Tanggung Jawab Platform TikTok sebagai Layanan Over The Top terhadap Konten Pelanggaran Hak Cipta berdasarkan Hukum Positif di Indonesia

 

� The Liability of TikTok Platform as an Over The Top Service towards Copyright Infringement Content based on Positive Law in Indonesia

 

1)*Amarisha Ikesha Pieter, 2Tasya Safiranita, 3Rika Ratna Permata

1,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia.

 

*Email: 1) [email protected], 2[email protected], 3[email protected]

*Correspondence: 1) Amarisha Ikesha Pieter

 

DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1274

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Perkembangan teknologi telah mendorong perkembangan hak cipta ke arah digital, yang juga memicu peningkatan kasus pelanggaran hak cipta digital. Peraturan perundang-undangan Indonesia telah menyesuaikan perkembangan teknologi. Namun, dalam penyelenggaraannya masih terdapat celah dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang membuat pelanggaran hak cipta digital masih dapat terjadi, khususnya di platform TikTok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab platform TikTok dalam menghadapi konten pelanggaran hak cipta serta apakah peraturan perundang-undangan saat ini sudah memadai untuk meningkatkan tanggung jawab platform TikTok seiring dengan perkembangan era transformasi digital. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan melakukan penelitian melalui kepustakaan sebagai bahan penelitian yang utama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa meskipun regulasi eksisting sudah mengatur mengenai tanggung jawab platform TikTok, namun perlu ada optimasi pengaturan terkait hak cipta digital seiring dengan perkembangan era transformasi digital.

 

Kata kunci: Platform TikTok, Over the Top, Konten Pelanggaran Hak Cipta

 

ABSTRACT

Technological developments have driven the development of copyright towards digital, which has also triggered an increase in digital copyright infringement cases. Indonesian laws and regulations have adjusted technological developments. However, in its implementation there are still loopholes in Indonesian legislation that make digital copyright infringement can still occur, especially on the TikTok. This research aims to find out how TikTok�s responsibility in dealing with copyright infringement content and whether the current laws and regulations are sufficient to increase the responsibility of the TikTok in line with the development of the digital transformation era. This research was conducted using a normative juridical approach method, by conducting research through literature as the main research material. Based on the research conducted, the results show that although the existing regulations have regulated the responsibility of the TikTok, there needs to be optimization of arrangements related to digital copyright in line with the development of the digital transformation era.

 

Keywords: TikTok Platform, Over the Top, Copyright Infringement Content

 


PENDAHULUAN

Pesatnya perkembangan sektor TIK saat ini memberikan pengaruh besar terhadap aktivitas sehari-hari masyarakat global. Teknologi menawarkan layanan baru berbasis internet dan multimedia yang disebut oleh Lawrence Lessig sebagai "budaya bebas" yang memungkinkan penggunaannya digunakan secara terbuka (Lessig, 2004). Hal ini menyebabkan masifnya perkembangan TIK dari platform digital Over The Top (OTT) sehingga menghadirkan era transformasi digital. Perubahan ke era digital, membuat beberapa aspek kehidupan berubah, diantaranya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat seiring dengan perubahan ke arah transformasi digital (A. M. Ramli & Ramli, 2022).

Pemanfaatan platform OTT oleh masyarakat kian meningkat setiap harinya seiring dengan banyaknya manfaat yang dapat dinikmati oleh penggunanya, seperti efisiensi dalam kegiatan belajar-mengajar, bekerja, berbelanja, berbisnis, dan hiburan seperti membaca, menonton, dan mendengarkan lagu (Permata et al., 2021). Layanan OTT adalah layanan yang disiarkan melalui jaringan dan infrastruktur milik operator yang beroperasi dengan menggunakan analogi digital yang menumpang pada sebuah operator tetapi tidak mengikutsertakan atau melibatkan operator tersebut. Layanan OTT dibutuhkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan Internet Service Provider yang dalam hal ini memanfaatkan Layanan OTT untuk mendapatkan jumlah pelanggan dan dapat menaikkan pendapatan (revenue). Hal ini dipengaruhi oleh perubahan era digital yang dapat merubah dan memungkinkan melakukan seluruh aktivitas dengan tanpa melalui hambatan, yang dalam hal ini perubahan teknologi informasi dan komunikasi juga berakibat pada tidak adanya batas suatu wilayah (borderless) (A. M. Ramli, 2006).

Salah satu bentuk Layanan OTT adalah penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet. Contoh Layanan OTT yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet adalah TikTok. TikTok adalah sebuah aplikasi jejaring sosial dan platform video music di mana pengguna bisa membuat, mengedit, dan berbagi klip video pendek lengkap dengan filter dan disertai musik sebagai pendukung (Winarso, 2021).

