Analisis Hukum Terhadap
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1146
K/PDT.SUS-HKI.2020 Terkait Penerapan
Persamaan pada Pokoknya dalam Kasus Merek �PREDATOR� Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
� Legal Analysis of the Supreme Court's Cassation
Decision Number 1146 K/PDT.SUS-HKI.2020 Regarding the Application of Basic
Similarities in the Case of the "PREDATOR" Mark Based on Law Number
20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications
1)* Gabriella Christina Marintan, 2) Rika
Ratna Permata, 3) Sudaryat
1,2,3 Universitas Padjadjaran.
*Email: 1) [email protected] 2) [email protected] 3) [email protected]
*Correspondence: 1) Gabriella
Christina Marintan
DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1281 |
ABSTRAK Keberadaan merek saat ini memilik peran penting
sebagai suatu identitas yang baik untuk melindungi produk serta menjadi
jaminan atas kualitas produk atau layanan dalam persaingan pasar. Untuk dapat
dilindungi, suatu merek harus didaftarkan terlebih dahulu dan sudah memenuhi
syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Merek dapat saja ditolak
atau dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Pada kasus
sengketa merek �PREDATOR�, Acer Incorporated selaku Penggugat mengajukan
gugatan kepada Komisi Banding Merek yang telah mengajukan putusan untuk
menolak permohonan banding atas pendaftaran merek �PREDATOR� milik Penggugat
karena adanya persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar
dengan nama dan jenis barang yang sama. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian dengan penedekatan yuridis normatif berdasarkan hukum yang
berlaku. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pertama,� terdapat disparitas antara Majelis Hakim
pada Pengadilan Niaga dan Hakim Agung pada Pengadilan Kasasi. Kedua, terdapat
inkosistensi pada Putusan Majelis Kasasi dalam menafsirkan unsur Persamaan
Pada Pokoknya dan menafsirkan tujuan dari gugatan Penggugat. Kata kunci: Merek Terdaftar, Merek Terkenal, Persamaan
Pada Pokoknya. |
ABSTRACT
The existence of a trademark today has an important
role as a good identity to protect products and guarantee the quality of
products or services in market competition. To be protected, a mark must first
be registered and meet the conditions stipulated by the trademark law. The
trademark may be rejected or canceled if it does not meet the specified
conditions. In the case of the "PREDATOR" trademark dispute, Acer
Incorporated as the Plaintiff filed a lawsuit with the Trademark Appeal
Commission which has filed a decision to reject the appeal against the
registration of the Plaintiff's "PREDATOR" mark because of the
similarities in essence with the mark that has been registered with the same
name and type of goods. This research uses research methods with a normative
juridical approach based on applicable law. The results showed that First,
there is a disparity between the Panel of Judges in the Commercial Court and
the Chief Justice in the Court of Cassation. Second, there is inconsistency in
the Decision of the Cassation Panel in interpreting the element of Equality in
Essence and interpreting the purpose of the Plaintiff's claim
Keywords:
Registered
Trademark ; Substansial Similarity ; Famous Marks
PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini,
hampir seluruh aspek kehidupan manusia mengalami perubahan yang signifikan, salah satunya dalam aspek
ekonomi dan bisnis (Dacholfany, 2015). Adanya globalisasi memberikan peluang semakin terbukanya sektor produksi barang dan jasa baik di dalam
dan luar negeri. Pada sektor
produksi, lahirnya suatu barang maupun
jasa tidak dapat terlepas dari kreativitas atau hasil olah
pikir manusia (Shofiyah, 2019). Pada dunia bisnis saat ini,
hasil olah pikir atau kreativitas
manusia tersebut merupakan hal yang memiliki nilai dan dikenal sebagai aset-aset tak berwujud
yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual. KI dianggap sebagai suatu aset yang bernilai karena karya-karya intelektual dilahirkan dengan pengorbanan, tenaga, waktu, dan biaya yang menjadikannya berharga dan bernilai. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah
suatu hak untuk menggunakan, memperbanyak atau memperjualbelikan hasil karya tersebut yang kemudian dikenal dengan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) (Rizkia & Fardiansyah, 2022).
HKI saat ini memegang peranan penting untuk menjaga
persaingan usaha yang sehat dan mencegah kemungkinan adanya persaingan curang baik berupa peniruan,
pembajakan, maupun pemanfaatan atau pemakaian HKI yang tanpa hak dari pemilik
yang sebenarnya (Atsar, 2018). Oleh karena itu, untuk
dapat bersaing secara sehat dan menarik minat konsumen,
suatu perusahaan harus melakukan berbagai cara agar produknya tetap dipercaya dan dikenal orang konsumennya (Sukarmen et al., 2013). Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan
suatu identitas yang baik akan suatu
produk yang dapat membedakan suatu produk dengan produk
lain dari pesaing. Hal tersebut dapat diraih dengan menciptakan
suatu identitas pembeda berupa nama atau label yang mudah untuk dikenal
oleh konsumen, yang disebut
sebagai merek. Adanya merek dalam suatu
produk memiliki peran yang penting dalam menjaga dan melindungi produk dan layanan yang berbeda (Mukhtar & Nurif, 2015). Dengan merek sebagai
identitas produknya, konsumen akan mudah
mengenal dan membedakan produk lain yang beredar, sehingga konsumen nantinya dapat lebih mudah untuk
mengidentifikasi produk
yang memberikan kepuasan bagi mereka dan selanjutnya terhindar dari kesalahan dalam memilih produk
saat melakukan pembelian (Mayasari & SOESANTO, 2011).
