Perbandingan Kualitas Spermatozoa Babi Landrace dalam Pengencer Dasar Natrium Chloride Fisiologis dengan Level Kuning Telur yang Berbeda

 

Comparison of Sperm Quality of Landrace Pigs in Physiological Sodium Chloride Diluent with Different Levels of Egg Yolk

 

1)* Sefania Ina Mato, 2)W. Marlene Nalley, 3)Thomas Mata Hine, 4)Aloysius Marawali

1,2,3,4 Fakultas Peternakan, Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana.

 

*Email: 1) [email protected]

*Correspondence: 1) Sefania Ina Mato

 

DOI: 10.59141/comserva.v4i1.1292

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui level optimal kuning telur (KT) dalam pengencer natrium chloride fisiologis (NaClF) untuk preservasi spermatozoa babi landrace. Materi penelitian adalah semen yang berkualitas baik (motilitas spermatozoa ≥70%, abnormalitas spermatozoa <20%) yang ditampung dari dua ekor babi jantan landrace, yang berumur � dua tahun. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari enam perlakuan, yakni: P0: NaClF, P1: NaClF+5% KT, P2: NaClF+10% KT, P3: NaClF+15% KT, P4: NaClF+20% KT, P5: NaClF25% KT. Setiap perlakuan mendapat ulangan lima kali. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah motilitas, viabilitas, abnormalitas, dan daya tahan hidup spermatozoa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hingga jam ke-24 preservasi, penambahan KT 5-25% ke dalam pengencer NaClF menghasilkan motilitas dan daya tahan hidup spermatozoa yang lebih tinggi daripada kontrol (P<0,05), namun untuk variabel viabilitas dan abnormalitas spermatozoa menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan (P>0,05). Disimpulkan bahwa level optimal KT dalam pengencer NaClF untuk preservasi spermatozoa babi landrace adalah 20%.

 

Kata kunci: Babi landrace, Kuning telur, NaCl fisiologis, spermatozoa

 

ABSTRACT

physiological sodium chloride diluent (NaClF) for the preservation of spermatozoa in landrace pigs. The research material was good quality semen (spermatozoa motility ≥70%, spermatozoa abnormality <20%) collected from two male landrace boars, aged � two years. The design used was a completely randomized design consisting of six treatments, namely: T0: NaClF, T1: NaClF+5% EY, T2: NaClF+10% EY, T3: NaClF+15% EY, T4: NaClF+20% EY, T5: NaClF+25% EY. Each treatment received five repetitions. The variables measured in this study were motility, viability, abnormalities, and survival of spermatozoa. The results of this study showed that until the 24th hour of preservation, the addition of 5-25% EY into the NaClF diluent resulted in higher motility and survival of spermatozoa than the control (P<0.05), but for the variable viability and abnormalities of spermatozoa showed insignificant effect (P>0.05). It was concluded that the optimal level of EY in NaClF diluent for the preservation of spermatozoa in landrace pigs was 20%..

 

Keywords: Landrace pig, Egg yolk, physiological NaCl, spermatozoa

 

 


 

PENDAHULUAN

Pengenceran semen merupakan salah satu kegiatan dalam bioteknologi inseminasi buatan (IB) yang bertujuan agar mutu spermatozoa dapat tertahan dalam jangka waktu yang cukup panjang sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan waktu pelaksanaan IB. Menurut (Press, 2014), unsur-unsur yang terkandung dalam bahan pengencer spermatozoa tidak boleh beracun terhadap sperma dan alat reproduksi betina, serta harus hampir sama dengan sifat kimiawi dan fisik spermatozoa.

����������� Diantara bahan pengencer semen, dapat menggunakan salah satu bahan yaitu larutan natrium chloride fisiologis (NaClF). Larutan NaClF bersifat isotonis dengan cairan sel dan dapat menyeimbangan elektron yang sesuai dengan kebutuhan spermatozoa (Nilna, 2010). Penggunaan NaClF secara tunggal tidak optimal dalam menunjang daya hidup dan motilitas spermatozoa babi, oleh karena itu perlu penambahan bahan lain yang mengandung nutrisi atau substrat energi agar dapat mempertahankan pergerakannya dalam media penyimpanan dan memperpanjang waktu kelangsungan hidup spermatozoa (Isnaini, 2000).

Kuning telur sebagai bahan yang ditambahkan dalam pengencer �berfungsi sebagai sumber energi yang terkandung karbohidrat berupa lesitin, lipoprotein serta glukosa yang melindungi spermatozoa dari efek pendinginan selama proses pengawetan (Nalley & Arifiantini, 2011) (Robert, 2006) (Kommisrud et al., 2002). Namun demikian, belum ada informasi yang cukup tentang kombinasi yang tepat antara KT dan NaClF sebagai pengencer spermatozoa babi landrace.

Penambahan KT dengan level yang tepat pada pengencer NaClF diharapkan mampu menjaga kualitas spermatozoa dengan lebih baik selama penyimpanan in vitro. Penelitian ini bertujuan agar dapat mengetahui level optimal kuning telur (KT) dalam pengencer natrium chloride fisiologis (NaClF) untuk preservasi sperma babi landrace.