Teknologi yang kian berkembang pesat juga telah memberikan implikasi lahirnya Cyber Law yang berasal dari rezim hukum baru yang didalamnya memiliki berbagai aspek hukum yang sifatnya multi disiplin (T. S. Ramli et al., 2020). Cyber Law juga berhubungan erat dengan Hukum Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Cipta. Hak Cipta sendiri telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hak cipta pada dasarnya tidak terbatas pada bentuk nyata, tetapi juga pada bentuk ciptaan yang didigitalisasi untuk diumumkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Hak moral dan hak ekonomi yang terkandung dalam ciptaan tersebut tetap melekat dan berada pada pencipta atau pemegang hak cipta dalam bentuk awal ciptaan tersebut (T. S. Ramli et al., 2020).

Adapun Layanan OTT dalam penggunaan konten merupakan suatu bentuk ciptaan yang dilindungi rezim hukum hak cipta. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks dilindungi sebagai objek hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta. Lagu yang digunakan dalam konten di Layanan OTT juga dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Seiring dengan perubahan ke era digital, diperlukan kemajuan dalam pelindungan hak cipta di mana sebelumnya pelindungan ciptaan hanya pada ciptaan fisik kini perlu pula merambah ke pelindungan ciptaan digital. Dalam konteks perkembangan TikTok di Indonesia, lagu di dalamnya dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta, termasuk hak moral dan hak ekonomi. Hak ekonomi ini diwujudkan dalam bentuk royalti yang merupakan biaya yang harus dibayar pembeli sebagai syarat jual beli barang yang mengandung Kekayaan Intelektual.

Pada saat ini, pencipta atau pemegang hak cipta semakin rentan mengalami kerugian yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hak. Salah satu kerugian yang dapat terjadi adalah pelanggaran hak cipta atas lagu atau musik yang diunggah dalam aplikasi TikTok, yaitu berupa pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. Undang-Undang Hak Cipta mengatur bahwa suatu ciptaan tidak dapat didistorsi, dimutilasi, atau dimodifikasi. Namun, pada praktiknya, lagu yang digunakan dalam konten TikTok sebagai suara latar (backsound) diubah tanpa seizin pencipta dengan cara dipotong dan� dipercepat temponya. Hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk mutilasi dan modifikasi dari sebuah ciptaan yang berpotensi menjadi bentuk pelanggaran hukum.

Penggunaan lagu atau musik yang dimutilasi dan dimodifikasi, khususnya lagu atau musik yang temponya dipercepat, menjadi populer dan disebut mudah dinikmati oleh generasi saat ini. Salah satu kekhasan teknologi internet yaitu bahwa teknologi digital tidak dapat membedakan antara bentuk asli dan yang bukan dari suatu karya cipta yang tersimpan dan tersebar di dalamnya (Lindsey, 2011). �Akibatnya, isu mutilasi dan modifikasi karya cipta banyak bermunculan dalam ranah digital.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder berupa asas hukum, doktrin hukum, dan taraf sinkronisasi hukum sebagai dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur untuk memahami fenomena yang terjadi berkaitan dengan isu hukum yang berkembang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (Soekanto & Mamudji, 2001) khususnya di bidang hukum kekayaan intelektual dan hukum hak cipta. Fokus penelitian berpusat pada regulasi tanggung jawab platform TikTok sebagai Layanan OTT terhadap konten pelanggaran hak cipta digital, utamanya ditinjau dari bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top), Digital Millennium Copyright Act 1998, bahan hukum sekunder berupa hukum serta jurnal, dan bahan hukum tersier berupa artikel ilmiah. Adapun teknik pengumpulan data dengan menggunakan pengumpulan data sekunder serta riset pustaka daring. Sehingga, rancangan analisis yang dibuat oleh penulis akan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dikaitkan pada fakta hukum di lapangan. Analisis ini dapat menjadi dasar untuk menjawab persoalan dalam pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertanggungjawaban Platform TikTok sebagai Layanan Over The Top terhadap Konten Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia

SE Menkominfo No. 3/2016 menyebutkan bahwa Layanan OTT dinyatakan dalam tiga bentuk, sebagai berikut:

a.       Layanan aplikasi melalui internet, yang dimanfaatkan karena terdapat jasa telekomunikasi untuk melakukan percakapan melalui teks atau pesan suara, panggilan suara atau video, permainan, transaksi finansial dan komersial, bahkan aktivitas bersosial media.

b.       Layanan konten melalui internet yang menyediakan informasi digital seperti konten gambar, animasi, musik, video, film, game, dan sebagainya dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi.

c.       Penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet sebagai gabungan dari kedua layanan sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, TikTok merupakan salah satu contoh Layanan OTT yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet. TikTok menyediakan bentuk informasi digital berupa suara, musik, gambar, animasi, video, dan layanan komunikasi dalam bentuk percakapan daring, transaksi finansial dan komersial, atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet. Layanan OTT di Indonesia tunduk dalam aturan Undang-Undang Telekomunikasi serta pengawasannya merujuk pada Undang-Undang ITE (Afiftania et al., 2021).

