Analisis Hukum Terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1146 K/PDT.SUS-HKI.2020 Terkait Penerapan Persamaan pada Pokoknya dalam Kasus Merek �PREDATOR� Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

 

Legal Analysis of the Supreme Court's Cassation Decision Number 1146 K/PDT.SUS-HKI.2020 Regarding the Application of Basic Similarities in the Case of the "PREDATOR" Mark Based on Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications

 

1)* Gabriella Christina Marintan, 2) Rika Ratna Permata, 3) Sudaryat

1,2,3 Universitas Padjadjaran.

 

*Email: 1) [email protected] 2) [email protected] 3) [email protected]

*Correspondence: 1) Gabriella Christina Marintan

 

DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1281

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Keberadaan merek saat ini memilik peran penting sebagai suatu identitas yang baik untuk melindungi produk serta menjadi jaminan atas kualitas produk atau layanan dalam persaingan pasar. Untuk dapat dilindungi, suatu merek harus didaftarkan terlebih dahulu dan sudah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Merek dapat saja ditolak atau dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Pada kasus sengketa merek �PREDATOR�, Acer Incorporated selaku Penggugat mengajukan gugatan kepada Komisi Banding Merek yang telah mengajukan putusan untuk menolak permohonan banding atas pendaftaran merek �PREDATOR� milik Penggugat karena adanya persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar dengan nama dan jenis barang yang sama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan penedekatan yuridis normatif berdasarkan hukum yang berlaku. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pertama,terdapat disparitas antara Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga dan Hakim Agung pada Pengadilan Kasasi. Kedua, terdapat inkosistensi pada Putusan Majelis Kasasi dalam menafsirkan unsur Persamaan Pada Pokoknya dan menafsirkan tujuan dari gugatan Penggugat.

 

Kata kunci: Merek Terdaftar, Merek Terkenal, Persamaan Pada Pokoknya.

 

 

ABSTRACT

The existence of a trademark today has an important role as a good identity to protect products and guarantee the quality of products or services in market competition. To be protected, a mark must first be registered and meet the conditions stipulated by the trademark law. The trademark may be rejected or canceled if it does not meet the specified conditions. In the case of the "PREDATOR" trademark dispute, Acer Incorporated as the Plaintiff filed a lawsuit with the Trademark Appeal Commission which has filed a decision to reject the appeal against the registration of the Plaintiff's "PREDATOR" mark because of the similarities in essence with the mark that has been registered with the same name and type of goods. This research uses research methods with a normative juridical approach based on applicable law. The results showed that First, there is a disparity between the Panel of Judges in the Commercial Court and the Chief Justice in the Court of Cassation. Second, there is inconsistency in the Decision of the Cassation Panel in interpreting the element of Equality in Essence and interpreting the purpose of the Plaintiff's claim

 

Keywords: Registered Trademark ; Substansial Similarity ; Famous Marks

 

 


PENDAHULUAN

Di era globalisasi ini, hampir seluruh aspek kehidupan manusia mengalami perubahan yang signifikan, salah satunya dalam aspek ekonomi dan bisnis (Dacholfany, 2015). Adanya globalisasi memberikan peluang semakin terbukanya sektor produksi barang dan jasa baik di dalam dan luar negeri. Pada sektor produksi, lahirnya suatu barang maupun jasa tidak dapat terlepas dari kreativitas atau hasil olah pikir manusia (Shofiyah, 2019). Pada dunia bisnis saat ini, hasil olah pikir atau kreativitas manusia tersebut merupakan hal yang memiliki nilai dan dikenal sebagai aset-aset tak berwujud yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual. KI dianggap sebagai suatu aset yang bernilai karena karya-karya intelektual dilahirkan dengan pengorbanan, tenaga, waktu, dan biaya yang menjadikannya berharga dan bernilai. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah suatu hak untuk menggunakan, memperbanyak atau memperjualbelikan hasil karya tersebut yang kemudian dikenal dengan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) (Rizkia & Fardiansyah, 2022).

HKI saat ini memegang peranan penting untuk menjaga persaingan usaha yang sehat dan mencegah kemungkinan adanya persaingan curang baik berupa peniruan, pembajakan, maupun pemanfaatan atau pemakaian HKI yang tanpa hak dari pemilik yang sebenarnya (Atsar, 2018). Oleh karena itu, untuk dapat bersaing secara sehat dan menarik minat konsumen, suatu perusahaan harus melakukan berbagai cara agar produknya tetap dipercaya dan dikenal orang konsumennya (Sukarmen et al., 2013). Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan suatu identitas yang baik akan suatu produk yang dapat membedakan suatu produk dengan produk lain dari pesaing. Hal tersebut dapat diraih dengan menciptakan suatu identitas pembeda berupa nama atau label yang mudah untuk dikenal oleh konsumen, yang disebut sebagai merek. Adanya merek dalam suatu produk memiliki peran yang penting dalam menjaga dan melindungi produk dan layanan yang berbeda (Mukhtar & Nurif, 2015). Dengan merek sebagai identitas produknya, konsumen akan mudah mengenal dan membedakan produk lain yang beredar, sehingga konsumen nantinya dapat lebih mudah untuk mengidentifikasi produk yang memberikan kepuasan bagi mereka dan selanjutnya terhindar dari kesalahan dalam memilih produk saat melakukan pembelian (Mayasari & SOESANTO, 2011).

