Implikasi dan Pelindungan
Hukum Terhadap Praktik Trademark Bullying pada Era Digital Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia
�Implications and Legal
Protection for Trademark Bullying Practices in the Digital Era Based on
Positive Law in Indonesia
1)*Aileen Griselda P.
Aritonang,
2) Rika Ratna Permata, 3) Tasya
Safiranita Ramli
1,2,3 Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran.
*Email: 1) [email protected], 2) [email protected], �3) [email protected]
*Correspondence:
Aileen Griselda
DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1271 |
ABSTRAK Di tengah ketatnya persaingan usaha, praktik trademark
bullying atau intimidasi
merek semakin mendapatkan perhatian. Trademark
Bullying merupakan sebuah
aksi interpretasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan besar atas hak mereknya
terhadap usaha kecil atau individu,
melalui penggunaan taktik intimidasi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan implikasi yang dapat ditimbulkan sebagai akibat dari praktik trademark
bullying di Indonesia, serta mengungkap terkait bagaimana hukum positif di Indonesia melihat
dan mengevaluasi perihal praktik trademark bullying pada era digital, terutama berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, berarti penelitian diadakan dengan melakukan penelitian melalui kepustakaan sebagai bahan penelitian yang utama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa praktik trademark
bullying di era digital memiliki dampak yang signifkan terhadap pihak pelaku dan pihak korban, namun masih sangat sedikit nomenklatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis maupun Undang-Undang No. 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang mengatur secara tersirat terkait praktik trademark
bullying di era digital ini. Kata kunci: Kekayaan Intelektual,
Merek, Trademark Bullying, Era
Digital |
ABSTRACT
Amidst
intense business competition, the practice of trademark bullying or
intimidation is gaining more attention. Trademark Bullying is an act of
interpretation carried out by a large company over its trademark rights against
small businesses or individuals, through the use of intimidation tactics. This
research aims to identify the implications that may arise as a result of
trademark bullying practices in Indonesia, and to reveal how positive law in
Indonesia views and evaluates the issue of trademark bullying practices in the
digital era, especially based on Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks
and Geographical Indications and Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to
Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions. This
research is conducted using a normative juridical approach, meaning the
research is conducted by studying literature as the primary research material.
Based on the research conducted, it is found that trademark bullying practices
in the digital era have significant impacts on both the perpetrators and
victims, but there is still very little nomenclature in Law Number 20 of 2016
concerning Trademarks and Geographical Indications as well as Law Number 19 of
2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic
Information and Transactions that implicitly regulate the issue of trademark
bullying practices in this digital era.
Keywords:
Intellectual
Property, Trademark, Trademark Bullying, Digital Era
PENDAHULUAN
Secara garis besar, Kekayaan Intelektual adalah hak yang dapat dimanfaatkan untuk menikmati hasil ekonomi dari
suatu kreativitas intelektual (Imaniyati, 2010). Kekayaan Intelektual memiliki beragam rezim, yakni Hak Cipta, Merek, Indikasi Geografis, Paten, Desain
Industri, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang,
dan Varietas Tanaman. Dari berbagai berbagai rezim Kekayaan Intelektual tersebut, merek merupakan salah satu rezim yang mengalami perkembangan yang
sangat cepat, terutama apabila berbicara terkait perdagangan, terlebih di era digital.
Di tengah maraknya perdagangan global dan pentingnya
menjaga persaingan usaha yang sehat dalam negeri, pada tahun 2016 silam, Indonesia berhasil mengundangkan Undang-Undang No.
20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut �UU MIG�) (T. Lindsey et al., 2006). Merek merupakan sebuah daya pembeda bagi
suatu barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha, dengan barang dan/atau jasa pelaku
usaha lain yang sejenis (T. C. Lindsey, 2011).
Secara umum, terdapat
3 (tiga) jenis merek, yaitu merek
dagang, merek jasa, dan merek kolektif. Pertama, merek dagang merupakan
suatu identifikasi yang diterapkan pada produk yang diperdagangkan oleh individu, kelompok, atau entitas hukum bersama-sama,
dengan tujuan membedakannya dari produk serupa lainnya.
Kedua, merek jasa adalah tanda
pengenal yang digunakan untuk layanan yang diperdagangkan oleh individu, kelompok, atau badan hukum bersama-sama, untuk membedakannya dari layanan serupa
lainnya. Terakhir, merek kolektif adalah tanda pengenal
yang diterapkan pada produk
dan/atau layanan dengan karakteristik yang serupa, sifat, ciri umum, dan kualitas, serta pengawasannya oleh kelompok individu atau entitas
hukum bersama-sama, dengan tujuan membedakannya
dari produk dan/atau layanan serupa
lainnya.
