage. Charisma Media.

 

Osborne, G. R. (2010). The hermeneutical spiral: A comprehensive introduction to biblical interpretation. InterVarsity Press.

 

Putman, J., & Harrington, B. (2013). DiscipleShift: Five steps that help your church to make disciples who make disciples. Zondervan.

 

Spurgeon, C. H. (1893). The Pastor in Prayer. Primedia E-launch LLC.

 

Tilstra, D. A. (2010). Charismatic leaders as team leaders: An evaluation focused on pastoral leadership. Journal of Religious Leadership, 9(2), 27�55.

 

Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Press.

 

Wijaya, J. S., Indrayani, I. I., & Goenawan, F. (2023). Strategi Komunikasi Kepemimpinan dalam Memotivasi Generasi Z untuk menjadi CG Leader pada Army of God (AOG) Gereja Mawar Sharon Surabaya. Jurnal E-Komunikasi, 11(1).

 

Wyatt-Smith, C., Lingard, B., & Heck, E. (n.d.). Digital Disruption In Teaching And Testing.

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).