Tanggung Jawab Platform TikTok sebagai Layanan Over The Top terhadap Konten Pelanggaran
Hak Cipta berdasarkan Hukum Positif di Indonesia
� The Liability of TikTok Platform as an Over The
Top Service towards Copyright Infringement Content based on Positive Law in
Indonesia
1)*Amarisha
Ikesha Pieter, 2Tasya Safiranita, 3Rika Ratna Permata
1,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia.
*Email: 1) [email protected], 2[email protected],
3[email protected]
*Correspondence:
1) Amarisha Ikesha
Pieter
DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1274 |
ABSTRAK Perkembangan teknologi telah mendorong
perkembangan hak cipta ke arah digital, yang juga memicu peningkatan kasus
pelanggaran hak cipta digital. Peraturan perundang-undangan Indonesia telah
menyesuaikan perkembangan teknologi. Namun, dalam penyelenggaraannya masih
terdapat celah dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang membuat
pelanggaran hak cipta digital masih dapat terjadi, khususnya di platform
TikTok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab platform
TikTok dalam menghadapi konten pelanggaran hak cipta serta apakah peraturan
perundang-undangan saat ini sudah memadai untuk meningkatkan tanggung jawab platform
TikTok seiring dengan perkembangan era transformasi digital. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan
melakukan penelitian melalui kepustakaan sebagai bahan penelitian yang utama.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa meskipun
regulasi eksisting sudah mengatur mengenai tanggung jawab platform
TikTok, namun perlu ada optimasi pengaturan terkait hak cipta digital seiring
dengan perkembangan era transformasi digital. Kata kunci: Platform TikTok, Over the Top, Konten Pelanggaran Hak Cipta |
ABSTRACT
Technological
developments have driven the development of copyright towards digital, which
has also triggered an increase in digital copyright infringement cases.
Indonesian laws and regulations have adjusted technological developments.
However, in its implementation there are still loopholes in Indonesian
legislation that make digital copyright infringement can still occur,
especially on the TikTok. This research aims to find out how TikTok�s
responsibility in dealing with copyright infringement content and whether the
current laws and regulations are sufficient to increase the responsibility of
the TikTok in line with the development of the digital transformation era. This
research was conducted using a normative juridical approach method, by
conducting research through literature as the main research material. Based on
the research conducted, the results show that although the existing regulations
have regulated the responsibility of the TikTok, there needs to be optimization
of arrangements related to digital copyright in line with the development of
the digital transformation era.
Keywords:
TikTok Platform, Over the Top, Copyright Infringement Content
PENDAHULUAN
Pesatnya
perkembangan sektor TIK saat ini memberikan pengaruh besar terhadap aktivitas
sehari-hari masyarakat global. Teknologi menawarkan layanan baru berbasis
internet dan multimedia yang disebut oleh Lawrence Lessig sebagai "budaya
bebas" yang memungkinkan penggunaannya digunakan secara terbuka (Lessig, 2004). Hal ini
menyebabkan masifnya perkembangan TIK dari platform
digital Over The Top (OTT)
sehingga menghadirkan era transformasi digital. Perubahan ke era digital,
membuat beberapa aspek kehidupan berubah, diantaranya kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat seiring dengan perubahan ke arah
transformasi digital (A. M. Ramli & Ramli, 2022).
Pemanfaatan
platform OTT oleh masyarakat kian
meningkat setiap harinya seiring dengan banyaknya manfaat yang dapat dinikmati
oleh penggunanya, seperti efisiensi dalam kegiatan belajar-mengajar, bekerja,
berbelanja, berbisnis, dan hiburan seperti membaca, menonton, dan mendengarkan
lagu (Permata et al., 2021). Layanan OTT
adalah layanan yang disiarkan melalui jaringan dan infrastruktur milik operator
yang beroperasi dengan menggunakan analogi digital yang menumpang pada sebuah
operator tetapi tidak mengikutsertakan atau melibatkan operator tersebut.
Layanan OTT dibutuhkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan Internet Service Provider yang dalam hal
ini memanfaatkan Layanan OTT untuk mendapatkan jumlah pelanggan dan dapat
menaikkan pendapatan (revenue). Hal
ini dipengaruhi oleh perubahan era digital yang dapat merubah dan memungkinkan
melakukan seluruh aktivitas dengan tanpa melalui hambatan, yang dalam hal ini
perubahan teknologi informasi dan komunikasi juga berakibat pada tidak adanya
batas suatu wilayah (borderless) (A. M. Ramli, 2006).
Salah
satu bentuk Layanan OTT adalah penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten
melalui internet. Contoh Layanan OTT yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau
konten melalui internet adalah TikTok. TikTok adalah sebuah aplikasi jejaring
sosial dan platform video music di mana pengguna bisa
membuat, mengedit, dan berbagi klip video pendek lengkap dengan filter dan
disertai musik sebagai pendukung (Winarso, 2021).