 

METODE

Materi Penelitian

Dua ekor babi landrace jantan sehat umur � dua tahun dalam keadaan sehat digunakan sebagai bahan penelitian untuk diambil semen segarnya. Dalam kandang individu babi dipelihara yang sudah lengkap dengan tempat air minum dan pakan. Pengencernya adalah NaClF ditambahkan dengan KT.

 

Metode Penelitian

Menggunakan metode rancangan acak lengkap pada penelitian ini dengan 6 perlakuan dan 5 ulangan, dengan perlakuan yaitu: P0= NaClF, P1= NaClF+KT 5%, P2= NaClF+KT 10%, P3 =NaClF+KT 15%, P4= NaClF+KT 20%, P5= NaClF+KT 25%.

 

Persiapan Pengencer NaCl Fisiologis

Natrium chloride fisiologis (NaClF) yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan infus natrium chloride 0,9%. Sebanyak 100 mL NaClF diisi ke dalam beaker glass dan ditambahkan dengan streptomycn 1.000 �g dan penicilin 1.000 IU per mL. Campurkan larutan tersebut hingga homogen dan dibagi ke dalam 6 tabung perlakuan sesuai dengan kebutuhan dengan menggunakan mikropipet.

 

Persiapan Kuning Telur

70% alkohol digunakan untuk membersihkan cangkang telur agar steril lalu telur dikeringkan dengan cara diusap menggunakan �tisu hingga kering, pecahkan cangkang telur dari bagian atas yang terlihat lancip dengan menggunakan pinset steril, lalu dipisahkan kuning telur dari putih telur secara perlahan, kemudian kuning telur diletakkan pada kertas saring agar sisa putih telur dapat diserap, lalu pindahkan kuning telur ke beaker glass.� Kuning telur siap dipakai.

Pembuatan Pengencer NaClF-KT

Kuning telur diisi ke dalam keenam tabung perlakuan yang sebelumnya telah berisi NaClF, dengan level KT yang ditambahkan yakni, 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%. Campur kedua bahan tersebut hingga homogen. Pengencer disimpan pada suhu 3-8oC dalam lemari pendingin hingga saat digunakan. Pembuatan pengencer NaClF-KT dibuat 12-24 jam sebelum digunakan untuk pengenceran semen.

 

Evaluasi Semen

Pada penelitian ini evaluasi semen ditentukan melalui dua cara, yaitu: makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi semen secara makroskopis meliputi: (1) volumen semen, ukur dengan mengacu pada angka tabung gelas ukur berskala, (2) warna semen, spermatozoa sering berwarna putih susu, seperti yang diamati langsung pada gelas ukur, (3) konsistensi semen pada babi yaitu encer, dapat dilihat dengan memposisikan tabung semen sejajar mata dengan jarak kurang lebih 30 cm, (4) derajat keasaman (pH), teteskan semen pada kertas lakmus skala 6,4-10. selanjutnya amati kertas lakmus yang berubah warna �lalu sesuaikan dengan kertas indikator pH yang berwarna.

Secara mikroskopis meliputi: (1) motilitas spermatozoa. Pemeriksaan motilitas adalah metode pemeriksaan visual dengan menggunakan mikroskop. Penilaian dilihat dengan meneteskan 1 tetes semen pada glass object yang hangat, kemudian tutup menggunakan cover glass dan amati dibawah mikroskop yaitu 10�40 pembesaran. Persentase motilitas dinilai dengan cara subjektif kuantitatif dengan membandingkan pergerakan sperma yang maju bergerak ke depan dengan total spermatozoa pada delapan lapang pandang mikroskop teramati. Diberikan penilaian antara 0-100 dengan berkisar 5% (Arifiantini, 2012).

(2) Viabilitas spermatozoa. Pemeriksaan viabilitas dilakukan berdasarkan persentase spermatozoa yang hidup. Teknik pengukuran viabilitas yakni: teteskan semen pada glass object menggunakan pipet plastik, lalu teteskan pewarna eosin-negrosin 2 tetes dan homogenkan. Setelah dihomogenkan, segera dilakukan ulasan secara tipis pada object glass yang lain. Pengulasan� hanya dapat dilakukan pada satu arah saja dan tidak bisa melakukan pengulangan, object glass yang sudah dibuat ulasan tersebut dikeringkan diatas lampu bunsen dan diamati atau diperiksa menggunakan 10�40 pembesaran dibawah mikroskop. Minimal sperma yang dihitung adalah 200 sel spermatozoa. Spermatozoa yang hidup berwarna bening transparan karena tidak menyerap warna merah ungu, sedangkan spermatozoa yang mati akan menyerap warna merah ungu dari eosin-negrosin di kepala. Perhitungan nilai viabiltas dihitung dengan rumus:

(3) Abnormalitas sperma. Abnormalitas spermatozoa diperiksa dengan cara semen di warnai dengan eosin-negrosin, kemudian diamati menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10�40. Spermatozoa abnormal dapat dilihat dari morfologis sperma tidak normal, baik abnormalitas sekunder �ataupun primer. Perhitungan nilai abnormalitas diperoleh sesuai rumus:

(4) Konsentrasi spermatozoa. Teknik perhitungan konsentrasi spermatozoa diperlukan neubauer dan pipet eritrosit. Sedot semen ke dalam pipet eritrosit sampai pada tanda 0.5 dan dilanjutkan menyedot NaCl 3% sampai pada tanda 101. Homogenkan semen dengan larutan NaCl 3% tersebut dengan gerakan yang menyerupai angka delapan selama kurang lebih 30 detik,� lalu buang beberapa tetes, ulangi gerakan memutar seperti sebelumnya, dan selanjutnya satu tetes larutan tersebut diatas kamar hitung neubaure dan ditutupi dengan cover glass. Cairan dibiarkan mengalir pada bidang hitung diseberangnya. Kamar hitung neubauer ditempatkan dibawah mikroskop lalu diamati dengan 10�40 pembesaran, dan temukan batas-batas garis pada bidang hitung. Neubauer yang terdapat bidang hitung mempunyai kotak kecil 25 yang dibatasi oleh 3 buah garis di keempat sisinya (kanan, kiri, bawah, dan atas). Ada yang lebih kecil lagi 16 kotak didalam tiap kotak yang dibatasi 3 garis. Setelah bidang hitung terlihat jelas, pilihlah setiap kotak yang ada pada sudut (kanan atas, kiri atas, tengah, kanan bawah, dan kiri bawah) yaitu lima buah kotak. Lalu hitunglah semua spermatozoa yang terdapat dalam kelima kotak tersebut. Perhitungan konsentrasi diperoleh sesuai rumus:����

���������������������������

Keterangan: X= Jumlah Spermatozoa Hasil Perhitungan

Pengenceran Semen

Semen segar dibagi ke dalam 6 tabung yang telah diisi terlebih dahulu bahan pengencer, untuk setiap perlakuan serta perbandingan pengencer 2 bagian dan semen 1 bagian. Gunakan mikropipet untuk pengisian semen. Kemudian semen dihomogenkan dengan bahan pengencer.

 

Preservasi Semen

Bagikan Semen yang sudah diencerkan ke dalam eppendorf microtube berukuran 1.5 mL dan disimpan kedalam aqua gelas yang telah dialasi dengan tissu menurut masing-masing perlakuan, lalu simpan kedalam cool box pada suhu 15-20oC yang dilakukan pengamatan setiap 8 jam dan dikontrol dengan menggunakan thermometer.

 

Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variable yang diukur yaitu: (1) Motilitas sperma (%): dinilai berdasarkan perbandingan total yang bergerak progresif dari sperma dengan jumlah sperma diamati di bawah mikroskop. (2) Viabilitas sperma (%): dinilai berdasarkan perbandingan jumlah atau total yang hidup dari spermatozoa dengan jumlah sperma yang diamati di bawah mikroskop. (3) Abnormalitas sperma (%): dinilai berdasarkan perbandingan jumlah abnormal dari sperma, dengan total yang dihitung di bawah mikroskop. Teknik pengukuran variabel motilitas, viabilitas dan abnormalitas sperma sama dengan teknik pengukuran kualitas semen segar. (4) Daya tahan hidup sperma dihitung berdasarkan periode lama penyimpanan sperma hingga persentase motilitas mencapai 40%.

 

Analisis Data

Analisis seluruh data yang terkumpul menggunakan analysis of variance (Anova) lalu dilanjutkan uji Duncan dengan program software SPSS 26.0 for windows.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Motilitas Spermatozoa

Daya gerak progresif sperma atau motilitas memiliki peran utama pada proses pembuahan (Yona, 2017). Agar sel telur dapat dibuahi, maka sangat penting diperlukan daya gerak spermatozoa agar bergerak maju dalam saluran kelamin betina. Gerakan spermatozoa berputar-putar, bergerak ditempat dan yang tidak bergerak tidak dihitung karena spermatozoa demikian tidak dapat membuahi ovum. Dapat dilihat pada Tabel 1 hasil penelitian� motilitas spermatozoa babi landrace dalam pengencer NaClF dengan penambahan berbagai level kuning telur.

Tabel 1. Motilitas spermatozoa dalam pengencer NaClF yang ditambahkan berbagai level kuning telur

Perlakuan

Jam pengamatan

0

8

16

24

32

P0

84,00�2,24a

52,00�4,47d

44,00�4,18e

30,00�3,54d

14,00�4,18d

P1

84,00�2,24a

64,00�5,48c

51,00�5,48d

37,00�4,47c

20,00�3,54c

P2

84,00�2,24a

71,00�2,24ab

59,00�5,48bc

42,00�7,58bc

24,00�4,18bc

P3

84,00�2,24a

74,00�2,24a

62,00�2,74ab

46,00�4,18ab

27,00�4,47b

P4

84,00�2,24a

74,00�2,24a

66,00�2,24a

52,00�4,47a

32,00�2,74a

P5

84,00�2,24a

69,00�2,24b

55,00�7,91cd

37,00�4,47c

22,00�2,74bc

P-Value

1,00

0,00

0,00

0,00

0,00

Keterangan:abcde Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05). P0= NaClF, P1= NaClF+KT 5%, P2= NaClF+KT 10%, P3= NaClF+KT 15%, P4= NaClF+KT 20%, P5= NaClF+KT 25%.

