Pelindungan Hukum Terhadap Pemilik Hak Eksklusif Karya Cipta Lagu Atas Tindakan Komersialisasi Tanpa Izin

�

� Legal Protection for Owners of Exclusive Rights to Song Copyrights for Commercialization Without Permission

 

 

1)Bunga Sadina, 2)Ranti Fauza Mayana, 3)Tasya Safiranita Ramli �

1,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia

 

*Email: 1)[email protected], �2)[email protected], �3)[email protected]

*Correspondence: 1)Bunga Sadina

 

DOI: 10.59141/comserva.v3i12.1230

 

 

 

 

 

ABSTRAK

Pemanfaatan platform digital dalam berbagai aspek kehidupan mengalami perkembangan pesat seiring dengan evolusi teknologi digital. Artikel ini menjelaskan pentingnya peran platform digital dalam membentuk ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Salah satu aspek terkait penggunaan platform digital adalah kekayaan intelektual, khususnya hak cipta. Namun, hal ini juga memiliki risiko pelanggaran hak cipta, seperti yang terjadi pada kasus pelanggaran hak cipta karya Ipay yang dilakukan Ian Kasela berupa Tindakan komersialisasi tanpa izin pencipta yang dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut bertentangan UU Hak Cipta. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak Moral dan Hak Ekonomi yang dimiliki pencipta. �Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis mendalam terhadap regulasi mengenai komersialisasi karya� cipta pada platform digital sebagai respon terhadap dampak perkembangan teknologi digital yang mempengaruhi aspek hak cipta di era transformasi digital ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam mengenai pelanggaran hak cipta dan konsekuensinya dalam konteks platform digital.

 

Kata kunci: Hak Cipta; Komersialisasi; platform digital

 

ABSTRACT

The use of digital platforms in various aspects of life is experiencing rapid development along with the evolution of digital technology. This article explains the important role of digital platforms in forming a fair, accountable, safe and innovative digital ecosystem in accordance with Law Number 1 of 2024 concerning the Second Amendment to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions. One aspect related to the use of digital platforms is intellectual property, especially copyright. However, this also carries the risk of copyright infringement, as happened in the case of copyright infringement of Ipay's work carried out by Ian Kasela in the form of commercialization actions without the author's permission which could conclude that the action was contrary to the Copyright Law. This action is a violation of the moral rights and economic rights of the creator. Therefore, this research aims to carry out an in-depth analysis of regulations regarding the commercialization of copyrighted works on digital platforms as a response to the impact of developments in digital technology which influence aspects of copyright in this era of digital transformation. This research is expected to provide an in-depth understanding of copyright infringement and its consequences in the context of digital platforms.

 

Keywords: Copyright; Commercialization; Digital Platforms

 

 


PENDAHULUAN

����������� Merespon perkembangan tekonologi digital yang begitu cepat, pemanfaatan platform digital saat ini bisa dianggap menyeluruh. Semua bidang kehidupan saat ini sangat terhubung dengan kehadiran dan ketersediaan platform digital. Platform digital dapat diartikan sebagai suatu sisem elektronik yang dapat digunakan untuk� melaksanakan transaksi elektronik untuk kegiatan usaha, seperti kepemilikan barang, jasa dan/atau layanan lainnya dengan media perangkat elektronik, internet, dan/atau sistem dalam bentuk elektronik lainnya (Permata et al., 2022). Mendasar pada Pasal 40A ayat (1) Undang � Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang � Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pemerintah memiliki tanggung jawab dengan mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman dan inovatif. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dijelaskan dalam ayat (1), pemerintah juga memiliki wewenang untuk menginstrusikan penyelenggara sistem elektronik agar menyesuaikan sistem elektronik� dan/atau melaksanakan langkah-langkah tertentu. Pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika melaksanakan monitoring, evaluasi dan pengawasan terhadap kepatuhan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dalam melaksanakan kewajiban pendaftaran (Fayza et al., 2022).