Dalam hal jenis platform digital, TikTok termasuk ke dalam jenis platform media sosial, yaitu platform yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, video, dan merupakan platform yang menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap penggunanya (Helmond, 2015). Platform digital seperti TikTok yang berbasis user generated content berisikan konten yang dibuat ataupun diunggah sendiri yang diunggah� ke� Internet� oleh� non-media� dan� memiliki� pengaruh� yang� lebih� besar� pada konsumsi�� masyarakat (Bahtar & Muda, 2016).

OK Saidin menyebutkan bahwa hak cipta sebagai hak privat yang muncul atas olah hati dan olah pikir manusia sehingga menghasilkan suatu kreasi dalam lingkup pengetahuan, seni, dan sastra. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu Ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kemajuan teknologi, perkembangan hak cipta semakin pesat. Cyber Law merupakan cabang ilmu hukum yang mengatur beberapa aspek didalamnya, antara lain, teknologi, informasi, komunikasi, telekomunikasi, media digital, dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek digital. Salah satu aspek tersebut adalah hak cipta digital. Hak cipta pada dasarnya tidak terbatas pada bentuk nyata, tetapi juga pada bentuk ciptaan yang didigitalisasi untuk diumumkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta (T. S. Ramli et al., 2020). Hal ini berarti pelindungan hak cipta atas ciptaan yang sudah digitalisasi tidak akan hilang.

Sebagai hak eksklusif, hak moral dan hak ekonomi merupakan hak milik pencipta yang tidak dapat dilanggar oleh orang lain. Hak moral merupakan hak yang melekat dalam diri pencipta sampai ia meninggal dunia, yang mencakup hak atribusi dan hak integritas, sedangkan hak ekonomi merupakan hak untuk memperoleh keuntungan atas ciptaannya. Apabila hak tersebut dilakukan tanpa seizin pencipta, maka hal tersebut merupakan sebuah bentuk pelanggaran. Pelindungan atas pencipta juga termasuk dalam bentuk imbalan yang diberikan kepada pencipta atas ciptaannya.

Pada saat ini, pencipta atau pemegang hak cipta semakin rentan mengalami kerugian yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hak. Salah satu kerugian yang dapat terjadi adalah pelanggaran hak cipta atas lagu atau musik yang diunggah dalam aplikasi TikTok, yaitu berupa pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. Pengunggahan lagu dalam TikTok merupakan hal yang selalu digunakan oleh pengguna. Sebuah lagu yang diunggah oleh penciptanya di TikTok merupakan bentuk fiksasi dari ciptaannya. Setiap pengguna dapat mengunggah, memuat, atau mengirimkan rekaman suara atau lagu, termasuk video yang menggabungkan rekaman suara yang disimpan pribadi, serta derau sekitar (ambient noise), sebagai suara latar di dalam TikTok. Lagu yang terkandung dalam TikTok merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta. Prinsip sebuah lagu yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta adalah satu kesatuan karya cipta yang bersifat utuh.

Salah satu fenomena yang marak terjadi pada saat ini adalah tindakan distorsi, mutilasi, dan modifikasi ciptaan yang diunggah sebagai konten dalam TikTok. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf e Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa:

a.       Distorsi ciptaan adalah tindakan pemutarbalikan suatu fakta atau identitas ciptaan.

b.       Mutilasi ciptaan adalah proses atau tindakan menghilangkan sebagian ciptaan.

c.       Modifikasi ciptaan adalah pengubahan atas ciptaan.

Berdasarkan fenomena yang terjadi, tindakan ini berupa mutilasi dan modifikasi karya cipta lagu yang dipotong dan tempo yang dipercepat, kemudian identitas lagu tersebut seringkali didistorsi dengan cara diubah atau tidak disebutkan. Fenomena ini marak terjadi dikarenakan pengguna TikTok lebih sering menggunakan lagu yang diubah tersebut. Salah satu kekhasan teknologi internet yaitu bahwa teknologi digital tidak dapat membedakan antara bentuk asli dan yang bukan dari suatu karya cipta yang tersimpan dan tersebar di dalamnya (Lindsey, 2011). Akibatnya, isu mutilasi dan modifikasi karya cipta banyak bermunculan dalam ranah digital.

Dalam hal terjadinya pelanggaran hak cipta di dalam konten yang diunggah dalam TikTok, sebagai sebuah Layanan OTT TikTok sudah seharusnya memiliki mekanisme penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta. Hal ini merupakan upaya pelindungan hak cipta yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pengunggahan konten yang dilakukan oleh pengguna dapat menimbulkan risiko pelanggaran hak cipta, khususnya hak moral. Setiap platform digital, termasuk TikTok, memiliki tanggung jawab atas pelanggaran hak cipta yang terjadi di dalam platform-nya, tetapi terdapat beberapa pengecualian dalam doktrin Safe Harbour.