Dalam UU
MIG. terdapat nomenklatur
yang menyatakan bahwa permohonan pendaftaran merek akan ditolak
jika merek tersebut tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek terkenal. Merek terkenal didefinisikan sebagai merek yang memiliki reputasi tinggi, diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran (Amrikasari, 2019). Merek terkenal pun juga wajib dilindungi, sama halnya dengan merek
biasa. Dalam skala internasional, merek terkenal dilindungi oleh berbagai perjanjian internasional, di antaranya Konvensi Paris dan Perjanjian
TRIPs. Konvensi Paris dan Perjanjian
TRIPs mewajibkan negara-negara anggota
perjanjian tersebut untuk memberi pelindungan
terhadap merek terkenal, bahkan jika merek tersebut
tidak terdaftar atau digunakan di negara itu (Amrikasari, 2019).
Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa terdapat sisi gelap
dari eksistensi merek terkenal. Pelaku usaha pemilik
merek terkenal seringkali merasa unggul, sehingga banyak pemilik usaha yang cenderung menyalahgunakan hak merek mereka untuk
mengeliminasi pesaing-pesaing
yang beroperasi di sektor
yang sama. Contohnya, ketika perusahaan besar atau pemilik
merek terkenal secara semena-mena menggunakan intimidasi terhadap perusahaan yang lebih kecil, karena
mereka menganggap perusahaan kecil tersebut merupakan ancaman terhadap mereka. Penindasan semacam ini disebut
Trademark Bullying.
Peristiwa trademark
bullying ini jelas memiliki dampak yang signifikan terhadap kedua belah pihak,
baik pelaku usaha pemilik merek
besar selaku penindas, maupun pelaku usaha pemilik
merek kecil selaku korban. Pada umumnya, Trademark bullying cenderung
mendesak targetnya dengan melayangkan surat somasi yang berisi penuntutan terhadap targetnya untuk berhenti menggunakan merek miliknya dan mengancam akan mengajukan sanksi hukum ke
pengadilan jika tuntutan dalam surat somasi tidak
dipenuhi (Manta, 2011).
Dalam praktiknya, pelanggaran merek di era digital marak terjadi, tidak terkecuali fenomena trademark bullying. Setidaknya
terdapat 2 (dua) kasus trademark bullying di dunia maya yang sempat menggemparkan warganet, yaitu kasus Sony Corporation vs Sony-Ak.com dan kasus Facebook vs Teachbook.
Kasus Sony Corporation vs Sony-Ak.com berawal dari Sony Arianto Kurniawan yang memiliki nama domain sony-ak.com
(Sony AK Knowledge Center) yang memiliki kemiripan dengan merek Sony. Berlandaskan hal itu, Sony Corporation pun mengirim somasi terhadap Sony Arianto Kurniawan, karena Sony Corporation memiliki kekhawatiran dapat merusak citra merek
Sony (Wasiyanti, 2011). Sony
Corporation memang memiliki
hak atas somasi yang dilayangkannya. Dasar
dari somasi adalah karena merek
Sony telah terdaftar untuk barang dan jasa tertentu, yaitu barang kelas
9 (peralatan pemroses data,
komputer, dan lain-lain), jasa
kelas 35 (periklanan, manajemen usaha, dan lain-lain),
dan jasa kelas 41 (pendidikan, penyediaan pelatihan, hiburan, dan
lain-lain) (Utama et al., 2021).
Sony
Corporation memaksa Sony Arianto
Kurniawan untuk menghapus nama �Sony� tersebut dari domain website-nya, tetapi Sony Arianto Kurniawan menolak mengganti nama tersebut dengan alasan itu adalah
nama pribadinya, yaitu Sony (nama depan dirinya) dan -ak (singkatan dari
nama belakang dirinya yaitu Arianto
Kurniawan). Ditambah lagi,
Sony Arianto Kurniawan sama
sekali tidak memiliki intensi untuk melakukan penyerobotan nama domain terhadap Sony Corporation karena isi dari website ini merupakan
tulisan-tulisan pribadi di bidang
teknologi informasi dari Sony Arianto Kurniawan sendiri sehingga tidak ada sangkut
pautnya dengan isi dari website Sony Corporation.
