Identifikasi Bacillus sp. Pada Makanan Ringan berbasis Umbi-umbian Melalui Analisis Molekuler Gen Toxin Hbl dan Nhe

 

Identification of Bacillus sp. On Tuber-Based Snacks Through Molecular Analysis of Hbl and Nhe Toxin Genes

 

1)* Eunike Marganingrum Andriani Samodra, 2) Angelia Wattimury, 3) Tri Yahya Budiarso, 4)Charis Amarantini

1Politeknik Santo Paulus Surakarta, Surakarta, Indonesia

234Universitas Kristen Duta Wacana, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

 

Email: [email protected]

*Correspondence: Eunike Marganingrum Andriani Samodra

DOI: 10.59141/comserva.v4i5.1294

ABSTRAK

Foodborne disease atau penyakit yang disebabkan karena konsumsi makanan dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme. Salah satu mikroorganismenya adalah Bacillus cereus sebagai bakteri gram positif dan fakultatif anaerob yang dapat mencemari dari lingkungan mampu melakukan pemulihan dari makanan dan bahan pangan yang lain. Hal yang membuat Bacillus sp. Dapat bertahan di kondisi ekstrem adalah keberadaan spora terutama saat berada di bahan pangan yang sudah dikeringkan atau dibuat dalam bentuk bubuk. Kasus kontaminasi kelompok Bacillus cereus yang mendatangkan foodborne illness ditemukan dalam produk kentang. Bacillus cereus dan terkonsumsi dapat memberikan dampak terhadap sakit pencernaan berupa sakit perut dan diare tidak berdarah yang terjadi 4 - 16 jam setelah konsumsi. Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh produksi diarrheal toxin hemolysin BL, Hbl, enterotoksin nonhemolitik Nhe dan sitotoksin CytK pada usus manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi Bacillus sp. Pada produk makanan ringan jenis umbi-umbian berdasarkan keberadaan gen pengkode toxin Hbl dan Nhe. Metode yang dilakukan dengan isolasi awal menggunakan media MYP Agar, uji MR, pengecatan gram, endospora, dan analisis hasil PCR gen toxin Hbl dan Nhe. Hasil pada penelitian ini menunjukkan sampel keripik kentang kemasan tercemar Bacillus cereus berdasarkan amplifikasi gen nheA, nheB, nheC pengkode toksin Nhe dan gen hblA, hblD, hblC pengkode gen toksin Hbl sedangkan terduga Bacillus subtilis tidak terdapat gen nheB.

 

Kata kunci: Bacillus sp., Gen toksin, Hemolysin BL Hbl, Makanan ringan, Non-hemolitik Nhe

 

 

ABSTRACT

Foodborne diseases, or illnesses caused by the consumption of contaminated food, can result from various microorganisms. One such microorganism is Bacillus cereus, a Gram-positive and facultatively anaerobic bacterium that can contaminate food and other raw materials from the environment. Bacillus species are able to survive extreme conditions due to the presence of spores, particularly in dried or powdered food products. Cases of Bacillus cereus contamination, which lead to foodborne illnesses, have been found in potato products. When ingested, Bacillus cereus can cause gastrointestinal symptoms such as abdominal pain and non-bloody diarrhea, occurring 4 to 16 hours after consumption. These symptoms are caused by the production of diarrheal toxins, including hemolysin BL (Hbl), non-hemolytic enterotoxin (Nhe), and cytotoxin CytK in the human intestine. This study aims to identify Bacillus species in snack products made from tubers based on the presence of Hbl and Nhe toxin-encoding genes. The methods involved initial isolation using MYP Agar, MR testing, Gram staining, endospore detection, and PCR analysis for Hbl and Nhe toxin genes. The results of this study showed that packaged potato chips were contaminated with Bacillus cereus, as indicated by the amplification of the nheA, nheB, and nheC genes encoding Nhe toxins, and the hblA, hblD, and hblC genes encoding Hbl toxins, while suspected Bacillus subtilis did not possess the nheB gene.

 

Keywords: Bacillus sp., Toxin genes, Hemolysin BL (Hbl), Snack foods, Non-hemolytic (Nhe)

 

 

 