����������� Kemunculan platform digital telah mempermudah akses seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas, termasuk mengakses informasi, konten, dan lain-lain. Kekayaan intelektual mempunyai pengaruh besar terhadap evolusi teknologi digital, dimana keduanya saling terkait dan mempengaruhi cara karya intelektual diproduksi, didistribusikan dan dimanfaatkan. Kekayaan Intelektual menurut Ahmad M Ramli merupakan suatu hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Kekayaan Intelektual merupakan bentuk pelindungan hukum khususnya bagi para pencipta suatu karya agar tidak terjadi pelanggaran hukum dari pihak lain.

����������� Hak cipta merupakan salah satu bagian dari Kekayaan Intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra ( art and literary ) (Alfons, 2017). Ketentuan mengenai hak cipta diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta� (selanjutnya disebut UU Hak Cipta). Hak cipta diatur dalam UU Hak Cipta sebagai kebijaksanaan penyeimbang kepentingan pencipta, penerbit, dan penggunaannya. Kebijakan ini ditempuh bukan untuk membatasi kepemilikan atas suatu ciptaan (Permata et al., 2022). Perkembangan tekonologi telah mempermudah dalam hal penyimpanan, pemindahan dan modifikasi dari suatu karya yang dilindungi Hak Cipta. Perkembangan tekonologi yang pesat mencerminkan pergeseran menuju pemanfaatan teknologi informasi untuk mengubah proses dari yang bersifat konvensional menjadi digital.

����������� Dengan perkembangan tekonologi, pelindungan Hak Cipta juga telah memasuki ranah internet yang merupakan dunia siber. Apabila mengacu pada pemahaman umum dalam hukum siber, Pencipta adalah orang yang mengupload ciptaan atau namanya tercantum dalam ciptaan yang diupload (Sudjana, 2016). Adopsi pelindungan Hak Cipta ini disebabkan oleh banyaknya pencipta yang mempublikasikan karyanya dengan cara mengunggah gambar, video atau tulisan ke internet. Biasanya pencipta mengunggah karya-karyanya dalam bentuk digital ke platform User Generated Content untuk mendapatkan perhatian yang lebih luas (Ramadhanty et al., 2020). User Generated Cont merupakan foto, suara, teks, animasi, dan video yang diunggah oleh pengguna pada situs jejaring sosial. User Generated Cont biasa juga diistilahkan dengan konten buatan pengguna. Berbagai platform digital yang ada saat ini memungkinkan semua orang untuk membuat dan membagikan video kreasi mereka sehingga bisa disaksikan oleh orang banyak (Sihotang & Malau, 2020).

����������� Pelindungan Hak Cipta, khususnya hak moral, tidak dapat berjalan secara mandiri hanya dengan mengandalkan satu kerangka hukum saja. Kerangka hukum lain seperti hukum siber diperlukan untuk memastikan perlindungan Hak Cipta berfungsi secara optimal. Munculnya media digital telah menciptakan tantangan baru dalam perlindungan Hak Cipta, sehingga diperlukan peraturan tambahan untuk memastikan perlindungan yang efektif. Saat ini kemajuan teknologi khususnya dalam konteks Hak Cipta telah membuka peluang baru untuk berinovasi dan memberikan manfaat bagi para musisi dengan diperbolehkannya mereka mengunggah lagu sendiri yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap karyanya. Keberadaan platform digital mencerminkan kemajuan teknologi dan interaksi antara hukum siber dan hukum Hak Cipta. Dalam konteks hukum siber, Hak Cipta dianggap sebagai sesuatu yang dilindungi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ditetapkan bahwa konten elektronik yang berisi karya intelektual dianggap dilindungi sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