Di Indonesia sendiri saat
ini, merek dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut sebagai UU MIG). Untuk dapat dilindungi oleh negara, suatu merek haruslah
terdaftar terlebih dahulu (Pahusa, 2015). Berkaitan dengan pendaftaran merek, untuk dapat dilindungi
sebagai suatu hak khusus yang diberikan pemerintah kepada pemilik merek atau untuk
menggunakan merek tersebut, atau untuk memberikan izin untuk menggunakannya
kepada orang lain, perlu dilakukan pendaftaran atas merek. Pendaftaran
merek di Indonesia menerapkan
sistem konstitutif atau first to file principle yang berarti pihak yang pertama kali mendaftarkan merek, maka pihak
itulah yang memiliki hak ekslusif atas
merek tersebut. Terkait pendaftaran sebuah merek, merek
yang sudah terdaftar dapat dibatalkan apabila memenuhi beberapa alasan sebagaimana terdapat dalam UndangUndang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam ketentuan tersebut, dikenal pula terminologi �persamaan pada pokoknya atau keseluruhan�. Suatu merek dapat
dibatalkan dan ditolak permohonannya jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek terdaftar dan/atau merek terkenal milik orang lain untuk barang sejenis maupun tidak (Heniyatun et al., 2020).
Walaupun telah diatur dalam
beberapa ketentuan, pada praktiknya masih terdapat banyak kasus berkaitan dengan penolakan dan pembatalan atas pendaftaran merek karena persamaan pada pokoknya (Lobo & Wauran, 2021). Salah satu kasus penolakan
dan pembatalan atas pendaftaran merek yang tertarik untuk penulis angkat adalah kasus merek
�PREDATOR + LOGO� yang mendapat putusan
dari Mahkamah Agung Nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI/2020.
Pada awal pengajuan permohonan pendaftrannya, merek �PREDATOR� milik Acer
Incorporated ditolak oleh Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual dan komisi banding merek dikarenakan memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar sebelumnya, yakni merek �PREDATOR� atas nama Wijen
Chandra Tjia yang telah terdaftar
sejak tahun 2015 dengan kelas jenis
barang yang sama.
Selanjutnya, Acer
Incorporated selaku penggugat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga,
dimana dalam Putusan Nomor 69/Pdt.Sus/Merek/2019/PN Niaga Jkt.Pst majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dikarenakan kedua merek tersebut
memiliki persamaan pada pokoknya yaitu adanya persamaan unsur merek kata �PREDATOR� yang memiliki kesamaan secara konseptual dan fonetik, selain itu hakim juga mempertimbangkan merek �PREDATOR� yang telah terdaftar sebelumnya berada di kelas yang sama jenis barang
yang sama, tidak hanya itu hakim disini juga menekankan prinsip first to file pada hukum merek di Indonesia.
Acer Incorporated kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
dimana berdasarkan Putusan Nomor 1146 K/Pdt.SusHKI.2020 Majelis Kasasi
mengabulkan permohonan kasasi dari penggugat dengan pertimbangan bahwa kedua
merek ini hanya mempunyai persamaan dari segi bunyi ucapan saja. Selain itu,
majelis hakim juga mempertimbangkan identitas dari merek predator yang telah
didaftarkan di beberapa negara dan dijual di Indonesia sejak 2008, jauh sebelum
merek yang terdaftar lebih dahulu terdaftar. Hal ini lah yang tertarik untuk
penulis teliti karena pada dasarnya, dalam memperbandingkan suatu merek yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau tidak, memang harus dilihat secara
keseluruhan, namun demikian apabila dalam memperbandingkan kedua merek tersebut
ada unsur atau elemen merek yang dominan atau essensial, maka unsur atau elemen
merek yang dominan itulah yang menjadi dasar untuk dipertimbangkan (Sihombing, 2023). Dalam kasus
ini kita dapat melihat bahwa unsur yang menonjol dari kedua merek ini adalah
kata �PREDATOR�.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan
pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada ketentuan hukum merek yang
berlaku saat ini. Tahapan penelitian ini berfokus pada studi kepustakaan dengan
menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier. Selain itu, dilakukan studi lapangan dengan melakukan
wawancara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya kasasi merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat maupun Penggugat apabila berkebaeratan untuk menerima putusan yang dijatuhkan baik oleh Majelis Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama (Judex Facti)
maupun Pengadilan Tingkat
Banding (Judex Facti). Adapun Judex Facti pada sistem peradilan di Indonesia berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu
perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut, dimana dalam hal
ini yang termasuk dalam Judex Facti� adalah
Pengadilan Tingkat Pertama
dan Pengadilan Tingkat Banding.
Di sisi lain, Judex
Jurist pada sistem peradilan
di Indonesia hanya berwenang
untuk memeriksa serta mengkoreksi penerapan hukum dari suatu perkara
yang telah diputus oleh pengadilan sebelumnya dan tidak memeriksa fakta dari perkara
tersebut, dalam hal ini Pengadilan
Tingkat Kasasi yakni Mahkamah Agung. Untuk mengajukan pemeriksaan penerapan hukum, pihak yang berkeberatan dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung.��
�Walaupun terdapat perbedaan kewenangan pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung), namun dalam memutus suatu
perkara baik majelis hakim tingkat pertama dan majelis hakim agung harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk undang-undang materiil yang berkaitan dengan perkara yang hendak diputus. Kedua majelis hakim pada tingkatan yang
berbeda ini harus dapat mengacu
pada undang-undang yang sama
untuk dijadikan pedoman guna menjamin
adanya konsistensi dan kepastian hukum yang terkandung dalam putusannya.