Kasus kedua adalah kasus
Facebook dan Teachbook. Kasus Facebook vs. Teachbook adalah suatu sengketa
hukum yang terjadi antara Facebook, perusahaan media
sosial terkemuka, dengan Teachbook, sebuah situs web yang menyediakan
layanan pendidikan. Sengketa ini terkait
dengan penggunaan kata "book" dalam
nama merek Teachbook yang dianggap mirip dengan merek
"Facebook." Facebook menuduh Teachbook menciptakan persaingan situs jejaring sosial dengan pendekatan
untuk menjadi Facebook untuk para guru atau tenaga pendidik. Akhirnya, Facebook menggugat Teachbook pada tahun 2011 di pengadilan federal Amerika Serikat
dengan alasan pelanggaran merek dagang. Facebook juga berpendapat
bahwa nama Teachbook bisa menggerus nama tenar Facebook atau menyebabkan kebingungan bagi pengguna internet terhadap situs Facebook. Teachbook,
di sisi lain, membela diri dengan mengatakan
bahwa mereka adalah platform pendidikan yang tidak bersaing langsung dengan Facebook. Mereka berargumen bahwa penggunaan kata "book" dalam
nama mereka tidak bermaksud mengejar bisnis atau penggunaan merek "Facebook," dan tidak
ada potensi kebingungan di antara pengguna keduanya.
Teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat pesat dan telah membawa banyak perubahan bagi pola kehidupan masyarakat di dalam semua bidang (Rosana, 2010). Perkembangan teknologi dan informasi khususnya internet memberi berbagai dampak bagi para penggunanya. Dampak positif yang ditimbulkan adalah kemudahan bagi para pengguna untuk mengakses berbagai macam informasi, sehingga dapat membuka wawasan
tentang berbagai aspek kehidupan. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga merupakan penunjang keberlangsungan para pelaku usaha dalam
menjalankan bisnisnya, terlebih bagi mereka
yang beroperasi pada platform digital.
UU MIG mengatur berbagai bentuk penyalahgunaan merek di era digital. Pemilik merek yang merasa hak mereka dilanggar
dalam konteks digital dapat mengambil tindakan hukum untuk menuntut ganti rugi, menghentikan
penggunaan yang melanggar, atau melibatkan penegak hukum dalam
penanganan kasus pelanggaran merek di dunia maya.
Ini adalah bagian penting dari perlindungan
merek dan hukum positif yang berlaku di Indonesia
saat ini untuk memastikan integritas merek dagang dalam era digital yang terus berkembang.
Meskipun isu terkait
trademark bullying ini semakin berkembang,
kajian yang mendalam mengenai implikasi trademark bullying terhadap
reputasi merek di Indonesia
masih sangat terbatas.
Belum diaturnya sebuah regulasi khusus terhadap suatu tindakan trademark
bullying tersebut kemudian
menjadi suatu urgensi yang dibutuhkan demi memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak.
Maka perlu dikaji secara khusus mengenai
definisi dan pengaturan
trademark bullying dalam UU Merek di Indonesia, dalam rangka memberikan
kepastian peranan hukum merek, pelindungan
hukumnya, serta langkah-langkah yang dapat diambil oleh pemilik merek dari tindakan
trademark bullying di Indonesia.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah
metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan ini akan menekankan penelitian pada data-data sekunder
yang mencakup sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber hukum tersier.
Data sekunder ini melibatkan beragam aspek, termasuk konvensi internasional, peraturan perundang-undangan, literatur hukum, publikasi jurnal hukum, berita surat
kabar, majalah, sumber-sumber internet, serta dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk
menyelidiki, menganalisis,
dan mengevaluasi implikasi dari trademark
bullying terhadap reputasi
merek pada era digital, beserta
pelindungannya di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pentingnya memiliki daya pembeda bagi
sebuah merek tidak bisa diabaikan
dalam pasar yang kompetitif
saat ini. Daya pembeda adalah apa yang membedakan sebuah merek dari
merek yang lain. Dalam lingkungan
bisnis yang padat dan beragam, memiliki identitas yang kuat menjadi kunci untuk
menonjol di antara pesaing. Ketika konsumen memiliki begitu banyak pilihan, merek yang memiliki daya pembeda yang jelas cenderung lebih mudah diingat
dan diidentifikasi. Ini memungkinkan
merek untuk menarik perhatian konsumen dan membangun hubungan yang kuat dengan mereka.
Menurut UU MIG, persyaratan akan daya pembeda
dinyatakan dalam Pasal 20
UU MIG yang menyebutkan bahwa
"Merek tidak
dapat didaftarkan jika: (e) tidak memiliki daya pembeda."
Tujuan di balik sebuah merek yang dianggap tidak memiliki daya pembeda bisa
jadi sebuah merek yang mirip dengan merek lain,
atau simbol maupun tanda yang digunakan dalam suatu merek terlalu
dasar atau terlalu kompleks, sehingga membuatnya tidak jelas.