PENDAHULUAN

Kontaminasi bakteri terutama oleh kelompok Bacillus sp. menjadi kompleks dan sulit dihindari sehingga pentingnya untuk memperhatikan keamanan pangan. Data foodborne disease di Indonesia belum sepenuhnya lengkap untuk memperbaiki higenitas agar terhindar dari kontaminasi. Salah satu makanan yang menjadi pola konsumsi masyarakat Indonesia dan dunia karena gaya hidup sesuatu �yang seringkali ingin melakukan segala dengan mudah dan cepat serta serba instan terutama dalam urusan makanan salah satunya camilan. Makanan ringan yang biasa disebut sebagai camilan berasal dari kata �camil� yang berarti makanan yang dimakan diantara dua waktu makan, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Konsumsi makanan ringan atau snack mengalami peningkatan terutama di masa pandemi COVID-19. Menurut salah satu perusahaan berbasis makanan ringan asal Amerika Serikat, Mondelez International�s State of Snacking melaporkan pada tahun 2020 sebanyak 88% responden termasuk masyarakat Indonesia mengalami peningkatan frekuensi konsumsi snack maupun dalam hal menjaga pola konsumsinya. Selain itu, Snapcart Onine Survey di bulan Maret 2021 sebanyak 5.619 responden memberikan laporan bahwa 66% mengonsumsi traditional snack yang termasuk berbahan dasar umbi-umbian. 56% responden memilih membeli snack bermerk sedangkan 22% responden memilih untuk membeli snack tanpa merk.

Kebiasaan konsumsi makanan tanpa memperhatikan kebersihan dan kemanannya dapat menimbulkan penyakit. Foodborne disease atau penyakit yang disebabkan karena konsumsi makanan dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme. Hal ini dapat terjadi ketika patogen pada makanan tertelan dan sel nya bertambah banyak pada manusia sebagai inang atau patogen memperbanyak sel nya dalam produk makanan dan menghasilkan toksin yang terkonsumsi oleh manusia (Bintsis, 2017). Foodborne disease mempengaruhi sebagian besar penduduk di dunia dan penanganannya perlu diperhatikan sehingga keamanan pangan tidak hanya dilihat sebagai makanan �yang penting bisa dimakan� (Jovanovic et al., 2021).

Pada tahun 2015 di Eropa kasus wabah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri paling banyak terjadi disebabkan oleh Salmonella spp. Dan Campylobacter spp. (EFSA, 2016). Selain kedua bakteri tersebut terdapat pula bakteri penyebab sakit atau patogen lainnya yang perlu diwaspadai yaitu Clostridium perfringens, Bacillus subtilis, dan Bacillus cereus yang dapat membentuk spora dan resisten terhadap suhu tinggi seperti; Staphylococcus aureus dan, C. botulinum dengan memproduksi toksin yang resisten terhadap suhu tinggi (heat-resistant toxins) (Bintsis, 2017) (Moi et al., 2022).

Bacillus cereus sebagai bakteri gram positif dan fakultatif anaerob yang dapat mencemari dari lingkungan mampu melakukan pemulihan dari makanan dan bahan pangan yang lain. Beberapa strain B. cereus dapat bertambah banyak pada suhu 8 ℃ dan bawahnya hingga konsentrasi yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu menimbulkan bahaya terhadap konsumsi makanan dingin yang diproses secara minimal (Webb et al., 2019). Bacillus cereus juga hidup di tanah dan di perairan yang mengkontaminasi makanan sehingga menyebabkan sakit pada bagian gastrointestinal. B. cereus dapat menghasilkan toksin emetik yang ditandai dengan mual dan muntah setengah jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi (Dietrich et al., 2021) (Stenfors Arnesen et al., 2008). B. cereus termasuk bakteri tanah terutama pada padi dan dapat mencemari bahan pangan lain seperti; susu dan produknya, daging mentah, nasi, sayur-sayuran segar, bahkan ditemukan kasus kontaminasi B. cereus pada makanan bayi (Becker et al., 1994) (Tewari & Abdullah, 2015). Bacillus sp. Tetap dapat hidup di lingkungan makanan yang sudah mengalami berbagai proses seperti pemanasan dan pengeringan di mana secara umum menjadikan lingkungan yang membuat bakteri tidak dapat tumbuh. B. cytotoxicus ditemukan dan diisolasi dari produk kentang kering (Heini et al., 2018). Hal yang membuat Bacillus sp. Dapat bertahan di kondisi ekstrem adalah keberadaan spora terutama saat berada di bahan pangan yang sudah dikeringkan atau dibuat dalam bentuk bubuk. Kasus kontaminasi kelompok B. cereus yang mendatangkan foodborne illness ditemukan dalam produk kentang (Doan & Davidson, 2000; Heini et al., 2018) Pada penelitian Heini et al., (2018) menunjukkan bahwa cemaran B. cereus s.l. sebanyak 78% dari total 13 makanan bayi bubuk dan 92% dari 13 mashed potato powder dengan total 28 strain B. cereus diisolasi. Choma et al., (2000) menemukan B. cereus pada 60% bubur kentang atau potato puree yang telah dipasteurisasi setelah melalui masa inkubasi 5 hingga 12 hari dan 80% sampel yang sama diinkubasi 20 hari pada suhu 10 ℃. Selain itu, B. cereus juga ditemukan di bubur (pureed) brokoli, wortel, zucchini, dan kacang polong. Makanan yang terkontaminasi B. cereus dan terkonsumsi dapat memberikan dampak terhadap sakit pencernaan berupa sakit perut dan diare tidak berdarah yang terjadi 4 - 16 jam setelah konsumsi. Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh produksi diarrheal toxin hemolysin BL, Hbl, enterotoksin nonhemolitik Nhe dan sitotoksin CytK pada usus manusia (Ehling-Schulz et al., 2006; Fagerlund et al., 2004; Vidic et al., 2020).