Di Indonesia sendiri saat ini, merek dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut sebagai UU MIG). Untuk dapat dilindungi oleh negara, suatu merek haruslah terdaftar terlebih dahulu (Pahusa, 2015). Berkaitan dengan pendaftaran merek, untuk dapat dilindungi sebagai suatu hak khusus yang diberikan pemerintah kepada pemilik merek atau untuk menggunakan merek tersebut, atau untuk memberikan izin untuk menggunakannya kepada orang lain, perlu dilakukan pendaftaran atas merek. Pendaftaran merek di Indonesia menerapkan sistem konstitutif atau first to file principle yang berarti pihak yang pertama kali mendaftarkan merek, maka pihak itulah yang memiliki hak ekslusif atas merek tersebut. Terkait pendaftaran sebuah merek, merek yang sudah terdaftar dapat dibatalkan apabila memenuhi beberapa alasan sebagaimana terdapat dalam UndangUndang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam ketentuan tersebut, dikenal pula terminologipersamaan pada pokoknya atau keseluruhan�. Suatu merek dapat dibatalkan dan ditolak permohonannya jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar dan/atau merek terkenal milik orang lain untuk barang sejenis maupun tidak (Heniyatun et al., 2020).

Walaupun telah diatur dalam beberapa ketentuan, pada praktiknya masih terdapat banyak kasus berkaitan dengan penolakan dan pembatalan atas pendaftaran merek karena persamaan pada pokoknya (Lobo & Wauran, 2021). Salah satu kasus penolakan dan pembatalan atas pendaftaran merek yang tertarik untuk penulis angkat adalah kasus merek �PREDATOR + LOGO� yang mendapat putusan dari Mahkamah Agung Nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI/2020. Pada awal pengajuan permohonan pendaftrannya, merek �PREDATOR� milik Acer Incorporated ditolak oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan komisi banding merek dikarenakan memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar sebelumnya, yakni merek �PREDATOR� atas nama Wijen Chandra Tjia yang telah terdaftar sejak tahun 2015 dengan kelas jenis barang yang sama.

Selanjutnya, Acer Incorporated selaku penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, dimana dalam Putusan Nomor 69/Pdt.Sus/Merek/2019/PN Niaga Jkt.Pst majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dikarenakan kedua merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya yaitu adanya persamaan unsur merek kata �PREDATOR� yang memiliki kesamaan secara konseptual dan fonetik, selain itu hakim juga mempertimbangkan merek �PREDATOR� yang telah terdaftar sebelumnya berada di kelas yang sama jenis barang yang sama, tidak hanya itu hakim disini juga menekankan prinsip first to file pada hukum merek di Indonesia.

Acer Incorporated kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dimana berdasarkan Putusan Nomor 1146 K/Pdt.SusHKI.2020 Majelis Kasasi mengabulkan permohonan kasasi dari penggugat dengan pertimbangan bahwa kedua merek ini hanya mempunyai persamaan dari segi bunyi ucapan saja. Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan identitas dari merek predator yang telah didaftarkan di beberapa negara dan dijual di Indonesia sejak 2008, jauh sebelum merek yang terdaftar lebih dahulu terdaftar. Hal ini lah yang tertarik untuk penulis teliti karena pada dasarnya, dalam memperbandingkan suatu merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau tidak, memang harus dilihat secara keseluruhan, namun demikian apabila dalam memperbandingkan kedua merek tersebut ada unsur atau elemen merek yang dominan atau essensial, maka unsur atau elemen merek yang dominan itulah yang menjadi dasar untuk dipertimbangkan (Sihombing, 2023). Dalam kasus ini kita dapat melihat bahwa unsur yang menonjol dari kedua merek ini adalah kata �PREDATOR�.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada ketentuan hukum merek yang berlaku saat ini. Tahapan penelitian ini berfokus pada studi kepustakaan dengan menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu, dilakukan studi lapangan dengan melakukan wawancara

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya kasasi merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat maupun Penggugat apabila berkebaeratan untuk menerima putusan yang dijatuhkan baik oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama (Judex Facti) maupun Pengadilan Tingkat Banding (Judex Facti). Adapun Judex Facti pada sistem peradilan di Indonesia berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut, dimana dalam hal ini yang termasuk dalam Judex Factiadalah Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding.

Di sisi lain, Judex Jurist pada sistem peradilan di Indonesia hanya berwenang untuk memeriksa serta mengkoreksi penerapan hukum dari suatu perkara yang telah diputus oleh pengadilan sebelumnya dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut, dalam hal ini Pengadilan Tingkat Kasasi yakni Mahkamah Agung. Untuk mengajukan pemeriksaan penerapan hukum, pihak yang berkeberatan dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung.��

Walaupun terdapat perbedaan kewenangan pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung), namun dalam memutus suatu perkara baik majelis hakim tingkat pertama dan majelis hakim agung harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk undang-undang materiil yang berkaitan dengan perkara yang hendak diputus. Kedua majelis hakim pada tingkatan yang berbeda ini harus dapat mengacu pada undang-undang yang sama untuk dijadikan pedoman guna menjamin adanya konsistensi dan kepastian hukum yang terkandung dalam putusannya.