Pentingnya memiliki daya pembeda bagi
sebuah merek tidak dapat diabaikan
karena hal ini memainkan peran
kunci dalam menarik perhatian konsumen dan membedakan suatu produk atau
layanan dari yang lain (Widyastuti, 2017). Namun, ketika tidak ada
daya pembeda yang cukup, risiko munculnya
persamaan merek dapat meningkat secara signifikan. Persamaan merek pada pokoknya dan secara keseluruhan menjadi isu yang penting dalam konteks perlindungan
hukum merek, karena dapat memicu
konflik antara pemilik merek dan konsumen atau pemilik
merek satu dengan pemilik merek lainnya, serta dapat memengaruhi
citra bahkan reputasi merek secara keseluruhan.
Menurut Sudargo Gautama, penilaian mengenai keberadaan persamaan pokok pada suatu merek pada dasarnya tergantung pada kesan yang diberikan oleh merek tersebut kepada masyarakat umum. Jika penggunaan suatu merek untuk barang-barang
sejenis menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, maka hal tersebut dianggap
sebagai adanya persamaan pada pokoknya (Permata et al.,
2021). Terkait persamaan merek secara keseluruhan, Yahya Harahap mendefinisikan bahwa persamaan merek secara keseluruhan
merupakan persamaan seluruh aspek dari
sebuah merek, sejalan dengan doktrin entries
similar (Harahap, 1996). Dalam Pasal 83 UU MIG, diperjelas terkait upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemilik merek apabila
ia mendapati di dalam merek lain terbukti terkandung unsur persamaan pada pokoknya dan keseluruhan dengan mereknya.
Pemilik merek mempunyai hak eksklusif
untuk melarang penggunaan merek dagang yang mempunyai kemungkinan besar menimbulkan kebingungan terhadap merek dagang miliknya. Hak eksklusif ini berfungsi
untuk melindungi niat baik pemilik
merek dagang (Nguyen & Hille,
2018). Jika pemilik merek membiarkan tindakan peniruan atau penggunaan merek yang mempunyai hak atas merek
tersebut, maka akan terjadi generalisasi.
Generalisasi adalah suatu merek yang kehilangan daya pembedanya sehingga tidak dapat lagi
mendapatkan perlindungan atas merek tersebut
(Manta, 2011). Di sisi lain, hal ini dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat,
khususnya pemilik merek yang merupakan pemilik usaha kecil.
Dalam konteks perkembangan merek dagang di Indonesia maupun di ranah global, perlu diakui bahwa intensnya
persaingan di pasar membawa
risiko baru bagi pemegang merek.
Tindakan pemilik merek yang
terlalu melindungi mereknya dengan menuduh usaha kecil
melanggar mereknya disebut trademark
bullying. Pemilik merek
dapat menuntut merek yang diduga melanggar merek dagangnya (Permata et al.,
2021). Perusahaan akan selalu berusaha mempertahankan dan memonopoli
pasar serta memanfaatkan hukum untuk mencapai
tujuannya. Praktik trademark bullying ini
melibatkan penggunaan kekuatan merek dagang oleh perusahaan yang lebih besar untuk
menekan pesaing yang lebih kecil atau
baru berkembang dengan mengancam atau menggugat mereka atas pelanggaran
merek yang dirasa tidak beralasan. Terlepas dari upaya
merek untuk membangun citra yang positif dan hubungan yang lebih baik dengan
konsumen, praktik trademark bullying semacam
ini dapat mengancam keberlanjutan ekosistem bisnis yang sehat dan berdampak negatif pada inovasi dan kompetisi yang sehat.
Secara lebih rinci, pola trademark bullying adalah sebagai berikut:
1.
Trademark bullying memengaruhi kedua entitas. Pelaku trademark bullying biasanya
adalah pemilik merek terkenal atau perusahaan besar, dan korban adalah pemain bisnis kecil.
2.
Pelaku trademark bullying akan mengirimkan surat somasi kepada
pemilik merek/bisnis kecil yang dirasa mengancam merek pelaku trademark bullying.
3.
Pelaku mengganggu dan mengintimidasi
korban mereka, mengancam akan mengajukan gugatan jika permintaan
mereka tidak dipenuhi. Permintaan umum para pelaku adalah untuk melarang
semua penggunaan merek korban dan untuk memberi kompensasi kepada pelaku.
4.