Teknologi
yang kian berkembang pesat juga telah memberikan implikasi lahirnya Cyber Law yang berasal dari rezim hukum
baru yang didalamnya memiliki berbagai aspek hukum yang sifatnya multi disiplin
(T. S. Ramli et al., 2020). Cyber Law juga berhubungan erat dengan
Hukum Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Cipta. Hak Cipta sendiri telah diatur
di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hak cipta pada dasarnya tidak terbatas pada
bentuk nyata, tetapi juga pada bentuk ciptaan yang didigitalisasi untuk
diumumkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Hak moral dan hak ekonomi yang
terkandung dalam ciptaan tersebut tetap melekat dan berada pada pencipta atau
pemegang hak cipta dalam bentuk awal ciptaan tersebut (T. S. Ramli et al., 2020).
Adapun
Layanan OTT dalam penggunaan konten merupakan suatu bentuk ciptaan yang
dilindungi rezim hukum hak cipta. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks
dilindungi sebagai objek hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta. Lagu yang
digunakan dalam konten di Layanan OTT juga dilindungi oleh Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Seiring
dengan perubahan ke era digital, diperlukan kemajuan dalam pelindungan hak
cipta di mana sebelumnya pelindungan ciptaan hanya pada ciptaan fisik kini
perlu pula merambah ke pelindungan ciptaan digital. Dalam konteks perkembangan
TikTok di Indonesia, lagu di dalamnya dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta,
termasuk hak moral dan hak ekonomi. Hak ekonomi ini diwujudkan dalam bentuk
royalti yang merupakan biaya yang harus dibayar pembeli sebagai syarat jual
beli barang yang mengandung Kekayaan Intelektual.
Pada
saat ini, pencipta atau pemegang hak cipta semakin rentan mengalami kerugian
yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hak. Salah satu kerugian yang
dapat terjadi adalah pelanggaran hak cipta atas lagu atau musik yang diunggah
dalam aplikasi TikTok, yaitu berupa pelanggaran hak moral dan hak ekonomi.
Undang-Undang Hak Cipta mengatur bahwa suatu ciptaan tidak dapat didistorsi,
dimutilasi, atau dimodifikasi. Namun, pada praktiknya, lagu yang digunakan
dalam konten TikTok sebagai suara latar (backsound)
diubah tanpa seizin pencipta dengan cara dipotong dan� dipercepat temponya. Hal ini dapat
dikategorikan sebagai bentuk mutilasi dan modifikasi dari sebuah ciptaan yang
berpotensi menjadi bentuk pelanggaran hukum.
Penggunaan
lagu atau musik yang dimutilasi dan dimodifikasi, khususnya lagu atau musik
yang temponya dipercepat, menjadi populer dan disebut mudah dinikmati oleh
generasi saat ini. Salah satu kekhasan teknologi internet yaitu bahwa teknologi
digital tidak dapat membedakan antara bentuk asli dan yang bukan dari suatu
karya cipta yang tersimpan dan tersebar di dalamnya (Lindsey, 2011). �Akibatnya, isu mutilasi dan modifikasi karya
cipta banyak bermunculan dalam ranah digital.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder berupa asas hukum, doktrin hukum, dan taraf sinkronisasi hukum
sebagai dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur untuk memahami fenomena yang
terjadi berkaitan dengan isu hukum yang berkembang dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, (Soekanto & Mamudji, 2001) khususnya di bidang hukum kekayaan intelektual dan hukum
hak cipta. Fokus penelitian berpusat pada regulasi tanggung jawab platform
TikTok sebagai Layanan OTT terhadap konten pelanggaran hak cipta digital,
utamanya ditinjau dari bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5
Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, Surat Edaran
Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016
tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top), Digital Millennium Copyright Act 1998, bahan hukum sekunder berupa
hukum serta jurnal, dan bahan hukum tersier berupa artikel ilmiah. Adapun
teknik pengumpulan data dengan menggunakan pengumpulan data sekunder serta
riset pustaka daring. Sehingga, rancangan analisis yang dibuat oleh penulis
akan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
dikaitkan pada fakta hukum di lapangan. Analisis ini dapat menjadi dasar untuk
menjawab persoalan dalam pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertanggungjawaban Platform
TikTok sebagai Layanan Over The Top
terhadap Konten Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia
SE Menkominfo No. 3/2016 menyebutkan bahwa Layanan
OTT dinyatakan dalam tiga bentuk, sebagai berikut:
a.
Layanan aplikasi melalui internet, yang dimanfaatkan karena terdapat
jasa telekomunikasi untuk melakukan percakapan melalui teks atau pesan suara,
panggilan suara atau video, permainan, transaksi finansial dan komersial,
bahkan aktivitas bersosial media.
b.
Layanan konten melalui internet yang menyediakan informasi digital
seperti konten gambar, animasi, musik, video, film, game, dan sebagainya dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi.
c.
Penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet sebagai
gabungan dari kedua layanan sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, TikTok merupakan
salah satu contoh Layanan OTT yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau konten
melalui internet. TikTok menyediakan bentuk informasi digital berupa suara,
musik, gambar, animasi, video, dan layanan komunikasi dalam bentuk percakapan
daring, transaksi finansial dan komersial, atau kombinasi dari sebagian
dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download)
dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi
berbasis protokol internet. Layanan OTT di Indonesia tunduk dalam aturan
Undang-Undang Telekomunikasi serta pengawasannya merujuk pada Undang-Undang ITE
(Afiftania et al.,
2021).