Berdasarkan hal diatas, penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi Bacillus sp. Berdasarkan keberadaan gen toxin Hbl dan Nhe yang terdapat dalam makanan ringan atau camilan berbahan dasar umbi yang tersebar di Kota Yogyakarta.

 

METODE PENELITIAN

Preparasi Sampel

Sampel sejumlah 11 makanan ringan dengan 6 diantaranya berbasis umbi yang dijual secara curah maupun kemasan. Masing-masing sampel sebanyak 10 gr dimasukkan dalam 90 mL air pepton 1% dan disimpan pada rotary shaker selama 24 jam dengan suhu 37oC atau disimpan over night.

Deteksi Bacillus sp.

Tahap isolasi Bacillus sp. menggunakan air pepton 0,1% sebanyak 9 ml dan 9,9 ml serta 1 ml dan 0,1 ml sampel, di homogenkan. Sebanyak 0,1 ml� diinokulasikan pada permukaan media MYP (Mannitol Egg Yolk Polymixin Agar) (Oxoid, Thermo Fisher Scientific, UK) dengan teknik spread plate, diinkubasi 37 oC selama 24 jam. Koloni terduga yang muncul akan dilakukan seleksi dan disimpan dalam media BHI Agar (Brain Heart Infusion) (Oxoid, Thermo Fisher Scientific, UK) untuk tahap uji selanjutnya.

Seleksi dan Identifikasi Bacillus sp.

Uji MR (Methyl-red)

Uji MR dilakukan dengan penambahan methyl red indicator dan diinkubasi pada suhu 37 dalam waktu 48 - 72 jam. Perubahan warna pada media menjadi merah mengindikasikan uji MR positif dan warna tetap kuning menunjukkan reaksi negatif

Uji Motilitas

Media NA (Natrium Agar) (Oxoid, Thermo Fisher Scientific, UK) semi solid dengan melakukan inokulasi isolat terduga, diinkubasi pada suhu 37 selama 24 jam.

Pengecatan Gram

Pewarnaan gram menggunakan pewarna kristal violet untuk pewarnaan awal. Dilanjutkan dengan penggunaan iodin untuk membentuk kompleks kristal violet-iodin guna mencegah penghilangan pewarna dengan mudah. Selanjutnya, penghilang warna berupa pelarut etanol dan aseton.

Pewarnaan Endospora

Pewarnaan endospora menggunakan pewarna primer hijau malachite atau green malachite dengan meletakkan di atas gelas benda dan dipanaskan untuk memicu endospora. Pewarnaan sel vegetatif dengan safranin menjadi merah muda sehingga hasilnya adalah endospora yang tampak hijau dan sel vegetatif yang tampak merah muda.

Deteksi Gen Hbl dan Nhe

Deteksi gen toxin Hb1 dan Nhe diawali dengan melakukan isolasi DNA menggunakan Wizard� Genomic DNA Purification Kit (Promega). Amplifikasi DNA menggunakan primer gen target berdasarkan rancangan Wehrle et al., (2009) dengan tabel sebagai berikut:

 

Tabel 1. Susunan Primer Penglkode Gen Toxin Hb1 dan Nhe pada Bacillus sp. Untuk Deteksi Molekuler

Toxin

Gen

Target

Urutan Primer

Ukuran Basa

(Bp)

Hbl

hblA

�ATT AAT ACA GGG GAT GGA GAA ACT T

TGATCCTAA TAC TTC TTC TAAG ACG CIT

237

 

hbID

AGG TCA ACA GGC AAC GAC TC

CGA GAC TCC ACC AAC AAC AG

205

 

hbIC

CGA AAA TTA GGT GCGCAATC

TAA TAT GCC TTG CGC AGT TG

411

Nhe

nheA

GAC GGG CAA ACA GTG AA TGC GAA CTT TTG ATG ATT CG

186

 

nheB

CCG CTT CTG CAA AAT CAA AT

TGC GCA GTT GTA ACT TGT CC

281

 

nheC

ACA TCC TTT TGC AGC AGA AC

�������������������������������� CCA CCA GCA ATG ACC ATA TC������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

618

 

Amplifikasi DNA dilakukan sebanyak 35 siklus dengan kondisi; pre-denaturasi pada suhu 94 selama 5 menit; denaturasi pada suhu 94 selama 1 menit; annealing pada suhu 49 ℃ selama 1 menit dan 52 ℃ selama 1 menit; extension pada suhu 72 ℃ selama 2 menit; final extension pada suhu 72 ℃ selama 10 menit; final pada suhu 4 ℃ selama 30 menit.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deteksi Bacillus sp.