Korban biasanya akan
ditawari opsi untuk menempuh tindakan hukum atau menyerah dan memenuhi permintaan pelaku trademark
bullying. Korban yang tidak memiliki
sumber daya untuk bertarung di pengadilan akan percaya bahwa menyerah
adalah pilihan yang lebih masuk akal
daripada melawan pelaku.
����������� Praktik trademark
bullying memiliki dampak
yang signifikan pada berbagai
aspek dalam ekosistem bisnis. Salah satunya adalah penekanan terhadap inovasi dan kreativitas. Ketika perusahaan-perusahaan kecil dan menengah ditekan atau diintimidasi oleh pemilik merek yang lebih besar, mereka
mungkin menjadi enggan untuk mengembangkan
atau memperkenalkan produk atau layanan
baru karena takut akan konsekuensi
hukum atau finansial yang mungkin timbul. Hal ini dapat menghambat kemajuan industri secara keseluruhan, merugikan konsumen dengan mengurangi pilihan produk, dan menghambat perkembangan teknologi.
Selain itu, praktik tersebut juga dapat menyebabkan gangguan pada ekosistem bisnis kecil dan menengah. Ini dapat terjadi karena perusahaan kecil sering menjadi sumber ide-ide baru dan solusi kreatif dalam industri. Namun, ketika mereka
dihadapkan pada ancaman hukum atau tindakan
penekanan lainnya, mereka mungkin menjadi enggan untuk mengekspresikan ide-ide mereka sepenuhnya.
Akibatnya, lingkungan bisnis menjadi kurang dinamis dan kurang mampu menghasilkan
inovasi yang bermanfaat bagi seluruh industri.
Kemudian, bisnis-bisnis kecil ini mungkin
tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan
tuntutan hukum yang tidak beralasan atau untuk melindungi
diri mereka sendiri secara efektif, yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Akibatnya,
praktik trademark
bullying dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketidaksetaraan dalam persaingan bisnis (Manta, 2011).
Di sisi lain, pelaku praktik trademark bullying juga bisa merasakan dampak negatif terhadap reputasi mereka, dengan adanya kemungkinan boikot atau protes
dari konsumen yang menentang tindakan mereka yang dianggap tidak etis (Manta, 2011). Tindakan agresif terhadap pemilik merek kecil dapat
dianggap tidak etis atau tidak
adil oleh masyarakat luas, konsumen, dan bahkan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan kepercayaan dan menimbulkan citra negatif terhadap merek tersebut. Implikasi dari praktik trademark
bullying tidak hanya terbatas pada dampak jangka pendek, tetapi juga dapat merugikan pelaku dalam jangka panjang.
Selain itu, dampak praktik trademark bullying juga dapat membahayakan hubungan dengan mitra bisnis dan pihak lain dalam industri. Ketika sebuah perusahaan terlibat dalam tindakan hukum yang kontroversial atau memusuhi pesaing,
hal itu dapat
menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan di antara pemangku kepentingan industri. Reputasi perusahaan yang tercemar karena praktik yang tidak etis atau
agresif dapat berdampak negatif pada hubungan dengan konsumen, mitra bisnis, dan pemangku kepentingan lainnya dalam jangka waktu
yang lebih lama.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk menyimpulkan apakah merek yang akan didaftarkan melanggar merek yang didaftarkan. Di
Indonesia, permohonan pendaftaran
merek akan melalui pemeriksaan substantif sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU MIG. Pemeriksaan substantif akan memeriksa apakah merek yang akan didaftarkan memenuhi persyaratan pendaftaran merek. Dalam Pasal 21
UU MIG mengatur tentang penolakan permohonan pendaftaran merek apabila merek tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau seluruhnya,
yaitu:
�Merek terdaftar milik pihak lain atau sebelumnya diminta oleh pihak lain atas barang dan/atau jasa sejenis;
Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang berbeda jenisnya dan memenuhi persyaratan tertentu; atau Indikasi Geografis
Terdaftar.�
Untuk membahas pencegahan trademark
bullying di Indonesia, perlu dipahami
aturan mengenai pengajuan gugatan pembatalan dan pelanggaran merek di Indonesia. Penyelesaian sengketa merek di Indonesia didasarkan pada persamaan antara kedua merek
tersebut. Ada dua syarat
yang dilarang di Indonesia, yaitu
persamaan pokok dan persamaan seluruhnya.
Pasal 21 ayat (1) UU MIG menguraikan definisi dari "persamaan pada pokoknya" sebagai kesamaan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara dua merek sehingga menciptakan kesan adanya kesamaan, baik dalam hal
bentuk, penempatan, penulisan, atau kombinasi unsur, maupun dalam hal
bunyi ucapan yang ada dalam merek
tersebut. Selain itu, penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU MIG juga menjelaskan bahwa jika merek
yang diajukan memiliki kesamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan
dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, maka
perlu dipertimbangkan pengetahuan umum masyarakat tentang merek tersebut di bidang usaha yang relevan.