Pada jam ke-0 penyimpanan menampilkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan (P>0,05) antara perlakuan. Fakta bahwa ketersediaan zat-zat makanan dan unsur pelindung dalam masing-masing pengencer tersebut masih dapat memenuhi kebutuhan spermatozoa bisa menjadi alasan penyebab tidak adanya atau kurangnya perbedaan yang signifikan pada jam ke-0 penyimpanan. Menurut (Johnson et al., 2000), ketersediaan atau kandungan zat nutrisi yang terdapat di dalam pengencer merupakan unsur yang selama penyimpanan in vitro mempengaruhi motilitas sperma.

Namun sejak jam kedelapan sampai pada jam kedua puluh empat penyimpanan, motilitas spermatozoa ditemukan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05), teramati sejak jam kedua puluh empat penyimpanan perlakuan P4 memperlihatkan motilitas spermatozoa tertinggi, dan sangat berbeda (P<0,005) terhadap perlakuan P5, P2, P1, dan P0, tetapi perlakuan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05). Menghasilkan motilitas spermatozoa perlakuan P2, P1, dan P0 lebih rendah dari perlakuan P4 diduga akibat kurangnya sumber energi/nutrisi atau level kuning telur dalam bentuk lipoprotein dan lesitin, sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap spermatozoa dari cekaman dingin selama proses preservasi menjadi berkurang. (Butta et al., 2021) juga melaporkan bahwa terlalu rendah kandungan kuning telur, sehingga integritas selubung membran plasma spermatozoa kurang optimal untuk dipertahankan. Didalam kuning telur terkandung lesitin yang berfungsi sebagai membrane penutup untuk mempertahankan struktur membrane lapisan fosfolipid, yang membentuk sebagian besar membran sel spermatozoa (Moussa et al., 2002). Selain itu, saat spermatozoa dipertahankan pada suhu rendah setelah didinginkan dari suhu tubuh ke suhu kamar, komponen kolesterol kuning telur juga bagus untuk melindungi spermatozoa (Aboagla & Terada, 2004). Kandungan kolesterol yang sangat tinggi dalam spermatozoa biasanya memiliki struktur membran plasma yang lebih kompak, membuatnya lebih tahan lama terhadap efek stres dingin. Tingkat integritas membran spermatozoa dan kadar kolesterol membran sangat berkorelasi (Flesch & Gadella, 2000). Keadaan ini menjelaskan mengapa perlindungan membran spermatozoa belum optimal dicapai karena kadar kuning telur yang rendah pada perlakuan P0, P1, dan P2.

Meningkatnya tekanan osmotik larutan pengencer, diduga akibat penambahan kuning telur dengan level yang berlebihan, sehingga terlihat pada perlakuan P5 lebih rendah motilitas spermatozoanya dari pada perlakuan P4. Menurut (MAULIDA, 2014), kenaikan hipertonik atau tekanan osmotik dapat mengakibatkan penurunan permeabilitas membran plasma spermatozoa serta cairan berpindah dari bagian dalam sel spermatozoa keluar tubuh spermatozoa, yang meningkatkan persentase kematian sel spermatozoa. Kepekatan pada larutan pengencer diakibatkan oleh meningkatnya tekanan osmotik larutan pengencer sehingga semakin banyak jumlah lemak kuning telur yang dapat menghambat gerakan spermatozoa serta spermatozoa menjadi lebih aktif untuk melewati butiran-butiran lemak kuning telur. Gangguan ini mengakibatkan kebutuhan energy yang meningkat lebih cepat, sehingga sumber energi berkurang untuk spermatozoa dan asam laktat menjadi menumpuk dari metabolisme yang dapat menurunkan daya hidup spermatozoa selama penyimpanan dan berdampak negative pada motilitas spermatozoa (Setyaningsih, 2012).

Persentase motilitas spermatozoa yang lebih tinggi dari kontrol yang ditunjukkan oleh hasil penelitian membuktikan bahwa penambahan level kuning telur 20% ke pengencer NaClF dapat meningkatkan komposisi pengencer dan keadaan fisiologis pengencer. Secara nyata kondisi ini terlihat jelas bahwa pada jam pengamatan kedelapan hingga pada jam kedua puluh empat setelah pengenceran, dimana perlakuan yang lain selalu menghasilkan nilai motilitas yang lebih rendah dari perlakuan P4, sehingga perlakuan ini menghasilkan daya tahan hidup spermatozoa hingga 28,68 jam yang lebih tinggi daripada perlakuan kontrol mencapai 19,72 jam berdasarkan standar motilitas spermatozoa yang layak IB yakni 40%. Hal ini mengindikasikan bahwa level kuning telur 20% yang ditambahkan ke dalam pengencer NaClF lebih mampu menunjang motilitas spermatozoa.�

Data pada Tabel 1 juga menunjukkan adanya penurunan motilitas spermatozoa seiring bertambahnya umur penyimpanan pada semua perlakuan. Motilitas spermatozoa menurun dengan meningkatnya waktu penyimpanan karena semakin sedikit energi yang tersedia (Solihati et al., 2006). Spermatozoa terus melakukan proses metabolisme selama berada dalam penyimpanan. Karena spermatozoa terus memetabolisme metabolic selama penyimpanan, maka pH menurun dengan waktu penyimpanan diperpanjang. Menurut (Toelihere, 1993), metabolisme anaerob spermatozoa menghasilkan produksi asam laktat, yang kian terkubur dan pH semen diturunkan yang pada akhirnya mengurangi daya hidup spermatozoa dan motilitas.