Dalam hal jenis platform
digital, TikTok termasuk ke dalam jenis platform
media sosial, yaitu platform yang
memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau membagikan konten
berupa tulisan, foto, video, dan merupakan platform
yang menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap
penggunanya (Helmond, 2015). Platform
digital seperti TikTok yang berbasis user
generated content berisikan konten yang dibuat ataupun diunggah sendiri
yang diunggah� ke� Internet�
oleh� non-media� dan�
memiliki� pengaruh� yang�
lebih� besar� pada konsumsi�� masyarakat (Bahtar & Muda,
2016).
OK Saidin menyebutkan bahwa hak cipta sebagai hak
privat yang muncul atas olah hati dan olah pikir manusia sehingga menghasilkan
suatu kreasi dalam lingkup pengetahuan, seni, dan sastra. Berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta yang
timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu Ciptaan
diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kemajuan teknologi, perkembangan
hak cipta semakin pesat. Cyber Law merupakan cabang ilmu hukum
yang mengatur beberapa aspek didalamnya, antara lain, teknologi, informasi,
komunikasi, telekomunikasi, media digital, dan aspek lainnya yang berhubungan
dengan aspek digital. Salah satu aspek tersebut adalah hak cipta digital. Hak
cipta pada dasarnya tidak terbatas pada bentuk nyata, tetapi juga pada bentuk
ciptaan yang didigitalisasi untuk diumumkan oleh pencipta atau pemegang hak
cipta (T. S. Ramli et al.,
2020). Hal ini berarti pelindungan hak cipta atas
ciptaan yang sudah digitalisasi tidak akan hilang.
Sebagai hak eksklusif, hak moral dan hak ekonomi
merupakan hak milik pencipta yang tidak dapat dilanggar oleh orang lain. Hak
moral merupakan hak yang melekat dalam diri pencipta sampai ia meninggal dunia,
yang mencakup hak atribusi dan hak integritas, sedangkan hak ekonomi merupakan
hak untuk memperoleh keuntungan atas ciptaannya. Apabila hak tersebut dilakukan
tanpa seizin pencipta, maka hal tersebut merupakan sebuah bentuk pelanggaran.
Pelindungan atas pencipta juga termasuk dalam bentuk imbalan yang diberikan
kepada pencipta atas ciptaannya.
Pada saat ini, pencipta atau pemegang hak cipta
semakin rentan mengalami kerugian yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki
hak. Salah satu kerugian yang dapat terjadi adalah pelanggaran hak cipta atas
lagu atau musik yang diunggah dalam aplikasi TikTok, yaitu berupa pelanggaran
hak moral dan hak ekonomi. Pengunggahan lagu dalam TikTok merupakan hal yang
selalu digunakan oleh pengguna. Sebuah lagu yang diunggah oleh penciptanya di
TikTok merupakan bentuk fiksasi dari ciptaannya. Setiap pengguna dapat mengunggah,
memuat, atau mengirimkan rekaman suara atau lagu, termasuk video yang
menggabungkan rekaman suara yang disimpan pribadi, serta derau sekitar (ambient noise), sebagai suara latar di
dalam TikTok. Lagu yang terkandung dalam TikTok merupakan salah satu ciptaan
yang dilindungi oleh hak cipta berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak
Cipta. Prinsip sebuah lagu yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta adalah
satu kesatuan karya cipta yang bersifat utuh.
Salah satu fenomena yang marak terjadi pada saat
ini adalah tindakan distorsi, mutilasi, dan modifikasi ciptaan yang diunggah
sebagai konten dalam TikTok. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf e Undang-Undang
Hak Cipta menyebutkan bahwa:
a.
Distorsi ciptaan adalah tindakan pemutarbalikan suatu fakta atau
identitas ciptaan.
b.
Mutilasi ciptaan adalah proses atau tindakan menghilangkan sebagian
ciptaan.
c.
Modifikasi ciptaan adalah pengubahan atas ciptaan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi, tindakan ini
berupa mutilasi dan modifikasi karya cipta lagu yang dipotong dan tempo yang
dipercepat, kemudian identitas lagu tersebut seringkali didistorsi dengan cara
diubah atau tidak disebutkan. Fenomena ini marak terjadi dikarenakan pengguna
TikTok lebih sering menggunakan lagu yang diubah tersebut. Salah satu kekhasan
teknologi internet yaitu bahwa teknologi digital tidak dapat membedakan antara
bentuk asli dan yang bukan dari suatu karya cipta yang tersimpan dan tersebar
di dalamnya (Lindsey, 2011). Akibatnya, isu mutilasi dan modifikasi karya
cipta banyak bermunculan dalam ranah digital.
Dalam hal terjadinya pelanggaran hak cipta di dalam
konten yang diunggah dalam TikTok, sebagai sebuah Layanan OTT TikTok sudah
seharusnya memiliki mekanisme penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta. Hal
ini merupakan upaya pelindungan hak cipta yang sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia. Pengunggahan konten yang dilakukan oleh pengguna
dapat menimbulkan risiko pelanggaran hak cipta, khususnya hak moral. Setiap platform digital, termasuk TikTok,
memiliki tanggung jawab atas pelanggaran hak cipta yang terjadi di dalam platform-nya, tetapi terdapat beberapa
pengecualian dalam doktrin Safe Harbour.
