Tinjauan tentang Cacat Badan atau Penyakit Sebagai Alasan Perceraian dalam Praktik di Pengadilan Agama Dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

 

Review of Physical Disability or Illness as a Reason for Divorce in Practice in Religious Courts Linked to The Marriage Law and Compilation of Islamic Law

 

1)* Asrifa Zahrah Ramadhanti Kusumah, 2) Bambang Daru Nugroho, 3) Linda Rachmainy

1,2,3 Universitas Yuppentek Indonesia

 

*Email: 1) [email protected]

*Correspondence: 1) Asrifa Zahrah Ramadhanti Kusumah

 

DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1275

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Kadangkala suami istri gagal mewujudkan kedamaian dalam rumah tangga, sehingga jalan terakhir yang mereka tempuh adalah dengan perceraian. Salah satu alasan untuk mengajukan perceraian adalah apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit seperti dalam Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi dan Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg, namun, hakim kerap menjatuhkan putusan pada kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh cacat badan atau penyakit dengan alasan perselisihan dan pertengkaran. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memahami cacat badan atau penyakit yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama dan menentukan bagaimana pertimbangan hukum terhadap perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang dilatarbelakangi cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yakni berupa deskriptif analitis. Metode ini didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder di bidang hukum yang dilengkapi dengan studi lapangan melalui wawancara dengan narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim menilai adanya kewajiban biologis yang tidak dijalani. Kebutuhan biologis di sini dapat terhalangi apabila salah satu pihak menderita impoten atau kista, maka apabila pemenuhan nafkah batin oleh suami kepada istri ataupun sebaliknya tidak tercapai, dengan alasan tersebut hubungan rumah tangga mereka dapat retak dan menyebabkan adanya perselisihan atau pertengkaran terus menerus. Pertimbangan hakim untuk tidak menggunakan Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 atau Pasal 116 huruf e KHI karena karena dinilai tidak sesuai dengan moral dan cacat badan atau penyakit hanya sebagai alasan dari perselisihan atau pertengkaran terus menerus.

 

Kata kunci: Perceraian, Cacat Badan atau Penyakit, Putusan Hakim

 

ABSTRACT

Sometimes husband and wife fail to achieve peace in the household, so the final path for them is divorce. One of the reasons for filing a divorce petition is if one of the parties has a physical disability or illness as in Cimahi Religious Court Decision Number 931/Pdt.G/2020 and in Bandung Religious Court Decision 442/Pdt.G/2022, however, judges often hand down decisions in divorce cases that are motivated by a physical disability or illness on the grounds that there are disputes and quarrels. This research aims to understand physical disability or illnesses that can be used as reasons for divorce in the Religious Courts and determine how the legal considerations for disputes and quarrels based on physical disability or illnesses as reasons for divorce are viewed from the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law. The research method used in this research is the the Normative Juridical Method with research specifications, namely analytical descriptive. This method is based on library research to obtain secondary data in the legal field which is complemented by field studies through interviews with sources. The research results showed that the judge assessed that there were biological needs that were not fulfilled. Biological needs here can be hindered if one of the parties suffers from impotence or a cyst, for this reason their household relationship can cause continuous disputes or fights. The judge�s consideration for not using Article 19 letter e Government Regulation Number 9 of 1975 or Article 116 letter e Instructions of The President of The Republic of Indonesia Number 1 of 1991 concerning The Compilation of Islamic Lawbecause it is considered not in accordance with morals and physical defects or illnesses are only an excuse for continuous disputes or quarrels.

 

Keywords: Divorce, Physical Disability or Illness, Judge�s Decision

 

 


PENDAHULUAN

Masyarakat terdiri dari manusia baik perorangan (individu) atau kelompok-kelompok manusia yang telah berhimpun untuk berbagai keperluan atau tujuan. Interaksi antara manusia dan kelompok manusia yang saling berhubungan dan tergantung merupakan definisi dari pergaulan atau hubungan masyarakat. Agar hubungan ini berjalan dengan baik dibutuhkan aturan berdasarkan di mana orang melindungi kepentingannya dan menghormati kepentingan serta hak orang lain sesuai hak dan kewajiban yang ditentukan aturan (hukum) itu (Karim, 2017). Bermula dari pergaulan tersebut atau hubungan yang dibentuk oleh laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan perasaan rasa suka sama suka sehingga keduanya bersepakat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius atau perkawinan. Dalam wujudnya yang sangat sederhana, hidup bersama antara keduanya dimulai dengan terbantuknya suatu keluarga. Pasal 10 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan bahwa berkeluarga dan melanjutkan keturunan diri merupakan salah satu dari hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Pada kenyataannya, keseharian yang terjadi di manusia bahwa orang yang berlainan kelamin antara laki-laki dan perempuan dapat menjalankan kehidupan berumah tangga dalam suatu ikatan perkawinan.

