Nalar Tafsir Emansipatoris dalam Al-Qur�an Surat Al-Baqarah Ayat 168
Emancipatory
Interpretation Reason in the Al-Qur'an Surah Al-Baqarah Verse 168
1)* Rafiqul Huda Siregar
1 Universitas PTIQ Jakarta.
*Email: 1)[email protected]
*Correspondence: 1)Rafiqul Huda Siregar
DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1299 |
ABSTRAK Makalah ini menelusuri nalar penafsiran emansipatoris dalam Al-Qur�an terhadap surat Al-Baqarah Ayat 168. Penelitian
ini dikaji dengan pendekatan kualitatif dan studi kepustakaan. Karya ini menelaah secara umum tentang
tafsir emansipatoris dan implementasinya
terhadap konsep penggunaan harta. Dalam gambaran umum Allah SWT memerintahkan kita mengkonsumsi makanan yang halal
dan baik. Perintah ini sangat serius hingga dalam Al-Qur�an 72 kali pengulangan kata makan dengan makna yang berbeda-beda. Namun jika dilihat dengan nalar emansipatoris bahwa konsep harta halalan thayyiban
bukan dilihat dari materinya saja, melainkan juga dengan bagaimana cara menggunakan serta memperolehnya. Melalui analisis emansiptoris ini, dimana teks agama disorot dengan analisis keadilan dan transfromasi sosial. Sehingga kesimpulan awal penafsiran bahwa pemaknaan dari sebuah teks
dapat dipahami dengan makna yang lebih luas jika
dilihat dengan fenomena hari ini. Kata kunci: Tafsir, Emansipatoris, Konsep
harta |
ABSTRACT
Economic activities
often experience disparities (inequalities) in regional development, this study
aims to find out which regions experience development inequality. This research
uses reference data on Gross Regional Domestic Product and Number of Population
in Java and Bali, with a range of 2011 � 2022. The method of measuring
development disparity using the Theil One Stage and Two Stage Index. The
results of this study show that inequality in Java and Bali occurs mostly in
East Java and Bali. With a tendency to increase trend (convergen).
So the theory of Neo-classical Hypothesis is in line
with this research. And inequality in the region (Whitin Region) has a high
inequality value of 210% - 146% from 2019 -2022. While from the second stage
47% - 46%.
Keywords:
Regional
Development Inequality, Spatial, Economic Spatial Analysis
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari umat islam secara
umum sudah sangat mengenal tentang perkara wajib memakan
makanan dan minuman yang
halal lagi baik, sehingga kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi untuk memenuhi hak diri. Dengan
demikian perintah Allah SWT
terhadap kegiatan dalam memperoleh harta ataupun hendaknya
sesuai dengan syariat Islam, tidak melanggar norma-norma agama, dan sangat berhehati-hati
dengan hal-hal yang bersifat samar. Dengan mengikuti apa yang disyari�atkan Allah SWT,
hasil usaha yang didapat juga akan mendapat ridho Allah SWT.
Dalam undang-undang No. 36 tahun 2009
juga menegaskan tentang kesehatan, menyebutkan bahwa, �Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan drajat kesehatan masyarakat yang setinggi � tingginya dimana pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.�(UU 36,
2009)
Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan tentang yang halal disini adalah makanan yang tidak haram, yaitu yang tidak dilarang oleh syari�at memakannya. Sedangkan makanan haram ada dua macam, yaitu yang haram karena zatnya seperti, bangkai, daging babi dan darah. Sedangkan yang haram karena sesuatu bukan dari
zatnya contohmya makanan yang tidak ada izin dari
pemiliknya untuk dimakan atau digunakan
(Mawangir,
2018).
Syari�at Islam memiliki ciri
khas dalam membina para pengikutnya untuk menjalankan aktivitas pemenuhan kebutuhannya sesuai dengan norma dan etika Islam (Sajadi,
2019). Prinsip-prinsip
keseharian yang mendasar dalam ekonomi Islam mencakup keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab, dan keadilan, yang menjadi nilai-nilai penting dalam ranah
ekonomi Islam (Umam,
2012). Islam menjelaskan keseluruhan pilihan tindakan dan pengambilan keputusan dalam setiap entitas
atau operasi ekonomi, yang dilandasi pada kode moral dan kerangka etika (Akhmad,
2013).
Namun jika dilihat dengan makna yang lebih luas syari�at
Islam sudah mengatur segala aspek yang terkait dengan perolehan kepemilikan, strategi untuk mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta prinsip-prinsip terperinci dalam mendistribusikan kekayaan di antara individu melalui kerangka hukumnya (Akhmad,
2013). Emansipatoris
dalam konteks konsep penggunaan harta maka merujuk
pada upaya untuk menghapuskan ketidaksetaraan, pembatasan, serta dominasi yang terjadi dalam sistem ekonomi
saat ini. Konsep ini mengacu
kepada prinsip-prinsip seperti kemandirian, keadilan, kesetaraan gender, dan partisipasi aktif individu dalam proses ekonomi (Sitorus,
2022).