Deteksi keberadaan Bacillus sp. Pada sampel makanan ringan dilakukan dengan teknik spread plate di atas medium MYP Agar di mana terbentuk koloni dengan karakteristik tertentu. Terdapat 2 sampel makana ringan curah dan kemasan berbasis kentang, masing-masingnya yang terduga sebagai kelompok Bacillus cereus dengan jenis koloni berwarna merah muda, berbentuk bulat beraturan maupun tidak beraturan dan koloni dengan tipikal berwarna kuning bulat yang terduga sebagai Bacillus subtilis. Berdasarkan morfologi koloni yang didapat dari medium MYP Agar, koloni terduga B. cereus dan B. subtulis akan dilanjutkan dengan uji seleksi serta identifikasi berdasarkan sifat-sifat biokimiwinya.

 

Tabel 2. Deteksi Bacillus sp. Pada medium MYP Agar

No.

Sampel

Kode Sampel

Identifikasi

1.

Keripik Kentang

�(curah)

S9KKL

Terduga Bacillus subtilis

 

 

S9KKK

Terduga Bacillus subtilis

 

 

S9KP

Terduga Bacillus cereus

2.

Keripik Kentang ����

��������� (Kemasan)����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

S11KP

Terduga Bacillus cereus

 

MYP (Mannitol Egg Yolk Polymyxin) merupakan medium selektif yang bertujuan untuk mengisolasi Bacillus cereus. Pada medium MYP terdapat inhibitor yang berupa polimiksin dan dua indikator lainnya, manitol, phenol red, dan egg yolk atau kuning telur steril yang digunakan. Sehingga mikroorganisme lain yang tidak diinginkan tidak tumbuh. Kandungan nitrogen, vitamin dan sumber karbon didapatkan dari Ekstrak daging dan pepton dalam MYP. D-Manitol sebagai sumber karbohidrat dan fermentasinya dideteksi oleh pH indikator phenol red. Bakteri yang dapat melakukan fermentasi manitol akan menyebabkan lingkungan menjadi asam sehingga koloni berwarna kuning. Sedangkan, Bacillus cereus negatif manitol akan berwarna merah muda dan tipikal koloni yang membentuk seperti kawah (Harper et al., 2011). Emulsi Egg yolk dalam MYP menyediakan leticin di mana B. cereus memproduksi leticinase yang akan menghidrolisis leticin dari egg yolk sehingga membentuk presipitasi disekeliling koloni (halo). Sedangkan koloni Bacillus subtilis berwarna kuning karena dapat memfermentasi mannitol (Peng et al., 2001). Medium MYP sendiri tidak memiliki tambahan nutrien untuk masa perbaikan sel ataupun pengkayaan sel dari Bacillus cereus (Harper et al., 2011; Montville et al., 2005).

Seleksi dan Identifikasi Bacillus sp.

Seleksi Bacillus sp. Dari sampel dilakukan dengan uji pengecatan gram, uji MR, dan uji pengecatan endospora. Keempat kode sampel yang dilakukan uji MR memberikan hasil negatif dengan tidak adanya perubahan pada media atau warna tetap kuning. Hasil uji pengecatan gram seperti pada Gambar 1. menunjukkan bahwa koloni yang didapat memiliki warna ungu violet dan berbentuk batang atau bacil. Sedangkan pada pengecatan endospora keempat kode sampel memiliki endospora yang terlihat pada tabel 3.

 

Tabel 3. Pengecatan Endospora Keempat

No.

Asal Sampel

Kode sampel

������� Uji Biokimia�������

MR�������� Motilitas

Cat endospora

Identifikasi

1.

Keripik

S.9 KKL

-�������� Motil

Memiliki

Terduga Bacillus subtilis

 

Kentang

 

endospora

 

(kemasan)

S.9 KKK

-�������� Motil

Memiliki

Terduga Bacillus subtilis

 

 

 

 

endospora

 

 

S.9 KP

-�������� Motil

Memiliki

Terduga Bacillus cereus

 

 

 

 

endospora

2.