Pada kasus sengketa merek �PREDATOR�, Acer
Incorporation selaku Penggugat
pada pengadilan tingkat pertama mengajukan upaya kasasi atas
putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 69/Pdt.Sus/Merek/2019/PN Niaga Jkt/Pst. Atas permohonan tersebut pengadilan kasasi mengabulkan permohonan dari pemohon kasasi yakni Acer Incorporation dan membatalkan
putusan pengadilan sebelumnya berdasarkan putusan nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI/2020.
Sebagai Majelis Hakim
Agung pada Pengadilan Kasasi
(Judex Jurist) untuk
memutus suatu perkara, patutlah Hakim Agung memeriksa terlebih dahulu apakah penerapan
hukum dari putusan pengadilan sebelumnya sudah tepat atau tidak
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar tersebut, putusan majelis kasasi dianggap memiliki kepastian hukum karena sudah
dikoreksi dan diperiksa penerapan hukumnya. Namun, pada penerapannya tidak dapat dipungkiri
pada tingkat kasasi sekalipun seringkali terjadi inkonsistensi maupun kelemahan pada pemeriksaan hukumnya sesuai dengan ketentuang
yang berlaku, termasuk pada
putusan Majelis Kasasi pada kasus �PREDATOR� ini.
Untuk menilai apakah putusan Majelis Kasasi Nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI.2020 ini
telah sesuai atau tidak dengan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 (UU MIG) dapat dilihat dari pertimbangan
hakim sebagai dasar dan latar belakang majelis hakim agung dalam memutus perkara ini. Dalam memutus perkara merek �PREDATOR�, Majelis Hakim Agung menimbang bahwa Putusan Komisi
Banding Merek yang menilai menolak
pendaftaran merek milik Penggugat telah keliru dengan
beberapa alasan yang melatarbelakanginya yakni, Pertama, dalam pertimbangannya, setelah mempersandingkan kedua merek tersebut Majelis Hakim Agung menilai, bahwa antara kedua
merek ini hanya mempunyai persamaan dari segi bunyi ucapan
saja, namun berbeda dari segi
bentuk logo, cara penulisan, cara penempatan atau kombinasi antara unsur-unsurnya, selain itu pada merek Penggugat kata �PREDATOR� terletak
di bawah logo, sementara merek yang terdaftar terlebih dahulu kata �PREDATOR� terletak di atas logo. Atas pertimbangan tersebut Majelis Hakim Agung menyimpulkan bahwa merek Penggugat
tidak mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar terlebih dahulu.
Berdasarkan penjelasan dari Pasal 21 ayat (1) UU MIG, persamaan pada pokoknya merupakan kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek
yang lain sehingga menimbulkan
kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun
persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut.
Dari definisi tersebut,
kata kunci yang dapat dilihat untuk mengetahui
ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya dalam merek adalah adanya
unsur dominan antara kedua merek
yang menimbulkan adanya kesan kemiripan antara satu merek
dengan merek yang lain. Unsur dominan pada merek merupakan kunci penting atau
unsur essensial dalam melihat atau
tidaknya persamaan pada merek. Dengan adanya
unsur dominan ini, dalam memperbandingkan
suatu merek, tidak perlu dilihat
secara satu per satu tetapi dapat
dilihat secara langsung apakah diantara kedua merek tersebut ada elemen merek
yang dominan atau essensial yang kemudian menjadi dasar untuk
dipertimbangkan.
Untuk mengetahui dimana letak unsur
dominan pada suatu merek kita bisa
melihat kesan pertama dari adanya
persamaan pada beberapa unsur yang terlihat dalam merek, adapun
unsur-unsur tersebut antara lain:
a.
Persamaan Unsur Fonetik
Yang dimaksud dengan persamaan unsur fonetik adalah
adanya kesamaan bunyi antara dua atau lebih suara
dan kerap kali ditemui sebagai varian dari suatu kata. Adapun elemen kunci untuk
menentukan adanya kesan fonetik yang sama pada merek dapat dilihat dari
bunyi suku kata, struktur kata, dan penekanan.� Umumnya persamaan unsur fonetik ini ditemukan
pada merek kata, dan nama
yang dalam pengucapannya terdapat kemungkinan untuk timbulnya kesamaan bunyi. Pada merek kata, suatu merek dikatakan memiliki persamaan pada keseluruhannya jika seluruh susunan huruf pembentuknya sama sehingga menghasilkan
bunyi yang sama, sedangkan merek dinilai memiliki persamaan pada pokoknya apabila memiliki perbedaan susunan huruf namun menghasilkan
bunyi yang sama, contohnya antara merek �Starbuck� dengan merek �Starback� walaupun keduanya terdiri dari susunan
huruf yang berbeda, namun saat dilafalkan
keduanya menghasilkan bunyi ucapan yang serupa.
b.
Persamaan Unsur Visual
Secara visual, merek dinilai memiliki persamaan berdasarkan kesan atau pengaruh
unsur grafisnya terkhusus dalam hal bentuk, susunan , warna, cara penulisan
dan cara penempatan unsur-unsur merek. Pada persamaan unsur visual, indra penglihatan memainkan peran yang sangat penting. Kesan visual dapat menimbulkan opini konsumen terhadap eksistensi merek dalam pasar. Pada kasus merek �BIORE� yang diputus pada putusan Nomor 590 K/Pdt.Sus/2012, dalam hal ini �BIORE� menggugat merek lainnya yaitu merek
�BIORFE� karena dinilai mendompleng merek yang sudah ada. Apabila
dilihat, diantara kedua merek ini
terdapat perbedaan pada susunan huruf dan bunyi ucapannya, namun jika dilihat
secara visualnya, kedua merek ini
memiliki persamaan bentuk, cara penempatan,
dan cara penulisannya sehingga nantinya dapat mengecoh konsumen.
c.