Pada dasarnya, pendekatan konsep harta dengan
nalar tafsir emansipatoris berupaya menciptakan konsep harta yang menghormati hak asasi manusia, membebaskan individu dari tekanan eksploitasi,
serta memberdayakan mereka untuk menjadi
agen perubahan dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil secara sosial dan ekonomi. Hal ini melibatkan transformasi sistem kebijakan yang mendukung pemberdayaan masyarakat, menciptakan akses yang adil terhadap sumber daya, dan mengurangi disparitas yang ada untuk menghasilkan kondisi ekonomi yang lebih seimbang dan berkelanjutan bagi semua individu (Sitorus,
2022).
METODE
Tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran
yang berarti keterangan atau uraian, al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-Kasyf al-Idzhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada umumnya makna tafsir jika berdasarkan bahasa tidak lepas
dari kandungan makna al-Idhah (menjelaskan), al-Hayan (menerangkan),
al-Kasyf (mengungkapkan), al-Izhar
(menampakkan), dan al-Ibanah (menjelaskan)
(Mukarromah,
2013).
Bentuk-Bentuk Penafsiran Al-Quran Yang dimaksud
dengan bentuk penafsiran disini ialah naw� (macam
atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur�an,
paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama� yaitu al-ma�tsur(riwayat) dan al-ra�yi (pemikiran) (Yasin, 2020).
Tafsir dapat dikelompokkan atas beberapa pembagian
yang dikelompokkan atas metodenya sebagai berikut:
a.
Metode Tahlily (Analisis), yaitu metode penafsiran ayat-ayat al-Quran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian
mufassir tersebut (Al-Farmawy,
1990).
b.
Metode Ijmaly (Ringkas), yaitu penafsiran al-Quran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup
makna yang dikehendaki dalam ayat (Al-Farmawy,
1990).
c.
Metode Muqarin (Komparasi), Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut:
1)
Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur�an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih,
dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus
yang sama
2)
Membandingkan ayat Al-Qur�an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada
lahirnya terlihat bertentangan
3)
Membandingkan berbagai pendapat ulama� tafsir dalam menafsirkan Al-Qur�an (Nurliati, 2011).
4)
Metode Maudhu�i (Tematik), yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep al-Quran tentang suatu masalah/tema
tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Quran yang membicarakan tema tersebut.
Prof.
Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang
guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi
Al-Tafsir Al-Mawdhu�i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu�i. Langkah-langkah tersebut adalah:
a.
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
b.
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c.
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan
masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya
d.
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing
e.
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line)
f.
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai
pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang �am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu
muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan (Nurliati, 2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kata "emansipatoris"
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab sebagai "تحرري" (taharruri), dalam
Bahasa Indonesia. Ini mengacu pada konsep atau pergerakan
yang berusaha untuk mencapai pembebasan atau kemerdekaan, khususnya dalam konteks politik, sosial, atau budaya.
Emansipatoris, sebagai konsep teoritis, merangkum suatu pemahaman mendalam mengenai pembebasan manusia dari berbagai
bentuk penindasan dan keterbelakangan. Pada dasarnya, teori emansipatoris mencerminkan pandangan bahwa setiap individu
memiliki hak inheren untuk mencapai
potensinya tanpa terhalang oleh struktur-struktur sosial atau sistem
yang menghambat kebebasan
dan kesetaraan. Dalam konteks
yang lebih luas, emansipatoris merujuk pada upaya pemahaman, interpretasi, dan tindakan yang bertujuan untuk mencapai keadilan sosial, politik, dan ekonomi (Nainggolan, 2021).
Pertama, untuk memahami tujuan dari teori emansipatoris,
perlu ditekankan bahwa konsep ini
tidak terbatas pada satu bidang kehidupan.
Emansipatoris mencakup pemikiran kritis terhadap segala bentuk penindasan, mulai dari struktur
sosial yang mengurung individu dalam batas-batas normatif, hingga sistem ekonomi yang menciptakan ketidaksetaraan yang merugikan banyak pihak. Dalam tafsir yang lebih luas, emansipatoris bukan sekadar teori,
tetapi juga suatu bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang menggiring manusia pada keterbelakangan dan keterpinggiran
(Nainggolan, 2021).
Pengertian emansipatoris dalam ranah sosial
mengimplikasikan suatu upaya untuk membebaskan
individu atau kelompok dari berbagai
norma sosial dan budaya
yang dapat merugikan mereka. Ini melibatkan penolakan terhadap struktur kekuasaan yang mengekang dan menghambat perkembangan individu. Dalam teori ini, nilai-nilai
keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia
menjadi fokus utama. Emansipatoris menegaskan perlunya membangun masyarakat yang menghargai kebebasan berekspresi, hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, dan kemampuan setiap individu untuk mencapai potensi penuhnya.