����������� Mengenai penggunaan konten Hak Cipta pada platform digital, hal ini juga erat kaitannya dengan layanan platform digital Over The Top (selanjutnya disebut OTT), yang merupakan layanan yang bergantung pada web developer dan infrastruktur telekomunikasi, tetapi tidak memiliki bentuk kerjas ama konkret dengan penyelenggara telekomunikasi (Setiawan, 2018). Secara umum, pihak � pihak yang terkait� dalam layanan OTT, adalah penyedia dan pengguna. Penyedia layanan OTT merujuk kepada pihak yang menyediakan aplikasi yang memanfaatkan teknologi komunikasi untuk memberikan atau menawarkan informasi, akan tetapi tidak mengoperasikan sistem jaringan. Di sisi lain, pengguna adalah pihak yang menggunakan aplikasi tersebut untuk menyebarkan informasi kepada khalayak secara luas (Abimanyu & Wirasedana, 2015). Dari uraian tersebut, terlihat adanya keterkaitan yang erat antara platform digital, layanan OTT, dan industri telekomunikasi, dimana sinergi diantara ketiganya menjadi kunci penting dalam� transformasi digital saat ini. Penerapan layanan OTT sebagai platform digital memiliki dampak positif yang signifikan bagi manusia dan masyarakat umum, dengan berbagai manfaat yang dapat diperoleh (Permata et al., 2022).

����������� Merujuk pada salah satu kasus pelanggaran Hak Cipta, sampai saat ini, telah banyak musisi yang dirugikan atas tindakan pelanggaran Hak Cipta. Salah satunya adalah Ipay yang karyanya dicuri oleh Ian Kasela yang tergabung dalam Radja Band yang hangat diperbincangkan pada tahun 2023. Ian Kasela melakukan pelanggaran Hak Cipta berupa penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan, pendistribusian ciptaan dan komersialisasi karya cipta milik Ipay tanpa izin yaitu Lagu yang berjudul �Cinderella�. Ian Kasela juga membuat lagu� tersebut dari rekaman audio menjadi musik video kemudian diunggah pada� platform digital� tanpa mencantumkan nama Ipay sebagai pemilik Hak Cipta. Tindakan ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa Lagu �Cinderella� merupakan ciptaan Ian Kasela, bukan Ipay, karena diunggah pada platform publik yang dapat diaskes oleh semua pengguna.

����������� Mengambil titik awal pada kasus yang sebelumnya sudah dibahas� bahwa dapat dikaitkan hal tersebut merupakan isu dan kasus hukum yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta yang tidak hanya terjadi secara konvensional, namun juga terjadi melalui platform digital. Berdasarkan beberapa permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat, peneliti akan melakukan analisis mendalam terhadap peraturan mengenai komersialisasi karya cipta berupa lagu milik orang lain pada platform digital. Penelitian ini merupakan respon terhadap dampak besar perkembangan teknologi digital yang mempengaruhi aspek Hak Cipta di era transformasi digital ini. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana pelanggaran hak cipta bisa diartikan sebagai tindakan yang telah melanggar hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta (Amirulloh & Muchtar, 2016).

 

METODE

����������� Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau konvensi yang sudah diratifikasi, bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi buku-buku ilmu hukum, jurnal ilmu hukum, artikel ilmiah hukum dan pustaka atau data sekunder sebagai sumber utama untuk menganalisis permasalahan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk Pelanggaran Yang Dilakukan Melanggara Hak Moral Dan Hak Eksklusif Pencipta