Indonesia belum mengatur tentang pelanggaran trademark
bullying itu sendiri, namun Indonesia hanya mengakui perlindungan terhadap merek terkenal dari persamaan
keseluruhan atau persamaan pada pokoknya yang mengacu dari kelas
barang dan/atau jasa yang berbeda. Pelindungannya diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c UU MIG yang menyatakan bahwa �Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa berbeda yang memenuhi persyaratan tertentu.�
Dari kasus-kasus pelanggaran merek yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa perrmasalahan yang terjadi kurang lebih berputar
di penggunaan kata-kata yang dianggap
oleh masyarakat Indonesia sebagai
kata-kata yang umum, sedangkan
bagi pemilik merek kata-kata yang umum tersebut merupakan bagian dari merek
yang harus dilindungi. Hingga saat ini,
Indonesia belum memiliki peraturan mengenai bagaimana sewajarnya penggunaan kata yang bersifat umum dalam UU MIG.� Hal ini menjadi kelemahan sekaligus celah bagi pelaku trademark bullying untuk memonopoli sebuah kata umum.�
Sebagai contoh, pemilik merek Sony yang ingin memonopoli kata Sony dapat menggugat semua merek yang menggunakan kata tersebut (Sony).
Sama halnya dengan kasus Facebook vs. Teachbook. Pemilih merek Facebook dapat menggugat semua merek yang menggunakan kata �book� terlebih apabila merek tersebut
beroperasi di dunia digital, karena
Facebook memiliki basis
yang sama, yaitu dunia
digital. Jika tindakan monopoli
ini dibiarkan terus, masyarakat tidak bisa lagi
menggunakan kata-kata umum karena semuanya akan didaftarkan sebagai merek. Hal ini dikombinasikan dengan strategi intimidasi yang umum dilakukan yaitu mengintimidasi pemilik merek kecil.
Pemilik merek kecil mungkin memilih
untuk menyerah daripada terus melawan pelaku trademark bullying karena
ketidaktahuan dan kurangnya
dukungan hukum yang memadai.
Oleh karena itu, Indonesia harus mempertimbangkan pengaturan pembelaan trademark
bullying yang deskriptif. Sebagai
perbandingan, undang-undang
merek di Amerika mendukung iklim persaingan usaha yang sehat dengan memberikan perlindungan terhadap niat baik pemilik
merek dan juga memberikan perlindungan bagi pesaing atau pemilik
merek lain untuk menggunakan merek dagang pihak lain secara deskriptif (Permata et al.,
2021).
Digitalisasi juga telah memainkan peran besar dalam perkembangan
merek di Indonesia. Semakin
meluasnya akses internet
dan smartphone telah
membuka peluang baru bagi merek
untuk berinteraksi dengan konsumen secara langsung melalui platform online.
Merek-merek yang cerdas memanfaatkan media sosial, situs
web, dan aplikasi seluler untuk memperluas jangkauan mereka, meningkatkan keterlibatan konsumen, dan memperkuat citra merek mereka.
Perkembangan teknologi, seperti pemasaran digital, menghadirkan perubahan yang meningkatkan sistem pemasaran, meningkatkan penyebaran informasi, memperluas jangkauan, meningkatkan efisiensi, dan memperkenalkan teknologi baru (Ramli & Ramli,
2022).
Pada era digital, pelanggaran
merek bisa terjadi dengan mudah melalui internet dan
platform media sosial. Melindungi
merek di era digital merupakan
tantangan baru dalam mempertahankan keberadaan merek yang relevan. Perkembangan teknologi dan perubahan digital telah mengubah cara kita hidup,
bekerja, dan berinteraksi.
Internet dan teknologi digital telah
menyederhanakan dan mempercepat
penyebaran serta reproduksi karya kreatif, yang membuat penegakan hak kekayaan
intelektual semakin rumit. Secara keseluruhan,
era digital telah mengubah cara merek berhubungan
dengan pelanggan, memasarkan produk mereka, dan membangun reputasi mereka. Merek yang berhasil adalah mereka yang mampu memanfaatkan potensi era digital untuk memperkuat eksistensi mereka dan tetap relevan di tengah perubahan yang terus menerus dalam
dunia bisnis (Priandono, 2021).