Praktiknya, teori emansipatoris menciptakan ruang bagi dialog terbuka dan kritis di berbagai bidang kehidupan. Ini mendorong individu untuk mempertanyakan norma-norma yang menghambat
kemajuan dan mencari cara untuk mencapai
keadilan yang lebih besar. Pendidikan memainkan peran penting dalam
mewujudkan teori ini dengan memberikan
pemahaman kritis kepada individu tentang struktur kekuasaan yang ada dan memberdayakan mereka untuk berperan aktif dalam perubahan
social (Muthohar, 2022).
Tafsir emansipatoris adalah pendekatan interpretatif terhadap Al-Qur�an
yang mengejar pembebasan manusia dari segala
bentuk penindasan dan ketidaksetaraan. Teori ini muncul sebagai respons terhadap berbagai ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda masyarakat Muslim. Tafsir emansipatoris
tidak hanya berfokus pada dimensi spiritual
Al-Qur�an, tetapi juga mencari
makna-makna yang dapat membawa pembebasan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia
(Mubin, 2019).
Segi metodologis, tafsir emansipatoris bertujuan untuk membebaskan penafsiran dari keterikatan pada nalar dogmatis yang telah ditanamkan oleh otoritas keagamaan atau kekuasaan yang dominan. Tafsir ini mengalihkan fokus penafsiran dari konteks justifikasi
ke konteks penemuan-penemuan baru. Dengan kata lain, tujuannya adalah membebaskan penafsiran dari peran sebagai sekadar
pembenaran terhadap pandangan teologi lama yang bersifat diskriminatif dan menindas, menuju kepada suatu tafsir yang lebih inovatif dan pencerahan. Selain itu, tafsir emansipatoris juga dapat diartikan sebagai suatu metodologi yang membebaskan dari segala bentuk metode
atau pendekatan yang menjadi norma (Zaenudin, 2020).
Pengertian tafsir emansipatoris dalam konteks Al-Qur�an mencakup upaya untuk memerangi segala bentuk ketidaksetaraan
gender. Para penganut tafsir ini
meyakini bahwa pesan-pesan Al-Qur�an yang berkaitan
dengan perempuan harus diartikan dengan perspektif emansipasi, bukan mengonfirmasi hierarki gender
yang menguntungkan laki-laki.
Mereka menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan hak-hak perempuan sebagai panggilan untuk membebaskan perempuan dari penindasan dan diskriminasi, serta mempromosikan partisipasi aktif mereka dalam
berbagai aspek kehidupan (Rahim, 2022).
Pentingnya konteks sosial dan sejarah tidak dapat diabaikan
dalam tafsir emansipatoris.
Para ahli tafsir ini berpendapat bahwa pemahaman terhadap kondisi sosial pada masa Nabi
Muhammad dan lingkungannya membantu
mengaitkan ajaran-ajaran
Al-Qur�an dengan konteks
zaman sekarang. Dengan demikian, tafsir emansipatoris bukan hanya sekadar
usaha mengurai teks kuno, tetapi
juga menerjemahkan pesan-pesan
moral dan etis Al-Qur�an ke
dalam konteks yang relevan dan mendesak (Ahmad, 2021).
Dalam kesimpulan, tafsir emansipatoris menawarkan pendekatan yang revolusioner terhadap pemahaman Al-Qur�an.
Teori ini mengajak umat Muslim untuk membaca teks suci
mereka dengan kritis dan progresif, dengan tujuan mewujudkan
pembebasan dan keadilan dalam semua lapisan
masyarakat. Dengan menggabungkan aspek spiritual, sosial, dan politik, tafsir emansipatoris menjadi suatu sarana untuk
merespons tantangan-tantangan
zaman modern dengan landasan
moral yang kokoh.
Allah SWT menurunkan
al-Qur�an kepada Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai
pengumuman kenabian, tetapi sebagai sumber inspirasi etika pembebasan, membimbing kesadaran dan gerakan sosial menuju pembangunan masyarakat yang adil, manusiawi, dan sejahtera. Tujuan mendasar dalam Islam berkaitan dengan persaudaraan universal, kesetaraan,
dan keadilan social (Mubin, 2019).
Hassan Hanafi mengusulkan
model pembacaan kitab suci
yang menarik. Dengan memperkenalkan suatu pendekatan yang spesifik,
temporal, dan realistik dalam
menafsirkan Al-Qur�an. Menurutnya,
tafsir Al-Qur�an seharusnya berakar
pada pengalaman hidup penafsir, dimulai dengan pemeriksaan atas isu-isu kemanusiaan.
Tafsiran harus dimulai dari realitas
dan tantangan yang dihadapi
oleh umat manusia, kemudian kembali kepada Al-Qur�an untuk mendapatkan jawaban teoritis. Pemahaman teoritis ini kemudian
harus diaplikasikan secara praktis. Proses tafsiran tidak lagi hanya berfokus
pada teks, melainkan juga melibatkan penafsir di satu sisi dan khalayak
di sisi lain.