Persamaan Secara Konseptual
Yang dimaksud dengan konseptual pada merek adalah ide atau makna yang terkandung dalam merek. Dalam melihat persamaan konseptual, makna dari suatu
merek tidak dapat diabaikan karena seringkali digunakan bentuk bahasa yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Adapun yang dipertimbangkan dalam melihat ada tidaknya
persamaan konseptual dapat dilihat dari
adanya kesamaan padanan kata, adanya kata dalam bahasa asing,
kata-kata universal yang kerap dipakai
orang, dan sebagainya.
Pada kasus yang penulis angkat, antara merek �PREDATOR + Logo�
yang dimohonkan oleh Penggugat
dengan merek �PREDATOR
& Logo� yang telah terdaftar,
jika dilihat pertama kali unsur dominan yang menjadi kesan kemiripan antara keduanya terletak pada kata �PREDATOR�. Kata �PREDATOR� pada kedua merek ini
menjadi daya pembeda yang kuat untuk membedakan produk dari merek
miliknya dengan milik orang lain. Dengan hanya melihat atau
mendengar kata �PREDATOR� tentunya
dapat merujuk ke produk yang diperdagangkan tanpa perlu melihat logonya.
Kata �PREDATOR� sebagai unsur
dominan disini memunculkan adanya persamaan pada bunyi ucapan.
Merujuk pada penjelasan sebelumnya, elemen kunci untuk menentukan
ada tidaknya kesan fonetik pada kedua merek tersebut
adalah jumlah dan urutan suku kata, susunan kata, dan penekanan.� Baik merek PREDATOR
milik Penggugat maupun Tergugat keduanya terdiri dari susunan huruf
P, R, E, D, A, T, O, R.� Kemudian, apabila dilafalkan bersamaan kedua merek ini
memiliki persamaan bunyi ucapan (fonetik).
Hal ini tentunya akan menimbulkan kekeliruan nantinya saat konsumen akan
memilih dan membeli produk yang berkaitan dengan jenis barang
yang dimiliki keduanya yaitu komputer. Ketika seseorang hendak membeli produk dan menyebut nama merek
�PREDATOR� tentunya akan menimbukan kebingungan baik antara penjual
dan konsumen terkait komputer merek �PREDATOR� mana
yang sebenarnya hendak dibeli. Majelis Hakim Agung pada pertimbangannya di putusan kasasi pun sependapat dengan pendapat ini dimana dibuktikan
dalam pertimbangannya yang berkata �kedua merek ini hanya
memiliki persamaan dari segi bunyi
ucapan saja.�
Adanya pemenuhan unsur dominan berupa
bunyi ucapan yang sama ini sudah
jelas bahwa merek �PREDATOR� milik penggugat dapat ditolak karena memenuhi unsur persamaan pada pokoknya sebagaimana terdapat pada Pasal
21 ayat (1) UU MIG,
Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan :
a.
Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b.
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c.
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis
yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d.
Indikasi Geografis yang terdaftar.
Pada kasus ini, Majelis Hakim Agung membenarkan adanya persamaan pada bunyi ucapan antara kedua
merek namun mencoba mencari perbedaan dari bentuk logo, cara penulisan dan kombinasi antar unsur. Perlu
diingat, untuk melihat ada persamaan
pada pokoknya atau tidak yang perlu dijadikan kunci adalah adanya unsur
dominan saat mempersandingkan kedua merek. Saat mempersandingkan kedua merek milik
Penggugat dengan merek yang telah terdaftar, kemiripan paling menonjol terlihat pada kata
�PREDATOR�. Jadi, walaupun terdapat
perbedaan pada logo nya tidak menghapus adanya persamaan pada kedua merek tersebut.
Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa pertimbangan hakim dalam memutus persamaan
pada pokoknya ini kurang tepat. Pada putusannya, Majelis Hakim Agung sebagai judex jurist pada kasus ini terkesan ragu dalam menerapkan pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya sebagaimana yang terdapat pada
Pasal 21 ayat (1) UU MIG dan penjelasannya
terkait definisi dari persamaan pada pokoknya pada UU MIG.�
Hal ini sejalan dengan pendapat Darpan Alamsyah Pandjaitan yang merupakan konsultan kekayaan intelektual yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia yang mengatakan bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan MA ini kurang tepat
dan tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dari persamaan
pada pokoknya sebagaimana penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU
MIG, karena unsur dominan dari kedua
merek tersebut justru terdapat pada kata
�PREDATOR yang menimbulkan kesan
adanya persamaan bunyi ucapan antara
kedua merek tersebut. Dengan adanya persamaan pada kata
�PREDATOR� sebagai unsur dominan yang menimbulkan kesan persamaan bunyi ucapan, dengan
itu sudah cukup memadai untuk
menyatakan adanya persamaan pada pokoknya pada kedua merek predator yang diperbandingkan, oleh karenanya tidak perlu mencari
unsur lain sebagai pembeda.
Hal ini sejalan dengan kasus Biotisme yang terjadi pada tahun 2021, dimana Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
pada Putusan No.48/Pdt.Sus-Merek/2021
menilai bahwa terdapat persamaan pada pokoknya antara kedua merek �Biostisme�
antara milik H&H Hong
Kong Limited maupun milik
PT Bogamulia Nagadi karena sama-sama terdiri dari 8 (delapan) susunan huruf, dengan huruf
B, I, O, S, T, I, S, M, E, serta apabila
dilafalkan dalam bahasa inggirs sama-sama dibaca sebagai �baios-taim�.