����������� Karya musik dan/atau lagu merupakan bagian dari karya seni yang dilindungi hak cipta. Apabila karya tersebut digunakan untuk tujuan komersial, sebagai pencipta, pemegang hak cipta, dan pihak terkait berhak menerima royalti sebagai imbalan atas penggunaannya. Untuk memperoleh manfaat ekonomi dari ciptaannya, pencipta juga dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk melaksanakan (hak pertunjukan) atau memperbanyak (hak mekanis) ciptaannya untuk tujuan komersial berdasarkan perjanjian lisensi. Pengaturan terkait Lisensi terdapat pada Pasal 80 sampai dengan 83 UU Hak Cipta (Rahmad & Hadi, 2022). Dalam kasus yang telah dijelaskan sebelunya, Ipay sebagai pencipta, jika lagu tersebut memberikan hiburan kepada masyarakat, adalah wajar bagi penciptanya untuk menerima royalti sebagai imbalan atas karyanya. Ini adalah hak ekslusif yang dimiliki oleh seorang Pencipta dalam menciptakan suatu karya, ketika hak eksklusif pencipta tidak dihormati, maka dapat dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta. Oleh karena itu, Ipay berhak untuk menjaga integritas dan keutuhan Lagu �Cinderella� serta memiliki kewenangan untuk melarang pihak mana pun yang melakukan pengumuman dan distribusi terkait lagu tersebut (Ramli et al., 2020). Hal ini mencakup juga tindakan yang dilakukan oleh Ian Kasela sebagai musisi. Berkaitan dengan kasus, Penulis setuju bahwa Ipay mengalami kerugian bukan hanya secara ekonomi tetapi juga terjadi pelanggaran Hak Moral yang dilakukan.

����������� Menilik Pasal 4 UU Hak Cipta, setelah suatu karya memiliki Hak Cipta, karya tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum yang terfokus pada dua aspek, yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Setiap Pencipta memiliki Hak Moral dan Hak Ekonomi yang bersifat tidak dapat dilanggar oleh pihak lain. Berdasarkan Pasal 5 UU Hak Cipta, Hak Moral merupakan hak yang melekat pada Pencipta selama hidupnya, mencakup hak untuk mengumumkan, hak untuk menuliskan namanya pada karya dan hak untuk menjaga integritas karya tersebut. Dalam konteks perlindungan berdasarkan Hak Moral, yang dijaga adalah keaslian atau originalitas suatu karya ciptaan. Hak Cipta bertujuan untuk memastikan bahwa keaslian karya tersebut dilindungi, dan pencipta diakui sebagai satu-satunya pembuat dari ciptaannya. Ciptaan bersifat kekal dan tidak dapat dipindahtangankan. Konsep Hak Moral terletak pada tiga prinsip (Organization, 1978) : a) Hak Publikasi (the right of publication), hak untuk menentukan apakah suatu ciptaan diumumkan atau tidak diumumkan oleh pencipta; b) Hak paternity (the right of paternity), hak mengklaim untuk mencantumkan nama pencipta dalam sebuah karya; c) Hak integrity (the right of integrity), hak dari seorang pencipta untuk menolak setiap penyimpangan atau perubahan atau cara perlakuan yang menyimpang terhadap karyanya yang dapat merusak kehormatan atau reputasinya.�

����������� Dalam konteks Hak Ekonomi, terdapat keterkaitan yang erat dengan konsep royalti. Royalti merupakan imbalan yang diterima oleh Pencipta sebagai pemilik Hak Ekonomi atas penggunaan ciptaannya. Royalti merupakan pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak kekayaan intelektual sebagai kompensasi atas eksploitasi ekonomi dari kekayaan intelektual tersebut. Besarnya royalti biasanya disepakati oleh kedua belah pihak untuk periode waktu tertentu. Ketika karya cipta tersebut dipasarkan secara komersial, penerbit memiliki kewajiban untuk membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta (Salsabila et al., 2021).