Safe Harbour Policy bertujuan untuk memberikan platform
pelindungan dari pertanggungjawaban hukum dan pelanggaran lainnya yang terjadi
dalam kondisi tertentu (Thomas et al.,
n.d.). Berdasarkan ketentuan ini, TikTok sebagai sebuah platform akan bebas dari tanggung jawab
apabila sistemnya mempunyai sarana kontrol, seperti mekanisme peringatan dan takedown untuk mengantisipasi
pelanggaran atas konten hak cipta. Doktrin
Safe Harbour dapat ditemukan di dalam Pasal 11 Permenkominfo 5/2020 yang
menyebutkan bahwa PSE lingkup privat dibebaskan dari tanggung jawab hukum
apabila telah melakukan kewajibannya dalam menciptakan sistem yang aman,
memberikan informasi kepada pengguna mengenai larangan pengunggahan konten
tertentu, dan melakukan pemutusan akses konten yang dilarang. Poin V.C. SE
Menkominfo 5/2016 juga merupakan perwujudan doktrin Safe Harbour yang menjelaskan mengenai kewajiban dan tanggung jawab
Layanan OTT berbentuk user-generated
content. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa apabila Layanan OTT telah
menjalankan kewajibannya dengan baik, maka pelanggaran yang terjadi pada platform-nya tidak akan dibebankan
kepada Layanan OTT tersebut.
Terhadap hal tersebut, TikTok telah mengatur
mengenai pelanggaran hak cipta yang terjadi di dalam platform-nya, serta mekanisme bagi pencipta apabila terjadi
pelanggaran hak cipta yang diatur dalam ketentuan layanan (terms & condition) platform.
Ketentuan layanan� yang dimiliki TikTok
menjelaskan bahwa pengguna yang mengunggah konten dalam TikTok harus merupakan
pemilik konten tersebut atau telah menerima semua izin dan persetujuan yang
diperlukan dari pemilik dari setiap bagian konten untuk mengunggah konten
tersebut dalam TikTok. Ketentuan ini berarti seluruh konten yang diunggah oleh
pengguna dalam TikTok harus memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta
terhadap keseluruhan bagian konten.
Ketentuan mengenai izin penggunaan konten dari
pencipta didukung dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ITE, yang
menyebutkan bahwa mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik milik orang lain, dan memindahkan atau mentransfer informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem orang lain yang tidak
berhak. Kemudian Pasal 35 Undang-Undang ITE juga menyebutkan bahwa manipulasi,
penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Ketentuan di atas berarti Undang-Undang ITE
melindungi lagu sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum untuk diubah,
ditambah, dikurangi, dirusak, dihilangkan, manipulasi, penciptaan milik orang
lain ataupun dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Ketentuan tersebut
juga melarang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik untuk diunggah
dalam platform lain. Ketentuan di
atas berarti Undang-Undang ITE mewajibkan bahwa setiap orang harus memiliki hak
terlebih dahulu sebelum melakukan pengunggahan ciptaan milik orang lain. Hak di
sini juga dapat diartikan sebagai izin. Setiap pengguna TikTok wajib telah memiliki
izin dari pencipta dalam mengunggah konten dalam TikTok.
TikTok juga memiliki mekanisme peringatan dan takedown yang diatur dalam ketentuan
layanan. Pengguna dapat menggunakan hak cipta konten berhak cipta milik orang
lain tanpa izin, dengan syarat tetap memperhatikan fair use TikTok. Apabila terjadi pelanggaran, pencipta atau
pemegang hak cipta dapat mengajukan permohonan penghapusan kepada Tiktok.
Selain dengan dilaporkan, TikTok juga berhak dengan atau tanpa pemberitahuan
untuk memblokir akses ke dan/atau menutup akun-akun milik setiap pengguna yang
melanggar atau diduga melanggar hak cipta.
Ketentuan mengenai penerapan mekanisme peringatan
dan takedown dalam TikTok sebagai Layanan OTT didukung dalam Pasal 26 ayat (3)
dan (4) yang menyebutkan bahwa TikTok memiliki kewajiban menghapus informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan atas permohonan pihak
bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan, dan TikTok wajib memiliki
mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
telah tidak relevan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Optimasi Pengaturan Hak Cipta terhadap Konten Pelanggaran Hak Cipta
dalam Platform TikTok sebagai Layanan
Over The Top di Indonesia
Seiring dengan perubahan ke era digital, maka
perkembangan hukum hak cipta sudah seharusnya terjadi juga di mana sebelumnya
pelindungan ciptaan hanya pada ciptaan fisik kini perlu pula merambah ke
pelindungan ciptaan digital. Hal ini sesuai dengan Teori Hukum Transformatif
yang dikembangkan oleh Ahmad M. Ramli, bahwa hukum harus dapat berkembang
seiring dengan perkembangan zaman yang pesat di era digital.