Pertimbangan Hakim selanjutnya berkaitan dengan pemenuhan unsur barang sejenis antara merek Penggugat
dengan merek terdaftar. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim Agung menyatakan bahwa Penggugat mendaftarkan merek �PREDATOR +
Logo� untuk barang-barang kelas 9 dengan jenis barang perangkat
keras komputer, komputer desktop, mouse komputer
dan lain-lain, sedangkan merek
lain yang telah terdaftar terlebih dahulu yaitu �PREDATOR & Logo� melindungi
kelas barang 9 dengan jenis barang
komputer, CPU, dan lain-lain. Kata �sedangkan� pada kalimat tersebut penulis analogikan sebagai perbandingan atau perlawanan sebagaimana terdapat dalam KBBI.
Berdasarkan pendapat dari Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, yang menjadi pokok pegangan dalam menentukan golongan barang sejenis adalah penilaian agar tidak timbul kekeliruan dalam pandangan masyarakat ramai . Selain itu perlu
diperhatikan apakah terdapat persamaan sifat atau susnannya,
persamaan tempat dan cara pembuatannya, penjualannya dan tujuan pemakaiannya.� Hal ini sejalan dengan
Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor : 2933 K/Sip/1982 yang
menentukan kriteria barang sejenis yaitu apabila mempunyai
persamaan pada asal, sifat, dan tujuan pemakaiannya, sehingga mudah menimbulkan kekeliruan. Yurisprudensi Mahkamah Agung ini menjadi dasar pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam memutus kasus �PREDATOR�.
Apabila penulis analisis, walaupun antara kedua merek
�PREDATOR� ini yang didaftarkan
macam barang nya tidak semua
sama jenisnya hanya beberapa saja, namun jika
mengacu pada ketentuan tersebut baik dari
asal, sifat, dan tujuan pemakainnya kedua merek ini
sama, yaitu dalam hal teknologi
komputer dan perangkat keras yang berkaitan. Oleh karena itu, penulis
sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengatakan
bahwa keduanya merupakan jenis barang yang sama dengan kelas yang sama sehingga nantinya
akan dapat menimbulkan kebingunan pada konsumen apabila kedua merek tersebut
terdaftar dengan jenis barang yang sama.
Pertimbangan selanjutnya yang
juga menarik dalam kasus ini adalah
pertimbangan Majelis Hakim
Agung pada tingkat kasasi,
Hakim Agung mempertimbangkan terkait
eksistensi dari merek milik Penggugat
yang sudah didaftarkan di beberapa negara dan telah didistribusikan dan dijual sejak tahun 2008, jauh sebelum merek
yang terdaftar terlebih dahulu yang sebelumya tidak disinggung pada pertimbangan dan putusan Majelis Hakim pada pengadilan tingkat sebelumnya dan tidak diajukan dalam Petitum oleh Penggugat. Mengenai eksistensi atau keterkenalan suatu merek sendiri tidak
diatur definisinya secara eksplisit dalam UU MIG.
Menurut M. Yahya Harahap,
Merek terkenal merupakan merek yang memiliki reputasi yang tinggi karena terdapat kekuatan pancaran yang menarik, sehingga jenis barang apa
saja yang berada di bawah merek tersebut
langsung memberikan sentuhan keakraban (familiar
attachment) dan sentuhan mitos
kepada segala lapisan konsumen.� Walau tidak diatur secara
eksplisit pada UU MIG, merek
terkenal menjadi salah satu persyaratan untuk menolak merek
jika merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan sebuah merek terkenal.� Pengaturan merek terkenal di Indonesia sendiri bersumber dari berbagai perjanjian
internasional, salah satunya
dapat dilihat dari ketentuan Article 6 bis
Paris Convention yang berbunyi sebagi
berikut,
1) The countries of the
Union undertake, ex officio if their legislation so permits, or at the request
of an interested party, to refuse or to cancel the registration, and to
prohibit the use, of a trademark which constitutes a reproduction, an
imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered
by the competent authority of the country of registration or use to be well
known in that country as being already the mark of a person entitled to the
benefits of this Convention and used for identical or similar goods. These
provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a
reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create
confusion therewith.
2) A period of at least
five years from the date of registration shall be allowed for requesting the
cancellation of such a mark. The countries of the Union may provide for a
period within which the prohibition of use must be requested.
3) No time limit shall
be fixed for requesting the cancellation or the prohibition of the use of marks
registered or used in bad faith.
Ketentuan tersebut meminta negara-negara anggota untuk menolak permintaan
pendaftaran atau pembatalan pendaftaran dan melarang penggunaan merek yang sama dengan, atau merupakan
tiruan untuk barang sejenis yang dapat menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.� Pembatalan pendaftaran sendiri diperbolehkan dengan jangka waktu
sekurang-kurangnya lima tahun
sejak tanggal pendaftaran diperbolehkan untuk meminta pembatalan
merek tersebut. Akan tetapi hal tersebut
didkecualikan tanpa batasan waktu apabila
penggunaan merek yang didaftarkan tersebut digunakan dengan itidak tidak baik.