Keripik

S.11 KP

-�������� Motil

Memiliki

Terduga Bacillus cereus

 

kentang keju

 

endospora

 

asin

 

 

 

Hasil seleksi menunjukkan dugaan antara Bacillus cereus atau Bacillus subtilis. B. cereus memiliki bentuk batang dan motil serta mampu membentuk spora seperti pada tabel 3. B. cereus adalah bakteri gram positif ditandai dengan warna ungu violet dan warna hijau menunjukkan adanya produksi endospora setelah dilakukan pengecatan dengan malachite green. Ukuran sel B. cereus Sekitar 0,5 x 1,2 - 2,5 1 10 μm dalam diameter. Spora B. cereus memiliki sifat hidrofobik di alam dengan banyak apendiks dan/atau pili serta merupakan faktor virulensi yang memampukan sel teradsorpsi dengan kuat pada berbagai jenis permukaan sehingga sulit dhilangkan saat desinfeksi (Dierick et al., 2005).

 

Gambar 1.�Hasil uji pengecatan gram terduga Bacillus sp.

Gambar 2.�Hasil uji pengecatan endospora terduga Bacillus sp.

 

B. Subtilis juga merupakan bakteri gram positif, aerobik dengan bentuk batang yang panjangnya 2 - 6 μm dan diameternya kurang dari 1 μm. Pada kondisi kekurangan nutrisi sel dapat mengalami diferensiasi kompleks yang mengarah pada pembentukan endospora yang dilepaskan melalui lisis sel induk pembungkusnya. Fase vegetatif sel memiliki sifat motil atau sel dapat membentuk biofilm yang mengandung spora (Errington & Aart, 2020).�

Deteksi Gen Toxin Hbl dan NHe

Pada Gambar 3. merupakan Hasil amplifikasi gen toxin Hbl dan Nhe pada dengan kode sampel S9KP yang terduga sebagai B. cereus dan kode sampel S9KKL terduga sebagai B. subtilis. Kedua isolat didapatkan dari satu sampel yang sama yaitu keripik kentang kemasan dengan karakter pertumbuhan koloni lebih baik dari kedua isolat terduga lainnya. Gambar 3. menunjukkan adanya amplikon pada terduga Bacillus cereus maupun Bacillus subtilis. Nomor 1 merupakan marker 100 bp dan nomor 2 hingga 7 merupakan isolat B. cereus sedangakan nomor 8 hingga 13 merupakan isolat B. subtilis.

 

100 bp

 
Picture1

Gambar 3. Hasil amplifikasi gen toxin Hbl dan Nhe terduga Bacillus cereus dan Bacillus subtilis

 

Pada nomor 2 hingga 7 dengan kode sampel S9KP merupakan B.cereus karena menunjukkan bahwa B. cereus memiliki gen hemolicin (Hbl) dan nonhemolicin (Nhe). B. cereus memproduksi toxin emetik dan beberapa enterotoksin yang termasuk non-hemolitik enterotoksin (Nhe), hemolisin BL (Hbl), sitolisin K (CytK), hemolisin II (Hlyll), enterotoksin FM (EntFM) dan enterotoksin T (bc-D-ENT) (Ngamwongsatit et al., 2008). Enterotoxin kompleks hemolisin BL (Hbl) dan Nonhemolitik enterotoksin (Nhe) merupakan penyebab keracunan dengan gejala yaitu diare dan muntah karena spora maupun sel vegetatif B. cereus ketika tertelan dan masuk dalam saluran pencernaan terutama usus kecil. Bacillus cereus sendiri merupakan bakteri yang dapat menyebabkan sakit yang diakibatkan oleh makanan (Beecher et al., 1995; Jay et al., 2008; Lund & Granum, 1996).

Hasil identifikasi terduga B. subtilis memiliki gen yang mengkode enterotoxin Hbl dan Nhe dengan hasil amplikon yang tipis namun, pada nomor 9 tidak adanya amplikon yang menunjukkan bahwa ekspresi gen NheB pada terduga B. subtilis tidak muncul yang dapat dilihat pada nomor 8 hingga 13 dengan kode sampel S9KKL. Pada hasil tersebut terlihat sampel keripik kentang kemasan tercemar bakteri B. cereus dan terduga B. subtilis. Gen toksin Nhe bertindak sebagai pore-forming toxin yang terbentuk dengan pengikatan secara spesifik antara NheA, NheB dan NheC. Keberadaan NheC wajib pada langkah awal pembentukan toksin. NheA wajib ada pada langkah terakhir dan memicu toksisitas melalui mekanisme yang belum diketahui. NheB mengikat membran sel secara independen dari komponen lainnya. Namun, kompleks toksin yang sepenuhnya aktif terbentuk hanya ketika NheB diaplikasikan bersama dengan NheC atau setelah priming sel dengan NheC (Heilkenbrinker et al., 2013).