����������� Berdasarkan apa-apa yang telah dipaparkan di atas, nyata telah kita dapati bahwa Ian Kasela melakukan keseluruhan Hak Ekonomi Pencipta yaitu penggandaan tanpa izin pencipta. Semua tindakan yang dilakukan oleh Ian Kasela sebagaimana dijelaskan sebelumnya hanya dapat dilakukan dengan izin Ipay karena pelaksanaan Hak Ekonomi dapat dilakukan hanya dengan izin dari Pencipta. Pencipta mempunyai hak atas ciptaannya untuk mengawasi karya ciptanya yang beredar di masyarakat. Apabila seseorang dengan sengaja mengkomersilkan karya cipta seseorang tanpa izin si pencipta dengan maksud menguntungkan diri sendiri, maka orang tersebut telah melanggar hukum. Dengan demikian, penggunaan karya cipta lagu atau musik oleh pihak lain untuk kegiatan usaha yang bersifat komersial wajib hukumnya menurut undang-undang untuk meminta izin terlebih dahulu dari pencipta dan atau pemegang hak cipta.

����������� Banyaknya pelanggaran hak cipta di bidang musik dan lagu menimbulkan kesan bahwa negara kurang memberikan perhatian terhadap hak cipta dan belum melakukan penegakan hukum secara maksimal. Faktanya, penegakan hukum terhadap hak cipta masih jauh dari sempurna. Keputusan pengadilan jarang memberikan hukuman tegas kepada pelanggar hak cipta atau penjahat. Permasalahan utama masih terletak pada belum memadainya regulasi yang menjadi penghambat pengembangan dan implementasi platform digital di Indonesia. Aturan khusus diperlukan untuk mengatasi pelanggaran hak cipta melalui situs pihak ketiga, sehingga tanggung jawab dalam situasi nyata dapat didefinisikan dengan jelas. Penting untuk diingat bahwa dibalik setiap lagu terdapat hak yang melekat pada penciptanya yang harus dihormati.

 

Keselarasan Antara Undang � Undang Hak Cipta Dan Undang � Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Yang Mengatur Tanggung Jawab Hukum Dalam Pelanggaran Hak Cipta

����������� Pencipta atau pemegang Hak Cipta berhak untuk memperjuangkan haknya apabila terjadi pelanggaran terhadap karya ciptanya. Saat ini UU Hak Cipta mejadi regulasi yang mengatur isu-isu yang berkaitan dengan Hak Cipta dan menggantikan peraturan sebelumnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. UU Hak Cipta memberikan pelindungan yang bertujuan untuk menghormati dan mendorong Pencipta agar terus berinovasi dan berkarya untuk menciptakan karya baru. Pentingnya perlindungan hukum terhadap karya-karya baru atau yang sudah ada sebelumnya diakui dalam UU Hak Cipta.

����������� Pelindungan hukum terhadap pencipta lagu dapat ditempuh dengan dua cara yaitu tindakan preventif (mencegah) dan tindakan represif (menekan). Tindakan preventif� dapat ditemukan dalam Pasal 66 dan 67 UUHC yang mengamanatkan pencatatan atau pendaftaran suatu ciptaan. Di Indonesia, proses pendaftaran Hak Cipta tidaklah diwajibkan karena pelindungan Hak Cipta bersifat automatic protection yang secara alami terjadi ketika suatu ciptaan dibuat dan diungkapkan kepada publik. Meskipun dalam Hak Cipta pelindungan atas lagu tidak harus melalui proses pencatatan, tetapi dalam kekayaan intelektual dikenal dengan sebutan pendaftaran, akan lebih baik pendaftaran Hak Cipta dilakukan, sebagai bukti otentik di pengadilan apabila nantinya terdapat sengketa degan pihak lain yang mengklaim kepemilikan suatu lagu yang sama. Masing-masing pihak yang mengklaim kepemilikan lagu tersebut harus bisa membuktikan bahwa benar dia yang menciptakan (Simanjuntak et al., 2017). Meskipun suatu lagu belum didaftarkan Hak Ciptanya, namun jika ada pelanggaran Hak Cipta atas lagu tersebut oleh orang lain yang tidak terdaftar. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta lagu tersebut tetap mendapat perlindungan hukum, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak cipta lagu. Sedangkan tindakan represif dapat dilihat dari ketentuan Pasal 95 sampai 120 UUHC yang secara substansial� mengatur langkah-langkah penyelesaian� sengketa Hak Cipta. Sengketa dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, baik dalam bentuk gugatan perdata maupun pidana. Pengadilan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian sengketa paling umum yang diketahui masyarakat.