Negara mengikhtisarkan bahwa perkawinan merupakan sebuah langkah awal dalam membentuk suatu keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera lahir batin. Komitmen yang serius antar manusia dimulai dari sebuah perkawinan dan pencatatannya menjadi sebuah pertanda peresmian hubungan mereka sebagai suami istri yang secara sosial diakui oleh masyarakat (Asnawi et al., 2022). Singkatnya, perkawinan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara suami dan istri yang dilakukan secara sah untuk membentuk sebuah keluarga yang berakhir bahagia dan kekal yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing. Perkawinan adalah tahap awal dalam mewujudkan bentuk kehidupan manusia yang baru. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan memiliki arti yang lebih luas. Dengan adanya perkawinan, besar harapan dapat tercapainya tujuan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam hukum.

Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hubungan yang telah dibentuk tersebut mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan dirasakan sangat ideal, karenaperkawinan tidak hanya dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi terdapat adanya suatu tautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu perkawinan harus patuh dengan ketentuan dan yang digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui aturan yang diatur di dalam kitab suci agama-agama yang ada di Indonesia (Judiasih et al., 2020).

Perkawinan mempunyai aturan yang seperti itu karena terdapat maksud agar keluarga yang dibentuk oleh suami istri sesuai dengan hak asasi manusia dan setiap manusia yang hidup bersama dalam ikatan perkawinan tersebut pasti mendambakan sebuah keluarga yang mereka bina dapat berjalan secara harmonis dan selalu diridhoi oleh Tuhan. Perkawinan merupakan perikatan keagamaan karena akibat hukumnya adalah mengikat pria dan wanita dalam suatu ikatan lahir dan batin sebagai suami istri dengan tujuan yang suci dan mulia yang didasarkan Ketuhanan yang Maha Esa itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahiriah atau jasmaniah tetapi juga unsur batiniah atau rohaniah (Basri et al., 2023). Dimulainya kehidupan perkawinan mulanya mulai dengan landasan atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku,baik hukum agama, hukum adat maupun hukum nasional (Wardatun, 2018).

Pada prinsipnya, undang-undang sangat memperketat terjadinya perceraian. Bila ingin menggugat atau memohon perceraian maka harus dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan, selain itu harus menyertakan alasan-alasan tertentu untuk mengajukan perceraian. Pada satu sisi, perceraian sejatinya dibolehkan, namun di sisi lain, perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal (siddik Turnip, 2021). Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Salah satu alasan yang dapat dijadikan untuk dapat mengajukan perceraian di Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 19 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975) dan Pasal 116 huruf e Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) bahwa perceraian dapat dilakukan apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, namun keduanya tidak menyebutkan keterangan lebih lanjut mengenai apa yang termasuk dalam cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan suami atau istri tidak dapat menjalankan sesuai dengan kewajibannya.

Beberapa kasus perceraian dimulai dari kondisi cacat tubuh atau penyakit yang dialami oleh salah satu pasangan seperti pada Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi dan Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg, namun, dalam praktiknya, pengadilan tidak selalu menggunakan Pasal 19 huruf e Peraturan Pemerintah PP No. 9 Tahun 1975 sebagai dasar putusannya. Sebaliknya, terkadang hakim menggunakan Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975, yang menyoroti perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga yang menjadi alasan perceraian.Meskipun Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 secara khusus menyatakan bahwa cacat tubuh atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan boleh dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian, kurangnya rincian tentang alasan perceraian yang dijelaskan dalam pasal tersebut, serta ketidakjelasan dalam Pasal 116 huruf e Kitab Hukum Acara Hukum KHI, menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dalam penanganan kasus perceraian oleh hakim.

Perkara perceraian dengan alasan cacat badan atau penyakit menyebabkan kehidupan rumah tangga yang telah dibina oleh suami istri tidak lagi harmonis sebab interaksi antara keduanya akan terganggu sehingga menyebabkan terjadinya keretakan dalam rumah tangga yang tidak lain disebabkan karena salah satu pihak baik dari suami maupun istri tidak dapat melaksanakan kewajibannya (Siswanto, 2020). Sehingga dalam hal ini hubungan sebagai suami istri akan terganggu dan kewajibannya terhalangi. Bila rumah tangga tersebut dipertahankan, di masa mendatang tetap akan menimbulkan masalah atau mudarat. Oleh karena itu, perkawinan tersebut dapat diputuskan dengan adanya upaya perceraian yang menjadi jalan terakhir untuk ditempuh bagi pasangan suami istri jika dalam rumah tangga sudah tidak menciptakan suasana keharmonisan di dalamnya.

Berkaca dari kasus tersebut, maka timbul dua permasalahan hukum sebagai bahan analisispenulisanpenelitianini,yaitu:apakah yang dimaksud dari cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian dalam praktik di Pengadilan Agama dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan bagaimanakah pertimbangan hukum terhadap perselisihan atau pertengkaran terus menerus yang dilatarbelakangi cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian dalam praktik di Pengadilan Agama dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam?