Sejauh ini, pembacaan
kitab suci nampaknya terputus dari situasi
nyata dan masalah-masalah sosial-kemanusiaan. Di sisi lain,
teks kitab suci menjadi pusat dan pemegang otoritas dalam menentukan suatu paradigma; teks menjadi ukuran
untuk menyelesaikan tantangan kehidupan masyarakat. Masalah sosial, politik, ekonomi, dan kemanusiaan selalu dikembalikan (sebagai bentuk solusi) kepada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya bersifat deduktif, berasal dari teks,
dan realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. Dengan
demikian, tafsir sebagai metode membaca kitab suci sangat terkait dalam lingkaran �peradaban teks,� erat kaitannya, meminjam pemetaan Mohamed Abied Al-Jabiri, dengan al-`aql al-bay�n� atau, seperti yang dimasukkan oleh
Mohamed Arkoun, dalam al-`aql al-l�h�t�, sejajar dengan Kalam, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf dalam tradisi utama
keilmuan Islam tradisional (Arkoun & wa Istihalatu, 2002).
Jadi tafsir emansipatoris
secara konseptual, menempatkan Al-Qur�an dalam konteks sosial tempat penafsir berada, mengatasi segala persoalan kehidupan. Ini menjauh dari keterikatan sosio-kultural Arab dan abstraksi,
yang seringkali secara tradisional tercatat dalam asb�b al-nuz�l, menjadi spesifik dan praktis, terkait langsung dengan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat tafsir dilakukan. Contoh pendekatan ini dapat dilihat
dalam kasus yang dialami oleh Farid Esack, yang mengembangkan hermeneutika pembebasan dan pluralisme, serta Amina Wadud Muhsin, yang membangun
hermeneutika kesetaraan
gender (Brenner, 1993).
Penafsiran Al-Qur�an, dalam konteks ini, pertama-tama
melibatkan eksegesis, mengeluarkan wacana dari Al-Qur�an (reading out), dan kemudian
eisegesis, memasukkan wacana
�asing� ke dalam Al-Qur�an (reading into) (Esack, 1991). Mengeluarkan wacana dari Al-Qur�an berarti merumuskan masalah-masalah moral dan sosial
di dalamnya. Misalnya, persoalan kemiskinan, kebodohan, gender, dan rasisme diungkapkan dari dalam teks kitab suci Al-Qur�an. Kemudian, secara teoretis dan konseptual, masalah-masalah tersebut direfleksikan secara kritis dengan
menggunakan analisis ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ini memungkinkan untuk mengurai masalah-masalah sosial dan kemanusiaan secara komprehensif, praktis, dan nyata, mencerminkan semangat pembebasan Al-Qur�an.
Ketika mendengarkan panggilan adzan, sebagai norma keagamaan, ini bukan hanya
sekadar mendengarkannya. Tetapi, juga melibatkan refleksi dalam norma sosial. Panggilan suci yang memuliakan Tuhan tersebut, secara implisit dalam konteks norma sosial dan historis, menurut Raof Khoury, berarti: memberikan sanksi kepada lintah
darat yang tamak! Menarik pajak dari
mereka yang menimbun kekayaan! Melawan kekayaan para magnat monopoli yang diperoleh dengan mencuri! Menyediakan makanan untuk rakyat! Membuka lebar-lebar pintu pendidikan dan meningkatkan peran kaum wanita,
memberikan kebebasan, membentuk majelis syura yang mandiri, dan membiarkan demokrasi yang sejati bersinar (Mubin, 2019).
A. Konsep Harta
Q.S Al-Baqarah ayat 168:��������������
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ
كُلُواْ
مِمَّا فِي
ٱلۡأَرۡضِ
حَلَٰلٗا
طَيِّبٗا
وَلَا تَتَّبِعُواْ
خُطُوَٰتِ
ٱلشَّيۡطَٰنِۚ
إِنَّهُ
ۥ
لَكُمۡ
عَدُوّٞ
مُّبِينٌ ١٦٨
Artinya: �Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu,�
Ayat ini mengajak umat Islam untuk makan dari
rezeki yang baik yang Allah
berikan, sambil bersyukur kepada-Nya. Pemanggilan kepada orang-orang
yang beriman ini menekankan pentingnya memilih makanan yang halal dan baik. Konsep harta
�tayyibat� mencakup segala hal yang baik dan bersih, termasuk makanan, minuman maupun harta yang diperoleh (Ri, 2010). Ayat ini mengaitkan tindakan sehari-hari, seperti makan, dengan ibadah dan syukur kepada Allah SWT. Diantaranya juga menegaskan bahwa setiap aspek
kehidupan dapat dijadikan bentuk ibadah jika dilakukan dengan niat yang baik.
Meskipun umat Islam diberi keleluasaan menikmati nikmat-nikmat Allah
SWT, ayat ini juga memberi peringatan untuk tidak berlebihan
dan melampaui batas. Pesan ini mencerminkan pentingnya menjalani kehidupan sehari-hari dengan kesadaran spiritual dan menghormati batas-batas yang ditetapkan
oleh agama. Dengan memilih makanan yang baik dan bersyukur, umat Islam diingatkan untuk memperkuat hubungan spiritual mereka dan menjadikan setiap tindakan sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah (Ri, 2010).