Safe Harbour Policy bertujuan untuk memberikan platform pelindungan dari pertanggungjawaban hukum dan pelanggaran lainnya yang terjadi dalam kondisi tertentu (Thomas et al., n.d.). Berdasarkan ketentuan ini, TikTok sebagai sebuah platform akan bebas dari tanggung jawab apabila sistemnya mempunyai sarana kontrol, seperti mekanisme peringatan dan takedown untuk mengantisipasi pelanggaran atas konten hak cipta. Doktrin Safe Harbour dapat ditemukan di dalam Pasal 11 Permenkominfo 5/2020 yang menyebutkan bahwa PSE lingkup privat dibebaskan dari tanggung jawab hukum apabila telah melakukan kewajibannya dalam menciptakan sistem yang aman, memberikan informasi kepada pengguna mengenai larangan pengunggahan konten tertentu, dan melakukan pemutusan akses konten yang dilarang. Poin V.C. SE Menkominfo 5/2016 juga merupakan perwujudan doktrin Safe Harbour yang menjelaskan mengenai kewajiban dan tanggung jawab Layanan OTT berbentuk user-generated content. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa apabila Layanan OTT telah menjalankan kewajibannya dengan baik, maka pelanggaran yang terjadi pada platform-nya tidak akan dibebankan kepada Layanan OTT tersebut.

Terhadap hal tersebut, TikTok telah mengatur mengenai pelanggaran hak cipta yang terjadi di dalam platform-nya, serta mekanisme bagi pencipta apabila terjadi pelanggaran hak cipta yang diatur dalam ketentuan layanan (terms & condition) platform. Ketentuan layanan� yang dimiliki TikTok menjelaskan bahwa pengguna yang mengunggah konten dalam TikTok harus merupakan pemilik konten tersebut atau telah menerima semua izin dan persetujuan yang diperlukan dari pemilik dari setiap bagian konten untuk mengunggah konten tersebut dalam TikTok. Ketentuan ini berarti seluruh konten yang diunggah oleh pengguna dalam TikTok harus memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta terhadap keseluruhan bagian konten.

Ketentuan mengenai izin penggunaan konten dari pencipta didukung dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ITE, yang menyebutkan bahwa mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain, dan memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem orang lain yang tidak berhak. Kemudian Pasal 35 Undang-Undang ITE juga menyebutkan bahwa manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Ketentuan di atas berarti Undang-Undang ITE melindungi lagu sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum untuk diubah, ditambah, dikurangi, dirusak, dihilangkan, manipulasi, penciptaan milik orang lain ataupun dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Ketentuan tersebut juga melarang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik untuk diunggah dalam platform lain. Ketentuan di atas berarti Undang-Undang ITE mewajibkan bahwa setiap orang harus memiliki hak terlebih dahulu sebelum melakukan pengunggahan ciptaan milik orang lain. Hak di sini juga dapat diartikan sebagai izin. Setiap pengguna TikTok wajib telah memiliki izin dari pencipta dalam mengunggah konten dalam TikTok.

TikTok juga memiliki mekanisme peringatan dan takedown yang diatur dalam ketentuan layanan. Pengguna dapat menggunakan hak cipta konten berhak cipta milik orang lain tanpa izin, dengan syarat tetap memperhatikan fair use TikTok. Apabila terjadi pelanggaran, pencipta atau pemegang hak cipta dapat mengajukan permohonan penghapusan kepada Tiktok. Selain dengan dilaporkan, TikTok juga berhak dengan atau tanpa pemberitahuan untuk memblokir akses ke dan/atau menutup akun-akun milik setiap pengguna yang melanggar atau diduga melanggar hak cipta.

Ketentuan mengenai penerapan mekanisme peringatan dan takedown dalam TikTok sebagai Layanan OTT didukung dalam Pasal 26 ayat (3) dan (4) yang menyebutkan bahwa TikTok memiliki kewajiban menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan atas permohonan pihak bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan, dan TikTok wajib memiliki mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang telah tidak relevan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Optimasi Pengaturan Hak Cipta terhadap Konten Pelanggaran Hak Cipta dalam Platform TikTok sebagai Layanan Over The Top di Indonesia

Seiring dengan perubahan ke era digital, maka perkembangan hukum hak cipta sudah seharusnya terjadi juga di mana sebelumnya pelindungan ciptaan hanya pada ciptaan fisik kini perlu pula merambah ke pelindungan ciptaan digital. Hal ini sesuai dengan Teori Hukum Transformatif yang dikembangkan oleh Ahmad M. Ramli, bahwa hukum harus dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang pesat di era digital.