Pembahasan

Kasus foodborne disease yang disebabkan oleh Bacillus sp. Telah dilaporkan dalam beberapa kasus terutama makanan yang terkontaminasi oleh B. cereus karena memiliki toksin hemolitik dan nonhemolitik (Ngamwongsatit et al., 2008). Pada hasil penelitian yang sudah dipaparkan makanan ringan beruapa keripik kentang kemasan menjadi satu sampel yang terindikasi terdapat kontaminasi baik dari B. cereus maupun B. subtilis. Hal tersebut dapat dilihat dari tumbuhnya isolat pada media MYP Agar. Langkah selanjutnya mengarah pada pengujian secara molekuler untuk melakukan identifikasi terduga B. cereus dan B. subtilis berdasarkan adanya gen pengkode toksin Nhe dan Hbl. Pada Gambar 3 terduga B. cereus terkonfirmasi memiliki gen pengkode toksin Nhe yang ditunjukkan pada nomor 2 hingga 4 yaitu, nheA, nheB, nheC secara berurutan dan gen pengkode toksin Hbl pada nomor 5 hingga 7 yaitu, hblA, hblC, hblD secara berurutan. Toksin Hbl dan Nhe merupakan faktor virulensi pada B. cereus yang dapat menyebabkan sakit diare (Tewari & Abdullah, 2015). Hemolisin BL (Hbl) merupakan tiga komponen toksin yang terdiri dari dua litik protein, L2 dan L1, serta komponen pengikat B yang dikode dengan hblC, hblD, dan hblA. Ketiga komponen tersebut diperlukan dalam aktivitas toksin hemolisin BL (Zeighami et al., 2020).

Kontaminasi B. cereus terjadi di beberapa matriks pangan. Pada penelitian Zeighami et al., (2020) dari 200 sampel daging dari Iran sebanyak 89,6% diantaranya terdapat setidaknya satu atau lebih gen enterotoksin dari B. cereus: 5 isolat dari daging domba, 9 isolat dari daging sapi dan 12 isolat dari sampel daging yang telah dimasak. Profil enterotoksin didapatkan paling tidak satu gen Hbl kompleks (hblDAC) pada 22 isolat dan satu gen Nhe komplek (nheABC) terdeteksi pada 23 isolat B. cereus. Gen enterotoksin yang paling umum adalah nheA (58,6%), diikuti oleh hblD (51,7%), nheB dan nheC (48,3%). Kombinasi gen enterotoksin yang sering terjadi diantara sampel adalah nheA + nheB + nheC + hblA + hblD (11,5%). Penelitian sebelumnya yang terjadi di Iran sebanyak 15,6% dari sampel daging ayam mentah positif� B. cereus (Tahmasebi et al., 2014). Kasus lainnya terjadi di India di mana daging mentah dan produk daging terkontaminasi B. cereus telah dilaporkan sebanyak 30,9% positif dari kultur yang berasal dari sampel tersebut (Tewari & Abdullah, 2015).

Hasil penelitian ini tidak memeperlihatkan mengenai distribusi maupun kompleksitas gen Nhe dan Hbl pada sampel yang positif namun, dapat dikonfirmasi bila sampel keripik kentang kemasan terkontaminasi terduga B. cereus berdasarkan adanya gen NheA, NheB, NheC dan gen HblA, HblC, HblD karena pita DNA teramplifikasi sesuai dengan panjang dan urutan primer dari gen pengkode toksin tersebut. Seperti pada penelitian Zeighami et al., (2020) dari sampel yang berbeda menunjukkan adanya distribusi gen Nhe dan Hbl juga adanya komplek dari kedua gen pengkode toksin tersebut sebagai faktor virulensi B. cereus.

����������� Pada tanaman kentang, mikroorganisme yang terdapat pada kentang pun bervariasi mulai dari masa pertumbuhan, masa panen, penanganan hingga proses dalam membuat makanan berbasasis kentang sehingga Bacillus cereus yang hidup di banyak tempat di lingkungan dapat ada pada kentang mentah yang ditemukan juga pada potato puree terbuat dari kentang utuh (King et al., 2007). Selama pembuatan kentang kering, spora mikroorganisme yang tahan terhadap panas dan pengeringan dapat bertahan hidup selama proses dan mencemari produk akhir di mana B. cereus sendiri memiliki spora yang tahan terhadap lingkungan kering maupun suhu panas (Doan & Davidson, 2000) terbukti pada proses pengecatan endospora (Gambar 2.) yang perlu dilakukan pemanasan untuk memicu endosporan tersebut muncul. Produksi toksin emetik telah terbukti lebih besar pada bubur kentang atau potato puree dan pasta daripada pada nasi yang telah dimasak, meskipun jumlah akhir organisme serupa pada ketiga makanan (Rajkovic et al., 2006). Konsentrasi toksin sebesar 4,08�103 ng g-1 diukur pada kentang yang diinkubasi pada suhu 28 . Pertumbuhan dan produksi toksin juga terjadi ketika makanan diinkubasi pada suhu 12 dan 22 (King et al., 2007).