Berdasarkan laporan We Are Social, pengguna TikTok
di Indonesia berjumlah sekitar 106,51 juta pada bulan Oktober 2023. Jumlah
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak
kedua di dunia. Pengguna TikTok di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu di
TikTok sebanyak 23,1 jam per bulan (Oktaviani &
Haliza, 2023). �Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa
TikTok memiliki peran yang besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya mengenai
penggunaan konten hak cipta. Meningkatnya penggunaan TikTok di Indonesia juga
membuat pelanggaran hak cipta dalam konten TikTok semakin banyak. Salah satu
kekhasan teknologi internet yaitu bahwa teknologi digital tidak dapat
membedakan antara bentuk asli dan yang bukan dari suatu karya cipta yang
tersimpan dan tersebar di dalamnya (Lindsey, 2011).
Mengutip pernyataan dari Menteri Komunikasi dan
Informatika, Johnny G. Plate, �Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu
pilar utama untuk meningkatkan konektivitas digital. Transformasi digital
memerlukan peran kolaborasi dan sinergis, baik secara nasional maupun
internasional. Kementerian Kominfo terus mendorong berbagai upaya kooperatif
lintas pemangku kebijakan dan seluruh elemen terkait yang produktif bagi
pengembangan sektor digital di Indonesia.� Kemungkinan terjadinya
pelanggaran hak cipta digital merupakan dampak dari berkembangnya era
transformasi digital. Oleh karena itu, sudah seharusnya solusi dari
permasalahan tersebut merupakan regulasi yang memfasilitasi permasalahan yang
timbul akibat transformasi digital.
Hak moral yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Hak Cipta adalah pencipta berhak mempertahankan haknya dalam hal
terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang
bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Ketentuan ini melarang
tindakan distorsi, mutilasi dan modifikasi ciptaan, serta melarang siapapun
melakukan tindakan-tindakan yang bersifat merugikan kehormatan diri atau
reputasinya. Namun, pada praktiknya, lagu yang digunakan dalam konten TikTok sebagai
suara latar (backsound) hanya
diunggah dalam durasi 15 detik atau 60 detik, sehingga lagu atau musik tersebut
dinikmati dengan tidak utuh. Selain itu, di dalam aplikasi TikTok terdapat
fitur untuk mengubah efek suara dan tempo lagu atau musik yang berarti mengubah
orisinalitas sebuah ciptaan, apalagi jika hal tersebut dilakukan tanpa seizin
penciptanya. Hal ini tentunya merupakan bentuk pelanggaran hak cipta.
Di dalam aplikasi TikTok, ditemukan beberapa kasus
penggunaan lagu atau musik yang dimutilasi dan dimodifikasi, khususnya lagu
atau musik yang temponya dipercepat. Salah satu kasusnya adalah lagu dengan
judul �Rayuan Perempuan Gila� karya Nadin Amizah. Dilansir dari PramborsFM.com,
�lagu Rayuan Perempuan Gila diketahui di-remix
dengan format speed up dan rekamannya
sudah diunggah di TikTok maupun Instagram yang bisa digunakan sebagai backsound.� Lagu tersebut dimutilasi dan
dimodifikasi dengan cara dipotong durasinya dan dipercepat tempo lagunya,
kemudian diunggah ke aplikasi TikTok untuk menjadi suara latar. Selain kasus
tersebut, terdapat kasus lain yaitu lagu dengan judul �315 (Breathe)� oleh
Russ. Lagu ini digunakan oleh akun TikTok official
@wardahofficial yang memiliki followers
sebesar 1,1 (satu koma satu) juta followers,
untuk melakukan promosi barang yang dijual oleh Wardah berupa produk perawatan
kulit yaitu tabir surya. Konten tersebut mendapat viewers sebanyak 4,3 (empat koma tiga) juta, likes sebanyak 4.807 (empat ribu delapan ratus tujuh), comments sebanyak 75 (tujuh puluh lima),
dan share sebanyak 183 (seratus
delapan puluh tiga) kali, serta tercantum jumlah penjualan produk tersebut
sebanyak 10.000+ (sepuluh ribu lebih) barang terjual.
Hal ini tentunya merupakan pelanggaran hak cipta
apabila dilihat dari Undang-Undang Hak Cipta. Tindakan mutilasi, modifikasi,
dan distorsi lagu pada kedua kasus di atas merupakan salah satu bentuk
pelanggaran terhadap hak moral pencipta, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5
ayat (1) huruf e Undang-Undang Hak Cipta bahwa pencipta berhak untuk
mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan,
modifikasi ciptaan, atau hal lain yang bersifat merugikan kehormatan diri
pencipta. Terlebih lagi apabila tindakan tersebut dilakukan tanpa seizin
pencipta dan disebarluaskan di Layanan OTT, yaitu TikTok.
Apabila mengacu Pasal 9 ayat (1) huruf d dan g
Undang-Undang Hak Cipta, penggunaan lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan
didistorsi untuk konten promosi atau komersialisasi ciptaan pada kasus kedua
merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta dikarenakan penggunaan
ciptaan secara komersial tanpa seizin pencipta. Tindakan tersebut merupakan
pelanggaran hak ekonomi berupa pengaransemenan ciptaan dan pengumuman ciptaan,
yaitu mengunggah lagu di TikTok dengan mengubah tempo lagu menjadi dipercepat dan
menggunakan lagu tersebut tanpa izin pencipta untuk mendapatkan keuntungan.
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan pengguna yang melakukan
hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Hak
Cipta juga melarang pengguna untuk melakukan penggunaan ciptaan secara
komersial tanpa seizin pencipta.