Viabilitas Spermatozoa

Perbedaan afinitas pewarna antara sel spermatozoa mati dan spermatozoa hidup digunakan untuk menilai viabilitas spermatozoa. Menurut (Zhou et al., 2022), spermatozoa hidup tampak tembus cahaya, transparan, atau tidak berwarna, sedangkan spermatozoa mati tampak ungu kemerahan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa lebih rendah dari viabilitas. Sesuai dengan laporan (Kostaman & Suatama, 2006), jumlah spermatozoa hidup selalu lebih banyak dibandingkan motilitas spermatozoa sebab spermatozoa yang bergerak secara progresif pasti hidup, namun spermatozoa yang hidup belum tentu bergerak secara progresif. Tabel 2 menampilkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap viabilitas spermatozoa babi landrace dalam pengencer NaClF dengan penambahan kuning telur.

 

Tabel 2. Viabilitas spermatozoa dalam pengencer NaClF yang ditambahkan berbagai level� kuning telur

Perlakuan

Jam pengamatan

0

8

16

24

32

P0

90,00�4,30a

70,60�8,47b

65,11�7,97a

48,34�4,02a

34,60�3,19b

P1

91,00�4,30a

76,86�7,36ab

74,42�10,95a

54,90�4,93a

35,62�3,71ab

P2

91,00�4,30a

80,43�3,68a

73,16�7,62a

54,53�4,93a

36,34�2,87ab

P3

91,00�4,30a

81,06�2,23a

71,86�7,51a

55,56�10,19a

37,74�2,42ab

P4

91,00�4,30a

84,09�2,46a

74,90�3,22a

56,93�5,68a

39,54�2,64a

P5

91,00�4,30a

80,22�3,79a

71,63�6,42a

54,00�7,49a

38,32�2,70ab

P-Value

1,00

0,01

0,40

0,53

0,13

Keterangan:ab Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05). P0= NaClF, P1= NaClF+KT 5%, P2= NaClF+KT 10%, P3= NaClF+KT 15%, P4= NaClF+KT 20%, P5= NaClF+KT 25%.

Berdasrkan hasil analisis statistik viabilitas spermatozoa menunjukkan bahwa pada pengamatan penyimpanan jam ke-24, 16, dan 0, perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap viabilitas spermatozoa, namun penyimpanan pada jam ke 8, perlakuan P5, P4, P3, P2, dan P1 �tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), dan kelima perlakuan tersebut berbeda nyata (P<0,05) terhadap P0 terhadap viabilitas spermatozoa. Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya perbedaan viabilitas hanya pada jam ke-8 penyimpanan, sedangkan di jam penyimpanan 24, 16, dan 0 tidak memiliki perbedaan viabilitas spermatozoa. Namun secara umum disimpulkan bahwa level kuning telur yang berbeda menghasilkan viabilitas yang tidak berbeda pula hingga jam penyimpanan ke-24.

Dapat dilihat Tabel 2 bahwa level kuning telur tidak berpengaruh terhadap viabilitas (P>0,05) tetapi berpengaruh terhadap motilitas spermatozoa (P<0,05). ini menunjukkan dengan atau tanpa ditambahkan kuning telur pada pengencer NaClF kualitas viabilitas spermatozoa tidak mampu dipertahankan pada saat disimpan di suhu ruang, kemungkinan karena peroksida lipid yang terjadi sebelum penambahan kuning telur.

Menurut (Solihati et al., 2008), karena peningkatan jumlah spermatozoa yang mati dan rusak akibat kekurangan energi, maka viabilitas spermatozoa pada setiap perlakuan menurun secara bertahap setiap jamnya. Akibat lapisan lipid di membran sperma babi terlalu tipis, spermatozoa tidak mampu bertahan dalam suhu rendah, sehingga semen babi sangat rentan terhadap perubahan suhu selama waktu penyimpanan dan proses pengenceran. Selama penyimpanan, metabolisme spermatozoa akan bereaksi dengan oksigen sehingga menghasilkan radikal bebas. Menurut (Sikka, 1996), produksi radikal bebas akan menyebabkan peroksida lipid yang akan menurunkan daya hidup sperma dan motilitas.

Menurut (Sumardani et al., 2008), yang hampir optimal dari aktivitas seluler dapat menyebabkan cenderung menurunnya kualitas selama proses pengawetan dengan menyebabkan substrat energy dalam plasma semen babi lebih habis cepat dan asam laktat terakumulasi sebagai produk sisa metabolisme pada konsentrasi tinggi yang bersifat beracun bagi sperma. Stress oksidatif� sperma selama disimpan pada suhu rendah juga bisa mengakibatkan menurunnya viabilitas sperma.

�Sesuai dengan pernyataan (Situmorang, 2002), bahwa proses pendinginan memberikan tekanan pada membrane sel secara kimia dan fisik sehingga viabilitas spermatozoa dapat menurun.

Abnormalitas Spermatozoa

Abnormalitas spermatozoa sangat berperan penting karena akan berdampak pada kualitas sperma. Menurunnya fertilitas semen disebabkan oleh penyimpangan morfologis yang dikenal sebagai abnormalitas. Semen dengan nilai abnormalitas spermatozoa kurang dari 20% masih sesuai untuk diinseminasi, setiap spermatozoa abnormal, terlepas dari apakah abnormalitas terjadi dalam tubulus seminiferous atau waktu ejakulasi, tidak dapat membuahi sel telur (Partodihardjo, 1992).