����������� Pada penelitian Zhang et al., (2017) 22,5% isolat dari total 587 sampel makanan bayi kemasan terdeteksi strain B. cereus memiliki sembilan gen enterotoksin. 97,5% isolat mengandung sedikitnya satu gen enterotoksin. Gen nheABC terdapat pada 90% isolat, sesuai dengan laporan bahwa sebagian besar strain B. cereus yang diisolasi dari berbagai sampel sumber makanan mengandung gen Nhe. Frekuensi terdapatnya gen hblCDA pada isolat B. cereus adalah 52,5%. Namun, tingkat deteksi pada strain yang berasal dari susu formula bayi dan tepung beras masing-masing adalah 45,5% dan 85,7%, menunjukkan perbedaan besar antara kedua jenis makanan bayi tersebut.

����������� Berdasarkan beberapa hasil penelitian di berbagai sumber makanan terutama berbahan dasar kentang dan sudah mengalami berbagai proses pemasakan dan bahkan penyimpanan untuk menghindari kontaminan. Namun, B. cereus yang memiliki endospora tahan pada kondisi ekstrem dan dapat meregulasi toksin Nhe dan Hbl sebagai faktor virulensi masih dapat ditemukan walaupun� B. cereus tidak menjadi sorotan utama dalam hal wabah keracunan makanan seperti kasus Salmonelosis. Selain itu, pada sampel keripik kentang kemasan dengan kode S9KKL terduga B. subtilis di mana gen Nhe dan Hbl sama-sama teramplifikasi kecuali pada nheB yang kemungkinan tidak dapat meregulasi toksin Nhe dan kasus keracunan makanan karena strain Bacillus sp. Yaitu B. cereus lebih banyak terjadi dibandingkan B. subtilis.

 

KESIMPULAN

Hasil penelitian terhadap identifikasi Bacillus sp. Pada makanan ringan berbasis Umbi-umbian telah didapatkan satu sampel keripik kentang kemasan yang terduga terdapat B. cereus dan terkonfirmasi melalui analisis molekuler dengan adanya amplifikasi gen pengkode toksin Nhe (nheA, nheB, nheC) dan Hbl (hblA, hblC, hblD) sedangkan B. subtilisi yang memiliki karakteristik koloni terduga di MYP Agar setelah melalui analisis molekuler gen nheB tidak teramplifikasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Becker, H., Schaller, G., von Wiese, W., & Terplan, G. (1994). Bacillus cereus in infant foods and dried milk products. International Journal of Food Microbiology, 23(1), 1�15.

Beecher, D. J., Pulido, J. S., Barney, N. P., & Wong, A. C. (1995). Extracellular virulence factors in Bacillus cereus endophthalmitis: methods and implication of involvement of hemolysin BL. Infection and Immunity, 63(2), 632�639.

Bintsis, T. (2017). Foodborne pathogens. AIMS Microbiology, 3(3), 529.

Dierick, K., Van Coillie, E., Swiecicka, I., Meyfroidt, G., Devlieger, H., Meulemans, A., Hoedemaekers, G., Fourie, L., Heyndrickx, M., & Mahillon, J. (2005). Fatal family outbreak of Bacillus cereus-associated food poisoning. Journal of Clinical Microbiology, 43(8), 4277�4279.

Dietrich, R., Jessberger, N., Ehling-Schulz, M., M�rtlbauer, E., & Granum, P. E. (2021). The food poisoning toxins of Bacillus cereus. Toxins, 13(2), 98.

Doan, C. H., & Davidson, P. M. (2000). Microbiology of potatoes and potato products: a review. Journal of Food Protection, 63(5), 668�683.

Ehling-Schulz, M., Guinebretiere, M.-H., Month�n, A., Berge, O., Fricker, M., & Svensson, B. (2006). Toxin gene profiling of enterotoxic and emetic Bacillus cereus. FEMS Microbiology Letters, 260(2), 232�240.

Errington, J., & Aart, L. T. van der. (2020). Microbe Profile: Bacillus subtilis: model organism for cellular development, and industrial workhorse. Microbiology, 166(5), 425�427.

Fagerlund, A., Ween, O., Lund, T., Hardy, S. P., & Granum, P. E. (2004). Genetic and functional analysis of the cytK family of genes in Bacillus cereus. Microbiology, 150(8), 2689�2697.