Pelanggaran hak moral pada kedua kasus tersebut
juga didukung dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta, yang menyebutkan
bahwa pencipta dapat memiliki informasi elektronik atas ciptaan berupa suatu
ciptaan yang muncul dan melekat secara elektronik yang berhubungan dengan
pengumuman ciptaan, nama pencipta, pencipta sebagai pemegang hak cipta, nomor,
dan kode informasi. Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta juga menyebutkan
bahwa informasi elektronik tersebut dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak.
Hal ini berarti bahwa pengguna TikTok dilarang mengubah atau merusak informasi
elektronik sebagai teknologi pengaman terhadap lagu yang digunakan di TikTok.
Teknologi pengaman merupakan software, komponen atau alat lain yang dapat digunakan oleh pemilik
hak cipta untuk melindungi karya ciptanya (Irawati, 2019). Jacques de Werra mengatakan terdapat tiga
pendekatan perlindungan hak cipta atas karya digital, yaitu pelindungan hak
cipta melalui ketentuan hak cipta konvensional, pelindungan hak cipta melalui
pelindungan teknis/teknologi pengaman, dan pelindungan hak cipta melalui
pelindungan hukum atas pelindungan teknis/teknologi pengaman (Riswandi, 2016). Saat ini, perlindungan hak cipta di Indonesia
dilakukan dengan pendekatan perlindungan hak cipta melalui pelindungan hak
cipta melalui pelindungan teknis/teknologi pengaman dan pelindungan hukum atas
pelindungan teknis/teknologi pengaman.
Hal ini terlihat pada Pasal 52 Undang-Undang Hak
Cipta yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak, memusnahkan,
menghilangkan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang
digunakan sebagai teknologi pengaman terhadap karya cipta kecuali untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan negara, atau sebab lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, ketentuan Pasal 6 dan 7
Undang-Undang Hak Cipta bukan merupakan suatu peraturan yang wajib dilakukan
oleh pencipta, melainkan sebuah pilihan. Selain itu, ketentuan Pasal 52
Undang-Undang Hak Cipta hanya terbatas pada larangan perusakan sarana kontrol
teknologi saja. Amerika Serikat memiliki peraturan perundang-undangan yang
secara khusus mengatur mengenai hak cipta digital, yaitu Digital Millennium Copyright Act 1998 (DMCA). Apabila dibandingkan
dengan Section 1201(b)(1) DMCA
disebutkan bahwa dilarang untuk memproduksi, mengimpor, menawarkan kepada
publik, menyediakan, atau memperdagangkan sistem yang dapat merusak sarana
kontrol teknologi.
Berkaitan dengan kedua kasus di atas, dapat
disimpulkan bahwa penerapan sarana kontrol teknologi yang telah diatur dalam
Undang-Undang Hak Cipta belum maksimal. Meskipun Pasal 7 Undang-Undang Hak
Cipta mengatur dengan jelas bagaimana pencipta dapat menerapkan sebuah sarana
kontrol teknologi atas ciptaannya dengan memiliki informasi manajemen dan
elektronik hak cipta, tetapi pada pelaksanaannya ketentuan tersebut belum dapat
mengatasi pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT seperti yang terjadi
dalam kedua kasus di atas. Undang-Undang Hak Cipta belum mengatur mengenai
bagaimana perusakan sarana kontrol teknologi itu dapat terjadi serta tidak
mewajibkan sarana kontrol teknologi untuk diterapkan oleh pencipta. Perbedaan
pengaturan antara peraturan perundang-undangan Indonesia dan DMCA terkait
dengan sarana kontrol teknologi ini berarti bahwa Indonesia membutuhkan
pengaturan yang lebih relevan lagi terkait sarana kontrol teknologi. Hal ini
bertujuan agar tidak ada celah hukum bagi penegakkan Pasal 52 Undang-Undang Hak
Cipta.
Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan jenis
teknologi pengaman yang mampu mengatasi pelanggaran hak cipta digital dalam
Layanan OTT. Mengingat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sarana
kontrol teknologi hanya diatur mengenai larangan perusakannya saja, maka
diperlukan jenis teknologi pengaman yang mampu mengatasi pelanggaran hak cipta
digital dalam Layanan OTT. Hal ini merupakan dampak dari adanya perkembangan
teknologi yang mengharuskan regulasi terus berkembang mengikuti perkembangan
teknologi. Apabila dibandingkan dengan DMCA, Article 1201 DMCA mengatur mengenai kewajiban untuk menyediakan
teknologi pengaman yang memadai dan efektif terhadap karya ciptanya untuk
mencegah adanya perusakan terhadap teknologi pengaman yang pemilik hak cipta
gunakan (Congress, 1998).
Salah satu jenis teknologi pengaman yang diterapkan
dalam hukum hak cipta di Amerika Serikat adalah Electronic Copyright Management Systems (ECMS). ECMS merupakan
suatu sistem yang memungkinkan untuk mengidentifikasi materi hak cipta,
mengawasi penggunaannya, dan memberikan penghargaan yang patut kepada pemegang
hak cipta. ECMS mengintegrasikan beberapa teknologi sistem pengaman dengan
sistem lisensi otomatis dan sistem elektronik (Simatupang, 2021).