Berdasarkan laporan We Are Social, pengguna TikTok di Indonesia berjumlah sekitar 106,51 juta pada bulan Oktober 2023. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak kedua di dunia. Pengguna TikTok di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu di TikTok sebanyak 23,1 jam per bulan (Oktaviani & Haliza, 2023). �Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa TikTok memiliki peran yang besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya mengenai penggunaan konten hak cipta. Meningkatnya penggunaan TikTok di Indonesia juga membuat pelanggaran hak cipta dalam konten TikTok semakin banyak. Salah satu kekhasan teknologi internet yaitu bahwa teknologi digital tidak dapat membedakan antara bentuk asli dan yang bukan dari suatu karya cipta yang tersimpan dan tersebar di dalamnya (Lindsey, 2011).

Mengutip pernyataan dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, �Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu pilar utama untuk meningkatkan konektivitas digital. Transformasi digital memerlukan peran kolaborasi dan sinergis, baik secara nasional maupun internasional. Kementerian Kominfo terus mendorong berbagai upaya kooperatif lintas pemangku kebijakan dan seluruh elemen terkait yang produktif bagi pengembangan sektor digital di Indonesia.� Kemungkinan terjadinya pelanggaran hak cipta digital merupakan dampak dari berkembangnya era transformasi digital. Oleh karena itu, sudah seharusnya solusi dari permasalahan tersebut merupakan regulasi yang memfasilitasi permasalahan yang timbul akibat transformasi digital.

Hak moral yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta adalah pencipta berhak mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Ketentuan ini melarang tindakan distorsi, mutilasi dan modifikasi ciptaan, serta melarang siapapun melakukan tindakan-tindakan yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Namun, pada praktiknya, lagu yang digunakan dalam konten TikTok sebagai suara latar (backsound) hanya diunggah dalam durasi 15 detik atau 60 detik, sehingga lagu atau musik tersebut dinikmati dengan tidak utuh. Selain itu, di dalam aplikasi TikTok terdapat fitur untuk mengubah efek suara dan tempo lagu atau musik yang berarti mengubah orisinalitas sebuah ciptaan, apalagi jika hal tersebut dilakukan tanpa seizin penciptanya. Hal ini tentunya merupakan bentuk pelanggaran hak cipta.

Di dalam aplikasi TikTok, ditemukan beberapa kasus penggunaan lagu atau musik yang dimutilasi dan dimodifikasi, khususnya lagu atau musik yang temponya dipercepat. Salah satu kasusnya adalah lagu dengan judul �Rayuan Perempuan Gila� karya Nadin Amizah. Dilansir dari PramborsFM.com, �lagu Rayuan Perempuan Gila diketahui di-remix dengan format speed up dan rekamannya sudah diunggah di TikTok maupun Instagram yang bisa digunakan sebagai backsound.� Lagu tersebut dimutilasi dan dimodifikasi dengan cara dipotong durasinya dan dipercepat tempo lagunya, kemudian diunggah ke aplikasi TikTok untuk menjadi suara latar. Selain kasus tersebut, terdapat kasus lain yaitu lagu dengan judul �315 (Breathe)� oleh Russ. Lagu ini digunakan oleh akun TikTok official @wardahofficial yang memiliki followers sebesar 1,1 (satu koma satu) juta followers, untuk melakukan promosi barang yang dijual oleh Wardah berupa produk perawatan kulit yaitu tabir surya. Konten tersebut mendapat viewers sebanyak 4,3 (empat koma tiga) juta, likes sebanyak 4.807 (empat ribu delapan ratus tujuh), comments sebanyak 75 (tujuh puluh lima), dan share sebanyak 183 (seratus delapan puluh tiga) kali, serta tercantum jumlah penjualan produk tersebut sebanyak 10.000+ (sepuluh ribu lebih) barang terjual.

Hal ini tentunya merupakan pelanggaran hak cipta apabila dilihat dari Undang-Undang Hak Cipta. Tindakan mutilasi, modifikasi, dan distorsi lagu pada kedua kasus di atas merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak moral pencipta, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e Undang-Undang Hak Cipta bahwa pencipta berhak untuk mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal lain yang bersifat merugikan kehormatan diri pencipta. Terlebih lagi apabila tindakan tersebut dilakukan tanpa seizin pencipta dan disebarluaskan di Layanan OTT, yaitu TikTok.

Apabila mengacu Pasal 9 ayat (1) huruf d dan g Undang-Undang Hak Cipta, penggunaan lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi untuk konten promosi atau komersialisasi ciptaan pada kasus kedua merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta dikarenakan penggunaan ciptaan secara komersial tanpa seizin pencipta. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran hak ekonomi berupa pengaransemenan ciptaan dan pengumuman ciptaan, yaitu mengunggah lagu di TikTok dengan mengubah tempo lagu menjadi dipercepat dan menggunakan lagu tersebut tanpa izin pencipta untuk mendapatkan keuntungan. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan pengguna yang melakukan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta juga melarang pengguna untuk melakukan penggunaan ciptaan secara komersial tanpa seizin pencipta.