����������� Mengacu pada apa yang telah diuraikan sebelumnya, UU Hak Cipta memungkinkan pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan hak-hak mereka melalui gugatan perdata di Pengadilan, oleh karena itu dalam konteks Hukum Perdata, penyelesaian Hak Cipta mencakup tuntutan ganti rugi terhadap pelanggar Hak Ekonomi dan permintaan izin Hak Cipta yang terkait degan pelanggaran Hak Moral. Ketentuan mengenai ganti rugi atas pelanggaran hak ekonomi pencipta dijelaskan dalam Pasal 1 angka (25) UU Hak Cipta yang pada dasarnya menegaskan bahwa tanggung jawab ganti rugi adalah kewajiban pelaku pelanggar hak ekonomi yang ditetapkan melalui keputusan pengadilan baik dalam ranah perdata maupun pidana. Dalam Pasal 96 UU Hak Cipta menjelaskan bahwa jika Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya mengalami kehilangan Hak Ekonomi mereka berhak menerima ganti kerugian. Pemberian ganti rugi dapat dilakukan dan dicantumkan secara bersamaan dalam putusan pengadilan terkait.

����������� Meski demikian, penyelesaian perdata yang dilakukan atas sengketa hak cipta tidak menghilangkan kemampuan penuntut umum untuk mengadili secara pidana pelanggar hak cipta. Hal ini diatur dalam Pasal 105 UU Hak Cipta yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perdata pelanggaran hak cipta tidak menghalangi hak pencipta atau pemilik hak terkait untuk mengajukan tuntutan pidana. Suatu perbuatan dapat dipertanggungjawabkan apabila jelas-jelas terdapat pelanggaran hukum, baik secara langsung maupun melalui dampaknya yang merugikan pihak lain. UU Hak Cipta dalam Pasal 113 menjelaskan bahwa yang mencakup sanksi pidana terhadap tindakan pelanggaran Hak Ekonomi yang digunakan untuk komersial dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana dengan paling banyak Rp100.000.00 (seratus juta rupiah). Pelanggaran terhadap Hak Ekonomi yaitu penerjemahan Ciptaan, pengadaptasian Ciptaan, pengaransemenan atau pentransformasian Ciptaan, pertunjukan Ciptaan dan komunikasi Ciptaan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dalam penggunaan secara komersial dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana dengan paling banyak Rp500.000.00 (lima ratus juta rupiah). Sedangkan sanksi pidana terhadap Hak Ekonomi yaitu penerbitan Ciptaan, pendistribusian Ciptaan atau salinannya, pertunjukan Ciptaan dan pengumuman Ciptaan dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Terakhir, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Hak Ekonomi yaitu penerbitan Ciptaan, pendistribusian Ciptaan atau salinannya, pertunjukan Ciptaan dan pengumuman Ciptaan dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Namun kendati demikian, Tanggung jawab dalam konteks pidana biasanya ditempuh setelah seluruh upaya hukum lainnya telah dilakukan oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas Ultimum Remedium yang menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir.

����������� Selain itu, apabila merujuk ke dalam Undang � Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) dapat diketahui bahwa platform digital seperti YouTube yang berbasis user generated content berisikan konten yang dibuat ataupun diiunggah oleh pengguna itu sendiri (Rayinda, 2019) mempunyai tanggung jawab sebagai penyelenggara sistem elektronik. YouTube memiliki kewajiban untuk tidak memuat konten yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan untuk tidak menyebarkan konten tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU ITE, Pasal 5 PP No. 71 tahun 2019, Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 dan Pasal 5 Nomor 5.6 SE No. 3 Tahun 2016 Menteri Komunikasi dan Informatika. YouTube bertanggung jawab dalam mengimplementasikan peraturan undang-undang tersebut yang pada gilirannya mensosialisasikan pengguna mengenai syarat dan ketentuan konten yang dapat diterima dan diunggah. YouTube wajib menjamin bahwa layanannya tidak memfasilitasi penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. Perlindungan ini diatur dalam kebijakan mengenai hak cipta yang dapat dilihat pada YouTube. Pelindungan hak cipta yang dilakukan oleh YouTube terhadap video yang diunggah� di dalam Sistem Elektronik di YouTube dilakukan saat video tersebut berada dalam ruangan YouTube dan video tersebut jua terbukti merupakan ciptaan yang original dari pembuat konten.