Pada kasus sengketa merek �PREDATOR�, Acer Incorporation selaku Penggugat pada pengadilan tingkat pertama mengajukan upaya kasasi atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 69/Pdt.Sus/Merek/2019/PN Niaga Jkt/Pst. Atas permohonan tersebut pengadilan kasasi mengabulkan permohonan dari pemohon kasasi yakni Acer Incorporation dan membatalkan putusan pengadilan sebelumnya berdasarkan putusan nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI/2020.

Sebagai Majelis Hakim Agung pada Pengadilan Kasasi (Judex Jurist) untuk memutus suatu perkara, patutlah Hakim Agung memeriksa terlebih dahulu apakah penerapan hukum dari putusan pengadilan sebelumnya sudah tepat atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar tersebut, putusan majelis kasasi dianggap memiliki kepastian hukum karena sudah dikoreksi dan diperiksa penerapan hukumnya. Namun, pada penerapannya tidak dapat dipungkiri pada tingkat kasasi sekalipun seringkali terjadi inkonsistensi maupun kelemahan pada pemeriksaan hukumnya sesuai dengan ketentuang yang berlaku, termasuk pada putusan Majelis Kasasi pada kasus �PREDATOR� ini.

Untuk menilai apakah putusan Majelis Kasasi Nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI.2020 ini telah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 (UU MIG) dapat dilihat dari pertimbangan hakim sebagai dasar dan latar belakang majelis hakim agung dalam memutus perkara ini. Dalam memutus perkara merek �PREDATOR�, Majelis Hakim Agung menimbang bahwa Putusan Komisi Banding Merek yang menilai menolak pendaftaran merek milik Penggugat telah keliru dengan beberapa alasan yang melatarbelakanginya yakni, Pertama, dalam pertimbangannya, setelah mempersandingkan kedua merek tersebut Majelis Hakim Agung menilai, bahwa antara kedua merek ini hanya mempunyai persamaan dari segi bunyi ucapan saja, namun berbeda dari segi bentuk logo, cara penulisan, cara penempatan atau kombinasi antara unsur-unsurnya, selain itu pada merek Penggugat kata �PREDATOR� terletak di bawah logo, sementara merek yang terdaftar terlebih dahulu kata �PREDATOR� terletak di atas logo. Atas pertimbangan tersebut Majelis Hakim Agung menyimpulkan bahwa merek Penggugat tidak mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar terlebih dahulu.

Berdasarkan penjelasan dari Pasal 21 ayat (1) UU MIG, persamaan pada pokoknya merupakan kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut. Dari definisi tersebut, kata kunci yang dapat dilihat untuk mengetahui ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya dalam merek adalah adanya unsur dominan antara kedua merek yang menimbulkan adanya kesan kemiripan antara satu merek dengan merek yang lain. Unsur dominan pada merek merupakan kunci penting atau unsur essensial dalam melihat atau tidaknya persamaan pada merek. Dengan adanya unsur dominan ini, dalam memperbandingkan suatu merek, tidak perlu dilihat secara satu per satu tetapi dapat dilihat secara langsung apakah diantara kedua merek tersebut ada elemen merek yang dominan atau essensial yang kemudian menjadi dasar untuk dipertimbangkan.

Untuk mengetahui dimana letak unsur dominan pada suatu merek kita bisa melihat kesan pertama dari adanya persamaan pada beberapa unsur yang terlihat dalam merek, adapun unsur-unsur tersebut antara lain:

a.       Persamaan Unsur Fonetik

Yang dimaksud dengan persamaan unsur fonetik adalah adanya kesamaan bunyi antara dua atau lebih suara dan kerap kali ditemui sebagai varian dari suatu kata. Adapun elemen kunci untuk menentukan adanya kesan fonetik yang sama pada merek dapat dilihat dari bunyi suku kata, struktur kata, dan penekanan.Umumnya persamaan unsur fonetik ini ditemukan pada merek kata, dan nama yang dalam pengucapannya terdapat kemungkinan untuk timbulnya kesamaan bunyi. Pada merek kata, suatu merek dikatakan memiliki persamaan pada keseluruhannya jika seluruh susunan huruf pembentuknya sama sehingga menghasilkan bunyi yang sama, sedangkan merek dinilai memiliki persamaan pada pokoknya apabila memiliki perbedaan susunan huruf namun menghasilkan bunyi yang sama, contohnya antara merek �Starbuck� dengan merekStarbackwalaupun keduanya terdiri dari susunan huruf yang berbeda, namun saat dilafalkan keduanya menghasilkan bunyi ucapan yang serupa.

b.       Persamaan Unsur Visual

Secara visual, merek dinilai memiliki persamaan berdasarkan kesan atau pengaruh unsur grafisnya terkhusus dalam hal bentuk, susunan , warna, cara penulisan dan cara penempatan unsur-unsur merek. Pada persamaan unsur visual, indra penglihatan memainkan peran yang sangat penting. Kesan visual dapat menimbulkan opini konsumen terhadap eksistensi merek dalam pasar. Pada kasus merek �BIORE� yang diputus pada putusan Nomor 590 K/Pdt.Sus/2012, dalam hal ini �BIORE� menggugat merek lainnya yaitu merek �BIORFE� karena dinilai mendompleng merek yang sudah ada. Apabila dilihat, diantara kedua merek ini terdapat perbedaan pada susunan huruf dan bunyi ucapannya, namun jika dilihat secara visualnya, kedua merek ini memiliki persamaan bentuk, cara penempatan, dan cara penulisannya sehingga nantinya dapat mengecoh konsumen.