Lebih lanjut, TRIPs
Agreement memuat perlindungan
hukum yang dikembangkan dari Paris Convention dimana terdapat penentuan dari kriteria merek
terkenal dan perluasan pemberian hak ekslusif
untuk merek terkenal yang tida hanya diberikan pada barang dan/atau jasa sejenis, melainkan
mencakup pula pada barang
dan/atau jasa yang tidak sejenis selama
merek tersebut benar-benar telah memenuhi kriteria merek terkenal. Adapunn berdasarkan TRIPs Agreement
beberapa hal menjadi penentuan keterkenalan suatu merek antara lain:
a)
Pengetahuan masyarakat yang relevan
terhadap merek tersebut;
b)
Pengetahuan masyarakat terhadap
promosi merek tersebut;
c)
Perlindungan terhadap merek terdaftar (terkenal) diberikan pula terhadap barang atau jasa
yang tidak serupa (tidak sejenis) apabila dapat menimbulkan
kesan memiliki hubungan dan pemilik merek terdaftar itu dirugikan atas
penggunaannya.
Dengan adanya konvensi internasional yang mengatur terkait keterkenalan merek, maka dapat dikatakan
bahwa apabila suatu merek telah
memenuhi kriteria merek terkenal sebagaimana diatur dalam ketentuan di atas, dapat diakui
keberadannya pada sistem merek di Indonesia (Maulana, 2000). Akan tetapi, perlu diingat bahwa
untuk dapat diakui keberadannya mengacu pada sistem hukum merek yang menganut prinsip konstitutif dengan asas first to file, dimana pihak yang pertama kali mendaftarkan merek, maka pihak tersebutlah
yang memiliki hak ekslusif atas merek
tersebut dan dilindungi
oleh negara. Hak ekslusif atas
merek tersebut berdasarkan Pasal 1 ayat 5 UU MIG
antara lain, hak untuk menggunakan sendiri merek miliknya
atau memberikan izin kepada pihak
lain untuk menggunakannya.
Jadi walaupun merek miliknya merupakan merek terkenal, tetap wajib untuk
melakukan pendaftaran karena merek yang dilindungi negara hanya lah merek terdaftar.
Pengertian dari merek terdaftar sendiri adalah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman,
dan proses pemeriksaan substantif
serta mendapatkan persetujuan Menteri untuk diterbitkan sertifikat. Hal tersebut sejalan dengan proses pendaftaran merek sebagaimana diatur dalam UU MIG dan Permenkumham Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Bagi merek terkenal yang tidak terdaftar yang dapat menunjukan bahwa mereknya telah memenuhi kriteria terkait merek terkenal,
berdasarkan UU MIG pemilik merek terkenal tersebut dapat diakukan gugatan pembatalan merek kepada Pengadilan Niaga dengan tujuan
gugatan kepada pemilik merek terdaftar
yang menggunakan merek miliknya dengan beritikad tidak baik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 76 ayat (2) UU MIG yang menyatakan bahwa untuk pemilik
merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan berdasarkan alasan sebagaimana dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 UU MIG setelah mengajukan permohonan kepada menteri. Jadi pemilik merek terkenal
yang belum terdaftar tersebut dapat mengajukan permohonan pendaftaran terlebih dahulu untuk kemudian
mengajukan pembatalan merek.
�Pada kasus ini, Penggugat
yakni Acer Incorporated mengajukan
gugatan kepada Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual cq. Komisi Banding Merek bukan kepada merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu dengan nama �PREDATOR� milik Wijen Chandra Tjia dan dalam petitumnya juga Penggugat tidak ada sama sekali
meminta untuk membatalkan merek yang sudah terdaftar, baik dalam gugatan
pada Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung Penggugat hanya meminta untuk
permohonan pendaftaran merek miliknya dapat diterima.
Oleh karena itu dalam hal
ini berarti Penggugat sama sekali tidak berniat
untuk mengajukan gugatan pembatalan merek. Padahal menurut penulis, apabila Penggugat meyakini adanya eksistensi terkait produknya sebagai produk yang dikenal banyak orang dan menggangap merek yang telah terdaftar dengan nama �PREDATOR� telah mendompleng merek �PREDATOR� miliknya, Penggugat dapat mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan
Niaga atas itikad baik, namun
kembali lagi, hakim tidak boleh mengabulkan
melebihi tuntutan sebagaimana diatur pada Pasal 178
ayat (3) HIR. Putusan tidak boleh mengabulkan
maupun melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.
Pada kasus ini, Penggugat hanya menuntut untuk Hakim membatalkan putusan Komisi Banding Merek dan Meminta Tergugat untuk menerima permohonan pendaftaran mereknya. Putusan Komisi Banding Merek sendiri menolak permohonan pendaftaran merek milik Penggugat dikarenakan adanya persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar.
Sebaiknya Hakim Kasasi disini hanya perlu
menilai apakah benar ada persamaan
pada pokoknya atau tidak pada merek ini yang membuat permohonan merek milik Penggugat ditolak oleh Tergugat.
Oleh karena itu, pertimbangan hakim yang mempertimbangkan keterkenalan merek miiik Tergugat
rasanya tidak sesuai dengan apa
yang digugatkan, karena kalaupun terbukti sebagai merek terkenal
hakim tidak dapat membatalkan pendaftaran merek �PREDATOR� milik Wijen Chandra Tjia yang sudah terdaftar, karena kewenangan untuk membatalkan merek hanya dapat dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Republik
Indonesia, dan yang digugatkan oleh Penggugat bukan untuk membatalkan merek yang telah terdaftar namun hanya untuk permintaan
pendaftaran mereknya dapat diterima.
Dari Analisis tersebut dapat dilihat, bahwa pada sengketa merek �PREDATOR�, pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah tepat dalam
menentukan ada persamaan pada pokoknya sebagaimana diatur pada UU MIG.