Pelanggaran hak moral pada kedua kasus tersebut juga didukung dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa pencipta dapat memiliki informasi elektronik atas ciptaan berupa suatu ciptaan yang muncul dan melekat secara elektronik yang berhubungan dengan pengumuman ciptaan, nama pencipta, pencipta sebagai pemegang hak cipta, nomor, dan kode informasi. Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta juga menyebutkan bahwa informasi elektronik tersebut dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak. Hal ini berarti bahwa pengguna TikTok dilarang mengubah atau merusak informasi elektronik sebagai teknologi pengaman terhadap lagu yang digunakan di TikTok.

Teknologi pengaman merupakan software, komponen atau alat lain yang dapat digunakan oleh pemilik hak cipta untuk melindungi karya ciptanya (Irawati, 2019). Jacques de Werra mengatakan terdapat tiga pendekatan perlindungan hak cipta atas karya digital, yaitu pelindungan hak cipta melalui ketentuan hak cipta konvensional, pelindungan hak cipta melalui pelindungan teknis/teknologi pengaman, dan pelindungan hak cipta melalui pelindungan hukum atas pelindungan teknis/teknologi pengaman (Riswandi, 2016). Saat ini, perlindungan hak cipta di Indonesia dilakukan dengan pendekatan perlindungan hak cipta melalui pelindungan hak cipta melalui pelindungan teknis/teknologi pengaman dan pelindungan hukum atas pelindungan teknis/teknologi pengaman.

Hal ini terlihat pada Pasal 52 Undang-Undang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan sebagai teknologi pengaman terhadap karya cipta kecuali untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, ketentuan Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Hak Cipta bukan merupakan suatu peraturan yang wajib dilakukan oleh pencipta, melainkan sebuah pilihan. Selain itu, ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Hak Cipta hanya terbatas pada larangan perusakan sarana kontrol teknologi saja. Amerika Serikat memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hak cipta digital, yaitu Digital Millennium Copyright Act 1998 (DMCA). Apabila dibandingkan dengan Section 1201(b)(1) DMCA disebutkan bahwa dilarang untuk memproduksi, mengimpor, menawarkan kepada publik, menyediakan, atau memperdagangkan sistem yang dapat merusak sarana kontrol teknologi.

Berkaitan dengan kedua kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan sarana kontrol teknologi yang telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta belum maksimal. Meskipun Pasal 7 Undang-Undang Hak Cipta mengatur dengan jelas bagaimana pencipta dapat menerapkan sebuah sarana kontrol teknologi atas ciptaannya dengan memiliki informasi manajemen dan elektronik hak cipta, tetapi pada pelaksanaannya ketentuan tersebut belum dapat mengatasi pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT seperti yang terjadi dalam kedua kasus di atas. Undang-Undang Hak Cipta belum mengatur mengenai bagaimana perusakan sarana kontrol teknologi itu dapat terjadi serta tidak mewajibkan sarana kontrol teknologi untuk diterapkan oleh pencipta. Perbedaan pengaturan antara peraturan perundang-undangan Indonesia dan DMCA terkait dengan sarana kontrol teknologi ini berarti bahwa Indonesia membutuhkan pengaturan yang lebih relevan lagi terkait sarana kontrol teknologi. Hal ini bertujuan agar tidak ada celah hukum bagi penegakkan Pasal 52 Undang-Undang Hak Cipta.

Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan jenis teknologi pengaman yang mampu mengatasi pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT. Mengingat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sarana kontrol teknologi hanya diatur mengenai larangan perusakannya saja, maka diperlukan jenis teknologi pengaman yang mampu mengatasi pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT. Hal ini merupakan dampak dari adanya perkembangan teknologi yang mengharuskan regulasi terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Apabila dibandingkan dengan DMCA, Article 1201 DMCA mengatur mengenai kewajiban untuk menyediakan teknologi pengaman yang memadai dan efektif terhadap karya ciptanya untuk mencegah adanya perusakan terhadap teknologi pengaman yang pemilik hak cipta gunakan (Congress, 1998).

Salah satu jenis teknologi pengaman yang diterapkan dalam hukum hak cipta di Amerika Serikat adalah Electronic Copyright Management Systems (ECMS). ECMS merupakan suatu sistem yang memungkinkan untuk mengidentifikasi materi hak cipta, mengawasi penggunaannya, dan memberikan penghargaan yang patut kepada pemegang hak cipta. ECMS mengintegrasikan beberapa teknologi sistem pengaman dengan sistem lisensi otomatis dan sistem elektronik (Simatupang, 2021).