����������� Dengan demikian, pembuat konten mempunyai kemungkinan untuk melaporkan pelanggaran aturan kepada YouTube sebagai penyelenggara platform elektronik melalui fitur pelaporan yang telah disediakan. YouTube wajib menanggapi laporan tersebut, memverifikasinya, dan memberi tahu pelanggar hak cipta atas konten yang dilaporkan. Selain itu, YouTube harus memblokir akses terhadap konten yang melanggar hak cipta. Apabila tidak ada tanggapan dari YouTube, pembuat konten berhak melaporkan pelanggaran hak cipta kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, disarankan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dan informatika, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk mengambil tindakan antara lain menutup sebagian atau seluruh konten terkait sehingga tidak dapat diakses.�������� Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan mengambil langkah lebih proaktif dalam melindungi hak pencipta. Hal ini mencerminkan pentingnya peran pemerintah sebagai pengelola kehidupan berbangsa yang bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan pelanggaran hak cipta. Dalam UU Hak Cipta, peran pemerintah yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika secara implisit dijelaskan pada Pasal 54. Menteri bertugas melakukan pengawasan terhadap peredaran konten yang melanggar hak cipta dan hak terkait. Dalam rangka pelanggaran di internet, Menteri berwenang menghentikan sebagian atau seluruh konten yang melanggar hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 UU Hak Cipta. UU ITE lebih lanjut mengatur peran pemerintah melalui Pasal 40 yang memberikan kemudahan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta melindungi kepentingan masyarakat dari gangguan yang mungkin timbul akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik. transaksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UU ITE memberikan kewenangan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mempunyai kewenangan tambahan dalam membatasi akses penyelenggara sistem elektronik. Namun pembatasan akses hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan tujuan menjaga kedaulatan digital sesuai ketentuan yang berlaku.

 

SIMPULAN

����������� Pelanggaran Hak Cipta berupa menerbitkan, menggadaikan, menyiarkan, dan mengkomersialkan ciptaan tanpa izin pencipta, dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut bertentangan UU Hak Cipta. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak Moral dan Hak Ekonomi yang dimiliki pencipta. Oleh karena itu, pencipta berhak melarang siapapun untuk melakukan eksploitasi dan membela kehormatannya sebagai pencipta. Selain itu, pencipta mempunyai opsi untuk mengambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hak Cipta untuk melindungi karyanya. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mempunyai tanggung jawab penting dalam melindungi Hak Cipta dengan memantau dan menindak pelanggaran, serta menyediakan fasilitas teknologi informasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 43 ITE. Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik, YouTube bertanggung jawab menyediakan mekanisme pelaporan atas tindakan yang melanggar hak cipta pada platformnya.