Dalam konteks ayat ini Ibn Katsir mengutip hadits Qudsi Nabi Muhammad SAW yang artinya:
�Allah berfirman,
sesungguhnya semua harta yang aku berikan kepada hambaKu itu halal dan aku telah menjadikan hambaKu cenderung kepada agama yang benar, tiba-tiba datang syaitan membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka apa yang aku halalkan
bagi mereka. �(HR. Muslim) (Bahreisy & Bahreisy, 2005).
B. Nalar Penafsiran Emansipatoris dalam Konsep Harta
Harta merupakan aspek penting dalam
kehidupan manusia yang mencakup berbagai dimensi, termasuk ekonomi, sosial, dan spiritual (Isman & Wahid, 2022). Harta disini bukan hanya
sekedar makan minum atau mencari
harta tersebut. Melainkan konsep penggunaan harta secara umum memiliki
pengaruh yang mendalam terhadap perkembangan individu dan masyarakat. Dalam berbagai tradisi dan agama penggunaan harta dianggap sebagai ujian dan tanggung jawab yang memerlukan pertimbangan moral dan etika. Karya ini akan
membahas konsep harta secara umum,
merinci nilai-nilai yang melandasi pengelolaan kekayaan, dampaknya terhadap masyarakat, serta pandangan agama dan budaya mengenai tanggung jawab dalam menggunakan harta (Isman & Wahid, 2022).
a.
Nilai-nilai dalam Penggunaan
Harta:
Penggunaan harta juga terkait erat dengan
nilai tanggung jawab sosial dan pengabdian kepada sesama. Harta tidak
hanya diperoleh untuk kepentingan pribadi semata, tetapi juga sebagai amanah yang memerlukan tanggung jawab untuk membantu mereka yang membutuhkan. Konsep zakat dalam Islam, sebagai bentuk pembayaran wajib kepada mereka yang kurang mampu, adalah
contoh konkret dari nilai tanggung
jawab sosial dalam penggunaan harta. Serangkaian amal ibadah dan sumbangan kepada lembaga amal adalah manifestasi
nilai-nilai serupa dalam agama-agama lain dan prinsip-prinsip
moral yang dianut secara luas di masyarakat.
Penggunaan harta juga mencerminkan nilai-nilai pembangunan komunitas dan kolaborasi. Harta yang dimiliki dapat digunakan untuk memajukan kesejahteraan bersama, membangun infrastruktur, dan memberdayakan anggota masyarakat. Nilai-nilai seperti gotong-royong, kebersamaan, dan partisipasi aktif dalam pembangunan
komunitas adalah landasan yang penting. Penggunaan harta untuk mendukung proyek-proyek yang bermanfaat bagi masyarakat adalah wujud nyata
dari nilai-nilai ini, mengindikasikan rasa kepemilikan bersama terhadap masa depan yang lebih baik (Jaya, 2022).
Nilai moderasi dan pembatasan kebingungan materi juga muncul dalam konteks penggunaan
harta. Keterlibatan yang berlebihan dalam keinginan akan materi dapat merusak
nilai-nilai spiritual dan moral. Oleh karena itu, penggunaan
harta dengan penuh kesadaran terhadap batas-batasnya adalah nilai yang sangat dihargai. Konsep kesederhanaan, mengevaluasi kebutuhan yang sebenarnya, dan menahan diri dari
konsumsi berlebihan adalah manifestasi dari nilai-nilai ini.
Keramahan sosial dan kepedulian terhadap orang lain adalah nilai-nilai fundamental dalam penggunaan harta. Bukan hanya
tentang bagaimana harta digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga bagaimana penggunaan harta tersebut dapat memberikan dampak positif pada lingkungan sekitar. Dalam konteks masyarakat yang saling peduli, individu diberdayakan untuk membantu mereka yang membutuhkan, memberikan dukungan kepada yang lemah, dan memperkuat hubungan sosial.
Penggunaan harta juga mencakup nilai-nilai pendidikan dan investasi dalam kemajuan pribadi dan komunal. Pendidikan dianggap sebagai investasi terbaik, dan penggunaan harta untuk memajukan pengetahuan dan keterampilan pribadi, serta kontribusi pada pembangunan lembaga pendidikan, merupakan nilai penting. Selain itu, investasi dalam proyek-proyek yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga merupakan bentuk kontribusi yang bernilai tinggi.
Nilai pengelolaan dan investasi yang bijak juga menjadi aspek penting
dalam penggunaan harta.sq (Yushita, 2017) Pengelolaan keuangan yang baik, investasi yang berkelanjutan, dan
pemahaman tentang prinsip-prinsip ekonomi adalah nilai-nilai yang membantu individu membuat keputusan yang cerdas dalam mengelola
harta. Kesadaran akan dampak ekonomi,
sosial, dan lingkungan dari investasi juga mencerminkan nilai-nilai keberlanjutan dan pertanggungjawaban
terhadap generasi mendatang.