Pada umumnya, ECMS merupakan sebuah teknologi
pengaman yang diterapkan oleh pencipta itu sendiri terhadap ciptaannya. Namun,
terdapat pula jenis ECMS yang dapat diterapkan dalam melindungi pelanggaran hak
cipta digital dalam Layanan OTT. ECMS akan mencegah akses terhadap ciptaan jika
tidak memiliki izin dari pencipta atau dapat mengizinkan penggunaan karya
tersebut dengan syarat dan ketentuan tertentu. Sistem ini berjalan atas basis
data dan sistem lisensi, serta menggabungkan perangkat keras (Ahmad, 2009). Dengan diterapkan ECMS, diharapkan ECMS akan
memiliki sistem pembayaran, sehingga pengguna dapat secara otomatis ditagih,
dan membayar, untuk setiap penggunaan karya yang dilindungi (Ahmad, 2009).
Dalam pelaksanaannya dalam TikTok, TikTok sudah
memiliki sistem yang dapat mendeteksi suara dalam lagu yang digunakan sebagai
suara latar dalam sebuah konten dalam TikTok. Sistem ini berfungsi untuk
mendeteksi suara dalam lagu yang digunakan sebagai suara latar dalam sebuah
konten dalam TikTok. Sistem ini dapat mendeteksi suara apapun dalam sebuah
konten dan akan otomatis muncul apabila suara yang digunakan terdapat lagu atau
musik yang dimiliki oleh penyanyi atau pencipta aslinya, meskipun pengguna yang
menggunakan suara tersebut tidak mencantumkan judul dan penyanyi asli lagu
tersebut.
Apabila sistem pendeteksi tersebut berfungsi dengan
baik, maka lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi akan tetap
terdeteksi dan tentunya pelaksanaan royalti dari lagu tersebut akan tetap
terlaksana dengan baik. Namun, pada pelaksanaannya sistem ini tidak sempurna
dalam mendeteksi suara dalam sebuah konten dalam TikTok. Hal ini terlihat pada
kedua kasus di atas, di mana sistem pendeteksi yang dimiliki TikTok tidak
berfungsi untuk mendeteksi suara dalam lagu yang digunakan pada konten kedua kasus
di atas yang sudah dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi.
ECMS akan mencegah akses terhadap ciptaan jika
tidak memiliki izin dari pencipta atau dapat mengizinkan penggunaan karya
tersebut dengan syarat dan ketentuan tertentu, apabila ECMS jenis tersebut
diterapkan dalam TikTok, penggunaan lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan
didistorsi akan terdeteksi oleh TikTok. Syarat dan ketentuan yang dimaksud
adalah judul lagu dan penyanyi asli atau pencipta akan tercantum pada setiap
konten yang diunggah menggunakan lagu tersebut dalam TikTok.
Atas hal ini, ECMS yang merupakan teknologi
pengaman Amerika Serikat dapat diterapkan di TikTok dan Layanan OTT sejenis
lainnya. Hal ini dikarenakan ECMS bekerja berdasarkan basis data dan sistem
lisensi, sehingga tentunya pencipta juga akan tetap mendapatkan pembayaran
dalam bentuk royalti yang sudah seharusnya didapatkan. Basis data dan lisensi
berfungsi sebagai pengenal dari setiap suara yang terdapat dalam lagu yang
digunakan sebagai suara latar dalam TikTok. Apabila lagu yang digunakan
ternyata dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi, maka lagu tersebut akan
tetap terdeteksi sebagai lagu asli yang sudah memiliki lisensi. Royalti pun
akan tetap didapatkan oleh penyanyi aslinya.
Penggunaan teknologi pengaman menjadi sebuah
strategi penting dalam pelindungan hak cipta di internet, sejalan dengan konsep
Lex Informatica oleh Joel R. Reidenberg, yang menekankan pentingnya
peran teknologi dalam melindungi konten di dunia digital. Teori ini menyatakan
bahwa dibutuhkan respon teknis yang dapat melindungi hak-hak karya cipta yang
dapat disesuaikan dengan kebutuhan para penghasil karya kekayaan intelektual.
Hal ini dikarenakan aspek teknis juga memungkinkan pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan akses terhadap karya cipta, tanpa mengurangi
pelindungan bagi pemegang hak karya cipta tersebut (Reidenberg, 1997). Dalam teori ini, aturan dibentuk
melalui teknologi, bentuk hukum mengikuti fungsi teknologi, dan hukum mengikuti
kode. Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang
hak cipta, diperlukan pendekatan dengan Teori Lex Informatica sehingga peraturan akan lebih komprehensif dalam
menjadi dasar perkembangan teknologi.