Abnormalitas sekunder dan abnormalitas primer adalah dua klasifikasi abnormalitas spermatozoa.� Mayoritas kelainan spermatozoa diamati selama penelitian merupakan kelainan sekunder seperti ekor tergulung, ekor tanpa kepala atau ekor putus, yang disebabkan karena perlakuan pada saat pengenceran dan saat preparat ulas dibuat, abnormalitas primer pada spermatozoa terbentuk saat proses spermatogenesis (Solihati et al., 2008). Tabel 3 menampilkan hasil penelitian abnormalitas spermatozoa babi landrace dalam pengencer NaClF dengan penambahan berbagai level kuning telur.

Tabel 3. Abnormalitas spermatozoa dalam pengencer NaCl fisiologis yang� ditambahkan berbagai level kuning telur

Perlakuan

Jam pengamatan

0

8

16

24

32

P0

2,80�0,84a

3,40�0,56a

6,20�0,84a

8,40�1,34a

9,20�0,84a

P1

2,80�0,84a

3,20�0,84a

5,20�0,84ab

8,20�1,30a

9,00�1,00a

P2

2,80�0,84a

3,20�0,84a

5,60�1,14ab

7,80�1,64a

8,80�0,84a

P3

2,80�0,84a

3,00�1,00a

5,40�0,55ab

8,40�0,89a

8,60�1,14a

P4

2,80�0,84a

2,80�0,84a

4,60�1,14b

7,40�1,14a

8,20�1,10a

P5

2,80�0,84a

3,20�0,84a

6,00�0,71a

8,00�0,71a

9,00�0,71a

P-Value

1,00

0,90

0,10

0,76

0,33

Keterangan:ab Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05). P0= NaClF, P1= NaClF+KT 5%, P2= NaClF+KT 10%, P3= NaClF+KT 15%, P4= NaClF+KT 20%, P5= NaClF+KT 25%.

Pada Tabel 3 menyatakan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap abnormalitas spermatozoa kecuali jam pengamatan ke-16 (P<0,05). Namun berpatokan pada jam ke-24 pengamatan terlihat bahwa perbedaan level kuning telur yang ditambahkan ke dalam pengencer NaClF tidak menyebabkan perbedaan abnormalitas spermatozoa. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kerusakan morfologi spermatozoa tidak terpengaruh oleh penyimpanan selama 24 jam. Menurut (Pasyah et al., 2022) bahwa rusaknya struktur spermatozoa yang diasumsikan alami kejadian saat proses menyimpan tidak diubah morfologi spermatozoa, sehingga tidak berpengaruh terhadap persentase abnormalitas.

Secara umum, terlepas dari perlakuan yang diberikan, stres, genetik ternak, penyakit, suhu lingkungan dan bahkan kurangnya penanganan yang baik selama pengambilan semen merupakan faktor penyebab terjadinya abnormalitas pada spermatozoa (Arifiantini & Ferdian, 2006). dan (Arifiantini et al., 2010) mengklaim bahwa dampak dari efek cold shock serta nutrisi yang kurang seimbang merupakan penyebab meningkatnya abnormalitas spermatozoa. Angka abnormalitas meningkat juga disebabkan karena pembuatan preparat pada saat sebelum dilakukan pengamatan. Dimana pada saat pembuatan preparat peneliti menekan kaca preparat dengan kuat sehingga menyebabkan terputusnya ekor dan kepala spermatozoa.

(Prawirosentono & Primasari, 2022), keberadaan peroksida lipid dapat menyebabkan angka abnormalitas menjadi meningkat. Kerusakan membran yang disebabkan oleh interaksi antara asam lemak tak jenuh dan radikal bebas dikenal sebagai peroksida lipid. Mitokondria yang terdapat di bagian tengah spermatozoa yang terlibat dalam terbentuknya siklus krebs, energi dan oksidasi asam lemak, dapat menyebabkan kerusakan pada membrane plasma akibat peroksida lipid.

Seiring dengan berkurangnya jumlah spermatozoa yang abnormal maka akan semakin meningkat kualitas semen. Menurut (Johnson et al., 2000), meskipun jumlah abnormalitas semakin meningkat hingga jam ke 32 pengamatan, namun masih tergolong rendah karena berada di bawah persentase abnormalitas maksimal yakni kurang dari 20%. �Persentase abnormalitas sperma dalam penelitian ini lebih rendah daripada hasil penelitian (Foeh, 2015) yakni 11,1%.

Daya Tahan Hidup Spermatozoa

Spermatozoa yang mampu tetap bergerak selama jangka waktu tertentu disebut daya tahan hidup spermatozoa. Motilitas spermatozoa tidak boleh kurang dari 40% untuk keperluan IB, sehingga dalam penelitian ini pengamatan daya tahan hidup spermatozoa hanya sampai motilitas spermatozoa mencapai 40% (Salisbury et al., 1985). Tabel 4 menampilkan Hasil penelitian daya tahan hidup spermatozoa babi landrace dalam pengencer NaClF dengan penambahan berbagai level kuning telur.