c.       Persamaan Secara Konseptual

Yang dimaksud dengan konseptual pada merek adalah ide atau makna yang terkandung dalam merek. Dalam melihat persamaan konseptual, makna dari suatu merek tidak dapat diabaikan karena seringkali digunakan bentuk bahasa yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Adapun yang dipertimbangkan dalam melihat ada tidaknya persamaan konseptual dapat dilihat dari adanya kesamaan padanan kata, adanya kata dalam bahasa asing, kata-kata universal yang kerap dipakai orang, dan sebagainya.

Pada kasus yang penulis angkat, antara merek �PREDATOR + Logo� yang dimohonkan oleh Penggugat dengan merek �PREDATOR & Logo� yang telah terdaftar, jika dilihat pertama kali unsur dominan yang menjadi kesan kemiripan antara keduanya terletak pada kata �PREDATOR�. Kata �PREDATOR� pada kedua merek ini menjadi daya pembeda yang kuat untuk membedakan produk dari merek miliknya dengan milik orang lain. Dengan hanya melihat atau mendengar kata �PREDATOR� tentunya dapat merujuk ke produk yang diperdagangkan tanpa perlu melihat logonya. Kata �PREDATOR� sebagai unsur dominan disini memunculkan adanya persamaan pada bunyi ucapan.

Merujuk pada penjelasan sebelumnya, elemen kunci untuk menentukan ada tidaknya kesan fonetik pada kedua merek tersebut adalah jumlah dan urutan suku kata, susunan kata, dan penekanan.Baik merek PREDATOR milik Penggugat maupun Tergugat keduanya terdiri dari susunan huruf P, R, E, D, A, T, O, R.Kemudian, apabila dilafalkan bersamaan kedua merek ini memiliki persamaan bunyi ucapan (fonetik). Hal ini tentunya akan menimbulkan kekeliruan nantinya saat konsumen akan memilih dan membeli produk yang berkaitan dengan jenis barang yang dimiliki keduanya yaitu komputer. Ketika seseorang hendak membeli produk dan menyebut nama merek �PREDATOR� tentunya akan menimbukan kebingungan baik antara penjual dan konsumen terkait komputer merek �PREDATOR� mana yang sebenarnya hendak dibeli. Majelis Hakim Agung pada pertimbangannya di putusan kasasi pun sependapat dengan pendapat ini dimana dibuktikan dalam pertimbangannya yang berkatakedua merek ini hanya memiliki persamaan dari segi bunyi ucapan saja.�

Adanya pemenuhan unsur dominan berupa bunyi ucapan yang sama ini sudah jelas bahwa merek �PREDATOR� milik penggugat dapat ditolak karena memenuhi unsur persamaan pada pokoknya sebagaimana terdapat pada Pasal 21 ayat (1) UU MIG,

Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan :

a.       Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

b.       Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c.       Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau

d.       Indikasi Geografis yang terdaftar.

Pada kasus ini, Majelis Hakim Agung membenarkan adanya persamaan pada bunyi ucapan antara kedua merek namun mencoba mencari perbedaan dari bentuk logo, cara penulisan dan kombinasi antar unsur. Perlu diingat, untuk melihat ada persamaan pada pokoknya atau tidak yang perlu dijadikan kunci adalah adanya unsur dominan saat mempersandingkan kedua merek. Saat mempersandingkan kedua merek milik Penggugat dengan merek yang telah terdaftar, kemiripan paling menonjol terlihat pada kata �PREDATOR�. Jadi, walaupun terdapat perbedaan pada logo nya tidak menghapus adanya persamaan pada kedua merek tersebut.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus persamaan pada pokoknya ini kurang tepat. Pada putusannya, Majelis Hakim Agung sebagai judex jurist pada kasus ini terkesan ragu dalam menerapkan pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya sebagaimana yang terdapat pada Pasal 21 ayat (1) UU MIG dan penjelasannya terkait definisi dari persamaan pada pokoknya pada UU MIG.Hal ini sejalan dengan pendapat Darpan Alamsyah Pandjaitan yang merupakan konsultan kekayaan intelektual yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan MA ini kurang tepat dan tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dari persamaan pada pokoknya sebagaimana penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG, karena unsur dominan dari kedua merek tersebut justru terdapat pada kata �PREDATOR yang menimbulkan kesan adanya persamaan bunyi ucapan antara kedua merek tersebut. Dengan adanya persamaan pada kata �PREDATOR� sebagai unsur dominan yang menimbulkan kesan persamaan bunyi ucapan, dengan itu sudah cukup memadai untuk menyatakan adanya persamaan pada pokoknya pada kedua merek predator yang diperbandingkan, oleh karenanya tidak perlu mencari unsur lain sebagai pembeda.

Hal ini sejalan dengan kasus Biotisme yang terjadi pada tahun 2021, dimana Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Putusan No.48/Pdt.Sus-Merek/2021 menilai bahwa terdapat persamaan pada pokoknya antara kedua merekBiostismeantara milik H&H Hong Kong Limited maupun milik PT Bogamulia Nagadi karena sama-sama terdiri dari 8 (delapan) susunan huruf, dengan huruf B, I, O, S, T, I, S, M, E, serta apabila dilafalkan dalam bahasa inggirs sama-sama dibaca sebagaibaios-taim�.