 

METODE

Metode pendekatan yang diterapkan pada penulisan penelitian ini berupa yuridis normatif.Pendekatan yuridis normatif menitikberatkan pada keterkaitan relevansi terhadap kaidah hukum yang berlaku di masyarakat dengan persoalan yang menyangkut kepada permasalahan yang peneliti angkat dalam penelitian ini. Menilik pada keadaan dan praktik yang muncul dengan memberikan gambaran, menghimpun, dan mengkaji bahan kepustakaan atau data sekunder. Penelitian ini menekankan pada segi yuridis terhadap UU Perkawinan, Peraturan Perundang-Undangan lain, pengertian-pengertian, dan asas-asas hukum. Spesifikasi penelitian yakni berupa deskriptif-analitis.Penelitian ini menganalisis dan menguraikan secara komprehensif ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan kaidah-kaidah yang relevan.Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran terhadap obyek yang diteliti dengan cara menyajikan dan menjelaskan data secara lengkap kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan peraturan perundangan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkawinan hakikatnya adalah bertemunya dua makhluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Seiring dengan hal tersebut maka dapat diartikan juga bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan abadi serta tidak putus begitu saja karena pada asasnya bahwa perkawinan adalah merupakan ikatan yang kuat. Hal ini adalah wajar mengingat perkawinan mempunyai makna yang bermuatan komprehensif yaitu sosial kemasyarakatan, individu, dan agama. Rumah tangga terbentuk melalui perkawinan tersebut, apabila antara suami istri tersebut dapat memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik maka rumah tangganya akan tercipta baik pula

Salah satu institusi yang penting di masyarakat adalah perkawinan. Esksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang Wanita (Salim & Sh, 2021). Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi bernama perkawinan. Aser, Scholten, Pitlo, Petit Melis dan Wiarda memberikan definisi perkawinan dalam buku Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan yang berjudul Hukum Orang dan Keluarga yakni, perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk Bersama atau bersekutu yang kekal (Tutik & SH, 2015). Sementara menurut Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius (Tutik & SH, 2015).

Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dalam KHI disebut sebagai pernikahan. Pasal 2 KHI menyebutkan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut Mohamad Idris Ramulyo, perkawinan adalah suatu aqad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami dan istri yang sah dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal yang unsurnya adalah sebagai berikut (Ramulyo, 2016):

1.       Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita;

2.       Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, mawaddah, dan rahmah);

Dalam membina rumah tangga, perkawinan tidak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan perkawinan yang tercantum dalam UU Perkawinan, sehingga perceraian menjadi solusi untuk mengakhiri perkawinan tersebut. Perceraian pada hakekatnya adalah suatu proses di mana hubungan suami istri tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam UU Perkawinan, begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksanaannya, namun Pasal 117 KHI menjelaskan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah diperoleh pemahaman bahwa putusnya ikatan perkawinan yang sah dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya. Cerai talak ini selain diperuntukkan bagi seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, juga dapat dimanfaatkan oleh istri jika suami melanggar perjanjian taklik talak (Hadikusuma, 1990).

UndangUndang Perkawinan menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian, karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihakpihak yang bersangkutan. Tujuan mempersulit terjadinya perceraian untuk menghindari suatu hal yang dibenci oleh Allah SWT, suami istri yang akan melakukan perceraian harus memenuhi alasan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-Undangan (Soedarsono, 2013). Asas ini merupakan upaya untuk mengurangi dan menekan angka perceraian serta agar perceraian tidak dijadikan alternatif terakhir bagi suami isteri apabila terjadi pertengkaran dalam rumah tangga karena akibat yang ditimbulkan dari perceraian itu sangat besar. Pengadilan harus tetap berupaya maksimal agar perceraian tidak terjadi dengan cara mendamaikan para pihak melalui mediasi, hal ini harus dilakukan sebagai wujud dari upaya mempersulit terjadinya perceraian agar tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat tidak semakin tinggi, namun apabila tidak berhasil, alasan yang digunakan dalam perceraian harus diyakini memang tidak dapatnya mereka untuk hidup rukun lagi.