����������� Dalam menangani pelanggaran hak cipta di era digital, diperlukan pengembangan lebih lanjut dalam peraturan Undang-Undang Hak Cipta, khususnya dalam hal hak adaptasi terhadap karya berhak cipta, untuk menjamin perlindungan yang memadai terhadap karya tersebut. Penegakan hukum yang tegas dan jelas juga diperlukan untuk mencegah pelanggaran hak moral dan ekonomi pencipta. Selain itu, para pemangku kepentingan di industri musik diharapkan dapat memberikan edukasi kepada musisi dan label rekaman mengenai hak cipta guna mengurangi insiden pelanggaran. Tanggung jawab pencipta yang selayaknya adalah menyampaikan laporan penutupan konten kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Lebih lanjut, diharapkan pemerintah dapat melakukan pendekatan komprehensif terhadap peraturan perlindungan hak cipta dengan menerapkan pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya Hak Cipta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abimanyu, M. K. A., & Wirasedana, W. P. (2015). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Variabilitas Pendapatan Dan Operating Leverage Pada Struktur Modal Industri Perbankan. E-Jurnal Akuntansi, 11(3), 848�862.

 

Alfons, M. (2017). Implementasi hak kekayaan intelektual dalam perspektif negara hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 301�311.

 

Amirulloh, M., & Muchtar, H. N. (2016). Buku Ajar Hukum Kekayaan Intelektual. Bandung: Unpad Press.

 

Fayza, Y., Amirulloh, M., & Haffas, M. (2022). Penjualan Sertifikat Vaksin Covid-19 Oleh Pengguna Facebook Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Terkait. Jurnal Poros Hukum Padjadjaran, 4(1), 16�32.

 

Organization, W. I. P. (1978). Guide to the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Paris Act, 1971). World Intellectual Property Organization.

 

Permata, R. R., Rika, T. S. R., Utama, Y., Utama, B., & Millaudy, R. A. (2022). Hak Cipta Era Digital dan Pengaturan Doktrin Fair Use di Indonesia. PT Refika Aditama, Bandung.

 

Rahmad, D. A., & Hadi, H. (2022). Perlindungan Hak Cipta Pencipta Lagu Terhadap Pembajakan Dalam Bentuk Modifikasi Aplikasi Spotify. Jurnal Privat Law, 10(2), 311�321.

 

Ramadhanty, S., Amatullah, N., Setyadani, N. A., & Ramli, T. S. (2020). Doktrin Safe Harbor: Upaya Perlindungan Hak Cipta Konten Dalam Platform User Generated Content. Legalitas: Jurnal Hukum, 12(2), 267�274.

 

Ramli, T. S., Ramli, A. M., Permata, R. R., Wahyuningsih, T., & Mutiara, D. (2020). Aspek Hukum Atas Konten Hak Cipta Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(1), 65.

 

Rayinda, M. A. (2019). Pengaruh User Generated Content Terhadap Perilaku Para Foodie Pengguna Media Sosial dalam Perspektif Komunikasi, Teknologi, dan Masyarakat di Indonesia. Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media, 3(2), 116�127.

 

Salsabila, F. M., Mayana, R. F., & Rafianti, L. (2021). Copyright commercialization of songs uploaded in TikTok application without the creator�s permission. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 5(1), 213�224.

 

Setiawan, A. B. (2018). Pengembangan Kebijakan Terhadap Penyediaan Layanan Aplikasi Dan Konten Pada Ekosistem Digital Melalui Over The Top Policy Development Towards Application And. Jurnal Penelitian Pos Dan Informatika, 8(02).

 

Sihotang, R. E., & Malau, R. M. U. (2020). Pengelolaan User-generated Content Sebagai Strategi Promosi Dalam Meningkatkan Brand Awareness Pada Akun Instagram@ thehousetourhotel. EProceedings of Management, 7(1).

 

Simanjuntak, I. A. J., Santoso, B., & Njatrijani, R. (2017). Perlindungan Hukum Akibat Pembatalan Pendaftaran Hak Cipta (Studi Kasus Pembatalan Pendaftaran Hak Cipta Seni Motif Sampul Buku Tulis di Pengadilan Niaga Semarang). Diponegoro Law Journal, 6(2), 1�14.

 

Sudjana, S. (2016). Sistem Perlindungan Atas Ciptaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Dalam Perspektif Cyber Law. Veritas et Justitia, 2(2), 253�277.

 

 

 

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png� 2024 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).