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan �UU ITE�) merupakan
regulasi yang dibuat sebagai respons terhadap perkembangan teknologi informasi dan internet
yang telah tersebar secara luas dan cepat di seluruh wilayah
Indonesia, didorong oleh pertumbuhan
digitalisasi. Seiring berjalannya
waktu, telah banyak kasus kejahatan
siber yang terjadi di
Indonesia, termasuk pelanggaran
hak kekayaan intelektual khususnya merek, di mana tindakan ilegal tersebut dilakukan secara daring dan melibatkan pelanggaran terhadap hak kekayaan
intelektual suatu karya. Terlebih, sekarang kita berada
dalam era di mana kepercayaan
dan kredibilitas sangat berharga,
pendapat individu di media sosial sering kali dianggap sebagai sumber informasi yang dipercaya oleh banyak orang.
Sebagaimana bentuk perlindungan preventif terhadap perbuatan trademark bullying diatur
di dalam Pasal 20 UU MIG yang menjelaskan
bahwa:
�Merek tidak dapat didaftar jika:
a.
Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas,
agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b.
sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya
menyebut bararg dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
c.
memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas,
jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan
barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
d.
memuat keterangan yang tidak
sesuai dengan kualitas, maniaat, atau khasiat dari
barang dan/atau jasa yang diproduksi;
e.
�tidak memiliki daya pembeda;
dan/atau
f.
merupakan nama umum
dan/atau lambang milik umum.�
Pasal tersebut yang kemudian dapat memberikan perlindungan preventif kepada merek-merek terdaftar dari perbuatan tindakan intimidasi dan/atau tindakan yang merugikan pemilik merek terdaftar. Bahwa pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang kemudian memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan
dan penegakan perlindungan secara preventif tersebut. Bukan hanya itu saja,
di dalam ketentuan Pasal 21
UU MIG juga turut menjelaskan
mengenai adanya kewajiban untuk melakukan penolakan atas pendaftaran merek yang memiliki unsur-unsur dan/atau indikasi yang memberikan dampak yang merugikan bagi pemilik merek
terdaftar.
Kemudian, terdapat semangat dari UU MIG dalam melindungi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
dalam negeri secara umum, yang tercantum pada bagian �Menimbang� huruf (a) UU MIG yang menyatakan:
�Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, perizinan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan
usaha yang sehat, berkeadilan, pelindungan konsumen, serta pelindungan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah dan industri dalam negeri�
Meski tidak diatur terkait larangan praktik trademark bullying atau
terkait ancaman tidak berdasar dalam kaitannya dengan litigasi di bidang merek secara
gamblang, tetapi UU MIG tetap berusaha menyediakan solusi pelindungan khususnya bagi UMKM yang tersebar di
norma-norma hukum di dalam
UU MIG, seperti kewajiban penggunaan asas itikad baik dan larangan non-use.
Pada hakikatnya, hukum positif dalam
UU MIG hanya mengatur secara umum terkait
dengan pelanggaran-pelanggaran
tertentu dalam ruang lingkup merek
dan tidak memiliki pengaturan yang secara khusus mengatur mengenai penanganan, pengaturan, dan kebijakan terkait dengan trademark bullying di Indonesia. Bahwa dalam pelaksanaannya
trademark bullying tersebut akan berdampak
pada reputasi merek yang dirugikan dan juga merek yang diduga melakukan pelanggaran.
Merek yang dirugikan dalam hal ini
tentunya akan memiliki dampak pada reputasi yang dirugikan khususnya ketika adanya pelanggaran merek yang menyebabkan adanya kebingungan merek di masyarakat. Hal tersebut akan memberikan
dampak pada keberlangsungan
usaha terhadap merek yang dirugikan atau dipersamakan tersebut. Bukan hanya itu saja,
terhadap merek yang melakukan trademark
bullying tentunya akan terangkat keberadaan mereknya dan masyarakat akan mengenal merek
tersebut.
Hal tersebut tentunya akan memberikan
kerugian kepada merek yang haknya dilanggar oleh merek lain. Hal tersebut di dalam pelaksanaannya umumnya disebut sebagai tindakan passing off dalam
merek, yaitu pemboncengan reputasi dimana adanya suatu
perbuatan yang turut mencoba meraih suatu keuntungan dengan cara melakukan
merek yang satu membonceng atau menggunakan reputasi atau nama baik
merek terkenal lainnya sehingga terjadinya suatu tipu muslihat. Perbuatan tersebut yang kemudian diantisipasi dengan adanya Pasal 21 UU MIG.