Perceraian harus memiliki cukup alasan yang di mana dinilai suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, sesuai dengan maksud dari Pasal 39 ayat (2) UU Perceraian. Pasal tersebut menjelaskan bahwa boleh melakukan perceraian apabila terdapat sejumlah alasan penting yang mendasarinya. Jika tidak ada, maka pengadilan tidak akan mengambil langkah bercerai sebagai solusi atau gugatan perceraian yang telah dijukan oleh Penggugat. Seorang suami atau istri yang menuntut perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat di pengadilan, artinya berhak menuntut haknya yang telah dirugikan oleh suami atau istrinya, sehingga ia memerlukan dan meminta perlindungan hukum kepada pengadilan yang pasti dan adil karena mereka lah yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengeketa atau perkara perceraiannya. Suami atau istri harus mempunyai kepentingan yang dinilai cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum untuk mengajukan tuntutan perceraian di pengadilan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan yang diterangkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, menyatakan bahwa perkawinan dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan, yaitu,

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang salah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI menyatakan bahwa cacat badan atau penyakit dapat dijadikan sebagai alasan perceraian. Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang bersifat badaniah (seperti cacat atau sakit tulis, buta, dan sebagainya) maupun yang bersifat rohaniah (seperti cacat mental, gila, dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami istri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri, sehingga dengan keadaan yang demikian itu dapat menggagalkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal dan dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.

Kasus pertama adalah Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi, Pemohon adalah suami, sedangkan Termohon adalah istri yang sah menikah pada tanggal 21 Maret 2010. Pada mulanya, kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan dengan baik layaknya rumah tangga pada umumnya. Sejak bulan Juni 2018, antara Pemohon dan Termohon mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus disebabkan Pemohon dan Termohon tidak kunjung dikaruniai anak karena Termohon mendapat cacat badan atau penyakit yaitu kista, walaupun pasangan suami istri tersebut telah berusaha melakukan program bayi tabung, namun tidak berhasil juga. Sampai puncaknya bulan Agustus 2020, Pemohon dan Termohon telah pisah rumah dan hal tersebut dibuktikan dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan yang telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai saksi.

Kasus kedua adalah Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg di mana Penggugat adalah istri, sedangkan Tergugat adalah suami yang sah menikah pada tanggal 28 Februari 2021. Pada mulanya, kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat berjalan dengan baik layaknya rumah tangga pada umumnya di Kota Bandung. Namun sejak bulan April 2021 mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus disebabkan Tergugat diketahui menderita impoten (lemah syahwat) yang sampai sekarang masih berlangsung dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban layaknya sebagai suami, selain itu, ditemukan fakta bahwa ternyata Tergugat tidak dapat memenuhi nafkah lahir maupun bathin untuk Penggugat sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga bersama dan untuk mencukupinya, Penggugat terpaksa bekerja serta sebab-sebab yang lain.

Penyakit yang diderita oleh Termohon pada Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi adalah kista, kista merupakan pertumbuhan jaringan abnormal berbentuk kantung yang berisi air pada sekitar ovarium (Suryoadji et al., 2022). Wanita pengidap kista cenderung kesulitan untuk memiliki keturunan, walaupun sebenarnya dapat ditangani melalui operasi dan pengobatan. Pada Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg, Tergugat menderita penyakit impoten. Impotensi atau impoten adalah perihal lemah syahwat keadaan tidak berdaya, sedangkan impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk (lemah syahwat atau tidak memiliki tenaga) tidak dapat berbuat apa-apa (Indonesia, 2016). Orang impoten ialah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan istrinya pada kemaluannya, walaupun sudah bangun kemaluannya ketika sang istri mendekatinya, maka orang yang ditemui keadaannya seperti yang disebut di atas dinamakan impoten untuk melakukan hubungan badan dengan istrinya.

Sudah menjadi hal umum bahwa pemenuhan akan kebutuhan biologis dari pasangan suami istri merupakan satu bentuk kewajiban di dalam rumah tangga yang meskipun tidak dinyatakan secara kontraktual, namun hal tersebut secara lahiriah merupakan suatu kewajiban yang wajib diberikan dalam suatu hubungan perkawinan. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa cacat badan memang bisa dijadikan sebagai dasar gugatan perceraian adalah cacat badan yang mengakibatkan terganggunya alat reproduksi antara suami atau istri yang sebagian besar merupakan penyakit yang sukar disembuhkan atau dalam penyembuhannya membutuhkan kesabaran dan waktu yang panjang.

Hak dan kewajiban yang diemban oleh suami istri dalam berkeluarga memegang peran penting dalam rumah tangganya sebab apabila pasangan suami istri tersebut tidak dapat saling menjaga dan memelihara keluarganya, maka kehidupan rumah tangga akan goyah dan tidak menutup kemungkinan bahwa rumah tangga mereka akan berantakan. Hak dan kewajiban itu dapat berupa hak dan kewajiban dari suami untuk istri maupun sebaliknya, sehingga dari hubungan simbiolis mutualisme tersebut akan terjalin perpaduan yang harmonis dan tidak sebatas lahiriah saja. Besar harapan bagi masing-masing pihak untuk mampu menutup kekurangan pasangannya, menjaga kebaikan bersama sebagai lembaga masyarakat, lembaga hukum negara dan lembaga agama karena kesakralan dan kesuciannya.