Pada umumnya, ECMS merupakan sebuah teknologi pengaman yang diterapkan oleh pencipta itu sendiri terhadap ciptaannya. Namun, terdapat pula jenis ECMS yang dapat diterapkan dalam melindungi pelanggaran hak cipta digital dalam Layanan OTT. ECMS akan mencegah akses terhadap ciptaan jika tidak memiliki izin dari pencipta atau dapat mengizinkan penggunaan karya tersebut dengan syarat dan ketentuan tertentu. Sistem ini berjalan atas basis data dan sistem lisensi, serta menggabungkan perangkat keras (Ahmad, 2009). Dengan diterapkan ECMS, diharapkan ECMS akan memiliki sistem pembayaran, sehingga pengguna dapat secara otomatis ditagih, dan membayar, untuk setiap penggunaan karya yang dilindungi (Ahmad, 2009).

Dalam pelaksanaannya dalam TikTok, TikTok sudah memiliki sistem yang dapat mendeteksi suara dalam lagu yang digunakan sebagai suara latar dalam sebuah konten dalam TikTok. Sistem ini berfungsi untuk mendeteksi suara dalam lagu yang digunakan sebagai suara latar dalam sebuah konten dalam TikTok. Sistem ini dapat mendeteksi suara apapun dalam sebuah konten dan akan otomatis muncul apabila suara yang digunakan terdapat lagu atau musik yang dimiliki oleh penyanyi atau pencipta aslinya, meskipun pengguna yang menggunakan suara tersebut tidak mencantumkan judul dan penyanyi asli lagu tersebut.

Apabila sistem pendeteksi tersebut berfungsi dengan baik, maka lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi akan tetap terdeteksi dan tentunya pelaksanaan royalti dari lagu tersebut akan tetap terlaksana dengan baik. Namun, pada pelaksanaannya sistem ini tidak sempurna dalam mendeteksi suara dalam sebuah konten dalam TikTok. Hal ini terlihat pada kedua kasus di atas, di mana sistem pendeteksi yang dimiliki TikTok tidak berfungsi untuk mendeteksi suara dalam lagu yang digunakan pada konten kedua kasus di atas yang sudah dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi.

ECMS akan mencegah akses terhadap ciptaan jika tidak memiliki izin dari pencipta atau dapat mengizinkan penggunaan karya tersebut dengan syarat dan ketentuan tertentu, apabila ECMS jenis tersebut diterapkan dalam TikTok, penggunaan lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi akan terdeteksi oleh TikTok. Syarat dan ketentuan yang dimaksud adalah judul lagu dan penyanyi asli atau pencipta akan tercantum pada setiap konten yang diunggah menggunakan lagu tersebut dalam TikTok.

Atas hal ini, ECMS yang merupakan teknologi pengaman Amerika Serikat dapat diterapkan di TikTok dan Layanan OTT sejenis lainnya. Hal ini dikarenakan ECMS bekerja berdasarkan basis data dan sistem lisensi, sehingga tentunya pencipta juga akan tetap mendapatkan pembayaran dalam bentuk royalti yang sudah seharusnya didapatkan. Basis data dan lisensi berfungsi sebagai pengenal dari setiap suara yang terdapat dalam lagu yang digunakan sebagai suara latar dalam TikTok. Apabila lagu yang digunakan ternyata dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi, maka lagu tersebut akan tetap terdeteksi sebagai lagu asli yang sudah memiliki lisensi. Royalti pun akan tetap didapatkan oleh penyanyi aslinya.

Penggunaan teknologi pengaman menjadi sebuah strategi penting dalam pelindungan hak cipta di internet, sejalan dengan konsep Lex Informatica oleh Joel R. Reidenberg, yang menekankan pentingnya peran teknologi dalam melindungi konten di dunia digital. Teori ini menyatakan bahwa dibutuhkan respon teknis yang dapat melindungi hak-hak karya cipta yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan para penghasil karya kekayaan intelektual. ​​Hal ini dikarenakan aspek teknis juga memungkinkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan akses terhadap karya cipta, tanpa mengurangi pelindungan bagi pemegang hak karya cipta tersebut (Reidenberg, 1997). Dalam teori ini, aturan dibentuk melalui teknologi, bentuk hukum mengikuti fungsi teknologi, dan hukum mengikuti kode. Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang hak cipta, diperlukan pendekatan dengan Teori Lex Informatica sehingga peraturan akan lebih komprehensif dalam menjadi dasar perkembangan teknologi.

Baik Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE memang telah mengatur mengenai pelindungan hak cipta digital dalam TikTok serta bagaimana kewajiban dan tanggung jawab TikTok tersebut dalam melindungi hak cipta digital. Namun, pada pelaksanaannya, penggunaan teknologi pengaman dalam bentuk apapun belum maksimal. Hal ini dapat terjadi dikarenakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terkait dengan pelindungan hak cipta digital dalam Layanan OTT belum diatur secara lengkap dan spesifik, khususnya mengenai penggunaan teknologi pengaman. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya optimasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan Indonesia seiring dengan perkembangan era transformasi digital. Dibutuhkan sebuah upaya serius dalam mengoptimasi peraturan mengenai pelindungan hak cipta digital dalam Layanan OTT. Dengan adanya optimasi pengaturan tersebut, diharapkan akan menjamin kepastian dan ketertiban sehingga tercipta fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, sesuai dengan Teori Hukum Pembangunan oleh Mochtar Kusumaatmadja.