Bukan hanya UU MIG, tetapi UU ITE berusaha untuk memberikan pandangan mengenai perlindungan merek dalam era digital saat ini. Sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 25 UU
ITE menjelaskan bahwa:
�Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs
internet, dan karya intelektual
yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.�
Pasal tersebut yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan bahwa perlindungan terhadap merek dari perbuatan
trademark bullying akan dikembalikan dan dirujuk pada ketentuan UU MIG sebagai undang-undang pokok yang mengatur mengenai perbuatan merek di Indonesia. Pasal 25 UU ITE juga menjadi dasar bahwa
dimanapun pelaksanaannya
(dunia digital) dan dalam bentuk
apapun itu (informasi elektronik/dokumen elektronik) yang diduga adanya bentuk
pelanggaran merek, maka akan mendapatkan
sanksi dan/atau akibat hukum sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelanggarnya.
UU ITE tidak mengatur secara rigid mengenai bentuk pengaturan atau dampak dari trademark bullying, hanya saja apabila perbuatan
trademark bullying dilakukan pada dunia digitalisasi
maka ketentuan UU ITE juga turut diberlakukan dalam penjatuhan sanksi. Reputasi merek yang dirugikan atau ditirukan tersebut akan rusak
ketika dalam hal ini pihak
yang melakukan tindakan merugikan tersebut melakukan tindakan yang merugikan pihak ketiga.
SIMPULAN
Praktik trademark bullying memiliki implikasi yang signifikan terhadap kedua belah pihak, baik
pihak pelaku dan pihak korban, ditinjau dari berbagai aspek.
Namun, terkait pelindungan terhadap praktik trademark
bullying ini belum diatur secara rigid di Undang-Undang Merek di Indonesia (Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis).
Hukum positif di Indonesia, dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, memandang reputasi sebuah merek sebagai
suatu aspek yang sangat berharga dalam keberlangsungan jangka panjang suatu merek
khususnya di era digital. Era digital dapat menjadi pisau
bermata dua bagi reputasi sebuah merek apabila dikaitkan
dengan praktik trademark bullying, karena
berkaitan dengan poin 1, masyarakat dapat menjatuhkan reputasi pelaku sebagai penindas dan menaikkan reputasi korban sebagai tertindas, dengan menyuarakan pendapatnya melalui media sosial di era digital saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amrikasari,
R. (2019). ini Perbedaan Merek Biasa, Merek Terkenal, dan Merek Termasyhur. Hukum
Online. Com.
Harahap, M.
Y. (1996). Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992.
Imaniyati,
N. S. (2010). Perlindungan HKI Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Atas IPTEK, Budaya
dan Seni. Jurnal Media Hukum, 17(1).
Lindsey, T.
C. (2011). Sustainable principles: common values for achieving sustainability. Journal
of Cleaner Production, 19(5), 561�565.
Lindsey,
T., Damian, E., Butt, S., & Utomo, T. S. (2006). Hak Kekayaan Intelektual
Suatu Pengantar. Bandung: Alumni, 252.
Manta, I.
D. (2011). Bearing down on trademark bullies. Fordham Intell. Prop. Media
& Ent. LJ, 22, 853.
Nguyen,
X.-T., & Hille, E. D. (2018). The Puzzle in financing with trademark
collateral. Hous. L. REv., 56, 365.
Permata, R.
R., Safiranita, T., Utama, Y., & Millaudy, R. A. (2021). Penerapan Doktrin
Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta Pada Platform Digital Semasa Covid 19
Di Indonesia. Dialogia Iuridica, 13(1), 130�148.
Priandono,
T. E. (2021). Transformasi Digital Menuju Era Digital Society Sebagai
Akselerasi Kebangkitan Ekonomi Nasional. Berita. Upi. Edu.
Ramli, A.
M., & Ramli, T. S. (2022). Hukum Sebagai Infrastruktur Transformasi
Indonesia Regulasi dan Kebijakan Digital. Refika Aditama: Bandung.
Rosana, A.
S. (2010). Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Industri Media di
Indonesia. Gema Eksos, 5(2), 144�156.
Utama, Y.,
Permata, R. R., & Mayana, R. F. (2021). Pelindungan Merek Berbasis Tingkat
Daya Pembeda Ditinjau Dari Doktrin Dilusi Merek Di Indonesia. Acta Diurnal
Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 5(1), 139�153.
Wasiyanti,
S. (2011). Penyelesaian Sengketa Penyerobotan NAMA Domai (cybersquating): Studi
Kasus Sony Arianto Kurniawan (Sony Ak) Vs Sony Corp.(Jepang). Jurnal
Khatulistiwa Informatika, 11(2), 166�173.
Widyastuti,
S. (2017). Manajemen komunikasi pemasaran terpadu: Solusi menembus hati
pelanggan. Feb-Up Press.