Akan tetapi, pada Putusan Majelis Hakim Agung pada pengadilan
kasasi dalam kasus merek �PREDATOR� ini terdapat beberapa
inkonsistensi terutama dalam hal menafsirkan
pasal 21 ayat (1) terkait pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya. Sebagaimana pada Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU
MIG, unsur dominan terletak pada kata �PREDATOR� yang terdapat
pada merek keduanya baik yang dimohonkan oleh Penggugat, maupun yang telah terdaftar. Adanya persamaan kata �PREDATOR� tersebut
menimbulkan kesan persamaan bunyi ucapan.
Dengan begitu, tidak perlu mencari-cari
unsur lain sebagai pembeda, terlebih menegaskan bahwa merek Penggugat tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan
pendapat Darman Alamsyah Pandjaitan selaku konsultan kekayaan intelektual yang mengatakan pada praktiknya, untuk melihat ada atau
tidak persamaan pada pokoknya pada suatu merek tidak harus
melihat secara keseluruhan aspek dari merek yang bersangkutan namun bisa hanya dengan
melihat dasar fundamental
yang menjadi ciri adanya kesamaan antara merek yang bersangkutan.�
Mengenai adanya persamaan bunyi ucapan pada kedua merek ini pun disetujui
oleh Hakim Agung pada tingkat Kasasi
di pertimbangannya, sehingga
dapat dilihat bahwa Hakim Agung disini masih ragu-ragu dan inkosistensi dimana satu sisinya
membenarkan adanya persamaan bunyi ucapan pada kedua merek ini namun
di sisi lain menyatakan tidak ada persamaan
pada pokoknya antara merek Penggugat dan merek terdaftar tersebut. Inkosistensi dari Majelis Hakim Agung pada Pengadilan Kasasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang seharusnya menjadi prinsip penting dalam pertimbangan hakim. Lazimnya, pertimbangan dari hakim harus menekankan bahwa hukum itu jelas,
dapat dipahami dan dapat diterapkan secara konsisten. Dalam memutus suatu perkara,
hendaknya hakim mempertimbangkan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku sesuai dengan kasus atau
sengketa yang sedang diadilinya dan menerapkannya dalam putusannya. Selain itu, hakim juga wajib untuk melihat putusan-putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap sebelumnya
untuk menjadi acuan dalam memutus
perkara serupa, sehingga putusan yang ditetapkannya konsisten dengan putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebelumnya.��
Adapun akibat hukum dari adanya
Putusan Nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI/2020 ini adalah saat ini
baik merek �PREDATOR� milik penggugat maupun merek yang terdaftar sebelumnya milik Wijen Chadra Tjia sama-sama terdaftar pada Pangkalan Data Kekayaan Intelektual milik DJKI. Hal ini tentunya akan
menimbulkan keraguan pada konsumen terkait produk �PREDATOR� yang akan mereka beli karena
nama mereknya dan jenis barangnya yang sama. Adanya bunyi ucapan atau cara
penyebutan yang sama, konsumen akan mengalami
kebingungan dalam memilik produk karena ketika mereka
menyebut salah satu nama merek, tidak
menuju ke satu barang khusus
dan konsumen akan bingung merek �PREDATOR� mana
yang sebenarnya hendak dipilih.
Selain itu, konsumen akan menjadi
ragu dalam mengenali suatu produk, hal
ini tentunya juga merugikan pemilik merek ataupun penjual
karena mereknya tidak memiliki reputasi khusus, padahal fungsi adanya merek pada suatu produk adalah
sebagai identitas tambahan yang membedakan produk miliknya dengan produk pesaing.
Konsumen pun cenderung untuk membeli barang
ditentukan melalui merek karena biasanya
kualitas suatu merek tercermin pada reputasi yang melekat pada merek tersebut. Kondisi ini terjadi
pada kasus Polo Ralph Lauren Indonesia dengan Polo by Ralph Lauren yang diputus
pada Putusan No. 83/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/
PN Niaga Jkt Pst menyatakan Pihak Mondihar H.B dari Indonesia berhak untuk menggunakan
merek Polo dan logo seseorang
menunggang kuda karena pihaknya telah terlebih dahulu mendaftarkan mereknya. Alhasil, hingga saat ini,
konsumen banyak yang keliru dalam membeli
produk Polo, bahkan konsumen tidak mengetahui apakah produk milik Polo yang dibelinya merupakan Polo yang merupakan merek terkenal milik Ralph Lauren atau milik lokal.
Adapun yang melatarbelakangi
banyaknya terjadi kasus kesamaan dengan merek yang terdaftar pada kelas yang sama adalah sebelum
terdaftar merek melalui berbagai proses seperti proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman,
dan proses pemeriksaan substantif
sebagaimana dijelaskan pada
Permenkuham Nomor 67 tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Pada proses pemeriksaan,
para pemeriksa merek dari DJKI utamanya harus berpedoman pada Pasal 20
& Pasal 21 UU MIG sebagai syarat
mutlak juga beberapa ketentuan lainnya yakni Permenkumham 67 Tahun 2016 dan yang harus dilihat pula database terkait merek terdaftar baik di Indonesia maupun Global
Brand Database milik WIPO untuk
mengetahui apakah merek yang diperiksa mereknya ini memiliki
kesamaan atau tidak dengan merek
yang telah terdaftar. Sebenarnya, apabila seluruh peneliti merek dapat secara
tegas dan mengikuti pedoman tersebut tentunya sengketa merek di Indonesia dapat berkurang.