Penggunaan harta juga mencakup nilai-nilai keberanian dalam mempertahankan prinsip. Dalam menghadapi tekanan sosial atau ekonomi
yang dapat memimpin kepada praktik-praktik yang tidak etis, individu
yang memiliki nilai-nilai keberanian akan memilih untuk mempertahankan
prinsip moral mereka. Ini bisa mencakup menolak
terlibat dalam transaksi yang merugikan, menolak praktik-praktik ekonomi yang merugikan masyarakat, atau menentang korupsi dan ketidakadilan ekonomi.
Penggunaan harta bukan hanya masalah
keuangan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membimbing individu dalam mengelola sumber daya mereka. Nilai-nilai seperti keadilan,
tanggung jawab sosial, pembangunan komunitas, moderasi, keramahan sosial, pendidikan, pengelolaan yang bijak, dan keberanian membentuk landasan etika dalam penggunaan
harta. Memahami dan menghargai nilai-nilai ini tidak hanya
menciptakan kehidupan ekonomi yang seimbang, tetapi juga mendukung pembentukan masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan penuh kasih.
Emansipatoris, dalam konteks nilai-nilai dan penggunaan harta, merujuk pada pandangan yang mengadvokasi pembebasan dan pemberdayaan masyarakat dari struktur-struktur ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Dalam kerangka ini, kita dapat
mengeksplorasi nilai-nilai
yang mendasari penggunaan harta dalam perspektif
emansipatoris, yang bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang adil, setara, dan penuh kesejahteraan (Salihin, 2019).
Nilai utama dalam penggunaan harta dalam pandangan
emansipatoris adalah keadilan sosial dan ekonomi. Emansipasi menuntut distribusi kekayaan yang merata, menghindari konsentrasi kekuatan dan sumber daya pada segelintir individu atau kelompok.
Prinsip keadilan ini menekankan perlunya merancang sistem ekonomi yang memastikan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki akses yang sama terhadap peluang, hak, dan keuntungan ekonomi. Dalam pandangan ini, penggunaan harta harus melibatkan
kebijakan-kebijakan yang mendukung
redistribusi kekayaan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Program-program seperti pajak progresif, perlindungan sosial, dan kebijakan pembangunan yang berfokus pada masyarakat yang kurang mampu adalah
implementasi nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam praktik
penggunaan harta.
Nilai-nilai emansipatoris juga menekankan pemberdayaan individu dan komunitas. Penggunaan harta seharusnya tidak hanya berfokus
pada penciptaan kekayaan bagi segelintir individu, tetapi juga pada memberdayakan seluruh masyarakat. Ini melibatkan penyediaan akses ke pendidikan, pelatihan, dan kesempatan yang setara bagi semua
orang untuk dapat berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan komunitas melibatkan investasi dalam infrastruktur lokal, dukungan untuk koperasi, dan program-program
yang memungkinkan partisipasi
aktif dari semua lapisan masyarakat.
Dengan demikian, penggunaan harta harus diarahkan untuk menciptakan kondisi di mana setiap individu dan kelompok memiliki kontrol dan akses terhadap sumber daya yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Nilai-nilai emansipatoris juga mencakup keberlanjutan lingkungan sebagai elemen kunci dalam penggunaan
harta. Pembebasan dari model ekonomi yang merusak alam adalah
bagian integral dari pandangan emansipatoris. Oleh karena itu, penggunaan
harta harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan mendorong praktik-praktik yang ramah lingkungan. Investasi dalam energi terbarukan, praktik pertanian berkelanjutan, dan upaya untuk mengurangi jejak karbon adalah
contoh praktik penggunaan harta yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Nilai-nilai ini menegaskan bahwa pembebasan masyarakat juga harus melibatkan pembebasan dari pola konsumsi
dan produksi yang merugikan
ekosistem alam (Salihin, 2019).
Dalam perspektif emansipatoris, kesetaraan gender menjadi nilai penting
dalam penggunaan harta. Penggunaan sumber daya ekonomi
harus menciptakan kondisi di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak, peluang, dan akses yang setara terhadap sumber daya ekonomi. Ini termasuk dalam sektor pekerjaan, kepemimpinan, dan akses terhadap layanan keuangan. Program-program yang mendukung
kewirausahaan perempuan, penghapusan diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan,
dan pemberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi adalah contoh konkrit
dari implementasi nilai-nilai kesetaraan gender dalam penggunaan harta. Mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi dapat mengubah
dinamika sosial dan ekonomi untuk menciptakan
masyarakat yang lebih adil.
Dalam pandangan emansipatoris terhadap penggunaan harta, nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi, pemberdayaan individu dan komunitas, keberlanjutan lingkungan, kesetaraan gender, serta pendidikan dan pengetahuan menjadi landasan utama. Implementasi nilai-nilai ini memerlukan perubahan struktural dalam sistem ekonomi
dan kebijakan yang mendukung
pembebasan dan pemberdayaan
masyarakat. Mendorong redistribusi kekayaan, pemberdayaan melalui pendidikan, dukungan untuk kesetaraan gender, dan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan adalah langkah-langkah konkrit yang dapat diambil untuk mencapai
visi emansipatoris. Melalui penerapan nilai-nilai ini dalam penggunaan harta, masyarakat dapat bergerak menuju kondisi di mana setiap individu memiliki hak yang setara, kesenjangan sosial dan ekonomi berkurang, dan lingkungan alam dilestarikan untuk generasi mendatang.
b.