Hak dan kewajiban yang bersifat materiil berkaitan dengan pemenuhan kebetulan lahiriyah seperti suami memiliki kewajiban menyediakan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan hak dan kewajiban immaterial berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan batiniah seperti hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan keamanan yang harus suami berikan kepada istrinya (Abbas, 2017).

Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI menjelaskan bahwa adanya kewajiban yang tidak dapat dijalankan oleh suami atau istri. kewajiban sebagai suami atau istri yang dimaksud terdapat dalam Pasal 33 UU Perkawinan dan Pasal 77 KHI ayat (1) bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada lain. Kewajiban-kewajiban yang dilalaikan oleh salah satu pasangan itu dapat diajukan sebagai alasan untuk menguggat perceraian seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 77 ayat (5) UU Perkawinan.

Jika menggaris bawahi pada kata �melalaikan kewajiban�, banyak persepsi yang dapat diambil dari kata tersebut. Dalam kewajiban berumah tangga, hal tersebut bisa diinterpretasi kewajiban terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kewajiban terhadap rohani di sini seperti terpenuhinya kebutuhan biologis atau rohaniah. Tidak terpenuhinya kewajiban kebutuhan biologis atau rohaniah memang dapat menjadi masalah yang cukup besar dan dikhawatirkan akan mempengaruhi keharmonisan berumah tangga, sehinga bila hal itu terjadi dan salah satu pihak tetap teguh pada keputusan perceraian, alasan ketidak harmonisan itu dapat dijadikan alasan untuk bercerai.

Kalau dicermati bunyi kalimat Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI terlihat bahwa cacat badan atau penyakit itu baru bisa dijadikan alasan perceraian jika sudah membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri, artinya impoten dan kista termasuk ke dalam hal tersebut. sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tersirat bahwa cacat badan atau penyakit bisa berupa penyakit jasmani dan rohani atau fisik dan mental yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.

Tidak jarang melihat pasangan suami istri yang menerima kekurangan fisik dari salah satunya. Biasanya, hal tersebut dialami oleh pasangan yang dari awal memulai perkawinan telah mengetahui kekurangan yang dialami oleh salah satu pasangannya, seperti secara fisik pasangannya itu tidak mempunyai tangan karena amputasi atau seorang tuna netra. Berbeda jika salah satu pasangannya menderita suatu kecelakaan atau penyakit yang mengakibatkan ia tidak dapat menjalankan kewajibannya yaitu memberikan nafkah bathin karena yang kerap kali ditekankan dalam perkara perceraian yang disebabkan oleh cacat badan atau penyakit adalah kewajiban yang tidak dapat dipenuhi oleh salah satunya.

Adanya Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI ini memberikan kesempatan atau peluang yang besar bagi salah satu pasangan suami istri untuk mengakhiri perkawinannya. Melalui pasal tersebut, tumbuhnya kesadaran pasangan suami istri itu untuk berpikir mengakhiri perkawinan mereka karena adanya cacat badan atau penyakit yang dimiliki oleh pasangannya. Alasan itu seolah-olah mengguncang ketenangan dan ketentraman kehidupan pasangan suami istri yang telah dibina sedemikian lama karena pasal tersebut telah memberi kesempatan secara leluasa dan menganjurkan pasangan suami istri yang pasangannya menderita cacat badan atau penyakit untuk mengakhiri perkawinannya, padahal sebaiknya suami istri dapat bersabar dan menerima kekurangan.

Berangkat dari penjabaran di atas, ketentuan mengenai alasan perceraian karena salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri merupakan pasal yang tidak bisa berdiri sendiri. Kategori cacat badan atau penyakit hingga sekarang masih belum ada penjelasan yang dianggap cukup jelas. Oleh karenanya, regulasi mengenai alasan perceraian tersebut masih memiliki berbagai interpretasi yang beragam dan hal ini menjadi kompleks bagi hakim dalam mempertimbangkannya, hakim harus mampu menggali nilai-nilai keadilan sehingga suatu putusan dapat mengandung nilai kepastian, dan kemanfaatan hukum serta harus menilai poin selanjutnya yakni antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Permasalahan cacat badan atau penyakit dan keinginan mempunyai anak dapat menjadi masalah yang besar untuk pasangan suami istri yang mengalami hal tersebut, maka denganadanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus apalagi disusul dengan pisah ranjang dan tidak memberikan nafkah seperti dua kasus yang telah disebutkan di atas, bahkan hal tersebut sampai terdengar oleh keluarga dari kedua belah pihak, penerapan alasan perceraian di atas diserahkan kepada penilaian hakim apalagi hakim dapat menerapkannya secara luwes, fleksibel adalah lebih bijaksana.