Pertimbangan Hakim selanjutnya berkaitan dengan pemenuhan unsur barang sejenis antara merek Penggugat dengan merek terdaftar. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim Agung menyatakan bahwa Penggugat mendaftarkan merek �PREDATOR + Logo� untuk barang-barang kelas 9 dengan jenis barang perangkat keras komputer, komputer desktop, mouse komputer dan lain-lain, sedangkan merek lain yang telah terdaftar terlebih dahulu yaitu �PREDATOR & Logo� melindungi kelas barang 9 dengan jenis barang komputer, CPU, dan lain-lain. Kata �sedangkan� pada kalimat tersebut penulis analogikan sebagai perbandingan atau perlawanan sebagaimana terdapat dalam KBBI.

Berdasarkan pendapat dari Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, yang menjadi pokok pegangan dalam menentukan golongan barang sejenis adalah penilaian agar tidak timbul kekeliruan dalam pandangan masyarakat ramai . Selain itu perlu diperhatikan apakah terdapat persamaan sifat atau susnannya, persamaan tempat dan cara pembuatannya, penjualannya dan tujuan pemakaiannya.Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 2933 K/Sip/1982 yang menentukan kriteria barang sejenis yaitu apabila mempunyai persamaan pada asal, sifat, dan tujuan pemakaiannya, sehingga mudah menimbulkan kekeliruan. Yurisprudensi Mahkamah Agung ini menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam memutus kasus �PREDATOR�.

Apabila penulis analisis, walaupun antara kedua merek �PREDATOR� ini yang didaftarkan macam barang nya tidak semua sama jenisnya hanya beberapa saja, namun jika mengacu pada ketentuan tersebut baik dari asal, sifat, dan tujuan pemakainnya kedua merek ini sama, yaitu dalam hal teknologi komputer dan perangkat keras yang berkaitan. Oleh karena itu, penulis sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengatakan bahwa keduanya merupakan jenis barang yang sama dengan kelas yang sama sehingga nantinya akan dapat menimbulkan kebingunan pada konsumen apabila kedua merek tersebut terdaftar dengan jenis barang yang sama.

Pertimbangan selanjutnya yang juga menarik dalam kasus ini adalah pertimbangan Majelis Hakim Agung pada tingkat kasasi, Hakim Agung mempertimbangkan terkait eksistensi dari merek milik Penggugat yang sudah didaftarkan di beberapa negara dan telah didistribusikan dan dijual sejak tahun 2008, jauh sebelum merek yang terdaftar terlebih dahulu yang sebelumya tidak disinggung pada pertimbangan dan putusan Majelis Hakim pada pengadilan tingkat sebelumnya dan tidak diajukan dalam Petitum oleh Penggugat. Mengenai eksistensi atau keterkenalan suatu merek sendiri tidak diatur definisinya secara eksplisit dalam UU MIG.

Menurut M. Yahya Harahap, Merek terkenal merupakan merek yang memiliki reputasi yang tinggi karena terdapat kekuatan pancaran yang menarik, sehingga jenis barang apa saja yang berada di bawah merek tersebut langsung memberikan sentuhan keakraban (familiar attachment) dan sentuhan mitos kepada segala lapisan konsumen.Walau tidak diatur secara eksplisit pada UU MIG, merek terkenal menjadi salah satu persyaratan untuk menolak merek jika merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan sebuah merek terkenal.Pengaturan merek terkenal di Indonesia sendiri bersumber dari berbagai perjanjian internasional, salah satunya dapat dilihat dari ketentuan Article 6 bis Paris Convention yang berbunyi sebagi berikut,

1)      The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permits, or at the request of an interested party, to refuse or to cancel the registration, and to prohibit the use, of a trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this Convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create confusion therewith.

2)      A period of at least five years from the date of registration shall be allowed for requesting the cancellation of such a mark. The countries of the Union may provide for a period within which the prohibition of use must be requested.

3)      No time limit shall be fixed for requesting the cancellation or the prohibition of the use of marks registered or used in bad faith.

Ketentuan tersebut meminta negara-negara anggota untuk menolak permintaan pendaftaran atau pembatalan pendaftaran dan melarang penggunaan merek yang sama dengan, atau merupakan tiruan untuk barang sejenis yang dapat menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.Pembatalan pendaftaran sendiri diperbolehkan dengan jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun sejak tanggal pendaftaran diperbolehkan untuk meminta pembatalan merek tersebut. Akan tetapi hal tersebut didkecualikan tanpa batasan waktu apabila penggunaan merek yang didaftarkan tersebut digunakan dengan itidak tidak baik. Lebih lanjut, TRIPs Agreement memuat perlindungan hukum yang dikembangkan dari Paris Convention dimana terdapat penentuan dari kriteria merek terkenal dan perluasan pemberian hak ekslusif untuk merek terkenal yang tida hanya diberikan pada barang dan/atau jasa sejenis, melainkan mencakup pula pada barang dan/atau jasa yang tidak sejenis selama merek tersebut benar-benar telah memenuhi kriteria merek terkenal. Adapunn berdasarkan TRIPs Agreement beberapa hal menjadi penentuan keterkenalan suatu merek antara lain:

a)       Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek tersebut;

b)      Pengetahuan masyarakat terhadap promosi merek tersebut;

c)       Perlindungan terhadap merek terdaftar (terkenal) diberikan pula terhadap barang atau jasa yang tidak serupa (tidak sejenis) apabila dapat menimbulkan kesan memiliki hubungan dan pemilik merek terdaftar itu dirugikan atas penggunaannya.