Pengaruh Penggunaan Harta dalam Kehidupan:
Dalam konteks kehidupan, harta secara individu dan kelompok menggunakan harta memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan dan keberlanjutan ekonomi. Investasi yang cerdas dan berkelanjutan dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi, dan memajukan inovasi. Di sisi lain, penggunaan harta yang boros atau tidak efisien
dapat berdampak negatif pada perekonomian, menciptakan tekanan inflasi, dan mengakibatkan ketidakstabilan keuangan. Oleh karena itu, nilai-nilai
pengelolaan ekonomi yang bijaksana, tanggung jawab, dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mencapai kestabilan dan kemakmuran (Arfah & Arif, 2021).
Konsep penggunaan harta juga sangat memengaruhi struktur sosial dan kesejahteraan masyarakat. Ketidaksetaraan ekonomi, yang dapat dihasilkan dari penggunaan harta yang tidak adil, dapat menciptakan
kesenjangan sosial yang merugikan. Sebaliknya, ketika harta digunakan
dengan bijaksana dan adil, dapat tercipta
masyarakat yang lebih seimbang dan harmonis.
Program-program amal, dana sosial,
dan kegiatan filantropi merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang dapat memperbaiki kondisi sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Sejatinya banyak agama yang menerangkan konsep penggunaan harta diberikan arahan yang khusus. Dalam Islam, misalnya, ada prinsip-prinsip tertentu yang mengatur bagaimana harta harus diperoleh, disimpan, dan digunakan. Zakat,
yang merupakan kewajiban memberikan sebagian harta kepada yang membutuhkan, merupakan aspek penting dari
pengelolaan kekayaan dalam Islam (Saputra, 2020). Selain itu, konsep riba (bunga)
diharamkan, menekankan pentingnya transaksi ekonomi yang adil dan tanpa eksploitasi. Dalam
agama-agama lain seperti Kekristenan,
Yahudi, Hindu, dan Buddha, terdapat
pula ajaran-ajaran tentang tanggung jawab dan moralitas dalam penggunaan harta. Kedermawanan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam pengelolaan harta merupakan nilai-nilai yang sering ditekankan dalam ajaran agama. Agama-agama ini menekankan pentingnya menggunakan harta sebagai sarana
untuk mencapai kebaikan bersama, membangun solidaritas sosial, dan mencapai keseimbangan dalam hidup.
Era globalisasi dan modernisasi, masyarakat dihadapkan pada tantangan baru dalam penggunaan
harta. Fenomena seperti konsumerisme berlebihan, ketidaksetaraan ekonomi yang semakin membesar, dan dampak lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam menuntut
pemikiran ulang tentang cara kita
menggunakan harta. Pergeseran ke arah
ekonomi berkelanjutan dan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan lingkungan semakin menjadi sorotan dalam konsep
penggunaan harta di abad ke-21.
Kesimpulan, konsep penggunaan harta memiliki implikasi yang luas dan mendalam dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab sosial memainkan
peran kunci dalam pengelolaan kekayaan. Dari segi ekonomi, cara kita
menggunakan harta dapat membentuk perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Perspektif agama menambah dimensi moral dan
spiritual, memberikan pedoman
tentang bagaimana harta harus diperoleh
dan digunakan. Tantangan kontemporer, seperti konsumerisme berlebihan dan masalah lingkungan, menyoroti perlunya refleksi kritis terhadap praktik penggunaan harta dalam konteks global yang terus berkembang. Oleh karena itu, perlu
adanya pendekatan holistik yang menggabungkan nilai-nilai moral, etika, dan keberlanjutan untuk menciptakan penggunaan harta yang bijaksana dan berdampak positif bagi individu dan masyarakat secara luas.
SIMPULAN
Pembahasan terkait konsep penggunaan harta apabila disorot dari sudut pandang
Emansipatoris dapat disimpulkan, bahwa secara umum surat
Al-Baqarah ayat 168 menegaskan
bahwa makan dan minumlah dengan yang halal dan baik. Namun penafsiran
ala emansipatoris melihat bahwa nilai-nilai dari mencari dan penggunaan harta lebih luas dari
hanya sekedar makan dan minum. Dimana emansipaoris menyorot ayat ini dengan
menggunakan pena ilmu-ilmu sosial untuk menelaah kondisi masyarakat. Sehingga menghasilkan upaya pembebasan individu dan masyarakat dari ketidakadilan. Menyoroti prinsip-prinsip yang mendorong distribusi kekayaan yang lebih adil, mengutamakan keadilan sosial dan solidaritas. Ayat ini juga menekankan kebebasan dalam penggunaan harta melalui penghapusan
eksploitasi dan perlindungan
terhadap hak-hak individu dalam kepemilikan, produksi, dan distribusi. Selain itu, penggunaan harta yang baik juga dapat mempromosikan tanggung jawab sosial dan kesadaran akan hak-hak kaum lemah.