Baik Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE
memang telah mengatur mengenai pelindungan hak cipta digital dalam TikTok serta
bagaimana kewajiban dan tanggung jawab TikTok tersebut dalam melindungi hak
cipta digital. Namun, pada pelaksanaannya, penggunaan teknologi pengaman dalam
bentuk apapun belum maksimal. Hal ini dapat terjadi dikarenakan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia terkait dengan pelindungan hak cipta
digital dalam Layanan OTT belum diatur secara lengkap dan spesifik, khususnya
mengenai penggunaan teknologi pengaman. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya
optimasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan Indonesia seiring
dengan perkembangan era transformasi digital. Dibutuhkan sebuah upaya serius
dalam mengoptimasi peraturan mengenai pelindungan hak cipta digital dalam
Layanan OTT. Dengan adanya optimasi pengaturan tersebut, diharapkan akan
menjamin kepastian dan ketertiban sehingga tercipta fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat, sesuai dengan Teori Hukum Pembangunan oleh Mochtar
Kusumaatmadja.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, dapat
ditarik kesimpulan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi, hak cipta juga
berkembang ke arah digital sehingga pelanggaran hak cipta digital juga semakin
marak terjadi khususnya dalam platform
TikTok sebagai Layanan OTT. Saat ini secara regulatif, tanggung jawab platform TikTok sudah diatur baik dalam
swaregulasi (self regulation), maupun
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, implementasi dari regulasi
tersebut belum sepenuhnya diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari fenomena
maraknya penggunaan lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi dalam
TikTok yang merugikan pencipta lagu yang asli.
Dalam pelaksanaan TikTok sebagai sebuah Layanan OTT di
Indonesia, diperlukan sebuah pembangunan infrastruktur digital dan pembentukan
regulasi yang sesuai dengan perkembangan teknologi. Regulasi eksisting telah
melindungi hak cipta digital, terlihat dari pelindungan hak cipta digital dalam
TikTok serta bagaimana kewajiban dan tanggung jawab TikTok dalam melindungi hak
cipta digital yang diatur oleh peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun,
pada pelaksanaannya penerapan pengaturan hak cipta digital khususnya dalam
penggunaan teknologi pengaman belum maksimal. Oleh karena itu, diperlukan
penerapan teknologi pengaman dalam bentuk ECMS diwajibkan bagi TikTok dan
Layanan OTT yang sejenis dan dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia. Hal ini merupakan bentuk optimasi pengaturan pelindungan hak cipta
digital dalam Layanan OTT, yaitu pelindungan terhadap tindakan pembuatan dan
penyebaran teknologi yang memungkinkan perusakan teknologi pengaman, sehingga
hak ekonomi dan hak moral pencipta tetap dapat dilindungi.
DAFTAR PUSTAKA
Afiftania,
L. A., Mahmudah, N., & Putri, F. H. (2021). Diferensiasi Hukum bagi
Penyedia Layanan Over The Top (Studi Perbandingan Indonesia dengan Singapura). Perspektif
Hukum, 79�98.
Ahmad, N.
(2009). Copyright Protection in Cyberspace: A critical study with reference to
Electronic Copyright Management Systems (ECMS). USA: Communications of the
IBIMA, 7, 80�91.
Bahtar, A.
Z., & Muda, M. (2016). The impact of User�Generated Content (UGC) on
product reviews towards online purchasing�A conceptual framework. Procedia
Economics and Finance, 37, 337�342.
Congress,
U. S. (1998). Digital millennium copyright act. Public Law, 105(304),
112.
Helmond, A.
(2015). The platformization of the web: Making web data platform ready. Social
Media+ Society, 1(2), 2056305115603080.
Irawati, I.
(2019). Digital Right Managements (Teknologi Pengaman) Dalam Perlindungan
Terhadap Hak Cipta Di Era Digital. Diponegoro Private Law Review, 4(1).
Lessig, L.
(2004). How big media uses technology and the law to lock down culture and
control creativity. Retrieved December, 5, 2004.
Lindsey, T.
C. (2011). Sustainable principles: common values for achieving sustainability. Journal
of Cleaner Production, 19(5), 561�565.
Oktaviani,
D., & Haliza, N. (2023). Pengaruh Review Produk Dan Content Marketing Pada
Aplikasi Tiktok Terhadap Keputusan Pembelian Generasi Z. Cakrawala
Repositori IMWI, 6(4), 769�781.
Permata, R.
R., Safiranita, T., Utama, Y., & Millaudy, R. A. (2021). Penerapan Doktrin
Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta Pada Platform Digital Semasa Covid 19
Di Indonesia. Dialogia Iuridica, 13(1), 130�148.
Ramli, A.
M. (2006). Cyber Law dan HAKI dalam sistem hukum Indonesia.
Ramli, A.
M., & Ramli, T. S. (2022). Hukum Sebagai Infrastruktur Transformasi
Indonesia Regulasi dan Kebijakan Digital. Refika Aditama: Bandung.
Ramli, T.
S., Ramli, A. M., Permata, R. R., Wahyuningsih, T., & Mutiara, D. (2020).
Aspek Hukum Atas Konten Hak Cipta Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jurnal Legislasi Indonesia,
17(1), 65.
Reidenberg,
J. R. (1997). Lex informatica: The formulation of information policy rules
through technology. Tex. L. Rev., 76, 553.
Riswandi,
B. A. (2016). Doktrin perlindungan hak cipta di era digital. FH UII
Press.
Simatupang,
K. M. (2021). Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital. Jurnal
Ilmiah Kebijakan Hukum, 15(1), 67.
Soekanto,
S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan
singkat. RajaGrafindo Persada.
Thomas, L.
M., Partner, W., & Strawn, L. L. P. (n.d.). Data Protection.
Winarso, B.
(2021). Apa Itu TikTok dan Apa Saja Fitur-fiturnya. Retrieved November, 18,
2021.