Dengan adanya konvensi internasional yang mengatur terkait keterkenalan merek, maka dapat dikatakan bahwa apabila suatu merek telah memenuhi kriteria merek terkenal sebagaimana diatur dalam ketentuan di atas, dapat diakui keberadannya pada sistem merek di Indonesia (Maulana, 2000). Akan tetapi, perlu diingat bahwa untuk dapat diakui keberadannya mengacu pada sistem hukum merek yang menganut prinsip konstitutif dengan asas first to file, dimana pihak yang pertama kali mendaftarkan merek, maka pihak tersebutlah yang memiliki hak ekslusif atas merek tersebut dan dilindungi oleh negara. Hak ekslusif atas merek tersebut berdasarkan Pasal 1 ayat 5 UU MIG antara lain, hak untuk menggunakan sendiri merek miliknya atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Jadi walaupun merek miliknya merupakan merek terkenal, tetap wajib untuk melakukan pendaftaran karena merek yang dilindungi negara hanya lah merek terdaftar.

Pengertian dari merek terdaftar sendiri adalah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan Menteri untuk diterbitkan sertifikat. Hal tersebut sejalan dengan proses pendaftaran merek sebagaimana diatur dalam UU MIG dan Permenkumham Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Bagi merek terkenal yang tidak terdaftar yang dapat menunjukan bahwa mereknya telah memenuhi kriteria terkait merek terkenal, berdasarkan UU MIG pemilik merek terkenal tersebut dapat diakukan gugatan pembatalan merek kepada Pengadilan Niaga dengan tujuan gugatan kepada pemilik merek terdaftar yang menggunakan merek miliknya dengan beritikad tidak baik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 76 ayat (2) UU MIG yang menyatakan bahwa untuk pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan berdasarkan alasan sebagaimana dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 UU MIG setelah mengajukan permohonan kepada menteri. Jadi pemilik merek terkenal yang belum terdaftar tersebut dapat mengajukan permohonan pendaftaran terlebih dahulu untuk kemudian mengajukan pembatalan merek.

Pada kasus ini, Penggugat yakni Acer Incorporated mengajukan gugatan kepada Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual cq. Komisi Banding Merek bukan kepada merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu dengan nama �PREDATOR� milik Wijen Chandra Tjia dan dalam petitumnya juga Penggugat tidak ada sama sekali meminta untuk membatalkan merek yang sudah terdaftar, baik dalam gugatan pada Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung Penggugat hanya meminta untuk permohonan pendaftaran merek miliknya dapat diterima.

Oleh karena itu dalam hal ini berarti Penggugat sama sekali tidak berniat untuk mengajukan gugatan pembatalan merek. Padahal menurut penulis, apabila Penggugat meyakini adanya eksistensi terkait produknya sebagai produk yang dikenal banyak orang dan menggangap merek yang telah terdaftar dengan nama �PREDATOR� telah mendompleng merek �PREDATOR� miliknya, Penggugat dapat mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga atas itikad baik, namun kembali lagi, hakim tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan sebagaimana diatur pada Pasal 178 ayat (3) HIR. Putusan tidak boleh mengabulkan maupun melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.

Pada kasus ini, Penggugat hanya menuntut untuk Hakim membatalkan putusan Komisi Banding Merek dan Meminta Tergugat untuk menerima permohonan pendaftaran mereknya. Putusan Komisi Banding Merek sendiri menolak permohonan pendaftaran merek milik Penggugat dikarenakan adanya persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar. Sebaiknya Hakim Kasasi disini hanya perlu menilai apakah benar ada persamaan pada pokoknya atau tidak pada merek ini yang membuat permohonan merek milik Penggugat ditolak oleh Tergugat.

Oleh karena itu, pertimbangan hakim yang mempertimbangkan keterkenalan merek miiik Tergugat rasanya tidak sesuai dengan apa yang digugatkan, karena kalaupun terbukti sebagai merek terkenal hakim tidak dapat membatalkan pendaftaran merek �PREDATOR� milik Wijen Chandra Tjia yang sudah terdaftar, karena kewenangan untuk membatalkan merek hanya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia, dan yang digugatkan oleh Penggugat bukan untuk membatalkan merek yang telah terdaftar namun hanya untuk permintaan pendaftaran mereknya dapat diterima.

Dari Analisis tersebut dapat dilihat, bahwa pada sengketa merek �PREDATOR�, pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah tepat dalam menentukan ada persamaan pada pokoknya sebagaimana diatur pada UU MIG. Akan tetapi, pada Putusan Majelis Hakim Agung pada pengadilan kasasi dalam kasus merek �PREDATOR� ini terdapat beberapa inkonsistensi terutama dalam hal menafsirkan pasal 21 ayat (1) terkait pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya. Sebagaimana pada Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG, unsur dominan terletak pada kata �PREDATOR� yang terdapat pada merek keduanya baik yang dimohonkan oleh Penggugat, maupun yang telah terdaftar. Adanya persamaan kata �PREDATOR� tersebut menimbulkan kesan persamaan bunyi ucapan.