Selain itu, patutnya dibentuk suatu parameter
bagi para hakim untuk dapat menentukan pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya
dalam suatu merek. Dalam hal ini, Mahkamah Agung dapat mengeluarkan surat
edaran atau peraturan yang mengeluarkan suatu paramater yang dapat menjadi
pedoman bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa persamaan pada pokoknya
pada merek. Apabila telah ditentukan suatu paramater dan dapat dipastikan dapat
diterapkannya syarat yang ditentukan pada Pasal 20 & Pasal 21 UU MIG baik
oleh pemeriksa merek maupun hakim secara konsisten, diharapkan kepastian hukum
pada sistem merek di Indonesia dapat terlaksana dengan pandangan yang serupa
sehingga pelolosan atas pengajuan permohonan merek yang serupa dengan merek
yang merek terdaftar juga gugatan atas sengketa merek dapat diminimalisir.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian
tersebut, terdapat kesimpuan bahwa terdapat disparitas pada putusan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Kasasi dalam memutus
kasus �PREDATOR� ini terutama dalam hal menafsirkan persamaan pada pokoknya baik pada merek �PREDATOR� milik Penggugat maupun merek yang telah terdaftar. Dari analisis penulis, Pertimbangan Hakim
Agung pada tingkat kasasi dinilai kurang tepat. Terdapat Inkosistensi yang menyebabkan adanya ketidakpastian hukum pada Majelis Hakim Agung dalam menafsirkan Pasal 21 ayat (1) UU MIG terkait pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya pada unsur menonjol dalam kata �PREDATOR� yang kemudian
mengakibatkan terdaftarnya kedua merek dengan
nama merek dan kelas barang yang sama. Selain itu, dalam kasus ini
Penggugat hanya meminta agar permohonan pendaftaran mereknya diterima dan Putusan Komisi Banding Merek ditolak, bukan gugatan pembatalan
merek. Oleh karena itu, sebaiknya Hakim Kasasi disini hanya
perlu menilai apakah benar ada
persamaan pada pokoknya atau tidak pada merek ini yang membuat permohonan merek milik Penggugat
ditolak oleh Tergugat. Sehingga pertimbangan hakim yang mempertimbangkan keterkenalan merek miiik Tergugat
rasanya tidak sesuai dengan apa
yang digugatkan, karena jika terbukti sebagai
merek terkenal hakim tidak dapat membatalkan
pendaftaran merek
�PREDATOR� milik Wijen
Chandra Tjia yang sudah terdaftar.
Berkaitan dengan hal tersebut,
diperlukan konsistensi oleh pemeriksa merek dalam
menerapkan Pasal 20 & Pasal 21 UU MIG sebagai syarat dapat didaftarkannya
suatu merek. Selain itu, perlu dibentuk suatu parameter yang dapat berupa surat
edaran atau peraturan Mahkamah Agung yang menjadi pedoman bagi para hakim untuk
dapat menentukan pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya dalam suatu merek,
sehingga nantinya pelolosan atas pengajuan permohonan merek yang serupa dengan
merek yang merek terdaftar juga gugatan atas sengketa merek dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Atsar,
A. (2018). Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual.
Deepublish.
Dacholfany,
M. I. (2015). Reformasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Akademika:
Jurnal Pemikiran Islam, 20(1), 173�194.
Heniyatun,
H., Sulistyaningsih, P., Iswanto, B. T., Asiyah, Y., & Praja, C. B. E.
(2020). Kajian Yuridis Perlindungan Merek Terhadap Gugatan Merek Nama Orang
Terkenal. Borobudur Law Review, 2(2), 137�149.
Lobo,
L. P., & Wauran, I. (2021). Kedudukan Istimewa Merek Terkenal (Asing) Dalam
Hukum Merek Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 50(1), 70�83.
Maulana,
I. B. (2000). Merek Terkenal Menurut TRIPs Agreement dan Penerapan dalam Sistem
Merek Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 7(13), 110�129.
Mayasari,
L. I., & SOESANTO, H. (2011). Analisis Pengaruh Citra Merek, Persepsi
Terhadap Kualitas, Nama Merek, Dan Brand Awareness Terhadap Keputusan Pembelian
Sabun Pencuci Pakaian Bubuk Attack (Studi Kasus pada Konsumen Produk Attack di
Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang). Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
Mukhtar,
S., & Nurif, M. (2015). Peranan packaging dalam meningkatkan hasil produksi
terhadap konsumen. Jurnal Sosial Humaniora (JSH), 8(2), 181�191.
Pahusa,
D. (2015). Persamaan Unsur Pokok Pada Suatu Merek Terkenal (Analisis Putusan MA
Nomor 162 K/Pdt. Sus-HKI/2014). Jurnal Cita Hukum, 3(1).
Rizkia,
N. D., & Fardiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual Suatu
Pengantar. Penerbit Widina.
Shofiyah,
S. (2019). Generasi milineal, entrepreneurship dan globalisasi ekonomi. Al-Musthofa:
Journal of Sharia Economics, 2(1), 52�65.
Sihombing,
S. (2023). Sengketa Merek Strong dan Penggunaan Kata Umum pada Merek Dagang
(Studi Putusan Mahkamah Agung 332 K/Pdt. Sus-Hki/2021). UNES Law Review,
6(2), 5440�5452.
Sukarmen,
P., Sularso, R. A., & Wulandri, D. (2013). Analisis pengaruh inovasi produk
terhadap kepuasan Konsumen dengan keunggulan bersaing sebagai variabel
intervening pada produk gula pasir sebelas (GUPALAS) Pabrik Gula Semboro PTP
Nusantara XI (persero). Jurnal Ekonomi Akuntansi Dan Manajemen, 12(2).