Dengan menekankan nilai-nilai ini, Al-Qur'an merangkul visi yang tidak hanya progresif,
tetapi juga memberdayakan individu untuk mencapai pembebasan dalam kerangka yang adil dan berkeadilan. Analisis ini mencerminkan
relevansi konsep-konsep penggunaan harta dalam Al-Qur�an hingga mencapai tujuan emansipatoris dan keadilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
36,
U. N. (2009). tentang Kesehatan.
Ahmad,
H. (2021). Integrasi Al-Qur�an dan Ilmu Sosial (Kontekstualitas al-Qur�an dalam
Kehidupan Bermasyarakat). Ulumul Qur�an: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur�an Dan
Tafsir, 1(2), 1�15.
Akhmad,
M. (2013). Ekonomi Islam, Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Al-Farmawy,
A. H. (1990). al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhū�i. Kairo: Matba�ah
Al-Hadarah Al-Arabiyah.
Arfah,
A., & Arif, M. (2021). Pembangunan Ekonomi, Keadilan Sosial dan Ekonomi
Berkelanjutan dalam Perspektif Islam. SEIKO: Journal of Management &
Business, 4(1), 566�581.
Arkoun,
M., & wa Istihalatu, A.-F. al-U. (2002). al-Fikr al-Ush�l� wa Istih�lah
al-Ta�sh�l. Beirut: Dar Al-Saqi.
Bahreisy,
S., & Bahreisy, S. (2005). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Surabaya: PT Bina
Ilmu.
Brenner,
L. (1993). Muslim identity and social change in Sub-Saharan Africa.
Esack,
F. (1991). Contemporary religious thought in South Africa and the emergence of
Qur�anic hermeneutical notions. Islam and Christian‐Muslim Relations,
2(2), 206�226.
Isman,
A. F., & Wahid, M. A. (2022). Pendayagunaan Zakat Pada Masa Pandemi
Covid-19 Dalam Perspektif Maqāṣid al-Sharī�ah. Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, 8(3), 2709�2717.
Jaya,
A. (2022). Pembangunan Manusia Dalam Perspektif Ekonomi Islam Untuk Mencapai
Falah. Jurnal DIALOGIKA: Manajemen Dan Administrasi, 4(1), 33�38.
Mawangir,
M. (2018). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Perspektif Tafsir Al-Mishbah Karya
Muhammad Quraish Shihab. Tadrib, 4(1), 163�182.
Mubin,
F. (2019). Tafsir Emansipatoris: Pembumian Metodologi Tafsir Pembebasan. Mumtaz:
Jurnal Studi Al-Quran Dan Keislaman, 3(1), 131�151.
Mukarromah,
O. (2013). Ulumul Qur�an.
Muthohar,
A. (2022). PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM EMANSIPATORIS. FATAWA PUBLISHING.
Nainggolan,
B. (2021). Emansipasi Wanita (Telaah atas Pemikiran Qasim Amin). AL-WARDAH:
Jurnal Kajian Perempuan, Gender Dan Agama, 15(1), 101�112.
Nurliati,
A. (2011). Ruh dalam al-qur�an analisis penafsiran prof. DR. M. Quraish
Shihab atas surat al-isra�ayat 85.
Rahim,
M. (2022). Pemikiran Tafsir Fazlur Rahman (Terhadap Ayat-Ayat Hukum dan
Sosial). Institut PTIQ Jakarta.
Ri,
D. A. (2010). al-Qur�an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 220.
Sajadi,
D. (2019). Agama, Etika Dan Sistem Ekonomi. El-Arbah: Jurnal Ekonomi, Bisnis
Dan Perbankan Syariah, 3(02), 1�17.
Salihin,
N. (2019). Transformasi gender: Strategi pembebasan perempuan dari jerat
pembangunan dan kapitalisme. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 14(1).
Saputra,
H. (2020). Zakat sebagai sarana bantuan bagi masyarakat berdampak covid-19. Al-Ijtimai:
International Journal of Government and Social Science, 5(2),
161�175.
Sitorus,
A. P. (2022). Pengembangan Penerapan Praktek dan Teori Akuntansi Syariah di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 8(1), 806�814.
Umam,
K. (2012). Manajemen perbankan syariah. Pustaka Setia.
Yasin,
H. (2020). Mengenal metode penafsiran al Quran. Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal
Pendidikan Islam, 3(1), 34�51.
Yushita,
A. N. (2017). Pentingnya Literasi Keuangan Bagi Pengelolaan Keuangan Pribadi. Nominal,
Barometer Riset Akuntansi Dan Manajemen, 6(1). https://doi.org/10.21831/nominal.v6i1.14330
Zaenudin,
Z. (2020). Analisis Hermeneutika Dan Tekstualisme Al-Qur�an (Dari Klasik Hingga
Kontemporer). Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 137�163.