UU Perkawinan tidak mengatur secara rinci cacat badan atau penyakit yang dapat diajukan sebagai peceraian. Oleh karena itu, dalam menerima kasus perceraian dengan alasan cacat badan atau penyakit, hakim memiliki peran penting dalam memberikan putusan. Seorang hakim harus bisa menilai dan menimbang karena tugas hakim adalah memutuskan perkara dengan seadil-adilnya, sementara di sisi lain, banyak pihak yang akan merasa benar dan ingin dibenarkan, baik itu Penggugat atau Tergugat dan Pemohon atau Termohon. Bila dimungkinkan, mereka senantiasa menggunakan kuasanya dengan memanggil kuasa atau orang-orang yang dimungkinkan untuk dijadikan sekutu, dalam hal ini saksi atau bukti yang nantinya akan diajukan di persidangan.

Beberapa kasus yang dilatarbelakangi oleh cacat badan atau penyakit cenderung menggunakan Pasal 16 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f KHI yaitu antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam membina rumah tangga. Bila melihat dari sisi moral dan etika, cacat badan atau penyakit yang diderita suami atau istri merupakan isu yang sensitif karena hakim menganggap bahwa menjatuhkan perkawinan dengan alasan tersebut sangat tidak berperikemanusiaan. Maka dari itu, hakim dalam bertugas dituntut untuk dapat memberikan putusan seadil-adilnya. Akan tetapi sebelum menjatuhkan putusan, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 (selanjutnya disebut PERMA No. 1 Tahun 2008) yang berisi perintah untuk melaksanakan mediasi terhadap setiap perkara sebelum perkara tersebut diperiksa oleh Majelis Hakim.

Dampak dari keadaan fisik yang tidak sempurna seperti impoten dan kista kadang-kadang mempunyai dampak yang lebih luas pada hubungan suami istri dalam kehidupan rumah tangga mereka. Pasangan suami atau istri perlu menghadapi kenyataan bahwa situasi di mana kondisi fisik yang tidak sempurna ini mungkin tidak dapat disembuhkan walaupun sudah melakukan berbagai cara pengobatan. Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang ditemui antara suami atau istri mengeluh kepada orang lain ataupun kepada keluarganya sendiri karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak atau karena alasan lain yang berakibat timbulnya suatu perselisihan di antara keduanya. Adanya kemungkinan bahwa perselisihan tersebut dapat berakibat perceraian.

Terpisahnya kata perselisihan dan pertengkaran dalam alasan perceraian pada Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f KHI tentu mempunyai arti yang berbeda. Perselisihan mempunyai arti hal yang berselisih atau kata benda yang artinya percekcokan, perbedaan pendapat, pertikaian dan sengketa (Indonesia, 2016). Perselisihan adalah perbedaan pendapat yang sangat prinsip, tajam dan tidak ada titik temu antara suami dan istri yang bermula dari perbedaan pemahaman tentang visi dan misi yang hendak diwujudkan dalam kehidupan berumah tangga., sedangkan Pertangkaran adalah sikap yang sangat keras yang ditampakkan oleh suami atau istri, yang tidak hanya berwujud nonfisik (kata-kata lisan/verbal yang menjurus kasar, mengumpat dan menghina), tetapi juga tindakan-tindakan fisik (mulai dari melempar benda-benda, mengancam dan menampar/memukul) yang terjadi karena adanya persoalan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak keluarga dan kerabat dari masing-masing suami dan istri yang bersangkutan . Perselisihan dan pertengkaran merupakan dua kata yang tidak sama karena menunjukkan bahwa perselisihan berbeda dengan pertengkaran. Selanjutnya kata �terus menerus� yang berada dalam pasal tersebut diserahkan kepada hakim untuk menilainya dan mengembangkan maknanya. Semua diserahkan kepada penilaian hakim karena dalam hal ini, hakim lah yang punya otoritas untuk melakukan itu.

Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI merupakan pasal yang tidak dapat berdiri sendiri karena sampai saat ini, kategori cacat badan atau penyakit masih belum ada penjelasannya, bahkan di UU Perkawinan karena terkait dengan alsan perceraian tersebut dianggap cukup jelas. Maka dari itu, ketentuan mengenai alasan perceraian karena cacat badan atau penyakit masih mengandung multitafsir dan sulit bagi hakim untuk mempertimbangkan hukum, sehingga dalam menimbang, mereka harus menilai pasal selanjutnya yang menjelaskan adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri.

Hakim berpendapat bahwa secara moral, perceraian akibat cacat badan atau penyakit dinilai sangat tidak berperikemanusiaan. Tidak etis bila seorang suami atau istri tengah menderita suatu cacat badan atau penyakit, namun salah satunya mengajukan baik gugatan perceraian maupun permohonan perceraian. Benar bahwa dalam hukum, fakta persidangan merupakan hal terpenting untuk mengemukakan alasan dari adanya perceraian, akan tetapi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman), hakim dalam konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sikap pengadilan dan hakim selain harus memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sesuai dengan Pasal 49 UU Peradilan Agama adalah pengadilan agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, salah satunya di bidang perkawinan. Artinya, hakim dibebaskan untuk memerika cacat badan atau penyakit tersebut dan dikembangkan dalam persidangan, apakah termasuk dalam kategori permamen atau membahayakan dan apakah sesuai etika atau tidak karena rasanya egois bila menjatuhkan perceraian di saat suami atau istri sudah tidak mampu lagi atau terpuruk. Berdasarkan hal tersebut, hakim menerima apapun bentuk gugatan perceraiannya dan memeriksa hasil gugatannya dengan menimbang apakah dapat dikabulkan atau tidak melalui banyak pertimbangan.