Dengan begitu, tidak perlu mencari-cari unsur lain sebagai pembeda, terlebih menegaskan bahwa merek Penggugat tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan pendapat Darman Alamsyah Pandjaitan selaku konsultan kekayaan intelektual yang mengatakan pada praktiknya, untuk melihat ada atau tidak persamaan pada pokoknya pada suatu merek tidak harus melihat secara keseluruhan aspek dari merek yang bersangkutan namun bisa hanya dengan melihat dasar fundamental yang menjadi ciri adanya kesamaan antara merek yang bersangkutan.

Mengenai adanya persamaan bunyi ucapan pada kedua merek ini pun disetujui oleh Hakim Agung pada tingkat Kasasi di pertimbangannya, sehingga dapat dilihat bahwa Hakim Agung disini masih ragu-ragu dan inkosistensi dimana satu sisinya membenarkan adanya persamaan bunyi ucapan pada kedua merek ini namun di sisi lain menyatakan tidak ada persamaan pada pokoknya antara merek Penggugat dan merek terdaftar tersebut. Inkosistensi dari Majelis Hakim Agung pada Pengadilan Kasasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang seharusnya menjadi prinsip penting dalam pertimbangan hakim. Lazimnya, pertimbangan dari hakim harus menekankan bahwa hukum itu jelas, dapat dipahami dan dapat diterapkan secara konsisten. Dalam memutus suatu perkara, hendaknya hakim mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan kasus atau sengketa yang sedang diadilinya dan menerapkannya dalam putusannya. Selain itu, hakim juga wajib untuk melihat putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebelumnya untuk menjadi acuan dalam memutus perkara serupa, sehingga putusan yang ditetapkannya konsisten dengan putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebelumnya.��

Adapun akibat hukum dari adanya Putusan Nomor 1146 K/Pdt.Sus-HKI/2020 ini adalah saat ini baik merek �PREDATOR� milik penggugat maupun merek yang terdaftar sebelumnya milik Wijen Chadra Tjia sama-sama terdaftar pada Pangkalan Data Kekayaan Intelektual milik DJKI. Hal ini tentunya akan menimbulkan keraguan pada konsumen terkait produk �PREDATOR� yang akan mereka beli karena nama mereknya dan jenis barangnya yang sama. Adanya bunyi ucapan atau cara penyebutan yang sama, konsumen akan mengalami kebingungan dalam memilik produk karena ketika mereka menyebut salah satu nama merek, tidak menuju ke satu barang khusus dan konsumen akan bingung merek �PREDATOR� mana yang sebenarnya hendak dipilih.

Selain itu, konsumen akan menjadi ragu dalam mengenali suatu produk, hal ini tentunya juga merugikan pemilik merek ataupun penjual karena mereknya tidak memiliki reputasi khusus, padahal fungsi adanya merek pada suatu produk adalah sebagai identitas tambahan yang membedakan produk miliknya dengan produk pesaing. Konsumen pun cenderung untuk membeli barang ditentukan melalui merek karena biasanya kualitas suatu merek tercermin pada reputasi yang melekat pada merek tersebut. Kondisi ini terjadi pada kasus Polo Ralph Lauren Indonesia dengan Polo by Ralph Lauren yang diputus pada Putusan No. 83/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/ PN Niaga Jkt Pst menyatakan Pihak Mondihar H.B dari Indonesia berhak untuk menggunakan merek Polo dan logo seseorang menunggang kuda karena pihaknya telah terlebih dahulu mendaftarkan mereknya. Alhasil, hingga saat ini, konsumen banyak yang keliru dalam membeli produk Polo, bahkan konsumen tidak mengetahui apakah produk milik Polo yang dibelinya merupakan Polo yang merupakan merek terkenal milik Ralph Lauren atau milik lokal.

Adapun yang melatarbelakangi banyaknya terjadi kasus kesamaan dengan merek yang terdaftar pada kelas yang sama adalah sebelum terdaftar merek melalui berbagai proses seperti proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif sebagaimana dijelaskan pada Permenkuham Nomor 67 tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Pada proses pemeriksaan, para pemeriksa merek dari DJKI utamanya harus berpedoman pada Pasal 20 & Pasal 21 UU MIG sebagai syarat mutlak juga beberapa ketentuan lainnya yakni Permenkumham 67 Tahun 2016 dan yang harus dilihat pula database terkait merek terdaftar baik di Indonesia maupun Global Brand Database milik WIPO untuk mengetahui apakah merek yang diperiksa mereknya ini memiliki kesamaan atau tidak dengan merek yang telah terdaftar. Sebenarnya, apabila seluruh peneliti merek dapat secara tegas dan mengikuti pedoman tersebut tentunya sengketa merek di Indonesia dapat berkurang.