 

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi, hak cipta juga berkembang ke arah digital sehingga pelanggaran hak cipta digital juga semakin marak terjadi khususnya dalam platform TikTok sebagai Layanan OTT. Saat ini secara regulatif, tanggung jawab platform TikTok sudah diatur baik dalam swaregulasi (self regulation), maupun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, implementasi dari regulasi tersebut belum sepenuhnya diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari fenomena maraknya penggunaan lagu yang dimutilasi, dimodifikasi, dan didistorsi dalam TikTok yang merugikan pencipta lagu yang asli.

Dalam pelaksanaan TikTok sebagai sebuah Layanan OTT di Indonesia, diperlukan sebuah pembangunan infrastruktur digital dan pembentukan regulasi yang sesuai dengan perkembangan teknologi. Regulasi eksisting telah melindungi hak cipta digital, terlihat dari pelindungan hak cipta digital dalam TikTok serta bagaimana kewajiban dan tanggung jawab TikTok dalam melindungi hak cipta digital yang diatur oleh peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, pada pelaksanaannya penerapan pengaturan hak cipta digital khususnya dalam penggunaan teknologi pengaman belum maksimal. Oleh karena itu, diperlukan penerapan teknologi pengaman dalam bentuk ECMS diwajibkan bagi TikTok dan Layanan OTT yang sejenis dan dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hal ini merupakan bentuk optimasi pengaturan pelindungan hak cipta digital dalam Layanan OTT, yaitu pelindungan terhadap tindakan pembuatan dan penyebaran teknologi yang memungkinkan perusakan teknologi pengaman, sehingga hak ekonomi dan hak moral pencipta tetap dapat dilindungi.

DAFTAR PUSTAKA

 

Afiftania, L. A., Mahmudah, N., & Putri, F. H. (2021). Diferensiasi Hukum bagi Penyedia Layanan Over The Top (Studi Perbandingan Indonesia dengan Singapura). Perspektif Hukum, 79�98.

 

Ahmad, N. (2009). Copyright Protection in Cyberspace: A critical study with reference to Electronic Copyright Management Systems (ECMS). USA: Communications of the IBIMA, 7, 80�91.

 

Bahtar, A. Z., & Muda, M. (2016). The impact of User�Generated Content (UGC) on product reviews towards online purchasing�A conceptual framework. Procedia Economics and Finance, 37, 337�342.

 

Congress, U. S. (1998). Digital millennium copyright act. Public Law, 105(304), 112.

 

Helmond, A. (2015). The platformization of the web: Making web data platform ready. Social Media+ Society, 1(2), 2056305115603080.

 

Irawati, I. (2019). Digital Right Managements (Teknologi Pengaman) Dalam Perlindungan Terhadap Hak Cipta Di Era Digital. Diponegoro Private Law Review, 4(1).

 

Lessig, L. (2004). How big media uses technology and the law to lock down culture and control creativity. Retrieved December, 5, 2004.

 

Lindsey, T. C. (2011). Sustainable principles: common values for achieving sustainability. Journal of Cleaner Production, 19(5), 561�565.

 

Oktaviani, D., & Haliza, N. (2023). Pengaruh Review Produk Dan Content Marketing Pada Aplikasi Tiktok Terhadap Keputusan Pembelian Generasi Z. Cakrawala Repositori IMWI, 6(4), 769�781.

 

Permata, R. R., Safiranita, T., Utama, Y., & Millaudy, R. A. (2021). Penerapan Doktrin Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta Pada Platform Digital Semasa Covid 19 Di Indonesia. Dialogia Iuridica, 13(1), 130�148.

 

Ramli, A. M. (2006). Cyber Law dan HAKI dalam sistem hukum Indonesia.

 

Ramli, A. M., & Ramli, T. S. (2022). Hukum Sebagai Infrastruktur Transformasi Indonesia Regulasi dan Kebijakan Digital. Refika Aditama: Bandung.

 

Ramli, T. S., Ramli, A. M., Permata, R. R., Wahyuningsih, T., & Mutiara, D. (2020). Aspek Hukum Atas Konten Hak Cipta Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(1), 65.

 

Reidenberg, J. R. (1997). Lex informatica: The formulation of information policy rules through technology. Tex. L. Rev., 76, 553.

 

Riswandi, B. A. (2016). Doktrin perlindungan hak cipta di era digital. FH UII Press.

 

Simatupang, K. M. (2021). Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 15(1), 67.

 

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. RajaGrafindo Persada.

 

Thomas, L. M., Partner, W., & Strawn, L. L. P. (n.d.). Data Protection.

 

Winarso, B. (2021). Apa Itu TikTok dan Apa Saja Fitur-fiturnya. Retrieved November, 18, 2021.

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).