Hakim berpendapat bahwa Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 hanya dianggap sebagai pertimbangan hukum saja di pengadilan, dasarnya adalah cacat badan atau penyakit yang diderita salah satu pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Sedangkan perselisihan atau pertengkaran terus menerus merupakan akibat dari tidak terlaksananya kewajiban sebagai suami atau istri. Maka dari itu, ketika mempertimbangkan hal tersebut, hakim akan melihat dari fungsi hukum kemanfaatan. Suami istri apabila dipaksakan untuk tetap berada dalam hubungan rumah tangga dengan keadaan sering terjadi perselisihan, dapat menimbulkan mudharat dalam rumah tangga mereka.

Dalam hal gugatan perceraian yang berdasarkan alasan bahwa antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga dikarenakan perselisihan dan pertengkaran itu haruslah dipertimbangkan oleh Pengadilan, dengan mengetahui apakah hal itu memang sungguh-sungguh berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan hidup suami dan istri. Seperti yang terjadi di Putusan Pengadilan Agama Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi dan Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 442/Pdt.G/2022/PA.Bdg, hakim mengumpulkan banyak bukti terkait dan meminta keterangan saksi sampai dapat memutuskan bahwa perkawinan tersebut selesai akibat perselisihan dan pertengkaran yang terjadi secara terus menerus.

Dalam hal ini, hakim pada Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 931/Pdt.G/2020/PA.Cmi menimbang bahwa apabila ternyata adanya perselisihan sebagaimana dimaksud pasal 19 huruf f)PP No. 9 tahun 1975, maka hal itu semata-mata ditujukan kepada perkawinannya itu sendiri tanpa mempersoalkan siapa yang salah dalam hal terjadinya perselisihan yang mengakibatkan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi karena pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci atau mitsaqan gholidzon seperti apa yang tertuang di Pasal 2 KHI yang untuk memutuskannya tidak boleh diukur dengan kesalahan salah satu pihak, sehingga apabila perkawinan itu telah pecah berarti hati kedua belah pihak telah pecah pula.

Kehadiran ketentuan yang mengatakan perselisihan atau pertengkaran yang ditambah dengan kalimat terus menerus bukan merupakan sesuatu yang mutlak sebagai alasan perceraian, akan tetapi hal tersebut cukup menjadi alat bantu untuk hakim dalam menjatuhkan pertimbangan apabila di antara suami istri itu tidak adanya harapan untuk kembali hidup rukun dalam rumah tangga. Dapat diambil kesimpulan bahwa kondisi di mana tidak adanya harapan bagi suami istri itu untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga adalah alasan perceraian yang mendominasi, sehingga kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga merupakan akumulasi dari banyaknya pertimbangan.

Layak atau tidaknya hakim menjatuhkan penilaian bahwa mereka sama-sama menghendaki perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga melihat dari memang benar adanya pertengkaran terus menerus dan nyatanya memang tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Maka, unsur tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga itulah kuncinya karena menurut hati nurani hakim, apabila suami istri itu sudah tidak akan dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak perlu menunggu lebih lama lagi karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus karena secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah pihak dalam waktu yang berkepenjangan sehingga mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.

Di sini hakim tidak memakai dasar alasan cacat badan atau penyakit sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI sebab hakim memandang bahwa cacat badan atau penyakit karena impoten atau kista tidak termasuk dalam kriteria cacat badan atau penyakit, melainkan hanya sebab percekcokan. Dari adanya percekcokan tersebut, hakim kemudian menyimpulkan bahwa tidak adanya harapan untuk dirukunkan kembali, maka rumah tangga yang dijalankan oleh pasangan suami istri tersebut tidak lagi sesuai dengan tujuan perkawinan karena tidak terwujudnya sakinah, mawaddah, warahmah, seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 KHI yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Cinta dalam kehidupan berumah tangga sangat bermanfaat karena perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus merupakan akibat dari suami istri yang mengajukan gugatan atau permohonan perceraian. Dengan demikian, Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI dapat digunakan apabila cacat badan atau penyakit yang diderita antara suami dan istri dapat menular, seperti HIV atau AIDS karena impoten dan kista hanya hal-hal yang memicu perselisihan terus menerus dan merupakan penyakit yang masih mempunyai peluang untuk disembuhkan. Maka dari itu, perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus lah yang menjadi alasan utama dan digunakan dalam menjatuhkan putusan.