Tabel 4. Daya tahan hidup spermatozoa (jam) dalam pengencer NaCl fisiologis� yang ditambahkan berbagai level kuning telur

Perlakuan

DTH

P0

19,72�4,33d

P1

21,60�2,19cd

P2

24,80�3,03bc

P3

26,52�1,66ab

P4

28,68�1,44a

P5

22,52�2,36cd

P-Value

0,00

Keterangan:abcd Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05). P0= NaClF, P1= NaClF+KT 5%, P2= NaClF+KT 10%, P3= NaClF+KT 15%, P4= NaClF+KT 20%, P5= NaClF+KT 25%.

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pada perlakuan P4 pada daya tahan hidup spermatozoa berbeda nyata (P<0,05) antara perlakuan P0, P1, P2, dan P5, tetapi berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan P3. Hal tersebut mungkin berkaitan dengan ketersediaan energi, bahan pelindung terhadap kejutan dingin, dan tekanan osmotik pengencer pada setiap perlakuan.

Spermatozoa yang dipreservasi kedalam pengencer NaClF dengan tambahan kuning telur mempunyai tingkat daya tahan hidup yang lebih bertahan lama dibandingkan P0 disebabkan oleh karena spermatozoa P0 tidak mendapatkan bahan pelindung dan suplementasi zat nutrisi dari kuning telur terhadap cold shock, sehingga spermatozoa P0 akan lebih cepat mati akibat habisnya substrat energi yang hanya mengandalkan bahan yang terdapat didalam plasma semen dan sel spermatozoa, seperti plasmalogen dan fruktosa yang sangat terbatas ketersediaannya. Faktor lain yang mempengaruhi penyimpanan spermatozoa pada suhu rendah adalah kurangnya unsur pelindung pada pengencer, sehingga dapat menyebabkan kerusakan membran sel dan akhirnya menyebabkan kematian. (Salisbury et al., 1985) menyatakan bahwa untuk mempertahankan daya tahan hidup spermatozoa diperlukan bahan pengencer tambahan kedalam semen agar dalam jangka waktu yang lama daya tahan hidup sperma mampu bertahan. Oleh sebab itu kuning telur makin menjadi fakta yang kuat dalam memperpanjang hidup sperma.

Dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa perlakuan P5 menghasilkan daya tahan hidup spermatozoa yang lebih rendah dari pada perlakuan P4, kemungkinan disebabkan oleh level kuning telur yang terkandung pada perlakuan P5 lebih tinggi yaitu 25% dari pada perlakuan P4 dengan level kuning telur 20%, sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan osmotik larutan pengencer. Berdasarkan pernyataan (MAULIDA, 2014), jumlah kematian sel spermatozoa dapat naik bila terjadi penurunan permeabilitas membrane plasma spermatozoa berpindahnya cairan dari dalam sel spermatozoa ke luar tubuh spermatozoa.

Hasil pada penelitian ini terbukti bahwa komposisi pengencer dapat dipertahankan dengan penambahan kuning telur pada level 20% dalam pengencer NaClF, sehingga spermatozoa dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh protein, karbohidrat dan bahan-bahan pelindung masih dalam keadaan seimbang untuk menopang daya tahan hidup spermatozoa. Menurut (Shipley, 1999), pengencer yang sempurna harus memenuhi beberapa kriteria, seperti mampu menyuplai karbohidrat untuk energi dan memiliki komponen yang mampu melindungi sperma dari efek pendinginan. Lesitin dan lipoprotein, dua komponen yang terdapat pada kuning telur, dapat menopang serta melindungi sperma dari stres dingin (Toelihere, 1981).

 

SIMPULAN

Berdasarkan� hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa level optimal kuning telur dalam pengencer natrium chloride fisiologis untuk preservasi spermatozoa babi landrace adalah 20%.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aboagla, E. M.-E., & Terada, T. (2004). Effects of the supplementation of trehalose extender containing egg yolk with sodium dodecyl sulfate on the freezability of goat spermatozoa. Theriogenology, 62(5), 809�818.

 

Arifiantini, R. I. (2012). Teknik koleksi dan evaluasi semen pada hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

 

Arifiantini, R. I., & Ferdian, F. (2006). Tiqjauan Aspek Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kerbau Rawa (Bubalus Bubalis) yang Dikoleksi dengan Teknik Masase.

 

Arifiantini, R. I., Yusuf, T. L., & Yanti, D. (2010). Kaji Banding Kualitas Semen Beku Sapi Frisien Holstein menggunakan Pengecer dari Berbagai Balai Inseminasi Buatan di Indonesia.

 

Butta, C. A., Gaina, C. D., & Foeh, N. D. F. K. (2021). Motilitas dan viabilitas spermatozoa babi dalam pengencer air kelapa-kuning telur ayam kampung. Jurnal Veteriner Nusantara, 4(1), 3.

 

Flesch, F. M., & Gadella, B. M. (2000). Dynamics of the mammalian sperm plasma membrane in the process of fertilization. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)-Reviews on Biomembranes, 1469(3), 197�235.

 

Foeh, N. D. F. K. (2015). Dengan Ini Saya Menyatakan Bahwa Tesis Berjudul Kualitas Semen Beku Babi Dalam Pengencer Bts Dan Miii Menggunakan Krioprotektan Dimethylacetamide Dan Gliserol Dengan Sodium Dedocyl Sulphate. Bogor Agricultural University (IPB).