Harper, N. M., Getty, K. J. K., Schmidt, K. A., Nutsch, A. L., & Linton, R. H. (2011). Comparing the mannitol-egg yolk-polymyxin agar plating method with the three-tube most-probable-number method for enumeration of Bacillus cereus spores in raw and high-temperature, short-time pasteurized milk. Journal of Food Protection, 74(3), 461�464.

Heilkenbrinker, U., Dietrich, R., Didier, A., Zhu, K., Lindb�ck, T., Granum, P. E., & M�rtlbauer, E. (2013). Complex formation between NheB and NheC is necessary to induce cytotoxic activity by the three-component Bacillus cereus Nhe enterotoxin. PloS One, 8(4), e63104.

Heini, N., Stephan, R., Ehling-Schulz, M., & Johler, S. (2018). Characterization of Bacillus cereus group isolates from powdered food products. International Journal of Food Microbiology, 283, 59�64.

Jay, J. M., Loessner, M. J., & Golden, D. A. (2008). Modern food microbiology. Springer Science & Business Media.

Jovanovic, J., Ornelis, V. F. M., Madder, A., & Rajkovic, A. (2021). Bacillus cereus food intoxication and toxicoinfection. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 20(4), 3719�3761.

King, N. J., Whyte, R., & Hudson, J. A. (2007). Presence and significance of Bacillus cereus in dehydrated potato products. Journal of Food Protection, 70(2), 514�520.

Lund, T., & Granum, P. E. (1996). Characterisation of a non-haemolytic enterotoxin complex from Bacillus cereus isolated after a foodborne outbreak. FEMS Microbiology Letters, 141(2�3), 151�156.

Moi, I. M., Ibrahim, Z., Abubakar, B. M., Katagum, Y. M., Abdullahi, A., Yiga, G. A., Abdullahi, B., Mustapha, I., Ali, J., & Mahmud, Z. (2022). Properties of Foodborne Pathogens and Their Diseases. IntechOpen.

Montville, T. J., Dengrove, R., De Siano, T., Bonnet, M., & Schaffner, D. W. (2005). Thermal resistance of spores from virulent strains of Bacillus anthracis and potential surrogates. Journal of Food Protection, 68(11), 2362�2366.

Ngamwongsatit, P., Buasri, W., Pianariyanon, P., Pulsrikarn, C., Ohba, M., Assavanig, A., & Panbangred, W. (2008). Broad distribution of enterotoxin genes (hblCDA, nheABC, cytK, and entFM) among Bacillus thuringiensis and Bacillus cereus as shown by novel primers. International Journal of Food Microbiology, 121(3), 352�356.

Peng, H., Ford, V., Frampton, E. W., Restaino, L., Shelef, L. A., & Spitz, H. (2001). Isolation and enumeration of Bacillus cereus from foods on a novel chromogenic plating medium. Food Microbiology, 18(3), 231�238.

Rajkovic, A., Uyttendaele, M., Ombregt, S.-A., Jaaskelainen, E., Salkinoja-Salonen, M., & Debevere, J. (2006). Influence of type of food on the kinetics and overall production of Bacillus cereus emetic toxin. Journal of Food Protection, 69(4), 847�852.

Stenfors Arnesen, L. P., Fagerlund, A., & Granum, P. E. (2008). From soil to gut: Bacillus cereus and its food poisoning toxins. FEMS Microbiology Reviews, 32(4), 579�606.

Tahmasebi, H., Talebi, R., & Zarif, B. R. (2014). Isolated of Bacillus cereus in chicken meat and investigation β-lactamase antibiotic-resistant in Bacillus cereus from chicken meat. Advances in Life Sciences, 4(4), 200�206.

Tewari, A., & Abdullah, S. (2015). Bacillus cereus food poisoning: international and Indian perspective. Journal of Food Science and Technology, 52, 2500�2511.

Vidic, J., Chaix, C., Manzano, M., & Heyndrickx, M. (2020). Food sensing: Detection of Bacillus cereus spores in dairy products. Biosensors, 10(3), 15.

Webb, M. D., Barker, G. C., Goodburn, K. E., & Peck, M. W. (2019). Risk presented to minimally processed chilled foods by psychrotrophic Bacillus cereus. Trends in Food Science & Technology, 93, 94�105.

Zeighami, H., Nejad-Dost, G., Parsadanians, A., Daneshamouz, S., & Haghi, F. (2020). Frequency of hemolysin BL and non-hemolytic enterotoxin complex genes of Bacillus cereus in raw and cooked meat samples in Zanjan, Iran. Toxicology Reports, 7, 89�92.

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2022 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).