Hakim dalam mempertimbangkan hukum terhadap cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian merupakan gangguan yang terjadi pada perkawinan dan dapat mengakibatkan tidak normalnya perjalanan rumah tangga. Oleh karena itu, cacat badan yang diderita suami atau istrimerupakan gangguan dalam kehidupan berumah tangga apabila berhubungan dengan kewajibannya sebagai pasangan. Seperti yang telah dikemukakan di atas, gangguan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan atau pertengkaran terus menerus dalam keluarga dan runtuhnya rasa kasih dan sayang antara keduanya. Selain itu, timbul dosa apabila rumah tangga itu terus dijalani karena hakim menilai ditakutkan kebutuhan biologis atau rohani suami atau istri disalurkan ke hal yang tidak baik atau melakukan poligami, hal tersebut tidak boleh karena bertahan tapi dalam kondisi menderita. Dengan demikian, apabila keutuhan rumah tangga memang tidak bisa dipertahankan, maka perceraian adalah akhir dari hubungan perkawinan.

 

 

 

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian dalam praktik di Pengadilan Agama dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf e KHI adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya. Kewajiban yang dimaknai oleh hakim adalah kewajiban dalam kebutuhan biologis yaitu pemenuhan nafkah bathin oleh suami kepada istri ataupun sebaliknya, sehingga dengan alasan tersebut dapat membuat perpecahan dalam rumah tangga karena di saat salah satu pihak menderita impoten atau kista, tidak lah terpenuhi kebutuhan biologis itu dan memungkinkan untuk tidak segera dikaruniai anak.

Selanjutnya, pertimbangan hukum terhadap perselisihan atau pertengkaran terus menerus yang dilatarbelakangi cacat badan atau penyakit sebagai alasan perceraian dalam praktik di Pengadilan Agama dihubungkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam adalah hakim tidak dapat semudah itu memutus dengan alasan cacat badan atau penyakit karena dinilai tidak sesuai dengan moral dan itu hanya sebagai alasan saja, sedangkan perselisihan atau pertengkaran merupakan akibatnya. Maka dari itu, hakim memiliki pertimbangan dengan melihat akibat dari adanya permasalahan cacat badan atau penyakit yaitu tidak terwujudnya tujuan dari perkawinan, sehingga rumah tangga memunculkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus seperti yang tertulis di Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf f KHI.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abbas, D. R. S. (2017). Mediasi: dalam hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional. Prenada Media.

 

Asnawi, H. S., SHI, S. H., Nawawi, M. A., & SHI, M. A. (2022). Dinamika Hukum Perkawinan di Indonesia: Tinjauan Hukum Keluarga Islam Terhadap Legalitas Perkawinan Kepercayaan Penghayat. Bildung.

 

Basri, H., Koto, A., & Nelli, J. (2023). Isu-Isu tentang Perceraian di Depan Pengadilan. Jurnal An-Nahl, 10(1), 9�16.

 

Hadikusuma, H. (1990). Hukum Perkawinan Indonesia: menurut perundangan, hukum adat, hukum agama. (No Title).

 

Indonesia, K. B. B. (2016). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses Pada Senin, 12.

 

Judiasih, S. D., Dajaan, S. S., & Nugroho, B. D. (2020). Kontradiksi antara dispensasi kawin dengan upaya meminimalisir perkawinan bawah umur di Indonesia. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 3(2), 203�222.

 

Karim, H. M. (2017). Keabsahan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Dalam Prespektif Cita Hukum Pancasila. ADIL: Jurnal Hukum, 8(2), 185�209.

 

Ramulyo, M. I. (2016). Hukum perkawinan islam.

 

Salim, H. S., & Sh, M. S. (2021). Pengantar Hukum perdata tertulis (BW). Bumi Aksara.

 

siddik Turnip, I. R. (2021). Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir, Fatwa MUI Dan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur�an Dan Tafsir, 6(01), 107�140.

 

Siswanto, D. (2020). Anak di Persimpangan Perceraian: Menilik Pola Asuh Anak Korban Perceraian. Airlangga University Press.

 

Soedarsono, S. (2013). Membangun kembali jati diri bangsa. Elex Media Komputindo.

 

Suryoadji, K. A., Ridwan, A. S., Fauzi, A., & Kusuma, F. (2022). DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PADA KISTAA OVARIUM: LITERATURE REVIEW. Khazanah: Jurnal Mahasiswa, 14(1).

 

Tutik, D. R. T. T., & SH, M. H. (2015). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Kencana.

 

Wardatun, A. (2018). Legitimasi Berlapis dan Negosiasi Dinamis pada Pembayaran Perkawinan Perspektif Pluralisme Hukum. Al-Ahkam, 28(2), 147�166.

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).