Selain itu, patutnya dibentuk suatu parameter bagi para hakim untuk dapat menentukan pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya dalam suatu merek. Dalam hal ini, Mahkamah Agung dapat mengeluarkan surat edaran atau peraturan yang mengeluarkan suatu paramater yang dapat menjadi pedoman bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa persamaan pada pokoknya pada merek. Apabila telah ditentukan suatu paramater dan dapat dipastikan dapat diterapkannya syarat yang ditentukan pada Pasal 20 & Pasal 21 UU MIG baik oleh pemeriksa merek maupun hakim secara konsisten, diharapkan kepastian hukum pada sistem merek di Indonesia dapat terlaksana dengan pandangan yang serupa sehingga pelolosan atas pengajuan permohonan merek yang serupa dengan merek yang merek terdaftar juga gugatan atas sengketa merek dapat diminimalisir.

 

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat kesimpuan bahwa terdapat disparitas pada putusan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Kasasi dalam memutus kasus �PREDATOR� ini terutama dalam hal menafsirkan persamaan pada pokoknya baik pada merek �PREDATOR� milik Penggugat maupun merek yang telah terdaftar. Dari analisis penulis, Pertimbangan Hakim Agung pada tingkat kasasi dinilai kurang tepat. Terdapat Inkosistensi yang menyebabkan adanya ketidakpastian hukum pada Majelis Hakim Agung dalam menafsirkan Pasal 21 ayat (1) UU MIG terkait pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya pada unsur menonjol dalam kata �PREDATOR� yang kemudian mengakibatkan terdaftarnya kedua merek dengan nama merek dan kelas barang yang sama. Selain itu, dalam kasus ini Penggugat hanya meminta agar permohonan pendaftaran mereknya diterima dan Putusan Komisi Banding Merek ditolak, bukan gugatan pembatalan merek. Oleh karena itu, sebaiknya Hakim Kasasi disini hanya perlu menilai apakah benar ada persamaan pada pokoknya atau tidak pada merek ini yang membuat permohonan merek milik Penggugat ditolak oleh Tergugat. Sehingga pertimbangan hakim yang mempertimbangkan keterkenalan merek miiik Tergugat rasanya tidak sesuai dengan apa yang digugatkan, karena jika terbukti sebagai merek terkenal hakim tidak dapat membatalkan pendaftaran merek �PREDATOR� milik Wijen Chandra Tjia yang sudah terdaftar.

Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan konsistensi oleh pemeriksa merek dalam menerapkan Pasal 20 & Pasal 21 UU MIG sebagai syarat dapat didaftarkannya suatu merek. Selain itu, perlu dibentuk suatu parameter yang dapat berupa surat edaran atau peraturan Mahkamah Agung yang menjadi pedoman bagi para hakim untuk dapat menentukan pemenuhan unsur persamaan pada pokoknya dalam suatu merek, sehingga nantinya pelolosan atas pengajuan permohonan merek yang serupa dengan merek yang merek terdaftar juga gugatan atas sengketa merek dapat diminimalisir.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Atsar, A. (2018). Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Deepublish.

 

Dacholfany, M. I. (2015). Reformasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 20(1), 173�194.

 

Heniyatun, H., Sulistyaningsih, P., Iswanto, B. T., Asiyah, Y., & Praja, C. B. E. (2020). Kajian Yuridis Perlindungan Merek Terhadap Gugatan Merek Nama Orang Terkenal. Borobudur Law Review, 2(2), 137�149.

 

Lobo, L. P., & Wauran, I. (2021). Kedudukan Istimewa Merek Terkenal (Asing) Dalam Hukum Merek Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 50(1), 70�83.

 

Maulana, I. B. (2000). Merek Terkenal Menurut TRIPs Agreement dan Penerapan dalam Sistem Merek Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 7(13), 110�129.

 

Mayasari, L. I., & SOESANTO, H. (2011). Analisis Pengaruh Citra Merek, Persepsi Terhadap Kualitas, Nama Merek, Dan Brand Awareness Terhadap Keputusan Pembelian Sabun Pencuci Pakaian Bubuk Attack (Studi Kasus pada Konsumen Produk Attack di Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang). Fakultas Ekonomika dan Bisnis.

 

Mukhtar, S., & Nurif, M. (2015). Peranan packaging dalam meningkatkan hasil produksi terhadap konsumen. Jurnal Sosial Humaniora (JSH), 8(2), 181�191.

 

Pahusa, D. (2015). Persamaan Unsur Pokok Pada Suatu Merek Terkenal (Analisis Putusan MA Nomor 162 K/Pdt. Sus-HKI/2014). Jurnal Cita Hukum, 3(1).

 

Rizkia, N. D., & Fardiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Penerbit Widina.

 

Shofiyah, S. (2019). Generasi milineal, entrepreneurship dan globalisasi ekonomi. Al-Musthofa: Journal of Sharia Economics, 2(1), 52�65.

 

Sihombing, S. (2023). Sengketa Merek Strong dan Penggunaan Kata Umum pada Merek Dagang (Studi Putusan Mahkamah Agung 332 K/Pdt. Sus-Hki/2021). UNES Law Review, 6(2), 5440�5452.

 

Sukarmen, P., Sularso, R. A., & Wulandri, D. (2013). Analisis pengaruh inovasi produk terhadap kepuasan Konsumen dengan keunggulan bersaing sebagai variabel intervening pada produk gula pasir sebelas (GUPALAS) Pabrik Gula Semboro PTP Nusantara XI (persero). Jurnal Ekonomi Akuntansi Dan Manajemen, 12(2).

 

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).