 

Isnaini, N. (2000). Kualitas semen ayam arab dalam pengencer NaCl fisiologis dan ringer�s pada suhu kamar. Habitat, 11.

 

Johnson, L. A., Weitze, K. F., Fiser, P., & Maxwell, W. M. C. (2000). Storage of boar semen. Animal Reproduction Science, 62(1�3), 143�172.

 

Kommisrud, E., Paulenz, H., Sehested, E., & Grevle, I. S. (2002). Influence of boar and semen parameters on motility and acrosome integrity in liquid boar semen stored for five days. Acta Veterinaria Scandinavica, 43, 1�7.

 

Kostaman, T., & Suatama, I. K. (2006). Studi Motilitas dan Daya Hidup Spermatozoa Kambing Boer Pada Pengencer Iris-Sitrat-Fruktosa= Motility and Viability Test of Boer Goat Spermatozoa at Tris-Citrat-Fruktosa Extenders. Jurnal Sain Veteriner, 24(1).

 

MAULIDA, A. N. (2014). Evaluasi Post Thawing Motility (PTM) pada Semen Beku Sapi Simental Produksi BIB Ungaran. Fakultas Peternakan & Pertanian Undip.

 

Moussa, M., Martinet, V., Trimeche, A., Tainturier, D., & Anton, M. (2002). Low density lipoproteins extracted from hen egg yolk by an easy method: cryoprotective effect on frozen�thawed bull semen. Theriogenology, 57(6), 1695�1706.

 

Nalley, W. M. M., & Arifiantini, R. I. (2011). The viability of local ram semen in TRIS buffer with three different egg yolks. Animal Production, 13(1).

 

Partodihardjo, S. (1992). Ilmu reproduksi ternak. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

 

Pasyah, B. I., Rosadi, B., & Darmawan, D. (2022). Pengaruh Penyimpanan Pada Suhu 5oC Terhadap Motilitas, Persentase Hidup (Viabilitas) Dan Abnormalitas Semen Sapi Simmental. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 24(1), 11�18.

 

Prawirosentono, S., & Primasari, D. (2022). Manajemen Stratejik & Pengambilan Keputusan Korporasi (Strategic Management & Corporate Decision Making). Bumi Aksara.

 

Press, U. G. M. (2014). Bioteknologi Inseminasi Buatan Pada Sapi Dan Kerbau. UGM PRESS.

 

Robert, V. K. (2006). Semen Processing, Extending & Storage For Artificial Insemination In Swine. Dep. Of the Animal Science University of Illinois.

 

Salisbury, G. W., VanDemark, N. L., & Djanuar, R. (1985). Fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan pada sapi. (No Title).

 

Setyaningsih, N. I. (2012). Pengaruh penambahan vitamin C dalam pengencer tris kuning telur terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa domba Merino post thawing. UNIVERSITAS AIRLANGGA.

 

Shipley, C. F. (1999). Breeding soundness examination of the boar. Journal of Swine Health and Production, 7(3), 117�120.

 

Sikka, S. C. (1996). Oxidative stress and role of antioxidants in normal and abnormal sperm function. Frontiers in Bioscience: A Journal and Virtual Library, 1, e78-86.

 

Situmorang, P. (2002). The effects of inclusion of exogenous phospholipid in Tris diluent with different level of egg yolk on the viability of bull spermatozoa. Indonesian Journal of Animal and Veterinary Science, 7(3), 181�187.

 

Solihati, N., Idi, R., Rasad, S. D., Rizal, M., & Fitriati, M. (2008). Kualitas spermatozoa cauda epididimis sapi peranakan Ongole (PO) dalam pengencer susu, tris dan sitrat kuning telur pada penyimpanan 4-5 C. Animal Production, 10(1), 22�29.

 

Solihati, N., Idi, R., Setiawan, R., & Asmara, I. Y. (2006). Pengaruh Lama Penyimpanan Semen Cair Ayam Buras pada Suhu 5 0C terhadap Periode Fertil dan Fertilitas Sperma (The Storage Time Effect of The Local Chicken Chilled Semen at 5 0C on Fertility and Fertile Period of Sperm). Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran, 6(1).

 

Sumardani, N. L. G., Tuty, L. Y., & Siagian, P. H. (2008). Viabilitas spermatozoa babi dalam pengencer BTS (Beltsville Thawing Solution) yang dimodifikasi pada penyimpanan berbeda. Media Peternakan, 31(2).

 

Toelihere. (1993). Insemenisasi Buatan pada Ternak. Angkasa.

 

Toelihere, M. R. (1981). Inseminasi buatan pada ternak. Angkasa, Bandung.

 

Yona, D. P. (2017). Pengaruh Umur Kerbau Terhadap Kualitas Semen Beku Pasca Thawing Yang Dihasilkan Di Bib Tuah Sakato Payakumbuh-Sumatera Barat. Universitas Andalas.

 

Zhou, Z., Mehmood, S., Khan, A. A., Ahmad, Z., & Khan, S. (2022). Revival of sun-and-beach tourism through the lens of regulatory and risk dimensions of environmental sustainability. Heliyon, 8(10), e10893. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e10893

 

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).